Aku melipat kedua bibirku ke dalam sambil mendongak. Menahan ekspresi yang demi Tuhan aku sedang malu semalu-malunya.
Dan pria itu di sana. Dengan Lengan kirinya terjulur menawarkan sebotol air mineral yang ada rasa manis-manisnya.
Aku menelan ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya menerima uluran botol itu.
"Jadi kedengeran ya?" Kataku membuka percakapan yang tidak kuinginkan ini.
"Banget." Jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di depanku, dan duduk di sana. Mengambil selembar roti, kemudian menggigitnya. Tanpa selai, dan tanpa malu-malu menatapku.
"Well, I thought there's some kind of soundproof."
"Nope, there's not." Jawabnya sekali lagi, singkat dan mulai menjengkelkan. Tatapannya itu. Gelengannya juga.
"Well, sorry. And oh, thank you." Ucapku seraya berdiri dan menggoyangkan botol minuman itu, kemudian berbalik dan masuk ke kamarku. Memalukan. Mbak Anaaaaaa....
Tapi dia!
Hey!Kebetulan macam apa ini!Pria di kedai kopi kemarin, pria brewok dan berkacamata itu, kenapa dia di sini?Kenapa denger aku nangis semaleman?Kamu tahu Gugi? Kalau kamu baca ini, untuk sekali lagi, aku mengutukmu dalam hati. Dengan lancang.Ini semua karena kamu.Mempermalukan diri sendiri yang alasannya karena kamu itu menyebalkan. Aku nggak suka.Lagi ngapain kamu sekarang? Baru bangun dengan seger karena resmi jadi pria setia lagi?Cih.Tukang selingkuh.Lantas aku dikejutkan oleh suara ketukan ringan di pintu belakangku. Aku membukanya. Pintu itu.
"Nih." Tangannya sekali lagi terjulur menawarkan sesuatu.
"Hah? Buat aku? Maksudnya apa? Kamu ngapain?" Bisa kurasakan pertanyaanku membanjiri kepalanya.
"Tanya satu-satu."
"Eh Mas, aku nggak kenal kamu ya. Walaupun cakep, tapi kalau gini, tetep aja creepy!"
"Jadi menurut kamu aku cakep?" dan dia tersenyum. Senyum kecil yang YA TUHAN, MANIS!
".."
Belum sempat aku jawab, dia sudah membuka mulutnya, "Makasih. Nih. Kamu harus sarapan. Jangan karena malu sama aku kamu jadi nge-skip sarapan. Nggak baik." Dan dia berbalik santai menuju kamarnya.
Sedang aku?
Aku menghabiskan sekitar sekian detik terbengong-bengong memegang piring berisi dua lembar roti tawar tanpa selai, dan menatap pintu kamarnya. Bahkan cara dia jalan, walaupun membelakangiku, cakep, Tuhan.Belum sadar dari kaget yang karena ketukan cowok tampan, aku kembali dikagetkan lagi oleh bunyi HP yang dari nadanya sudah bisa kutebak itu telepon dari kantor.
Aku benar-benar lupa kalau kemarin hanya izin ketemu klien. Bukan ke Bandung, buat kesem-sem sama Mas-Mas lucu berkacamata, setelah baru saja diporak-porandakan dan dibuat galau sama Gugi semaleman.
Kuputuskan untuk mandi dan checkout dari Bnb Mbak Ana.
Aku kembali menelusuri Bandung yang penuh dengan keksotisannya.Mencari sarapan, dan memasuki semua mall sebisaku.Belanja semauku, seolah-olah gajiku berjuta-juta Dollar.Kurasa aku sudah menghabiskan sekian juta hanya untuk patah hati. Aku baru menyadari kalau patah hati itu menghabiskan banyak uang ternyata.Apa aku puas setelah belanja layaknya anak seorang Sultan?
Tentu saja tidak.Masih ada perasaan kalah yang tidak terpuaskan.Di kepalaku terus terulang-ulang pertanyaan seputar Gugi hingga hp ku berdering. Dari nomor baru yang nggak ku kenal.Apa aku mengangkatnya?
Tidak.Kubiarkan hp ku berbunyi hingga akhirnya dia itu low dengan sendirinya.Siapapun yang nelpon, pasti orang yang ngotot.Ku-charge hp yang sunyi tanpa pesan-pesan dari Gugi itu kemudian mencoba tidur.
Mungkin kalian tidak tahu, tapi mencoba tidur saat hatimu kecewa adalah hal yang mustahil.Tidak lama, hp itu kmbali berbunyi. Bunyi-bunyi pendek yang menandakan itu hanya sebuah pesan singkat.
Penasaran, aku membuka."Kenapa nggak di angkat? Aku cowok cakep yang creepy."
Heh?
