Share

[ 4 ]

Author: brokolying
last update Last Updated: 2024-02-21 00:21:58

Aku melipat kedua bibirku ke dalam sambil mendongak. Menahan ekspresi yang demi Tuhan aku sedang malu semalu-malunya.

Dan pria itu di sana. Dengan Lengan kirinya terjulur menawarkan sebotol air mineral yang ada rasa manis-manisnya.

Aku menelan ludah dengan susah payah, sebelum akhirnya menerima uluran botol itu.

"Jadi kedengeran ya?" Kataku membuka percakapan yang tidak kuinginkan ini.

"Banget." Jawabnya singkat sambil menarik kursi makan di depanku, dan duduk di sana. Mengambil selembar roti, kemudian menggigitnya. Tanpa selai, dan tanpa malu-malu menatapku.

"Well, I thought there's some kind of soundproof."

"Nopethere's not." Jawabnya sekali lagi, singkat dan mulai menjengkelkan. Tatapannya itu. Gelengannya juga.

"WellsorryAnd ohthank you." Ucapku seraya berdiri dan menggoyangkan botol minuman itu, kemudian berbalik dan masuk ke kamarku. Memalukan. Mbak Anaaaaaa....

Tapi dia!

Hey!

Kebetulan macam apa ini!

Pria di kedai kopi kemarin, pria brewok dan berkacamata itu, kenapa dia di sini?

Kenapa denger aku nangis semaleman?

Kamu tahu Gugi? Kalau kamu baca ini, untuk sekali lagi, aku mengutukmu dalam hati. Dengan lancang.

Ini semua karena kamu.

Mempermalukan diri sendiri yang alasannya karena kamu itu menyebalkan. Aku nggak suka.

Lagi ngapain kamu sekarang? Baru bangun dengan seger karena resmi jadi pria setia lagi?

Cih.

Tukang selingkuh.

Lantas aku dikejutkan oleh suara ketukan ringan di pintu belakangku. Aku membukanya. Pintu itu.

"Nih." Tangannya sekali lagi terjulur menawarkan sesuatu.

"Hah? Buat aku? Maksudnya apa? Kamu ngapain?" Bisa kurasakan pertanyaanku membanjiri kepalanya.

"Tanya satu-satu."

"Eh Mas, aku nggak kenal kamu ya. Walaupun cakep, tapi kalau gini, tetep aja creepy!"

"Jadi menurut kamu aku cakep?" dan dia tersenyum. Senyum kecil yang YA TUHAN, MANIS!

".."

Belum sempat aku jawab, dia sudah membuka mulutnya, "Makasih. Nih. Kamu harus sarapan. Jangan karena malu sama aku kamu jadi nge-skip sarapan. Nggak baik." Dan dia berbalik santai menuju kamarnya.

Sedang aku?

Aku menghabiskan sekitar sekian detik terbengong-bengong memegang piring berisi dua lembar roti tawar tanpa selai, dan menatap pintu kamarnya. Bahkan cara dia jalan, walaupun membelakangiku, cakep, Tuhan.

Belum sadar dari kaget yang karena ketukan cowok tampan, aku kembali dikagetkan lagi oleh bunyi HP yang dari nadanya sudah bisa kutebak itu telepon dari kantor.

Aku benar-benar lupa kalau kemarin hanya izin ketemu klien. Bukan ke Bandung, buat kesem-sem sama Mas-Mas lucu berkacamata, setelah baru saja diporak-porandakan dan dibuat galau sama Gugi semaleman.

Kuputuskan untuk mandi dan checkout dari Bnb Mbak Ana.

Aku kembali menelusuri Bandung yang penuh dengan keksotisannya.

Mencari sarapan, dan memasuki semua mall sebisaku.

Belanja semauku, seolah-olah gajiku berjuta-juta Dollar.

Kurasa aku sudah menghabiskan sekian juta hanya untuk patah hati. Aku baru menyadari kalau patah hati itu menghabiskan banyak uang ternyata.

Apa aku puas setelah belanja layaknya anak seorang Sultan?

Tentu saja tidak.

Masih ada perasaan kalah yang tidak terpuaskan.

Di kepalaku terus terulang-ulang pertanyaan seputar Gugi hingga hp ku berdering. Dari nomor baru yang nggak ku kenal.

Apa aku mengangkatnya?

Tidak.

