Share

OSM - 5

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-05-31 10:03:05

Kacau, mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.

Pertemuan tak sengaja dengan Abidzar membuatnya kehilangan konsentrasi. Parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar.

'Ini gila!' rutuknya dalam hati.

Belasan tahun berlalu, tapi pesona Abidzar ternyata masih bisa mempengaruhinya sedalam itu.

Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Keinginanannya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu kini hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview yang super buruk itu.

Hilang sudah harapan untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya. Meski masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak jadi kehilangan asa.

Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada wawancara kerja istrinya hari itu. 

Binar adalah wanita ekspresif yang jarang bisa menyembunyikan perasaannya. Warna hatinya dengan mudah bisa ditebak dari raut mukanya, terutama oleh suaminya. Dhimas langsung tahu saat melihat Binar pulang dengan muka tertekuk. Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi.

Langkah kaki Binar yang terlihat begitu berat menapaki rerumputan halaman rumah mereka, menggambarkan jelas pada Dhimas bagaimana hasil dari usahanya hari itu.

"Gimana wawancaranya?" Pertanyaan basa-basi yang meluncur dari mulut suaminya, membuat Binar teringat kembali untuk mengambil nafas panjang. Dengan gontai, wanita itu melangkah menuju sofa ruang tamu dan mendudukkan diri dengan lemas di sana.

"Gagal deh kayaknya, Mas."

"Oh ya? Perusahaan mana yang sebodoh itu menolak untuk mempekerjakan istriku?" Dhimas ikut duduk di samping Binar setelah sebelumnya mengambilkan sebotol air mineral dingin dari lemari es di dapur. Sejujurnya, dia senang dengan kabar menyedihkan itu, tapi Dhimas tak ingin melihat istrinya bertambah sedih. Maka, dia lakukan hal yang mungkin akan bisa membuat Binar ceria lagi.

"Sudah, jangan sedih dong. Tuh dilihatin Aaron." Dhimas menunjuk pada buah hati mereka yang sedang bermain di lantai.

"Nggak sedih juga sih sebenarnya. Cuma sayang aja, soalnya itu perusahaan keren loh, Mas. Kalau bisa diterima di situ, aku yakin masalah kita akan kelar.” Binar menghembuskan nafas panjang, lalu beranjak bangkit, meninggalkan suaminya yang tersenyum tipis melihatnya berjalan lemas menuju kamar. 

*****

Beberapa menit menikmati kebersamaan dengan anak dan suaminya di meja makan, tiba-tiba ponsel yang diletakkannya di samping piring berbunyi. Nomor tidak dikenal. Tapi terlihat deretan angka dari nomor lokal. Siapa? Ini kan sudah malam. Binar mengernyit. 

Ditelannya makanan yang masih lumayan banyak di mulut dengan susah payah sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu.

"Ya?" sapanya.

"Dengan Kak Binar Kanaya Shasmita?" Suara seksi dan formal seorang wanita dari seberang telepon.

"Betul, saya sendiri."

"Kami dari Three Vibes Holdings, ingin mengucapkan selamat karena anda telah diterima bekerja pada perusahaan kami, Kak. Dan silahkan datang ke kantor kami, langsung ke bagian HRD besok pagi untuk menandatangani perjanjian kontrak kerjanya."

"Apa? Saya? Maaf, tapi anda tidak sedang salah orang kan?"

Binar merasa sangat aneh bisa menerima telepon dari perusahaan elit itu di jam semalam itu dan mengabarkan bahwa dirinya diterima bekerja di sana.

'Ini pasti salah,' pikirnya.

"Nama yang saya sebutkan di awal tadi benar Anda kan, Kak?" tanya si wanita di seberang setelah terdiam beberapa saat.

"Iya, benar itu nama saya."

"Tanggal lahir 12 November?"

"Benar."

"Alamat di jalan perisai raya nomor 40?"

"Iya, itu alamat saya."

"Berarti kami tidak salah. Sekali lagi selamat, Kak Binar. Kami tunggu kehadiran Anda besok pagi," kata si wanita di telepon. Kali ini dengan nada lebih ramah dari saat awal menelpon.

