Ben mengantarku pulang. Ke kantor.
Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk.
Ben."Hm?" Sapaku tidak semangat.
"Assalamualaikum kek Nat."
"Waalaikumsalam."
"Lagi apa?" Tanyanya ragu.
"Uring-uringan." Jawabku jujur.
"Maaf soal yang tadi."
"Yang mana?"
"Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."
Aku hampir ngakak.
Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula.."Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?"
"Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus.
"Yaudah jawab."
"Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa."
"Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.
Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana.
"Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah ngajak dan nyuruh kamu nunggu di ruangan orang. Maafin aku karena kamu harus malu mungkin saat yang punya ruangan dateng. Maafin aku yang kemungkinan besar jadi alasan kenapa kamu uring-uringan. Maafin aku Nat."
Aku diam.
Dia diam.Beberapa waktu berlalu tanpa satupun dari kami berbicara.Sibuk menerka-nerka.Hubungan macam apa ini."Ben?" Panggilku. Berusaha memecahkan diam.
"Iya Nat."
"Ciuman tadi nggak berarti apa-apakan?"
Oke aku jelasin.
Aku perempuan baik-baik.Bertanya seperti ini bukan berarti aku terbiasa nyium cowok.Nggak gitu.Hanya saja, kali ini, dengan Ben, semua terasa begitu mulus.Ketemu sekali, saling naksir, ketemu lagi, lunch bareng, terus ciuman?Bahkan di novel-novel atau filmpun, kisah cinta seperti ini mustahilkan?Kalaupun ada di awal, kisah seperti ini akan berakhir menyakitkankan?Well aku benci sakit hati.Kalian tahu betul itu.Ngerasa ada yang salah ketika Ben dan aku seperti tergesa-gesa.Padahal ngga ada yang mendesak, pun mengejar."Ciuman itu jujur. Aku nggak tahu buat kamu berarti apa. Tapi untuk aku itu sesuatu."
"Beeeeeen. Terlalu cepat. Aku pikir kita sekarang hanya sebatas dua orang yang saling nyembuhinkan?"
"Nat, ciuman nggak bakal nyembuhin kecewa dan sakit hati aku yang karena perempuan lain. Sakit hatiku biar aku yang urus. Ciuman yang tadi, has nothing to do with it."
"Terlalu cepat Ben."
"Aku nggak tahu apa yang kamu khawatirin. Tapi apapun itu, aku bakal buktiin ke kamu, seriusnya orang nggak diukur dari durasi kalian kenal."
Dan telponnya dia putusin.
Setelah membuatku terdiam speechless.Ben siapa sih?Kenapa Tuhan dengan mudahnya memasukkan Ben ke hidup aku?Kenapa ada cowok maha baik seperti dia yang tiba-tiba hadir saat akupun masih kesusahan berdamai dengan sakit hatiku sendiri yang karena Gugi.Dan ngomong-ngomong soal Gugi, kenapa dia muncul sekarang?
Di antara semua waktu, kenapa sekarang?Kenapa aku harus ketemu sama dia di saat yang bersamaan dengan saat Ben masuk di hidup aku?Apa tadi dia lihat kami ciuman?Apa itu buat dia sakit hati?Apa yang Gugi pikirin sekarang?Cemburukah?Atau malah dia juga lagi nyium ceweknya?See?Dengan pikiran yang belum bisa normal begini, kenapa aku bisa-bisanya mencium laki-laki lain coba?Dari arah pintu terdengar ketukan, yang membuatku sedikit terkaget dan reflek memegang jantungku sendiri.
Terakhir kali mendengar suara ketukan, itu adalah Gugi yang memergoki aku dan cowok lain.Ternyata kejadian itu sukses membuat jantungku menjadi sedikit lebih sensitif seperti sekarang.Aku membukanya.
Mas rumi.Dan, Gugi.
"Kok lama banget sih bukanya?" Tanya Rumi yang langsung nyelonong masuk. Nggak lupa dia mengajak Gugi yang masih berdiri depan pintu. Menatapku.
