Besoknya sesuai apa yang Ben bilang, dia benar-benar menjemputku makan siang lagi. Kami makan di resto dekat kantorku. Siang itu Ben nggak menggunakan baju seformal kemarin.
"Kamu nggak ngantor?"
"Kenapa?"
"Nggak pake dasi."
"Emang aku CEO pake dasi mulu?"
"Aamiin."
"Kamu mau punya suami CEO?"
"Maulah."
"Yaudah kalau gitu aku bakal jadi CEO."
Aku tersedak.
Ben senyum cepat-cepat membukakan segel botol air."Jangan gitu lagi."
"Gimana?" Tanyanya menyebalkan. Nggak menganggapiku serius.
"Kamu kalau ngomong suka nggak mikir ya Ben?"
"Iya. Perihal kamu, semuanya dari hati. Nggak perlu dipikir dulu." Ucap Ben lanjut menyuapi bibirnya dengan sepotong pizza dengan toping entahlah aku lupa tadi dia pesan apa.
“Oh sure, bullshit,”
“Hahahahha, kita lihat nanti.” Ucapnya entah bermakna apa.
Aku mengamatinya diam-diam. Siapa tahu ada clue dari ekspresinya tentang siapa dia, apa maunya. Apapun. Kenapa Tuhan bisa kepikiran pertemuin aku dengan Ben.
Tapi bagiku, mungkin seperti itulah Ben. Dia dengan semua kalimatnya yang hanya God Knows why. Mungkin ini yang sedang kami butuhkan. Teman dengan candaan sedikit manis. Candaan yang nggak perlu libatin hati.
“Nat..” Kudengar ada keraguan saat Ben memanggil namaku barusan.
“Hm?”
“Kamu kenal Gugi?”
“Oh.”
“Kenal?”
“Sedikit?”
Ben mengangguk. Entah apapun yang sedang lalu lalang di kepalanya, pasti itu ngeganggu dia banget.
“Mantan kamu?”
“Temen.”
“Dia kemarin kelihatan marah banget pas ngegep kita di mobil. Kayaknya itu bukan marahnya -temen- deh Nat.”
“Gugi. Ya emang cuma temen. Pernah sama-sama nyaman aja bentaran, sebelum akhirnya dia jujur kalau udah punya tunangan.”
“Kapan?”
“Dia jujur?”
Ben mengangguk.
“Hm. Waktu kita ketemu di Bandung?”
“I see.” Sekali lagi kulihat pria itu mengangguk. “He hurted you that much, Nat?”
Pertanyaan Ben kali ini nggak pernah terpikir sama sekali. Sebenarnya sejauh dan sesakit apasih Gugi lukain aku?
“Sakit. Kamu denger aku nangis. Kamu lihat mata aku sembab waktu itu. Tapi mungkin nggak sesakit yang kamu bayangin. Sebut aja, kecewa yang sedikit berlebihan tapi masih di dalam ambang batas.”
“Dia sepupu aku, Nat.”
“….”
“Aku bakal mastiin kalau dia nggak bakal nyakitin kamu lagi.”
“Sepupu kamu atau bukan, Gugi isn’t on my plate anymore, Ben.”
“Then put me on. Your plate. Put me on,” ucapnya sambil menaruh sepotong pizza di piringku.
Aku menatapnya sambil menahan senyumku. Kalimat Ben selalu manis. Itu fakta. Kuambil pizza yang dia beri barusan, “Hm, delicious..”
“Maksud kamu MOOOOOORE DELICIOUS,”
“Uhum?”
“Oh yes. Akuin aja.”
Tawa kami pecah. Kami tertawa. Dua hati yang baru saja diremukkan oleh orang lain itu tertawa.
Makan siang selesai dengan adegan Ben mengantarku ke lokasi meeting. Dia sempat menawarkan diri untuk menunggu agar bisa mengantarku pulang, tapi ku tolak.
Kubilang saja bahwa aku begitu amat mandiri dan tawarannya sedikit berlebihan untuk seorang teman. Hanya dia respon dengan anggukan dan senyuman manisnya. Ya Tuhan..