Binar masih terpaku setelah sambungan telepon itu terputus. Sementara di kursinya, Dhimas terlihat mengerutkan dahi.

"A-ku diterima kerja, Mas," pekiknya, masih tidak percaya.

"Oh ya? Kok bisa? Katanya tadi wawancaranya buruk banget?" Senyum Dhimas mulai mengembang terpaksa di bibirnya yang masih mengunyah makanan. 

Selama ini, dia hampir tidak pernah salah menebak isi hati istrinya. Dia yakin Binar berkata jujur saat bercerita tentang wawancaranya yang kacau. Tapi demi melihat wajah Binar bersemangat lagi, entah kenapa hati Dhimas luluh meski dia benar-benar tak ingin istrinya bekerja. 

*****

Beberapa jam sebelumnya, di ruang kerja yang super mewah bernuansa abu gelap, Abidzar berdiri mematung memandang jauh ke luar dinding kaca besar yang mengelilingi ruangan itu. Pemandangan lalu lalang kota adalah yang paling dia sukai selama ini. Gedung-gedung pencakar langit di depannya membuatnya merasa seolah sedang berada di angkasa tanpa batas.

Beberapa detik berikutnya, dia melangkah menuju meja kerja, menekan sebuah tombol di saluran internal yang menghubungkan antar bagian di kantornya.

Dari seberang, didengarnya suara Stephen Chaniago yang seperti biasa, sedikit gugup.

"Bagaimana rekrutmen karyawan baru hari ini?"

"Masih berlangsung, Pak," jawab Steve singkat. Untung saja dia telah menyempatkan diri mampir ke ruangan interview sebelum masuk ke ruang kerjanya. Jika tidak, dia pasti akan salah menjawab pertanyaan dari sang bos dan sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi setelahnya.

"Aku mau seorang pelamar kerja bernama Binar untuk ditempatkan di posisi sekretaris menggantikan sekretaris lamaku." Kalimat itu terdengar sangat memerintah. Tapi tentu tidak terlalu mengagetkan Steve. Dia sudah sangat terbiasa dengan kelakuan atasannya.

"Binar? Binar siapa, Pak?" tanya pria bertubuh sedikit berisi itu. Dahinya langsung berkerut mencoba menebak-nebak nama lengkap Si Binar.

"Pergilah ke ruang interview. Cari saja dia di sana!”

"Ba-ik, Pak."

Stephen Chaniago pun segera menuju ke ruang interview, dimana masih sedang berlangsung sesi wawancara untuk beberapa calon karyawan baru di perusahaan itu. Namun tak berapa lama kemudian, Steve ke luar dengan tergesa dari ruangan untuk menghubungi ponsel pribadi bosnya.

"Maaf Pak, tapi nama yang Anda sebutkan tadi melamar untuk posisi administrasi, bukan sekretaris," jelasnya di telepon setelah Abidzar mengangkatnya.

"Steve!" Suara Abidzar terdengar bergetar. Stephen langsung menepuk dahi, merasa bodoh.

"I-yaa, Pak?"

"Apa aku harus mengajarimu lagi bagaimana caranya bekerja denganku?" Nada bicara Abidzar sangat dingin dan Steve tahu apa artinya itu.

"Baik, Pak. Ma-afkan saya. Saya mengerti. Akan segera saya urus."

"Good! Suruh siapkan kontrak kerja secepatnya. Aku mau dia sudah ada di sini besok pagi."

"Baik, Pak."

Tanpa banyak bertanya lagi, Steve pun kembali lagi ke ruang interview. Dia terlihat membisikkan sesuatu pada kepala HRD yang sedang berada di ruangan itu mengawasi jalannya wawancara.