Apa iya?Tahu dari mana dia nomor aku?Mbak Ana? Nggak deh sepertinya. Itu melanggar etik.Nggak ku balas.Lagian aku nggak tahu harus balas apa.Dia nggak bakal datang ke sini dan tahu-tahu ngetuk pintu apartkukan, hanya karena pesannya nggak dibales?But well, he did.Not exactly like that, but he did.
Keesokan harinya, jam makan siang, di foodcourt gedung kantorku."Hi." Sapanya berdiri di samping mejaku.
"KAMU?!" Ucapku kaget.
"Kamu nggak bales chat aku. Nggak angkat telepon aku. Ya aku samperin."
"Heeeeeeeeeh?"
Sontak, empat orang lain yang sedang makan dan semeja denganku, natap aku dan pria itu bergantian.
"Ayo." Ajaknya sambil lagi-lagi menjulurkan tangan kanannya.
Aku memalingkan wajahku pada teman-teman kantorku yang sangat penyayang itu, yang sedang sibuk menonton bukan menolong.
"Kalian kok diem aja aku mau diculik?" Tanyaku melotot.
"Aku nggak niat jahat. Cuma mau ngajak kamu makan siang. Ayo."
"Aku lagi makan. Nggak lihat?" Ucapku tidak peduli, manjutkan suapan mie goreng jawa yang sudah kubumbui degan pas itu.
"Kamu nggak sopan deh Nat. Udah sana. Nggak baik nolak tawaran cowok cakep. Udah Mas, bawa aja. Jomblo kok.” Tari menarik piring yang setengah kudekap itu.
"Tuh temen aku bilang kamu cakep juga. Kamu nggak mau creepy-in dia?" Lagi-lagi aku bertanya sinis pada cowok yang tangan kanannya masih terjulur.
Dia menggeleng, "cuma pengakuan cakep dari kamu yang bisa buat aku seneng. Ayo, keburu jam makan siang abis.”
"Udah Nat, berdiri gih. Nolak rejeki itu nggak baik." Kali ini Mbak Nana yang mendorongku dengan kata-kata juga telapak tangannya.
Aku nggak tahu ya pria ini punya magis apa. Tapi melihat respon temen-temanku ketika menatapnya, kurasa aura tampannya memang keterlaluan. Nggak salah kalau kemarin aku kesem-sem.
Dia menggoyang-goyangkan tangannya sekali lagi. Memaksaku.
"Aku bisa jalan sendiri. Nggak perlu digandeng." Ucapku ngalah. Kulihat dia tersenyum dan mengangguk memberi salam pada teman-temanku yang kuyakin sudah saling nginjek kaki di bawah meja.
Sesampainya di mobil, aku duduk dengan canggung.
"Mau makan dimana kita? Kamu nggak mau balas dendam gitu pilih tempat makan yang mahal karena aku udah muncul di kantor kamu dadakan?"
"Aku bukan pendendam ya. Buruan ah! Aku laper nih!"
"Bukan pendendam yang nggak sabaran
ya. Yuk. Bismillah." Ucapnya sebelum mulai menginjak pedal gasnya.Aku tidak bertanya atau membuka pembicaraan. Menurutku ini tugasnya sebagai orang yang mengajakku makan siang.
Tapi hal itu kusesali setelah beberapa menit kemudian ketika kami berdua sampai di parkiran kantornya.
"Kita makan di foodcourt kantor aku aja ya. Aku ada rapat setelah ini, jadi nggak bisa makan di tempat lain. Takut telat."
Wah aku nggak habis pikir apa yang ada di kepalanya.
"Kalau udah tahu ada rapat, ngapain ngajak lunch?"
"Karena pengen."
Jawaban macam apa itu?
"Mau makan nggak?" Tanyanya sekali lagi.
"Ya mau lah!" Jawabku ketus lalu berjalan mendahuluinya masuk ke dalam gedung kantor yang menurutku lumayan elit itu.
Sesampainya di foodcourt yang terletak di lantai delapan, aku langsung memesan mie goreng jawa, dan dia steak. Mewah juga seleranya.
"Sudah kuajak makan di foodcourt kantoran paling high class se-Jakarta, kamu tetep pesan menu yang sama seperti pesananmu sebelumnya."
"Ini bukan masalah high class. Tapi penilaian. Jadi kalau ternyata mie goreng jawa kantormu rasanya nggak enak, aku nggak bakal mau kamu ajak makan di sini lagi."
"Pasti lebih enak," klaimnya penuh percaya diri. Aku tertawa.
"Mau taruhan?" Tantangku yang kutahu akan kusesali.
"Sebutkan!" Tantangnya balik. Oh oke.
"Kalau ternyata nggak enak, berarti kamu kalah. Tapi kalau enak, aku yang kalah." Aku menuturkan cara mainnya.
"Boleh aku yang milih hukuman bagi yang kalah?" Dia menawarkan. Kusetujui.