Aku mundur selangkah, mempersilahkannya masuk. Dia langsung nyusul Mas Rumi yang kini sudah duduk di sofa dengan dua kaleng soft drink yang dia comot dari kulkas.
"Pada dari mana?" Tanyaku kikuk.
"Dari tempat ngopi. Mau basket cuma macet banget di luar. Yaudah kesini deh. Kalian kenalkan?" Jelas Mas Rumi dengan polosnya. Sedang Gugi mengalihkan tatapannya. Menghindar.
Aku cepat-cepat mengangguk mendengar penjelasan teman kantorku yang tidak tahu apa-apa itu, sebelum akhirnya berjalan ke bar, membuka kulkas, melihat apa yang bisa kumasak untuk mereka berdua. Karena kapanpun Rumi muncul di apart ini, dia pasti minta makan.
"Jadi, makan apa kita malam ini Jenata?" Tanya Rumi. Kan? Kubilang juga apa.
"Yang biasa aja ya." Tawarku. Dia setuju.
"Gi, si Nata masakannya nggak yang enak-enak banget. Tapi kemakan kok. Makan disini aja ya."
"Selama yang punya rumah nggak keberatan." Gugi menatapku sekilas.
"Nggaklah. Kan temen. Masa keberatan." jawabku padat. Mengembalikan istilah favoritnya. -kan temen-. Makan tuh temen. Kenyang nggak lu gue tanya Gi?!
Dan aku membuatkan mereka berdua pasta dengan saos tomat panggang. Rasanya lumayan. Mungkin karena sering kubuat. Semua yang pernah kubuatkan pasti suka.
Malam itu setelah makan, kami bertiga ngobrol seadanya sambil nonton. Menghabiskan waktu.
Durasi terlama aku duduk di satu ruang dengan Gugi ya sekarang ini. Lalu Rumi berdiri. Berjalan ke arah balkon. Kutahan betisnya yang berbulu."Mau kemana?"
"Boleh nih sekarang ngerokok di dalem?"
Ish.
Kesel.Rumi berjalan keluar. Duduk di balkon dengan rokoknya.Meninggalkan aku dan Gugi yang nggak seharusnya ditinggal hanya berdua."Kamu nggak mau ngerokok?"
"Segitu risihnya ya kamu sekarang deket aku? Sampe ngusir nyuruh ngerokok?"
"Bukan ngusir Gi."
"Aku bukan Ben. Nggak ngerokok."
"Kok Ben? Kamu kenapa sih? Judes banget. Heran deh."
"Yakan aku cuma bilang, nggak semua cowok ngerokok."
"Yaudahkan bisa bilang baik-baik! Kok nyolot? Bawa-bawa orang pula!"
"Aku cuma nyontohin pake orang yang paling deket sama kamu. Biar cepet pahamnya."
"Tahu apa kamu soal aku deket sama siapa?"
"Halah." Gugi berdiri. "RU GUE MAU BALIK NIH. MAU BARENG NGGAK?"
"SEKARANG? YA IKUTLAH GUE. TUNGGUIN." Ucap Rumi tergesa-gesa, berusaha menyusul Gugi yang sudah membuka pintu. "Nat, kita balik dulu ya. Thank you. WOY GI TUNGGUIN NAPA!" Ucap Rumi sambil menyeret sepatunya.
Dan that's it.
Apa yang baru saja terjadi?Kenapa Gugi malem ini?Apakah perihal kemaren?Hallo?Siapa dia berhak marah?Aku aja bisa relain dia.Bocah.Besoknya sesuai apa yang Ben bilang, dia benar-benar menjemputku makan siang lagi. Kami makan di resto dekat kantorku. Siang itu Ben tidak menggunakan baju seformal kemarin.
"Kamu nggak ngantor?"
"Kenapa?"
"Nggak pake dasi."