Sudah seminggu sejak aku dan Ben nggak komunikasi. Sejak makan siang itu, entah kenapa dia berhenti menghubungiku. Dia nggak ada di notifikasiku, nggak juga muncul di depan mataku. Apa aku mencari tahu alasannya? No. pekerjaanku sedang terlalu menumpuk untuk mencari kabar pria yang dengan sadar nggak ingin berkomunikasi denganku.
Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon yang nggak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang.
"Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku.
Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.
Mungkin dia baru dari kondangan. Bisa kutebak dari baju yang dia gunakan. Long dress dengan manik di sana sini. Wow. Bisa kalian bayangin bentukannya seperti apa? Coba dulu"Hm?" Tanyaku sesopan mungkin.
"Mbak Nata kan? Aku beberapa kali nonton Mbak di event musikalisasi."
Aku meng-ooh. Kemudian mengangguk. Cukup mengagetkan ada yang mengenaliku dari acara itu, mengingat hanya kuhadiri sesekali.
"Oh hey. Nggak nyangka ada yang notice." Kataku dengan rambut yang dibalut handuk.
Mbak salon yang sedang duduk dan memijat lenganku pun ikut melempar senyum kecil padanya."Masa nggak di-notice. Suaranya enak tahu. Foto bareng ya Mbak."
Oh nggak. Kutolak halus. "Aku bukan artis Mbak. Lagi handukan pula."
"Tetep cantik kok. Cantik kan yang?" Tanyanya menyenggol seseorang di sampingnya.
Aku menggeser sedikit untuk melihat cermin.
Melihat orang yang ketika ditanya langsung mengangguk ringan itu. Kurasa dia takjub melihat bagaimana cara Tuhan mempertemukan kami lagi dan lagi. Jadi ini pacarmu Gi? Eh tunanganmu. Yang kamu cinta dengan sungguh-sungguh itu? Kurasa kamu sama shoknya denganku saat tahu bahwa pacarmu mengidolakan aku. Senggaknya suaraku.Lagi-lagi aku nggak menjawab.
Kusenyumi kamera depan pacar Gugi yang entah sejak kapan sudah berada di hadapanku, dengan cewek ini di sampingku. Pipi kami berdempetan. Melekat tertempel satu sama lain. Siapa sangka? Not me.Setelahnya, sepasang itu pamitan. Si cewek ke meja kasir, sedang Gugi berjalan ke sofa tunggu.
Persis di belakangku. Bisa kulihat dia duduk lalu menatapku. Jadilah mata kami bertemu di cermin. Bagaimana rasanya bertatapan dengan Gugi? NGGAK ENAK. KAYA KETAHUAN NYOLONG.Salah tingkah, aku mengganti posisi agar nggak lagi melihat pantulan Gugi di cermin. Mustahil. Aku masih bisa melihatnya di belakang sana. Memperhatikanku. Dengan kedua bola mata setengah melotot. Menakutkan.
Dengan pelan kugeser kursiku.
Pelan-pelan. Awalnya Mbak yang lagi mijetin tanganku nggak protes. Tapi lama-kelamaan, Saat kursiku hampir nggak lagi terlihat di depan cermin, dia akhirnya protes."Kok nyerong-nyerong sih dek? Sini atuh deketan! Nggak selesai-selesai ntar."
Ingiiiiiiiin rasanya kusobek mulut perempuan ini.
Padahal suaranya nggak begitu besar dan menggelegar. Tapi kuyakin Gugi dengar. Pasti.Merasa nggak nyaman ditatap Gugi saat pacarnya duduk di kursi yang hanya berjarak semeter di sampingku, kuputuskan untuk menyudahi ritual pijat yang enak banget ini.
Nggak ada pilihan lain. Kubisikin Mbaknya bahwa aku punya kesibukan mendadak lain jadi tolong rambutku langsung dibilas dan dikeringin aja.
Setelah membayar, aku buru-buru keluar salon. Berada di satu gedung yang sama dengan Gugi dan perempuan itu adalah kenggak sanggupan. Bukan cemburu.
Nggak suka aja. Beda ya. Catet!Dan berhasil.
