Tempat yang ditujunya membutuhkan paling tidak satu setengah jam perjalanan menggunakan transportasi umum. Jadi Binar sebenarnya berbohong saat mengatakan pada suaminya hanya akan pergi sebentar untuk interview. Dengan jauhnya jarak rumah dan kantor tempatnya melamar pekerjaan, paling tidak dia akan butuh setengah harian jika wawancara itu lancar. Untuk lebih mempersingkat perjalanan, Binar memutuskan memesan taksi online. Selain tak ingin banyak menghabiskan waktu di jalan, Binar juga tak ingin telat tiba di sana. Email menyebutkan bahwa dirinya harus sudah tiba minimal 30 menit sebelum interview dimulai.
Sebenarnya sayang harus mengeluarkan biaya cukup mahal untuk menyewa taksi dengan jarak sejauh itu. Tapi Binar benar-benar tak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa diterima di perusahaan yang satu itu.
Vibes Property merupakan salah satu dari anak perusahaan Three Vibes Holdings yang mencuat pesat dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun terakhir sejak dipegang oleh pewaris tunggal keluarga Adhitama.
Dari jaman kakek buyutnya yang merupakan sang perintis, perusahaan itu memang selalu menjadi primadona bagi para pencari kerja. Selain gaji yang tinggi, fasilitas serta tunjangan yang diberikan pada para pekerjanya juga tidak kaleng-kaleng. Itulah kenapa Binar tak ingin gagal mendapatkan pekerjaan yang dilamarnya kali ini. Dia yakin masalah finansial yang sedang membelit rumah tangganya akan segera selesai jika bisa diterima di perusahaan se-bonafit itu.
*****
Taksi berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit di pusat kota. Usai membayar ongkos, Binar pun segera mengambil langkah tergesa menuju lobby.
Langkah Binar terhenti tepat di depan pintu lobby. Nyalinya tiba-tiba ciut kala dirinya semakin mendekati gedung. Segala yang ada di dalam yang dilihatnya dari balik dinding kaca membuatnya tak percaya diri. Lalu lalang pekerja dengan pakaian formal dan rapi dan langkah-langkah kaki mereka yang tak terlihat santai, mendadak membuat perutnya mual bukan karena belum terisi. Apalagi banyak dari para karyawan itu yang penampilannya terlihat sangat berkelas. Hampir-hampir dia mengurungkan niat untuk masuk ke dalam, jika saja tak ingat niat awalnya pergi ke tempat itu.
Usai menarik nafas panjang sejenak, Binar memantapkan hati untuk melangkah masuk. Seorang resepsionis cantik menyambutnya dengan ramah saat dia memberitahu dirinya telah menerima email untuk wawancara kerja di perusahaan tersebut. Tak berapa lama kemudian, si resepsionis bersetelan blazer dan rok span mini itu pun memanggil seorang petugas keamanan untuk menunjukkan jalan pada Binar menuju ruang interview.
"Silahkan naik ke lantai 5, nanti Mbak belok ke kanan lurus saja. Ruangannya ada di ujung," jelas si petugas keamanan setelah pintu lift di depan Binar terbuka.
Binar mengangguk sambil berucap terima kasih. Dalam hati, merasa senang dengan profesionalitas para karyawan di kantor itu. Setidaknya, tak ada bayangan buruk atas pekerjaan impiannya nanti.
Tiba di tempat yang dimaksud, Binar disambut dengan pemandangan yang makin membuatnya ciut. Beberapa perempuan muda duduk berjajar di kursi tunggu depan ruangan bertuliskan 'General Room'. Jelas mereka adalah para pesaing yang tak bisa diremehkan, terutama dari segi penampilan. Wajah-wajah fresh dan glowing, postur tubuh ramping tinggi semampai, pakaian-pakaian kerja bagus yang mereka kenakan sepertinya lebih pantas diterima di perusahaan itu dibanding dirinya.
Binar sendiri bahkan sudah lupa kapan terakhir kali meluangkan waktu untuk merawat diri. Sejak menikah, dunianya hanya sebatas anak dan suaminya. Lowongan di perusahaan Vibes itu pun tak sengaja dibacanya di internet saat dirinya telah bertekad bulat mencari pekerjaan setelah beberapa tahun resign dari pekerjaannya di sebuah perusahaan retail besar sebagai staff accounting.