Kubiarkan hp ku berbunyi hingga akhirnya dia itu low dengan sendirinya.

Siapapun yang nelpon, pasti orang yang ngotot.

Ku-charge hp yang sunyi tanpa pesan-pesan dari Gugi itu kemudian mencoba tidur.

Mungkin kalian tidak tahu, tapi mencoba tidur saat hatimu kecewa adalah hal yang mustahil.

Tidak lama, hp itu kmbali berbunyi. Bunyi-bunyi pendek yang menandakan itu hanya sebuah pesan singkat.

Penasaran, aku membuka.

"Kenapa nggak di angkat? Aku cowok cakep yang creepy."

Heh?

Apa iya?

Tahu dari mana dia nomor aku?

Mbak Ana? Nggak deh sepertinya. Itu melanggar etik.

Nggak ku balas.

Lagian aku nggak tahu harus balas apa.

Dia nggak bakal datang ke sini dan tahu-tahu ngetuk pintu apartkukan, hanya karena pesannya nggak dibales?

But well, he did.

Not exactly like that, but he did.

Keesokan harinya, jam makan siang, di foodcourt gedung kantorku.

"Hi." Sapanya berdiri di samping mejaku.

"KAMU?!" Ucapku kaget.

"Kamu nggak bales chat aku. Nggak angkat telepon aku. Ya aku samperin."

"Heeeeeeeeeh?"

Sontak, empat orang lain yang sedang makan dan semeja denganku, natap aku dan pria itu bergantian.

"Ayo." Ajaknya sambil lagi-lagi menjulurkan tangan kanannya.

Aku memalingkan wajahku pada teman-teman kantorku yang sangat penyayang itu, yang sedang sibuk menonton bukan menolong.

"Kalian kok diem aja aku mau diculik?" Tanyaku melotot.

"Aku nggak niat jahat. Cuma mau ngajak kamu makan siang. Ayo."

"Aku lagi makan. Nggak lihat?" Ucapku tidak peduli, manjutkan suapan mie goreng jawa yang sudah kubumbui degan pas itu.

"Kamu nggak sopan deh Nat. Udah sana. Nggak baik nolak tawaran cowok cakep. Udah Mas, bawa aja. Jomblo kok.” Tari menarik piring yang setengah kudekap itu.

"Tuh temen aku bilang kamu cakep juga. Kamu nggak mau creepy-in dia?" Lagi-lagi aku bertanya sinis pada cowok yang tangan kanannya masih terjulur.

Dia menggeleng, "cuma pengakuan cakep dari kamu yang bisa buat aku seneng. Ayo, keburu jam makan siang abis.”

"Udah Nat, berdiri gih. Nolak rejeki itu nggak baik." Kali ini Mbak Nana yang mendorongku dengan kata-kata juga telapak tangannya.

Aku nggak tahu ya pria ini punya magis apa. Tapi melihat respon temen-temanku ketika menatapnya, kurasa aura tampannya memang keterlaluan. Nggak salah kalau kemarin aku kesem-sem.

Dia menggoyang-goyangkan tangannya sekali lagi. Memaksaku.

"Aku bisa jalan sendiri. Nggak perlu digandeng." Ucapku ngalah. Kulihat dia tersenyum dan mengangguk memberi salam pada teman-temanku yang kuyakin sudah saling nginjek kaki di bawah meja.

Sesampainya di mobil, aku duduk dengan canggung.

"Mau makan dimana kita? Kamu nggak mau balas dendam gitu pilih tempat makan yang mahal karena aku udah muncul di kantor kamu dadakan?"

"Aku bukan pendendam ya. Buruan ah! Aku laper nih!"

"Bukan pendendam yang nggak sabaran

ya. Yuk. Bismillah." Ucapnya sebelum mulai menginjak pedal gasnya.

Aku tidak bertanya atau membuka pembicaraan. Menurutku ini tugasnya sebagai orang yang mengajakku makan siang.

Tapi hal itu kusesali setelah beberapa menit kemudian ketika kami berdua sampai di parkiran kantornya.

"Kita makan di foodcourt kantor aku aja ya. Aku ada rapat setelah ini, jadi nggak bisa makan di tempat lain. Takut telat."

Wah aku nggak habis pikir apa yang ada di kepalanya.

"Kalau udah tahu ada rapat, ngapain ngajak lunch?"

"Karena pengen."

Jawaban macam apa itu?

