Melihat Ben yang masih tidak bergeming, aku menarik tanganku dari genggamnya.
"Ben?"
"Hm?"
“You ok?”
Ben mengangguk meyakinkan.
“Ben..” Panggilku sekali lagi.
“Hm?”
"Pengen desert." Ucapku membuka topik baru. Apapun, karena aku engap berdua saja dalam lift dengan keadaan yang aneh ini.
"Tadikan udah."
"Yang mana?" Ini bukan pura-pura bodoh. Tapi memang aku nggak inget apapun soal makanan penutup. Yang mana yang dia maksud dessert tadi? Momen kita dilabrak mantannyakah?
"Es jeruk."
Keterlaluan.
"Itu minuman Ben."
Ben akhirnya tertawa.
Ah leganya."Aku traktir desert besok ya. Boleh?" Kuangguki setuju.
Sesampainya di lantai yang Ben tuju, kami berjalan keluar dengan tidak lagi berpegangan tangan. Ah sayang sekali.
Aku melihat plang yang di gantung di salah satu sisi.
Ada nama kantor Ben di situ.Kami berjalan menelusuri sekat-sekat hingga berhenti di depan sebuah pintu kaca di ujung ruangan. Ben membukanya dan mempersilahkanku masuk.
"Ini ruangan kamu?"
"Bukan. Jabatanku nggak setinggi itu."
"Oh pantes diselingkuhin." Ceplosku bercanda. Dia malah cekikikan. Syukurlah.
"Kamu tunggu di sini dulu. Aku ada rapat. Sebentar saja."
"Lah. Ngapain aku nunggu di ruangan orang?"
"Ini ruangan sepupu aku."
"Kenapa bukan di tempat kamu aja sih Ben?"
"Kan belum muhrim Nat." Bisa kulihat mata pria ini berbinar licik.
"Nggak lucu ya Ben."
"Bercanda. Ruangan aku lagi di renovasi. Nggak apa-apa ya nunggu di sini dulu? Nggak lama kok."
"Yakin Ben? Aku lagi males disangka penyusup loh kalau yang punya ruangan dateng."
Dan HP Ben berdering. Tanpa menjawabku, dia lebih memilih menjawab teleponnya.
Kudengar dia menanyakan beberapa hal sebelum menjanjikan akan hadir di ruang rapat lima menit lagi. Fix berarti aku ditinggal di ruangan orang.
Dan ya, setelah Ben pergi, seorang karyawan yang bernama Sesa datang membawakanku secangkir teh. Kami ngobrol beberapa menit sebelum dia juga pamit melanjutkan pekerjaannya. Sedang aku memainkan hpku, sampai dikagetkan dengan suara dua yang mendekat.
"Tapikan gue udah bilang desainnya nggak cocok, Raf!"
"Ngerti Mas. Tapi saya nggak tahu kalo Mas baliknya hari ini."
"Oh jadi lu semua males-malesan karena menurut jadwal, gue kerjanya minggu depan? Gitu?"
“Nggak gitu Mas. Cumakan ini kerjaan berapa kepala. Butuh waktu lebih. Toh mas yang pulang mendadak. Nggak ngabarin pula. Jadi bukan salah kita seutuhnya dong.”
“Wah gila lu masih nyalahin gue. Raffi, make it make sense!”
Aku yang kalang kabut bersusah payah memperbaiki posisi tempat dudukku sambil nguping. Ingin kabur tapi nggak tahu lewat mana, sedang dua orang pria itu baru saja menatapku.
Ya ampun rasanya.
Seperti ketahuan nyolong.BEN, KAMU DIMANA BEN? YA AMPUN BEN."Siapa nih?" Tanya pria itu ke temannya. "Tamu gue?"
Tanpa menjawab, pria yang kutebak bawahan pria yang bertanya itu langsung bertanya padaku.
"Mbak nyari siapa?"
Makin gugup, aku berdiri. Bersiap melarikan diri.
"Mm.. saya temennya Ben."