"Sudah mulai, Kak?" tanyanya basa-basi pada seorang wanita berkulit putih, berpostur tinggi langsing dengan kaki jenjang di sebelah tempat duduknya.
"Belum," jawab singkat wanita yang ditaksirnya masih berusia sekitar dua puluh tahunan itu. Binar pun kembali menekuri pangkuan, melirik arloji di tangannya sebentar. Dia pikir mungkin masih ada cukup waktu untuk merapikan sedikit dandanannya.
Binar bangkit, lalu berjalan ke arah penunjuk toilet.
Sembari melangkah, dua tangannya terlihat sibuk memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya. Akibat dua aktivitas bersamaan itu, Binar menjadi tak fokus hingga menyebabkan langkahnya mulai tak beraturan.
BRAKK!
Binar jatuh terduduk di lantai. Rupanya dia baru saja menabrak seseorang yang muncul dengan tiba-tiba dari ujung koridor. Saat tersadar, seorang petugas keamanan sedang membantunya untuk berdiri.
"Anda tidak apa-apa, Mbak?" tanya lelaki berbadan tegap itu. Binar menggeleng dan menyempatkan diri untuk menoleh ke arah belakang, dimana seseorang dengan begitu cuek meninggalkan dirinya yang jatuh setelah tertabrak olehnya. Binar sempat tak percaya dengan penglihatannya saat pria dengan setelan jas warna abu gelap itu ternyata juga sedang menoleh ke arahnya sambil berbicara dengan seseorang di ponsel. Terlihat sangat sibuk sekali. Namun, seperti halnya Binar, pria itu sepertinya juga terlihat tak berkedip untuk beberapa saat lamanya saat keduanya bertatapan.
"A-bii!" pekik Binar.
Dia yakin bibir pria yang berdiri jarak beberapa meter darinya itu juga sedang mengucapkan namanya. Tapi tak seperti suaranya yang keras, suara pria itu sama sekali tak terdengar. Hanya terlihat bibirnya yang bergerak menyebut nama ‘Binar’.
Namun kejadian itu tak berlangsung lama, karena kemudian pria itu berbalik badan dan melangkah dengan tergesa sambil melanjutkan obrolannya di telepon, meninggalkan Binar yang masih terpaku di tempatnya semula. Hingga kemudian, dia tersadar saat sang petugas keamanan mengulurkan map resumenya yang ikut terjatuh di lantai bersamanya.
"Te-rima ka-sih, Pak," ucapnya.
Wanita itu kemudian bermaksud menoleh kembali ke arah pria yang dia yakin sangat dikenalnya itu. Namun rupanya, si pria sudah tidak ada lagi di sana. Dia telah meninggalkan tempat itu, disusul oleh petugas keamanan yang tadi sempat menolongnya.
Abidzar? Benarkah pria itu Abidzar?
Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok di antara perbukitan yang diselimuti kabut tipis. Dari jendela mobil, Binar melihat hamparan kebun teh terbentang sejauh mata memandang, hijau dan tenang, kontras dengan kegelisahan yang ia rasakan di dadanya. Aroma tanah basah masuk melalui celah kecil ventilasi, mengingatkan pada pagi-pagi masa kecilnya, saat ia masih berlari di jalan berbatu desa itu.Abidzar melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Kapan terakhir kamu pulang?” tanyanya.Binar tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Ia langsung menunduk. Jemarinya meremas pangkuan, suara mesin mobil terdengar lebih keras daripada detak jantungnya sendiri. “Sudah… sangat lama,” jawabnya pelan. “Sejak aku menikah.”“Kenapa?” nada suara Abidzar terdengar datar, tapi ada sesuatu di baliknya. Rasa ingin tahu yang sengaja ditahan agar tidak terdengar seperti interogasi.Binar menelan ludah, menatap keluar jendela. Pemandangan indah itu mendadak terasa asing. “Aku ikut suamiku. Hi