"Mau makan nggak?" Tanyanya sekali lagi.

"Ya mau lah!" Jawabku ketus lalu berjalan mendahuluinya masuk ke dalam gedung kantor yang menurutku lumayan elit itu.

Sesampainya di foodcourt yang terletak di lantai delapan, aku langsung memesan mie goreng jawa, dan dia steak. Mewah juga seleranya.

"Sudah kuajak makan di foodcourt kantoran paling high class se-Jakarta, kamu tetep pesan menu yang sama seperti pesananmu sebelumnya."

"Ini bukan masalah high class. Tapi penilaian. Jadi kalau ternyata mie goreng jawa kantormu rasanya nggak enak, aku nggak bakal mau kamu ajak makan di sini lagi."

"Pasti lebih enak," klaimnya penuh percaya diri. Aku tertawa.

"Mau taruhan?" Tantangku yang kutahu akan kusesali.

"Sebutkan!" Tantangnya balik. Oh oke.

"Kalau ternyata nggak enak, berarti kamu kalah. Tapi kalau enak, aku yang kalah." Aku menuturkan cara mainnya.

"Boleh aku yang milih hukuman bagi yang kalah?" Dia menawarkan. Kusetujui.

"Kalau aku kalah, kamu bisa pilih tempat makan apapun yang kamu mau. Aku yang teraktir. Selamanya." 

"Heh?" Aku terkejut. Bukan karena dia mau teraktir. Tapi dia mau neraktir selamanya. Sudah kubayangkan ada berapa banyak budget yang bisa kutabung.

"But, if you lose, next time when we have a lunch together, I will pick you up as my Girlfriend."

"Wait, what?"

"If the mie

jawa turn out tastier, tomorrow when I ask you to go have some lunch together, I will pick you up as my Girlfriend." Terangnya sekali lagi, memastikan aku memahami maksudnya.

"No you will not."

"Try me." Ucapnya menutup pembicaraan dan mulai menyuapi dirinya sepotong steak yang... WAIT WHAT THE HECK?!!!!! WHO IS THIS GUY?!!!!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OUCH IT'S YOU   [ 45 ]

    NATA’S POVMataku mondar mandir ngecek barang-barang yang ada di list dan yang ada di hadapanku. Kok banyak banget? Masa iya dua koper gede sama satu koper cabin nggak cukup? Perasaan bajuku nggak sebanyak itu deh. Perlengkapan bayi yang kubawa juga nggak banyak. Hanya beberapa yang sudah kupastikan akan susah kudapat di NZ. Tapi kok nggak masuk semua?Kamu tahu apa? packing bukan keahlianku. Aku nggak bakat soal beginian.Nggak bisa. Oleh karena itu, aku butuh bantuan.Kugapai Hpku, mencari satu nama di sana, dan langsung men-dial-nya tanpa ba bi bu.“Halo?” See? Orangnya langsung ngejawab. Nggak sia-sia kan dia langsung terlintas di benakku.“Sibuk nggak lu?”“Banget,”“Vip, gue serius.”“Nat, apapun itu, agak sorean bisa nggak? Ini minggu, coy. Gue menolak bangun dan nyamperin lu sepagi ini,”“Bantuin gue ngelipet baju doang Vip. Ini koper gue kepenuhan, tapi barang gue masih banyak yang belom masuk,”“Lu umur berapa sih Nat? Masa packing doang nyusahin orang?”“Emang lu orang? Kema

  • OUCH IT'S YOU   [ 44 ]

    GUGI’S POVJika ada satu hal saja yang ingin kuhindari, itu adalah senyuman Jenata yang bukan milikku. Bagaimana mungkin dia bisa begitu lepasnya tertawa di atas penderitaanku? Sebutlah aku egois karena aku hanya ingin dia bahagia jika menjadi pasanganku. Tapi apa yang salah dari itu?“Pacar Gugi cantik ya Bang? Mama suka deh,” ucap Mama yang nggak menegerti apa-apa itu. Dan kalian tahu apa? Untuk pertanyaan itu saja aku harus setuju.“Semoga Ben kali ini langgeng deh sama Nata,” sambungnya sekali lagi. Berhasil memancing emosiku.“Bisa nggak Mama stop bahas Ben Ben Ben Ben terus?” tanpa sadar, kecepatan mobilku bertambah. Nafasku memburu. Seperti ada sesuatu yang ingin meledak keluar dari balik rusukku. Kakiku reflek menginjak pedal gas itu semakin dalam.“ASTAGFIRULLAH BANG KOK LAJU BANGET BANG? PELAN-PELAN NAK. HEY! GUGI KAMU KENAPA NAK?”“I L0VE HER FIRST, MA! GUGI YANG PERTAMA SAYANG SAMA NATA! GUGI YANG PERTAMA CINTA! KENAPA DIA HARUS SAMA BEN BUKAN GUGI?!” sekali lagi pedal gas