"Ini bukan ruangan Mas Ben, Mbak. Mbak salah ruangan." Ucap pria itu sambil menjelaskan dimana ruangan Ben berada.
Tanpa mendengar lebih detail, saking gugupnya aku mengangkat tangan kananku setinggi dada kemudian bilang....
"Oke sorry."
Dan aku mulai lari. Menuju pintu.
Tapi sebuah tangan menangkap dan menahan lengan kiriku.
Aku berbalik menatapnya. Pria yang tadi ngomelin karyawannya itu baru saja menangkap tanganku.
"Nata?"
Byar!
Bagaimana dia mengetahui namaku!Aku fokus menatapnya.Satu detik.Dua detik.
Dan.
DANG!
Lututku lemas.
Mata itu.Terakhir kuliat mata itu pada sebuah foto yang dia kirimkan di Line sesaat sebelum kami, bukan, dia, memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan komunikasi yang mulai kupercaya memiliki makna lebih dari sekedar teman ngobrol.
Ternyata tidak butuh waktu lama untuk aku bisa mengenal wajahnya dari hanya bermodalkan melihatnya sekali di foto.
Sadar dengan situasi, reflek aku menarik tanganku dan mundur satu langkah. Memberi jarak agar dadaku bisa memompa udara. Dan yes, masih dengan lutut yang ngilu. Bahkan untuk menyebutkan namanya pun aku butuh keberanian besar.
"Gu..gi?"
Jantungku hampir copot.
Nama itu.Aku tidak menyangka bahwa aku akan menyebutkannya langsung depan orangnya.
Setidaknya tidak di sini.Tidak Di kantornya.Tidak di ruangannya.Tidak sekarang.Tapi mendengar namanya kusebut, dia, Gugi, kulihat tersenyum.
Sedang aku?Menurutmu apa yang kurasakan ketika bertemu dengan pria ini?*
Di sinilah aku. Kembali duduk di sofa yang tadi sudah kududuki setelah beberapa puluh menit ditinggal Ben ke ruang rapat.
Bedanya, tadi aku sendiri, sedang sekarang, bersama seseorang yang tidak sedang ingin kujadikan teman duduk berdua atau bahkan ngobrol sekalipun.
"Jadi kamu kenal Ben? Waw. Dunia bener-bener sempit ya Nat."
Tidak ku jawab dengan kalimat. Hanya sedikit anggukan.
Sedikit senyuman."Finally kita ketemu ya. Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini loh."
"Sama." Lagi, dengan sedikit senyuman.
"Apa kabar?"
"Gi."
"Hm?"
"Kok bisa kamu banyak nanya? Nggak ngerasain awkward gitu? Aneh? Nggak? Aku hampir jantungan soalnya."
Kulihat Gugi tersenyum. Seolah-olah menjawab memang hanya akulah yang merasa awkward di sini. Dia nggak.
Sama seperti hanya akulah yang merasa sayang. Dia tidak.Brengsek."Nggak perlu awkward kali. Kitakan temen. Masa sama temen sendiri awkward-awkward-an." Ucap Gugi fasih lancar tanpa hambatan, walau terdengar sedikit ragu.
Ingin rasanya mulut Gugi kulempar gelas teh.
Tapi syukurlah pintu ruangan itu terbuka. Dan Ben masuk.
"Eh sorry Gi gue pinjem ruangan lu. Gue pikir lu blom masuk hari ini." Ucap Ben yang berjalan menuju arahku.
"Nggak apa-apa, santai aja. Lagian...."
Sebelum Gugi menyelesaikan kalimatnya yang apapun itu, aku mencegahnya dengan cepat-cepat berdiri kemudian mengajak Ben.
"Yuk jalan."
Ben bingung.
Gugi nggak. Kurasa dia bisa langsung mengerti kalau aku nggak mau dia menceritakan pada Ben bahwa kami berdua saling kenal dan pernah menjalin sesuatu. Yang entah apa.Singkat banget soalnya."Loh sekarang banget?" Tanya Ben lagi.
