Share

[ 7 ]

Ben mengantarku pulang. Ke kantor.

Di perjalanan kami berdua nggak ngobrol banyak sejak kecupan dan ketukan itu. Bahkan sesampainya di apartemen, aku langsung mandi, uring-uringan, berguling-guling kesana kemari seperti adonan moci di tepung kacang, sampai hpku bunyi. Telepon masuk.

Ben.

"Hm?" Sapaku tidak semangat.

"Assalamualaikum kek Nat."

"Waalaikumsalam."

"Lagi apa?" Tanyanya ragu.

"Uring-uringan." Jawabku jujur.

"Maaf soal yang tadi."

"Yang mana?"

"Jangan judes makanya biar aku nggak takut jelasinnya."

Aku hampir ngakak.

Apa iya aku judes? Tapi pas ngomong gitu dia lucu. Cakep pula..

"Iya Ben. Minta maaf soal yang mana? Gitu?"

"Iya gitu Nat." Sambungnya ketika mendengar intonasiku lebih halus.

"Yaudah jawab."

"Tapi kamu pasti tahulah aku mau minta maaf soal apa."

"Kamu kalau nggak niat minta maaf, nggak usah nelepon!" Bentakku.

Dan sedetik sebelum telepon dari Ben kuputuskan, aku mendengar pria itu berbicara di ujung sana.

"Maafin aku udah nyium kamu tanpa izin. Maafin aku udah ngajak dan nyuruh kamu nunggu di ruangan orang. Maafin aku karena kamu harus malu mungkin saat yang punya ruangan dateng. Maafin aku yang kemungkinan besar jadi alasan kenapa kamu uring-uringan. Maafin aku Nat."

Aku diam.

Dia diam.

Beberapa waktu berlalu tanpa satupun dari kami berbicara.

Sibuk menerka-nerka.

Hubungan macam apa ini.

"Ben?" Panggilku. Berusaha memecahkan diam.

"Iya Nat."

"Ciuman tadi nggak berarti apa-apakan?"

Oke aku jelasin.

Aku perempuan baik-baik.

Bertanya seperti ini bukan berarti aku terbiasa nyium cowok.

Nggak gitu.

Hanya saja, kali ini, dengan Ben, semua terasa begitu mulus.

Ketemu sekali, saling naksir, ketemu lagi, lunch bareng, terus ciuman?

Bahkan di novel-novel atau filmpun, kisah cinta seperti ini mustahilkan?

Kalaupun ada di awal, kisah seperti ini akan berakhir menyakitkankan?

Well aku benci sakit hati.

Kalian tahu betul itu.

Ngerasa ada yang salah ketika Ben dan aku seperti tergesa-gesa.

Padahal ngga ada yang mendesak, pun mengejar.

"Ciuman itu jujur. Aku nggak tahu buat kamu berarti apa. Tapi untuk aku itu sesuatu."

"Beeeeeen. Terlalu cepat. Aku pikir kita sekarang hanya sebatas dua orang yang saling nyembuhinkan?"

"Nat, ciuman nggak bakal nyembuhin kecewa dan sakit hati aku yang karena perempuan lain. Sakit hatiku biar aku yang urus. Ciuman yang tadi, has nothing to do with it."

"Terlalu cepat Ben."

"Aku nggak tahu apa yang kamu khawatirin. Tapi apapun itu, aku bakal buktiin ke kamu, seriusnya orang nggak diukur dari durasi kalian kenal."

Dan telponnya dia putusin.

Setelah membuatku terdiam speechless.

Ben siapa sih?

Kenapa Tuhan dengan mudahnya memasukkan Ben ke hidup aku?

Kenapa ada cowok maha baik seperti dia yang tiba-tiba hadir saat akupun masih kesusahan berdamai dengan sakit hatiku sendiri yang karena Gugi.

Dan ngomong-ngomong soal Gugi, kenapa dia muncul sekarang?

Di antara semua waktu, kenapa sekarang?

Kenapa aku harus ketemu sama dia di saat yang bersamaan dengan saat Ben masuk di hidup aku?

Apa tadi dia lihat kami ciuman?

Apa itu buat dia sakit hati?

Apa yang Gugi pikirin sekarang?

Cemburukah?

Atau malah dia juga lagi nyium ceweknya?

See?

Dengan pikiran yang belum bisa normal begini, kenapa aku bisa-bisanya mencium laki-laki lain coba?

Dari arah pintu terdengar ketukan, yang membuatku sedikit terkaget dan reflek memegang jantungku sendiri.

Terakhir kali mendengar suara ketukan, itu adalah Gugi yang memergoki aku dan cowok lain.

Ternyata kejadian itu sukses membuat jantungku menjadi sedikit lebih sensitif seperti sekarang.

Aku membukanya.

Mas rumi.

Dan, Gugi.

"Kok lama banget sih bukanya?" Tanya Rumi yang langsung nyelonong masuk. Nggak lupa dia mengajak Gugi yang masih berdiri depan pintu. Menatapku.

Aku mundur selangkah, mempersilahkannya masuk. Dia langsung nyusul Mas Rumi yang kini sudah duduk di sofa dengan dua kaleng soft drink yang dia comot dari kulkas.

"Pada dari mana?" Tanyaku kikuk.

"Dari tempat ngopi. Mau basket cuma macet banget di luar. Yaudah kesini deh. Kalian kenalkan?" Jelas Mas Rumi dengan polosnya. Sedang Gugi mengalihkan tatapannya. Menghindar.