  • OUCH IT'S YOU   [ 43 ]

    Usai melepaskan Ben, kini aku harus melepaskan satu lagi hal yang cukup kucintai demi kewarasanku.“Apa nih Nat?” tanya Pak Bari menerima selembaran yang baru saja kuserahkan.“Saya resign pak,”“Kurang gaji kamu?”“Iya Pak, sama emang saya mau pindah,” jawabku jujur yang entah kenapa nggak bisa dia percaya sedikitpun. Nggak tahu bagian mana yang dia pikir bohong dari kalimatku tadi. Semuanya jujur.“Jangan ngelucu deh Nat. Saya lagi mumet,”“Serius Pak,”Pak Bari menatapku dengan dahinya yang terkerut tiba-tiba. Bekerja di perusahaannya bertahun-tahun memang membuat hubungan kami cukup dekat. Tapi dia selalu tahu kapan aku bercanda atau serius. Kali ini salah satunya.“Kamu kenapa? Burnout? Ajuin cuti. Bukan surat resign gini,”“I’ll be moving abroad this couple days, Pak,”“Kemana?”“New Zealand,”“For what?”“A new life with my baby?”Pak Bari lagi-lagi terdiam. Ekspresi kagetnya terpancar banget. Aku bisa saja nggak memberitahunya tentang ini. Tapi untuk apa? Dunia harus tahu aku

  • OUCH IT'S YOU   [ 42 ]

    Kepalaku penuh. Dari banyaknya wanita di dunia ini, kenapa harus aku yang berada di antara Gugi dan istrinya? Pertanyaan itu terus muncul setelah Mas Rumi dan Vipa balik.Mendengar Gugi hampir kabur dari venue akad nikahnya pagi tadi setelah tahu Vipa membawaku ke IGD, terlalu membawa banyak dan beragam perasaan ke hatiku. Dan semuanya nggak baik. Syukurnya Mas Rumi dan beberapa orang berhasil nahan dia.Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang ngebuat aku ngerasa perlu bertindak. Aku rasa, aku, kamu, kita berdua tahu betapa nekatnya Gugi. Aku nggak tahu perihal besok, tapi aku tahu betul bagaimana perasaanku. Aku goyah. Masih goyah.Oleh karena itu, hari ini aku udah janjian brunch dengan Ben. Di salah satu bakery baru dekat kantorku. Dia dateng persis saat pesananku, Puits d'Amour, baru aja dianterin. Sedangkan untuk dia, udah aku pesenin cheesecake kesukaannya. Tourteau Fromager.“Bonjour, Madame,” sapanya hangat mengelus kepalaku. Penuh senyuman.“Bonjour, Monsieur,” balasku.“Gimana t

  • OUCH IT'S YOU   [ 41 ]

    “MAS RUMI!” pekikku lepas kontrol ketika mendapati sosok yang datang justru bukan yang kukhawatirkan.Nggak langsung menjawab atau menyapaku, yang dia lakukan justru maju dan memeriksa kepala hingga jari kakiku. “Kamu kenapa Jenata? Hah?”“Apanya?”“Ada yang sakit?” tanyanya lagi.Aku hanya menggeleng. Bingung. Aku mempersilahkannya masuk dan bergabung denganku juga Vipa di ruang TV.Seperti dua Babu yang lagi kena semprot Majikannya, aku dan Vipa duduk di sofa dan nunduk diem seribu bahasa. Entah yang kami takutin apa. Sementara Mas Rumi berdiri tegak di depan kami, melipat kedua lengannya di dada. Menatap seperti elang. Tajem seperti cutter Gramedia.“Vipa? Nata kenapa?” Mas Rumi pinter. Dia menyerang Vipa terlebih dahulu.“No komen dulu ya Mas. Tanya langsung ke anaknya aja. Punten banget ini mah,” elak Vipa yang nggak membantu posisiku sama sekali.“Nat?”“Nggak ada apa-apa Mas,”“Mau sampai kapan kalian bohongin Mas? Mau sampe malam? Oke, Mas bisa banget nih berdiri kaya gini sam