"Hu'um. Yuk." Aku menarik Ben. Dan berjalan ke arah pintu tanpa berbalik ke arah Gugi.
"Kemana? Eh Gi, thank you ya." Ucap Ben bertanya sekaligus pamit.
Tidak kujawab.
Aku menarik Ben sejauh mungkin. Menuruni lift.Menuju parkiran.Hingga duduk di kursi samping kemudi."Nat you ok?" Tanyanya khawatir melihatku agak sesak nafas.
Tidak ku jawab.
Aku masih kesusahan dan sibuk mengatur nafasku.
Lantas yang pria itu lakukan kemudian membuatku shock.
Dia memutar bahuku dan menggerakkannya agar kami berdua saling berhadapan.Dengan sekali gerakan kedua tangannya dia naikkan dan tempelkan dan menyentuh kedua sisi pipiku.Dan sesaat kemudian yang kurasakan adalah hangat. Dari telapaknya di pipiku.Membuatku otomatis memejamkan mata.Menaikkan kedua tanganku menyentuh kedua tangannya, dan menahannya agar tetap seperti itu untuk sementara.Tangan Ben di pipiku entah bagaimana penjelasannya membuatku lebih tenang.
Perlahan aku mulai bisa menyesuaikan dan mengatur nafasku yang tadi sesak.Barang beberapa menit aku menahan tangannya seperti itu.Seperti candu.Aku cukup lupa waktu,Hingga akhirnya ketika kurasa cukup,Dan membuka mataku,Kulihat mata Ben hanya berjarak beberapa senti dari mataku.Tapi bukannya menjauh,Wanita ini,Yang dia lakukan adalah menurunkan tatapannya menatap bibir Ben, exactly seperti yang sedang mata Ben lakukan. Menatap bibirnya.Lalu kemudian,
Entah bagaimana,
Sejak kapan,
Melepaskan Ben dari sebuah kecupan adalah suatu kemustahilan.
Maka dari itu, Tuhan mengirimkan orang lain untuk either menghentikan aku, atau Ben. Dengan ketukan kerasnya pada kaca jendela di sisi Ben.
Dan berhasil.
Kecupan itu terlepas. Dengan paksa.
Ben berbalik.
Aku pun.Dan tentu saja.
Sebagaimana cerita drama romance seharusnya berjalan,Yang berdiri di luar sana adalah seseorang yang mungkin sudah seharusnya di sana. Menatap lurus ke arah kami. Sesaat kutebak kaca jendela Ben tidak segelap itu untuk merahasiakan apapun yang terjadi barusan agar tidak terlihat oleh orang di luar sana.Oleh Gugi.Ben menurunkan kaca mobilnya. Tapi sebelum dia sempat mengucapkan apapun, Gugi memasukkan tangannya, meletakkan sesuatu di dashboard Ben.
Dan sebelum berbalik meninggalkan aku dan Ben yang entahlah,Gugi bilang,"HP cewek lu ketinggalan."
Dan,
"Sorry ganggu."