Aku cepat-cepat mengangguk mendengar penjelasan teman kantorku yang tidak tahu apa-apa itu, sebelum akhirnya berjalan ke bar, membuka kulkas, melihat apa yang bisa kumasak untuk mereka berdua. Karena kapanpun Rumi muncul di apart ini, dia pasti minta makan.

"Jadi, makan apa kita malam ini Jenata?" Tanya Rumi. Kan? Kubilang juga apa.

"Yang biasa aja ya." Tawarku. Dia setuju.

"Gi, si Nata masakannya nggak yang enak-enak banget. Tapi kemakan kok. Makan disini aja ya."

"Selama yang punya rumah nggak keberatan." Gugi menatapku sekilas.

"Nggaklah. Kan temen. Masa keberatan." jawabku padat. Mengembalikan istilah favoritnya. -kan temen-. Makan tuh temen. Kenyang nggak lu gue tanya Gi?!

Dan aku membuatkan mereka berdua pasta dengan saos tomat panggang. Rasanya lumayan. Mungkin karena sering kubuat. Semua yang pernah kubuatkan pasti suka.

Malam itu setelah makan, kami bertiga ngobrol seadanya sambil nonton. Menghabiskan waktu.

Durasi terlama aku duduk di satu ruang dengan Gugi ya sekarang ini. Lalu Rumi berdiri. Berjalan ke arah balkon. Kutahan betisnya yang berbulu.

"Mau kemana?"

"Boleh nih sekarang ngerokok di dalem?"

Ish.

Kesel.

Rumi berjalan keluar. Duduk di balkon dengan rokoknya.

Meninggalkan aku dan Gugi yang nggak seharusnya ditinggal hanya berdua.

"Kamu nggak mau ngerokok?"

"Segitu risihnya ya kamu sekarang deket aku? Sampe ngusir nyuruh ngerokok?"

"Bukan ngusir Gi."

"Aku bukan Ben. Nggak ngerokok."

"Kok Ben? Kamu kenapa sih? Judes banget. Heran deh."

"Yakan aku cuma bilang, nggak semua cowok ngerokok."

"Yaudahkan bisa bilang baik-baik! Kok nyolot? Bawa-bawa orang pula!"

"Aku cuma nyontohin pake orang yang paling deket sama kamu. Biar cepet pahamnya."

"Tahu apa kamu soal aku deket sama siapa?"

"Halah." Gugi berdiri. "RU GUE MAU BALIK NIH. MAU BARENG NGGAK?"

"SEKARANG? YA IKUTLAH GUE. TUNGGUIN." Ucap Rumi tergesa-gesa, berusaha menyusul Gugi yang sudah membuka pintu. "Nat, kita balik dulu ya. Thank you. WOY GI TUNGGUIN NAPA!" Ucap Rumi sambil menyeret sepatunya.

Dan that's it.

Apa yang baru saja terjadi?

Kenapa Gugi malem ini?

Apakah perihal kemaren?

Hallo?

Siapa dia berhak marah?

Aku aja bisa relain dia.

Bocah.

Besoknya sesuai apa yang Ben bilang, dia benar-benar menjemputku makan siang lagi. Kami makan di resto dekat kantorku. Siang itu Ben tidak menggunakan baju seformal kemarin.

"Kamu nggak ngantor?"

"Kenapa?"

"Nggak pake dasi."

"Emang aku CEO pake dasi mulu?"

"Aamiin."

"Kamu mau punya suami CEO?"

"Maulah."

"Yaudah kalau gitu aku bakal jadi CEO."

Aku tersedak.

Ben senyum cepat-cepat membukakan segel botol air.

"Jangan gitu lagi."

"Gimana?" Tanyanya menyebalkan. Tidak menganggapiku serius.

"Kamu kalau ngomong suka nggak mikir ya Ben?"

"Iya. Perihal kamu, semuanya dari hati. Nggak perlu dipikir dulu." Ucap Ben lanjut menyuapi bibirnya dengan sepotong pizza dengan toping entahlah aku lupa tadi dia pesan apa.

Aku mengamatinya diam-diam. Siapa tahu ada clue dari ekspresinya tentang dia siapa, apa maunya. Apapun. Kenapa Tuhan bisa kepikiran pertemuin aku dengan Ben.

Makan siang selesai dengan adegan Ben mengantarku ke lokasi meeting. Dia sempat menawarkan diri untuk menunggu agar bisa mengantarku pulang, tapi ku tolak.

Kubilang saja bagaimana bisa dia jadi CEO kalau waktunya habis nungguin karyawan kantor lain meeting?

Bayangin. Aku yang pas ngomong emang dasarnya keceplosan, dia anggap serius. Dia anggap mengiyakan ajakan yang bahkan belum dia lontarkan.

Kenapa kubilang mengiyakan, ya karena setelah tersenyum mendengar kalimatku, dia memajukan badannya. Mencium keningku barang berapa detik. Oh kalian harus dengar kalimatnya setelah itu.

Untuk pertama kali dalam berapa bulan belakangan ini, ada reaksi aneh di hatiku.

Hanya karena mendengar satu kalimat Ben yang singkat merangkum semua keputusan atas kejelasan hubungan kami. Tanpa dia bertanya atau aku yang mengiyakan. Ben membuat hubungan ini mudah dan termulai dengan hanya satu kalimat sederhana.

"Yaudah sayang, telpon aku kalau meetingnya udah selesai ya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status