"Emang aku CEO pake dasi mulu?"
"Aamiin."
"Kamu mau punya suami CEO?"
"Maulah."
"Yaudah kalau gitu aku bakal jadi CEO."
Aku tersedak.
Ben senyum cepat-cepat membukakan segel botol air."Jangan gitu lagi."
"Gimana?" Tanyanya menyebalkan. Tidak menganggapiku serius.
"Kamu kalau ngomong suka nggak mikir ya Ben?"
"Iya. Perihal kamu, semuanya dari hati. Nggak perlu dipikir dulu." Ucap Ben lanjut menyuapi bibirnya dengan sepotong pizza dengan toping entahlah aku lupa tadi dia pesan apa.
Aku mengamatinya diam-diam. Siapa tahu ada clue dari ekspresinya tentang dia siapa, apa maunya. Apapun. Kenapa Tuhan bisa kepikiran pertemuin aku dengan Ben.
Makan siang selesai dengan adegan Ben mengantarku ke lokasi meeting. Dia sempat menawarkan diri untuk menunggu agar bisa mengantarku pulang, tapi ku tolak.
Kubilang saja bagaimana bisa dia jadi CEO kalau waktunya habis nungguin karyawan kantor lain meeting?Bayangin. Aku yang pas ngomong emang dasarnya keceplosan, dia anggap serius. Dia anggap mengiyakan ajakan yang bahkan belum dia lontarkan.Kenapa kubilang mengiyakan, ya karena setelah tersenyum mendengar kalimatku, dia memajukan badannya. Mencium keningku barang berapa detik. Oh kalian harus dengar kalimatnya setelah itu.
Untuk pertama kali dalam berapa bulan belakangan ini, ada reaksi aneh di hatiku.Hanya karena mendengar satu kalimat Ben yang singkat merangkum semua keputusan atas kejelasan hubungan kami. Tanpa dia bertanya atau aku yang mengiyakan. Ben membuat hubungan ini mudah dan termulai dengan hanya satu kalimat sederhana."Yaudah sayang, telpon aku kalau meetingnya udah selesai ya."
Sudah hampir seminggu sejak perihal kalimat Ben waktu itu. Yang dengan polosnya menyebutku sayang. Ingat? Good. It’s been a whole week. Dan kalian tahu apa? That’s it.Selebihnya, tidak lagi.Dia tidak menghubungiku.Tidak ke kantorku.Tidak melakukan apapun untuk membuktikan kalimatnya sendiri. Apa aku mencari tahu alasan Ben atas tingkahnya yang di luar dugaan ini?Tentu saja tidak.Sesuai permintaannya, aku sempat meneleponnya seusai meetingku kelar hari itu.Kami ngobrol tidak lama. Tidak sampai lima menit.Selebihnya tidak terjalin hubungan apa-apa lagi. Kalian bingung? Sama. Aku juga. Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon tidak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang. "Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku. Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.Mungkin dia baru dari kondangan.Bisa
Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, ba
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p
Aku mendapati diriku berada di salah satu Night Club di Jakarta Selatan. Terjebak di keramaian yang nggak asing, tapi jelas dari gerak-gerikku, aku nggak familiar dengan keramaian seperti ini. Musik yang dar dar dar itu membuat jantungku seperti sedang bermasalah, membuatku nyaris nggak tahan, dan ingin keluar secepatnya. “VI GUE BALIK DULUAN YA! BISA BUDEG GUE DI SINI!” Teriakku ketika sukses menarik kuping Vipa mendekat. Terlihat yang punya kuping menatapku kesal. “OH NGGAK BISA TA! INI ULTAH GUE. PALING NGGAK LU HARUS TEMENIN GUE AMPE ACARA INI KELAR! JUS JERUK LU GUE REFIL DEH” Aku memelototi cewek disampingku dengan tatapan nggak percaya. Bisa-bisanya dia memaksaku duduk berjam-jam di tempat seperti ini. “NGGAK USAH! BISA OVERDOSE VITAMIN C GUE GEGARA LU!” Kesalku. Sedang Vipa hanya tertawa mengecup pipiku kemudian lanjut larut dalam lagu EDM yang jelas kubenci itu. Dia bahkan mengiyakan saat beberapa tamu menariknya ke dance floor. I swear Vip, gue harap Umi lu di Cimahi