Ben mengantarku pulang. Ke kantor.Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk.Ben."Hm?" Sapaku tidak semangat."Assalamualaikum kek Nat.""Waalaikumsalam.""Lagi apa?" Tanyanya ragu."Uring-uringan." Jawabku jujur."Maaf soal yang tadi.""Yang mana?""Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."Aku hampir ngakak.Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?""Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus."Yaudah jawab.""Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa.""Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana."Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah
Sudah hampir seminggu sejak perihal kalimat Ben waktu itu. Yang dengan polosnya menyebutku sayang. Ingat? Good. It’s been a whole week. Dan kalian tahu apa? That’s it.Selebihnya, tidak lagi.Dia tidak menghubungiku.Tidak ke kantorku.Tidak melakukan apapun untuk membuktikan kalimatnya sendiri. Apa aku mencari tahu alasan Ben atas tingkahnya yang di luar dugaan ini?Tentu saja tidak.Sesuai permintaannya, aku sempat meneleponnya seusai meetingku kelar hari itu.Kami ngobrol tidak lama. Tidak sampai lima menit.Selebihnya tidak terjalin hubungan apa-apa lagi. Kalian bingung? Sama. Aku juga. Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon tidak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang. "Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku. Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.Mungkin dia baru dari kondangan.Bisa
Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, ba
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p
Aku mendapati diriku berada di salah satu Night Club di Jakarta Selatan. Terjebak di keramaian yang nggak asing, tapi jelas dari gerak-gerikku, aku nggak familiar dengan keramaian seperti ini. Musik yang dar dar dar itu membuat jantungku seperti sedang bermasalah, membuatku nyaris nggak tahan, dan ingin keluar secepatnya. “VI GUE BALIK DULUAN YA! BISA BUDEG GUE DI SINI!” Teriakku ketika sukses menarik kuping Vipa mendekat. Terlihat yang punya kuping menatapku kesal. “OH NGGAK BISA TA! INI ULTAH GUE. PALING NGGAK LU HARUS TEMENIN GUE AMPE ACARA INI KELAR! JUS JERUK LU GUE REFIL DEH” Aku memelototi cewek disampingku dengan tatapan nggak percaya. Bisa-bisanya dia memaksaku duduk berjam-jam di tempat seperti ini. “NGGAK USAH! BISA OVERDOSE VITAMIN C GUE GEGARA LU!” Kesalku. Sedang Vipa hanya tertawa mengecup pipiku kemudian lanjut larut dalam lagu EDM yang jelas kubenci itu. Dia bahkan mengiyakan saat beberapa tamu menariknya ke dance floor. I swear Vip, gue harap Umi lu di Cimahi
Aku duduk manis di mobil Gugi. Nggak mau repot-repot menatapnya di samping. Tadi kami sempat berdebat di parkiran. Menurutnya yang sok pintar itu, aku harus pulang bersamanya, dan menitipkan kunci mobilku pada satpam disitu untuk nanti diambil oleh temannya.Aku menyandarkan kepalaku pada kacanya yang berembun, sedang pandanganku lurus ke depan. Memerhatikan jalanan dini hari ibu kota yang nggak seramai jam-jam sebelumnya.Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Mataku sesekali mengikuti arah wiper yang Gugi aktifkan. Sampai akhirnya mobil itu berbelok memasuki kawasan apartemen tempatku tinggal. Gugi memarkirkan mobilnya di basement, tapi tidak mematikan mesinnya.Dengan lemas, aku membuka seatbelt yang kukenakan. Kemudian diikuti olehnya. Baru aku mau membuka pintu mobil, tangannya terjulur menghentikanku."Nat..""Udah malem Gi. Aku capek banget.""Aku tahu, tapi please jangan gitu lagi."Aku berbalik menatapnya. Nggak paham."Jangan gitu lagi apa?""Ke tempat kaya gitu, apa lagi s
Yang kusyukuri adalah, Gugi nggak ngotot malem ini menyusulku naik ke unit. Mungkin dia tahu betul, keadaannya sedang nggak kondusif dan aku bener-bener kehabisan tenaga buat lanjut ngehadepin dia malam ini. Sesampainya di lantai yang kutuju, mataku menangkap sesuatu di depan pintu. Itu bukan Gugi lagikan? Dan memang bukan. Itu bouquet bunga dengan kertas coklat lusuh yang membungkusnya. Dahiku mengernyit membuat dua alisku yang lupa kupertebal tadi pagi hampir bertemu di tengah. Aku mengangkatnya dan membuka pintu. Langkahku kuseret hingga sofa. Kuperhatikan bunga di tanganku dengan seksama. Ini kali pertama aku ngelihat bunga jenis ini. Oh ada catatan kecil tergulung dan diselip agak dalam. Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi aku janji bakal jawab semuanya. Nanti, saat semua keterlanjuran ini beres aku tanganin. Ini Hyacinth, Nata. Yang ungu melambangkan kesedihan, dan penyesalah. Maafin aku udah nyakitin kamu dengan cara yang paling kamu benci. Nyakitin kamu rasanya n