"Kalau aku kalah, kamu bisa pilih tempat makan apapun yang kamu mau. Aku yang teraktir. Selamanya."
"Heh?" Aku terkejut. Bukan karena dia mau teraktir. Tapi dia mau neraktir selamanya. Sudah kubayangkan ada berapa banyak budget yang bisa kutabung.
"But, if you lose, next time when we have a lunch together, I will pick you up as my Girlfriend."
"Wait, what?"
"If the mie
jawa turn out tastier, tomorrow when I ask you to go have some lunch together, I will pick you up as my Girlfriend." Terangnya sekali lagi, memastikan aku memahami maksudnya."No you will not."
"Try me." Ucapnya menutup pembicaraan dan mulai menyuapi dirinya sepotong steak yang... WAIT WHAT THE HECK?!!!!! WHO IS THIS GUY?!!!!
Aku baru saja menyuapkan sendok terakhir makan siangku hari ini ketika seorang wanita berteriak di pintu masuk, memanggil nama seseorang. Yang jika kulihat dari ekspresi pria yang tengah duduk di depanku, kemungkinan besar, wanita itu memanggilnya. "BEN! YOU KIDDING ME? APA-APAAN INI? KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU, WA AKU NGGAK KAMU BALAS SATUPUN, TERUS TAHU-TAHU SEKARANG INI ALASANNYA? IYA? MAKAN SIANG SAMA CEWEK LAIN! SIAPA NI CEWEK? PEREK KAMU?" Mie goreng jawa yang rasanya ternyata memang lebih enak dari mie goreng jawa di kantorku itu dengan susah payah kutelan ketika mendapati diriku jadi pusat amukan seseorang, dan pusat perhatian seisi ruangan. Aku menatapnya. Pria itu. "Kamu yang namanya Ben?" Tanyaku sambil meneguk es jeruk dengan setenang mungkin. Mengkonfirmasi saat baru sadar kami berdua bahkan belum berkenalan satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mau-mau aja diajak makan oleh orang yang namanya aja belum aku tahu? Dan ya, dia mengangguk. Ben mengangguk. "Is she
Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya. "Ben?" "Hm?" “You ok?” Ben mengangguk meyakinkan. “Ben..” Panggilku sekali lagi. “Hm?” "Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini. "Tadikan udah." "Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah? "Es jeruk." Keterlaluan. "Itu minuman Ben." Ben akhirnya tertawa.Ah leganya. "Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju. Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali. Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.Ada nama kantor Ben di situ. Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk. "Ini ruangan kamu?" "Bukan. Jabata
Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk.Ben."Hm?" Sapaku tidak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak.Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah
Sudah hampir seminggu sejak perihal kalimat Ben waktu itu. Yang dengan polosnya menyebutku sayang. Ingat? Good. It’s been a whole week. Dan kalian tahu apa? That’s it.Selebihnya, tidak lagi.Dia tidak menghubungiku.Tidak ke kantorku.Tidak melakukan apapun untuk membuktikan kalimatnya sendiri. Apa aku mencari tahu alasan Ben atas tingkahnya yang di luar dugaan ini?Tentu saja tidak.Sesuai permintaannya, aku sempat meneleponnya seusai meetingku kelar hari itu.Kami ngobrol tidak lama. Tidak sampai lima menit.Selebihnya tidak terjalin hubungan apa-apa lagi. Kalian bingung? Sama. Aku juga. Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon tidak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang. "Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku. Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.Mungkin dia baru dari kondangan.Bisa
Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, ba
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p
Aku mendapati diriku berada di salah satu Night Club di Jakarta Selatan. Terjebak di keramaian yang nggak asing, tapi jelas dari gerak-gerikku, aku nggak familiar dengan keramaian seperti ini. Musik yang dar dar dar itu membuat jantungku seperti sedang bermasalah, membuatku nyaris nggak tahan, dan ingin keluar secepatnya. “VI GUE BALIK DULUAN YA! BISA BUDEG GUE DI SINI!” Teriakku ketika sukses menarik kuping Vipa mendekat. Terlihat yang punya kuping menatapku kesal. “OH NGGAK BISA TA! INI ULTAH GUE. PALING NGGAK LU HARUS TEMENIN GUE AMPE ACARA INI KELAR! JUS JERUK LU GUE REFIL DEH” Aku memelototi cewek disampingku dengan tatapan nggak percaya. Bisa-bisanya dia memaksaku duduk berjam-jam di tempat seperti ini. “NGGAK USAH! BISA OVERDOSE VITAMIN C GUE GEGARA LU!” Kesalku. Sedang Vipa hanya tertawa mengecup pipiku kemudian lanjut larut dalam lagu EDM yang jelas kubenci itu. Dia bahkan mengiyakan saat beberapa tamu menariknya ke dance floor. I swear Vip, gue harap Umi lu di Cimahi