Aku duduk manis di mobil Gugi. Nggak mau repot-repot menatapnya di samping. Tadi kami sempat berdebat di parkiran. Menurutnya yang sok pintar itu, aku harus pulang bersamanya, dan menitipkan kunci mobilku pada satpam disitu untuk nanti diambil oleh temannya.Aku menyandarkan kepalaku pada kacanya yang berembun, sedang pandanganku lurus ke depan. Memerhatikan jalanan dini hari ibu kota yang nggak seramai jam-jam sebelumnya.Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Mataku sesekali mengikuti arah wiper yang Gugi aktifkan. Sampai akhirnya mobil itu berbelok memasuki kawasan apartemen tempatku tinggal. Gugi memarkirkan mobilnya di basement, tapi tidak mematikan mesinnya.Dengan lemas, aku membuka seatbelt yang kukenakan. Kemudian diikuti olehnya. Baru aku mau membuka pintu mobil, tangannya terjulur menghentikanku."Nat..""Udah malem Gi. Aku capek banget.""Aku tahu, tapi please jangan gitu lagi."Aku berbalik menatapnya. Nggak paham."Jangan gitu lagi apa?""Ke tempat kaya gitu, apa lagi s
Yang kusyukuri adalah, Gugi nggak ngotot malem ini menyusulku naik ke unit. Mungkin dia tahu betul, keadaannya sedang nggak kondusif dan aku bener-bener kehabisan tenaga buat lanjut ngehadepin dia malam ini. Sesampainya di lantai yang kutuju, mataku menangkap sesuatu di depan pintu. Itu bukan Gugi lagikan? Dan memang bukan. Itu bouquet bunga dengan kertas coklat lusuh yang membungkusnya. Dahiku mengernyit membuat dua alisku yang lupa kupertebal tadi pagi hampir bertemu di tengah. Aku mengangkatnya dan membuka pintu. Langkahku kuseret hingga sofa. Kuperhatikan bunga di tanganku dengan seksama. Ini kali pertama aku ngelihat bunga jenis ini. Oh ada catatan kecil tergulung dan diselip agak dalam. Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi aku janji bakal jawab semuanya. Nanti, saat semua keterlanjuran ini beres aku tanganin. Ini Hyacinth, Nata. Yang ungu melambangkan kesedihan, dan penyesalah. Maafin aku udah nyakitin kamu dengan cara yang paling kamu benci. Nyakitin kamu rasanya n
Aku nggak pernah secanggung ini makan bareng orang tua sendiri. Nggak pernah, sampai hari ini. Sampai Gugi di sini. Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Papah. Dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung di kedua sisi hingga beberapa senti di bawah sikunya. Hari ini rambutnya rapi nggak kaya biasanya. Di sepanjang garis rahangnya terlihat bulu-bulu halus yang mulai tumbuh. Kumisnya pun begitu. Kenapa dia di sini? Tepat saat kedua orang tuaku sedang berkunjung?Bukankah seharusnya dia berada dimanapun selain di sini? “Jeee, kamu kok nggak bilang sih kalau janjian sama temennya? Tahu gitu Mamah masak lebih banyak tadi." Aku menatap wanita di sampingku yang tengah tersenyum-senyum menatap Gugi itu. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya.“Oh saya memang nggak janjian sama Nata, Tante. Tadi kebetulan emang lewat daerah sini.” Gugi menjelaskan dengan senyuman yang tertarik dari ujung kuping kanan ke kirinya. “Kebetulan katanya Pah, hahaha. Lucu ya temen Jeje,” kini Mamahku