Gemma, Si Kepala HRD terlihat menarik nafas berat. Mengamati foto di resume wanita bernama Binar Kanaya Shasmita yang baru selesai beberapa menit lalu. Hasil interviewnya sangat buruk. Masa’ iya dia mendapat pekerjaan di perusahaan tempatnya mengabdi hampir satu dekade itu? Parahnya lagi, jadi sekretaris pribadi bosnya? Apa bosnya itu lagi mabok? Tidak mungkin seleranya turun se-drastis itu. Jelas, penampilan Binar Kanaya kalah jauh jika dibandingkan dengan puluhan peserta wawancara lainnya hari itu. Apa yang terjadi dengan bos besarnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 10

    "Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 9

    Binar meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja. Dia kembali mundur setelah sebelumnya sempat mengitari lagi ruangan dengan dua bola mata, mencari-cari seseorang yang mungkin saja ada di sebuah sudut. Nihil. Tetap tidak ada seorang pun yang dilihatnya di ruangan itu. Tak ingin disebut tidak sopan, Binar memutuskan untuk membuka mulut."Pak … berkas Anda sudah saya taruh di …." Tapi sebelum berhasil menyelesaikan kalimat, mulutnya seketika tercekat saat dia berbalik badan dan mendapati seseorang sedang berdiri di belakangnya. Jarak mereka mungkin hanya satu atau dua meter saja. Tubuh Binar nyaris limbung saking kagetnya."Mencariku?" Pria itu bertanya dengan suara berat. Suara itu terdengar begitu familiar untuk Binar. Bersahabat tapi terdengar begitu jauh karena wajah pemilik suara itu sangat datar, tanpa sedikitpun senyum."Abi-dzar? Ka-mu Abidzar?"Binar sampai kehabisan kata-kata, menyaksikan sosok di depannya adalah orang yang sangat dikenalnya meski dengan penampilan yang su

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 8

    Langkah berat mengawali hari kedua Binar masuk kerja. Selain harus menenangkan Aaron yang mulai menyadari akan ketidak-hadiran sang ibu di hari-harinya, Binar juga masih terganggu dengan gosip yang sempat dibicarakan Mili tentangnya di kantor. Rasanya mustahil dirinya diisukan berhubungan gelap dengan bos perusahaan sebesar itu padahal bertemu saja belum pernah. Memangnya seperti apa rupa bos mereka itu? Binar sih yakin jika pimpinan perusahaan sebagus itu pastilah sudah bapak-bapak. Lagipula, tidak mungkin bos muda dan tampan setipe CEO CEO di film itu sampai bisa digosipkan dengannya. Memangnya secantik apa dia? Aneh banget. "Sudah nggak apa-apa, kamu berangkat saja. Nanti telat. Biar aku yang urus Aaron.” Ternyata Dhimas sangat membantu pagi itu. Mungkin dia sedang belajar terbiasa dengan kepergian istrinya. "Makasih ya, Mas?" Binar berkaca-kaca, haru dengan sikap suaminya yang begitu dewasa pagi itu.*****Binar seperti dikejar waktu saat akhirnya turun dari ojek online yang mem

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 7

    Binar masih sibuk dengan layar di depannya saat pesawat komunikasi internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi."Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili.Usai meletakkan alat komunikasi itu, Mili terlihat sibuk lagi dengan layar di depannya. Lalu terdengar juga dia menelpon seseorang dengan nada serius. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat gadis itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi.Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena kemudian alat komunikasi di meja Mili berdering lagi. Binar menyaksikan wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu."Ada apa?" tanyanya hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai."Ooh." Binar hanya mengangguk."Nggak usa

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 6

    "Maaf Bu, tapi sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya pada Gemma yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes."Kesalahan apa? Coba saya lihat."Wanita 40 tahun berpenampilan glamour dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang seharusnya ditandatangani itu, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah Binar."Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," ujarnya dingin."Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staff administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang seharusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar hati-hati.Gemma tersenyum paksa, menatap Binar dengan sedikit sinis, lalu memandang dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak Stephen Chaniago menyuruhnya untuk melakukan panggilan wanita bernama Binar dan menempatkannya di posisi sekretaris, Gemma sudah curiga bahwa ada yang tidak beres dengan bos besarnya itu. Meski Gemma ti

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 5

    Kacau, mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan Abidzar membuatnya kehilangan konsentrasi. Parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar.'Ini gila!' rutuknya dalam hati.Belasan tahun berlalu, tapi pesona Abidzar ternyata masih bisa mempengaruhinya sedalam itu.Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Keinginanannya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu kini hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview yang super buruk itu.Hilang sudah harapan untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya. Meski masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak jadi kehilangan asa.Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada wawancara kerja istrinya hari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status