Share

[ 5 ]

Aku baru saja menyuapkan sendok terakhir makan siangku hari ini ketika seorang wanita berteriak di pintu masuk, memanggil nama seseorang. Yang jika kulihat dari ekspresi pria yang tengah duduk di depanku, kemungkinan besar, wanita itu memanggilnya.

"BEN! YOU KIDDING ME? APA-APAAN INI? KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU, WA AKU NGGAK KAMU BALAS SATUPUN, TERUS TAHU-TAHU SEKARANG INI ALASANNYA? IYA? MAKAN SIANG SAMA CEWEK LAIN! SIAPA NI CEWEK? PEREK KAMU?"

Mie goreng jawa yang rasanya ternyata memang lebih enak dari mie goreng jawa di kantorku itu dengan susah payah kutelan ketika mendapati diriku jadi pusat amukan seseorang, dan pusat perhatian seisi ruangan.

Aku menatapnya. Pria itu.

"Kamu yang namanya Ben?" Tanyaku sambil meneguk es jeruk dengan setenang mungkin.

Mengkonfirmasi saat baru sadar kami berdua bahkan belum berkenalan satu sama lain. Bagaimana mungkin aku mau-mau aja diajak makan oleh orang yang namanya aja belum aku tahu?

Dan ya, dia mengangguk. Ben mengangguk.

"Is she your girlfriend?" Tanyaku pada Ben sekali lagi tanpa memperdulikan wanita yang kini sudah sampai di meja kami.

"Ex." Kini Ben juga ikut-ikutan tidak memperdulikan wanita itu. Kami berdua berbicara sambil berbisik.

"Ouch." Ucapku yang disambut dengan cengiran kecil Ben.

"HEH AKU LAGI NGOMONG SAMA KAMU! DIA SIAPA? KENAPA KAMU NGGAK NGANGKAT TELEPON AKU DARI SEMALEM HAH?!" Wanita ini kembali berteriak-teriak. Seolah butuh validasi semua orang bahwa dia benar-benar lagi naik pitam.

Karena merasa tidak memiliki tanggung jawab atas kejadian dan kesalahpahaman ini, aku melanjutkan meminum es jerukku yang kali ini harus ku akui tidak seenak yang dijual di foodcourt kantorku.

Aku bisa mendengar bisik-bisik teman kantor Ben yang juga berada di ruangan itu sekarang. Pemandangan ini pasti akan jadi bahan gibahan orang-orang dengan senang hati. Atau mungkin saja beberapa dari mereka bahkan tengah merekam kami diam-diam.

Sumpah ya Ben, kalau sampai besok-besok muka aku viral perkara ini, terus aku dicap pelakor sama orang-orang, aku seret kalian berdua ke penjara. Titik.

"Tania, tanya satu-satu." Kini dengan tidak kalah tenangnya, Ben menatap wanita bernama Tania itu. Berharap mantannya tidak lagi berteriak heboh.

"Kenapa kamu nggak ngangkat telpon aku?" dan ternyata berhasil. Tania-Tania ini akhirnya menurunkan suaranya.

"Karena kita udah putus?"

"Kata siapa?"

"Kata aku barusan." Ucap Ben yang membuatku sontak tertawa.

Dan secepat kilat tatapan mereka berdua dan seisi karyawan di situ lagi-lagi tertuju kepadaku. Bisa kurasakan. Ya Tuhan.

"Ups, sorry. Em, sebelum kamu salah paham, aku barusan ketawa bukan karena senang kamu diputusin Ben. Bukan. Tapi karena kalimat Ben yang ketebak banget dan brengsek banget. -Kata aku barusan-. Oh boy. Haha."

Aku menjelaskan panjang lebar. Dan wanita ini, percayalah, she's just one swap away to slap me.

"NIH CEWEK SIAPA SIH BEN?!"

"Jenata Soebandono," jawab Ben lengkap. Aku terkejut.

"Wow wow wow wow! Stop. Kamu tahu nama panjang aku dari mana?" Kini giliran aku yang bertanya pada Ben.

"I'll explain it to you later." Tawarnya yang langsung kutolak mentah-mentah.

"No, Now!" Aku menuntut.

"Ya Ben. Sekarang. Jelasin sekarang juga!" Dan wanita itu tidak kalah penasarannya. Hey, it's not even her business. Duh.

Ben terlihat pasrah.

"I did some survey?" Dia mengaku. Dengan suara yang sedikit ragu.

"What survey?" Tanyaku masih belum puas.

"Ya maksud aku kan aku perlu tahu kamu siapa. So I did some survey." Jelasnya yang lagi-lagi belum memuaskan rasa penasaranku.

"Wh.. why? I mean why did you need to find out who am I?" Kini aku bahkan tidak mempedulikan gadis yang masih emosi itu, ataupun karyawan lain.

"Karena aku mau dan aku harus tau."

"Ya kenapa?" Ergh. Kini Tania pun mendahului pertanyaanku.

"Yeah Ben, why?"

"Because I'm in love with her at a first sight, Tania!" Jawab Ben ke Tania. Jawaban yang membuatku, dan semua orang kecuali Ben melotot.

"Ooooh no you are not!" Potongku. Ben lalu menatapku.