  • OUCH IT'S YOU   [ 40 ]

    [ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad

  • OUCH IT'S YOU   [ 39 ]

    Kalian pernah nggak sih suka tiba-tiba sibuk sama pikiran sendiri? Ngobrol sama diri sendiri? Aku sering. Seperti sekarang, saat pikiranku lagi penuh-penuhnya, lagi berisik-berisiknya.Udah banyak loh penelitian soal itu. Gimana ngobrol dengan diri sendiri, atau self talk itu bisa begitu berperan penting dengan kesehatan mental kita. Tentu saja tergantung dari yang kita obrolin itu apa. Positif kah, negatif kah.Dari banyaknya hal menyakitkan yang beterbangan di isi kepalaku belakangan, selama hamil, aku nyoba buat memilah-milah mana dan siapa yang perlu dan nggak perlu dipikirin.Dan ternyata sulit.Gugi selalu berhasil ngedobrak semua tembok pertahanan yang kubuat. Meski kini tembok itu berupa manusia sebaik Ben.Setelah kubalas chatnya malem itu dan ngeblok nomornya for good, kucoba ngejalanin hari-hariku sebagai wanita hamil tanpa suami dengan sangat percaya diri.Tapi entah kenapa, ada aja titik dimana aku tiba-tiba ngebutuhin Gugi brengsek itu. Dalam wujud apapun. Kehadirannya k

  • OUCH IT'S YOU   [ 38 ]

    “Oh,” ucapku ngembaliin HP milik Mas Rumi sambil berbalik, ngatur nafas, berjalan kembali ke kursiku. “Kirain apaan.”“Kamu tahu?”“Tahu,” ucapku bersandar pada kursi kerjaku yang empuk. Menjawab setenang mungkin.Mas Rumi menatapku. Tanpa berkedip. Aku tahu dia kahawatir. Lebih dari itu, entah apa lagi yang dia pikirin.“Oh Im good, kok Mas. Mamanya bahkan ngundang aku buat hadir,” jelasku sekali lagi. Agar temenku itu makin percaya bahwa aku sungguh baik-baik aja dengan kabar pernikahan Gugi. Cepat atau lambat, toh itu bakal terjadi. Kita semua tahu itu. Kan?“Kamu ketemu Mamanya?”“Uhum,”“Kapan?”“Di bandara, pas kita baru balik dari Singapura kemarin,”“Waktu sama Ben?” kuangguki. “Jadi kamu mau hadirin acara itu?” tanya Mas Rumi sekali lagi.Yang ini hanya kurespon dengan mengangkat kedua bahuku. Karena aku beneran masih belum tahu harus hadir apa nggak. Kuat hadir atau nggak.“Makan siang yuk Mas,” ajakku.Sebenarnya, adalah ketololan kalau aku benar-benar menghadiri pernikahan

  • OUCH IT'S YOU   [ 37 ]

    Ben sekali lagi menghabiskan seminggunya menemaniku di Yogyakarta. Nggak hanya Mamah Papah, dia juga ikut serta mendampingiku konsul kembali ke Dokter Lendro sebelum kami balik ke Jakarta berdua.Nggak mau kalah denganku, dia bahkan lebih fokus dan memperhatikan penjelasan Dokter kandungan itu dengan teliti. Mencatat semua suplemen dan segala hal yang baik untuk menunjang kesehatanku janinku dan aku. Kami juga berkesempatan ngobrol dengan salah satu bidan senior yang direkomendasiin Dokter Lendro untuk bertanya-tanya hal-hal yang mungkin saja lebih enak jika ku obralkan ke sesama perempuan.Selain itu, Mamah Papah juga ngajak ngajak kami ngelakuin kegiatan-kegiatan ringan yang bisa menghiburku juga Ben. Entah kenapa mereka berpikir Ben juga butuh dihibur. Tapi setelah kupikir-pikir, emang benar. Disini, sekarang, nggak hanya aku yang punya beban. Mereka bertiga juga memiliki beban pikiran yang nggak kutahu serumit apa hanya karena masalah-masalahku ini.Perasaan bersalah yang kerap mu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status