Detak jantungku terasa begitu normal hingga seseorang merampas kunci yang baru kukeluarkan dari tas. Demi apapun aku hampir teriak jika nggak kulihat Gugi sudah mendahuluiku duduk di kursi kemudi.Gugi.
Di kursi kemudiku.
Tunangan perempuan lain.
Di mobilku.
NATA’S POVMataku mondar mandir ngecek barang-barang yang ada di list dan yang ada di hadapanku. Kok banyak banget? Masa iya dua koper gede sama satu koper cabin nggak cukup? Perasaan bajuku nggak sebanyak itu deh. Perlengkapan bayi yang kubawa juga nggak banyak. Hanya beberapa yang sudah kupastikan akan susah kudapat di NZ. Tapi kok nggak masuk semua?Kamu tahu apa? packing bukan keahlianku. Aku nggak bakat soal beginian.Nggak bisa. Oleh karena itu, aku butuh bantuan.Kugapai Hpku, mencari satu nama di sana, dan langsung men-dial-nya tanpa ba bi bu.“Halo?” See? Orangnya langsung ngejawab. Nggak sia-sia kan dia langsung terlintas di benakku.“Sibuk nggak lu?”“Banget,”“Vip, gue serius.”“Nat, apapun itu, agak sorean bisa nggak? Ini minggu, coy. Gue menolak bangun dan nyamperin lu sepagi ini,”“Bantuin gue ngelipet baju doang Vip. Ini koper gue kepenuhan, tapi barang gue masih banyak yang belom masuk,”“Lu umur berapa sih Nat? Masa packing doang nyusahin orang?”“Emang lu orang? Kema
GUGI’S POVJika ada satu hal saja yang ingin kuhindari, itu adalah senyuman Jenata yang bukan milikku. Bagaimana mungkin dia bisa begitu lepasnya tertawa di atas penderitaanku? Sebutlah aku egois karena aku hanya ingin dia bahagia jika menjadi pasanganku. Tapi apa yang salah dari itu?“Pacar Gugi cantik ya Bang? Mama suka deh,” ucap Mama yang nggak menegerti apa-apa itu. Dan kalian tahu apa? Untuk pertanyaan itu saja aku harus setuju.“Semoga Ben kali ini langgeng deh sama Nata,” sambungnya sekali lagi. Berhasil memancing emosiku.“Bisa nggak Mama stop bahas Ben Ben Ben Ben terus?” tanpa sadar, kecepatan mobilku bertambah. Nafasku memburu. Seperti ada sesuatu yang ingin meledak keluar dari balik rusukku. Kakiku reflek menginjak pedal gas itu semakin dalam.“ASTAGFIRULLAH BANG KOK LAJU BANGET BANG? PELAN-PELAN NAK. HEY! GUGI KAMU KENAPA NAK?”“I L0VE HER FIRST, MA! GUGI YANG PERTAMA SAYANG SAMA NATA! GUGI YANG PERTAMA CINTA! KENAPA DIA HARUS SAMA BEN BUKAN GUGI?!” sekali lagi pedal gas
Usai melepaskan Ben, kini aku harus melepaskan satu lagi hal yang cukup kucintai demi kewarasanku.“Apa nih Nat?” tanya Pak Bari menerima selembaran yang baru saja kuserahkan.“Saya resign pak,”“Kurang gaji kamu?”“Iya Pak, sama emang saya mau pindah,” jawabku jujur yang entah kenapa nggak bisa dia percaya sedikitpun. Nggak tahu bagian mana yang dia pikir bohong dari kalimatku tadi. Semuanya jujur.“Jangan ngelucu deh Nat. Saya lagi mumet,”“Serius Pak,”Pak Bari menatapku dengan dahinya yang terkerut tiba-tiba. Bekerja di perusahaannya bertahun-tahun memang membuat hubungan kami cukup dekat. Tapi dia selalu tahu kapan aku bercanda atau serius. Kali ini salah satunya.“Kamu kenapa? Burnout? Ajuin cuti. Bukan surat resign gini,”“I’ll be moving abroad this couple days, Pak,”“Kemana?”“New Zealand,”“For what?”“A new life with my baby?”Pak Bari lagi-lagi terdiam. Ekspresi kagetnya terpancar banget. Aku bisa saja nggak memberitahunya tentang ini. Tapi untuk apa? Dunia harus tahu aku
Kepalaku penuh. Dari banyaknya wanita di dunia ini, kenapa harus aku yang berada di antara Gugi dan istrinya? Pertanyaan itu terus muncul setelah Mas Rumi dan Vipa balik.Mendengar Gugi hampir kabur dari venue akad nikahnya pagi tadi setelah tahu Vipa membawaku ke IGD, terlalu membawa banyak dan beragam perasaan ke hatiku. Dan semuanya nggak baik. Syukurnya Mas Rumi dan beberapa orang berhasil nahan dia.Tapi entah kenapa, ada sesuatu yang ngebuat aku ngerasa perlu bertindak. Aku rasa, aku, kamu, kita berdua tahu betapa nekatnya Gugi. Aku nggak tahu perihal besok, tapi aku tahu betul bagaimana perasaanku. Aku goyah. Masih goyah.Oleh karena itu, hari ini aku udah janjian brunch dengan Ben. Di salah satu bakery baru dekat kantorku. Dia dateng persis saat pesananku, Puits d'Amour, baru aja dianterin. Sedangkan untuk dia, udah aku pesenin cheesecake kesukaannya. Tourteau Fromager.“Bonjour, Madame,” sapanya hangat mengelus kepalaku. Penuh senyuman.“Bonjour, Monsieur,” balasku.“Gimana t
“MAS RUMI!” pekikku lepas kontrol ketika mendapati sosok yang datang justru bukan yang kukhawatirkan.Nggak langsung menjawab atau menyapaku, yang dia lakukan justru maju dan memeriksa kepala hingga jari kakiku. “Kamu kenapa Jenata? Hah?”“Apanya?”“Ada yang sakit?” tanyanya lagi.Aku hanya menggeleng. Bingung. Aku mempersilahkannya masuk dan bergabung denganku juga Vipa di ruang TV.Seperti dua Babu yang lagi kena semprot Majikannya, aku dan Vipa duduk di sofa dan nunduk diem seribu bahasa. Entah yang kami takutin apa. Sementara Mas Rumi berdiri tegak di depan kami, melipat kedua lengannya di dada. Menatap seperti elang. Tajem seperti cutter Gramedia.“Vipa? Nata kenapa?” Mas Rumi pinter. Dia menyerang Vipa terlebih dahulu.“No komen dulu ya Mas. Tanya langsung ke anaknya aja. Punten banget ini mah,” elak Vipa yang nggak membantu posisiku sama sekali.“Nat?”“Nggak ada apa-apa Mas,”“Mau sampai kapan kalian bohongin Mas? Mau sampe malam? Oke, Mas bisa banget nih berdiri kaya gini sam
[ Gugi’s POV ]Terlalu bising. Ini harusnya bising yang membuatku bahagia. Tapi nggak. Aku benci bisingnya. Orang-orang lain sibuk kecuali aku. Mama yang sedari tadi bolak balik memastikan aku sudah siap dan nggak kekurangan apapun, papa yang nggak kalah sibuknya dengan Crew Wedding Organizer, dan orang-orang lain yang merasa punya kepentingan di ruang ini. Demi apapun aku nggak suka.“Raf,” panggilku pada Raffi yang standby menemaniku sejak subuh tadi. Assistenku di kantor, juga sahabatku.“Kenapa Mas?”“Pinjem HP lu dong,”“Buat?”“Gue butuh ngomong sama Nata,” bisikku.“Mas, please lu jangan aneh-aneh,” ucap Raffi memelototiku yang langsung kubalas.“HP lu. Sekarang!”Tahu watakku seperti apa, Raffi mau nggak mau minjemin HPnya.Kutekan nomor Nata yang sudah kuhapal di luar kepala itu, dengan jariku yang sedikit gemetar. Aku berjalan ke balkon. Menjauh dari kebisingan, setelah pamit ke orang-orang dengan alesan ada telepon dari salah satu klien penting. Dan harus kuangkat.Nggak ad