"Oooooh yes I am." Ben ngotot. Salah dia jika mau debat denganku perihal perasaan.

"No you are not." Sambungku.

"Yes I am." Ucapnya sekali lagi membuatku terdiam. Terdiam mendapati matanya tengah menelanjangi mataku.

"Yes I am, Nat. Yes I am fallin love with you at the first sight. Sejak pertama kali aku ngeliat kamu di Bandung. Di coffee shop itu. Ngeliat kamu maksain diri minum cappuccino tiga shot dan ngeliat ekspresi kamu kepahitan, aku suka. Aku ngeliat kamu ngobrol sama Leo, cara ngomong kamu, bibir kamu yang dengan fasihnya cerita, mata kamu yang dengan cerianya merhatiin lawan bicara kamu, semuanya, aku suka."

Aku speechless.

"Kapan Ben? Kapan kamu jatuh cinta sama cewek ini?"

Tania yang masih tidak memiliki clue apa-apa ngotot memborongi Ben dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya kuyakin akan menyakiti perasaannya sendiri.

"Kemarin Tan. Waktu kita di Bandung. Waktu di coffee shop itu." Jawab Ben tanpa melepaskan tatapannya padaku. Hey!

"BRENGSEK YA KAMU, BEN! KAMU NAKSIR CEWEK LAIN SAAT AKU ADA DI SAMPING KAMU? BERANI BANGET KAMU SELINGKUHIN AKU?!"

"Yang selingkuh itu kamu, Tania. Karena aku menyukai Jenata sesaat setelah aku ngeliat kamu checkin sama cowok lain di hotel!" Kini Ben dengan tatapan emosi menatap Tania yang kaku.

Wait.

Yo guys.

Ugh what is happening?!

Kini seisi foodcourt kupastikan sedang saling berbisik mencibir Tania. Aku pun juga. Dalam hati tapi.

"Ben, maksud kamu apa? Aku nggak ngerti Ben." Bisa kudengar ada tremor di pita suara cewek ini. Tapi aku tidak ada selera untuk menatapnya. Aku fokus di Ben. Di pria yang ternyata juga sedang patah hatinya.

"Jangan berlagak bodoh Tan. Atau kamu mau aku cetak bukti foto terus nyebarin ke kantor kamu? Karena kudengar-dengar, cowok itu bosmu di kantor, dan dia udah punya istri dan anak." Ancam Ben, dan yes, masih tanpa melihat Tania sedikitpun. Matanya tidak bergeser. Dari mataku.

Mungkin merasa disudutkan, wanita itu mulai melembek. Aku melihatnya menangis dan mengemis maaf.

"Ben maafin aku Ben. Maaf kalo aku udah nyakitin kamu. Ben kamu tahu aku sayang kamu kan Ben? Ben jawab aku Ben!" Emis wanita itu. Sambil menyentuh tangan Ben yang dengan sigap ditepis.

"Kamu permaluin diri kamu sendiri Tania. Mending kamu balik. Kita berdua udah nggak ada urusan." Ucap Ben tegas sambil menarik tanganku. Berjalan membelah lautan bisikan karyawan lain.

Entahlah.

Biasanya aku paling malas kalau harus berada di antara hubungan orang lain. Tapi kali ini, entah mengapa aku berpikir Ben, lelaki ini, membutuhkanku.

I mean aku tau bagaimana rasanya patah hati.

Tidak salah berada di sampingnya sebagai seseorang yang mendengarkan keluhnya.

Atau pelampiasan pun.

Maksudku,

Dengan kondisi sama-sama sedang sakit hati,

Apakah dosa kalau kami saling mengobati dengan berjalan bersama mungkin?

Genggaman?

Atau pelukan?

Tapi kurasa bahkan sedikit kecupan pun bukan ide yang buruk.

Ben menggenggam tanganku erat. Kami memasuki lift yang tidak butuh waktu lama untuk terbuka dan membiarkan kami menumpang.

Dan di dalam ruang kecil ini,

dengan hanya ditemani Ben, aku bisa mendengar jelas nafasnya yang berat.

Tidak.

Bahkan degupnya pun bisa kudengar.

Pasti berat melihat orang yang dia sayangi checkin di hotel bersama orang lain.

Kulihat matanya terpejam.

Kuyakin dia berusaha meredam emosinya sendiri.

Atau mungkin juga dia tidak tega menyakiti mantannya yang agak brengsek itu dengan pura-pura mencintaiku pada pandangan pertama.

I mean, c’mon.

Aku tidak pernah percaya dengan love at the first sight.

Who does that?

Actor in the movie? Yes.

Di kehidupan nyata? Nggak ada. Mana ada.

Lagian jika saja dia jujur dari awal bahwa membutuhkan bantuanku untuk membalaskan sakit hatinya pada Tania,

Aku tidak akan segan-segan membantunya.

Dan dia nggak akan nyesal minta pertolonganku soal itu.

Berpura-pura menjadi pacar baru Ben di depan mantannya?

Hahahaha

Aku pecinta yang fasih.

Pecinta yang sungguh sungguh.

Tidak percaya?

Tanya gugi.

Si brengsek itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status