Pagi itu, di ruang tamu rumah, Binar menatap Dhimas dengan mata yang berat. Tangannya menggenggam tas kerja yang belum sempat ia siapkan sepenuhnya, sementara Dhimas berdiri di hadapannya dengan senyum mengembang. Bukan senang karena istrinyaakan pergi, tapi lebih ingin menyemangati.“Nggak ada yang ketinggalan kan, Sayang? Ayo dong yang semangat, jangan lesu gitu,” suara Dhimas ringan.Binar menelan ludah. “Sudah kok, Mas. Maaf ya harus ngrepotin Mas dengan Aaron.”“Ngomong apa sih, Sayang? Nggak repot. Kamu have fun ya, nikmati aja, anggap liburan.” Mata Dhimas mengerling. Lalu merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. “I will miss you,” bisiknya lembut di telinga Binar. “Aku janji akan langsung balik setelah sampai kantor, Mas.”Dhimas mengangguk. “Oke… hanya dua hari kan? Kamu hati-hati ya, Sayang.” Dhimas merengkuh makin erat, mencium kening istrinya dalam dalam, lalu melepaskannya dengan senyuman. Binar hanya tersenyum tipis, tak paham kenapa merasa ada hal yang mengganjal di dad
Beberapa hari berlalu setelah makan siang itu. Binar merasakan suasana yang berbeda. Abidzar sama sekali tak menghubunginya, pun tak ada panggilan untuknya pergi ke ruangan direktur. Bahkan, sekali waktu dia pernah berpapasan dengan lelaki itu di koridor, tapi Abidzar tak merespon sapaannya. Ia sekadar melirik, lalu melangkah cepat, seolah Binar tak lebih dari kursi kosong di sudut ruangan.Koridor kantor terasa asing dalam diam yang mendadak tercipta. Derap sepatu Abidzar yang biasanya membuat jantung Binar berdegup kencang kini hanya lewat tanpa menorehkan jejak apa pun. Kelegaan menyelinap, tapi entah kenapa ada ruang kosong di dadanya, seakan sesuatu yang dulu menakutkan kini malah menyisakan kehampaan.Tiba-tiba Binar merasa asing. Seperti ada yang hilang. Namun bersamaan dengan itu, ada kelegaan telah terbebas dari tatap intimidasi Abidzar. Binar sempat berpikir, mungkin pria itu tak lagi penasaran padanya setelah pertanyaan-pertanyaan pribadi di makan siang hari itu, hingga kem
Langkah kaki Binar terasa berat memasuki gedung kantor pagi itu. Aroma khas pengharum ruangan mewah yang beberapa hari ini menenangkan, kini tak mampu mengusir resah di dadanya. Jemarinya menggenggam erat ujung tas kerjanya, seolah benda itu bisa jadi perisai dari segala kemungkinan buruk yang menantinya. Hatinya terus menimbang, apakah hari ini Abidzar akan kembali membuatnya sesak?"Pagi, Binar," sapa Mili dari meja sebelah, suaranya ringan seperti biasa, sumringah. Binar sempat berpikir mungkin gadis itu sedang jatuh cinta."Pagi," jawab Binar lirih, mencoba tersenyum walau bibir terasa kaku.Mili mencondongkan tubuh sedikit, suaranya diturunkan. "Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?""Nggak. Nggak apa-apa kok, Mil." Binar buru-buru menjawab, lalu menyalakan komputer di depannya. Ia tidak ingin membiarkan ketakutannya terbaca, bahkan oleh Mili yang paling dekat dengannya di kantor itu.Namun kegelisahan itu tak bisa begitu saja ditekan. Setiap suara langkah berat di lantai membuatnya m
Binar menapaki tangga menuju basement dengan langkah ragu. Gema langkah kaki di lantai marmer membuatnya semakin waswas. Ponsel di sakunya terus berdering dari satu menit yang lalu, tapi ia tak berani mengangkat. Perasaan aneh menghantui, seperti sesuatu yang tak terlihat mengawasi setiap gerakannya.Di salah satu sudut parkiran, sosok tinggi tegap nan tampan itu sudah menunggunya. Abidzar berdiri di samping mobil mewah berwarna metallic, tangan mengepal di saku celana. Jas abu gelap rapi menempel di tubuhnya, memancarkan wibawa yang menusuk relung hati Binar. Mata tajamnya seolah bisa menembus isi pikiran. Bahkan dalam jarak beberapa meter, aura arogan pria itu membuat Binar ciut nyali.“Lama sekali.” Suara Abidzar berat, terkesan menggerutu, tanpa senyum. Tak ada sapaan hangat, hanya terdengar seperti otoritas yang mengancam.“Ma-maaf, Abi. Eh, maksud saya, P-pak. Tapi ini sudah jam pulang. Apa ada hal yang masih harus saya kerjakan?” Binar berusaha berucap pelan, menatap lurus ke w
"Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep