Sudah hampir seminggu sejak perihal kalimat Ben waktu itu. Yang dengan polosnya menyebutku sayang. Ingat? Good. It’s been a whole week.
Dan kalian tahu apa?
That’s it.
Selebihnya, tidak lagi.Dia tidak menghubungiku.Tidak ke kantorku.Tidak melakukan apapun untuk membuktikan kalimatnya sendiri.Apa aku mencari tahu alasan Ben atas tingkahnya yang di luar dugaan ini?
Tentu saja tidak.Sesuai permintaannya, aku sempat meneleponnya seusai meetingku kelar hari itu.Kami ngobrol tidak lama. Tidak sampai lima menit.Selebihnya tidak terjalin hubungan apa-apa lagi.Kalian bingung? Sama. Aku juga.
Sekarang aku sedang di salah satu salon langgananku. Salon tidak begitu ramai. Mungkin karena ini sudah jam enam sore. Biasanya sih cewek-cewek yang mau nge-date, ke salon sejak siang.
"Mbak Nata?" Seru yang berhasil membuatku mendongak, melihat sosok yang baru saja menyebut namaku.
Seorang gadis berjilbab coklat dengan makeup bold yang luar biasa bold.
Mungkin dia baru dari kondangan.Bisa kutebak dari baju yang dia gunakan. Long dress dengan manik di sana sini.Wow. Bisa kalian bayangin bentukannya seperti apa? Coba dulu"Hm?" Tanyaku sesopan mungkin.
"Mbak Natakan? Aku beberapa kali nonton Mbak di event musikalisasi."
Aku meng-ooh. Kemudian mengangguk. Cukup mengagetkan ada yang mengenaliku dari acara itu, mengingat hanya kuhadiri sesekali.
"Oh hey. Nggak nyangka ada yang notice." Kataku dengan rambut yang dibalut handuk.
Mbak salon yang sedang duduk dan memijat lenganku pun ikut melempar senyum kecil padanya."Masa nggak di-notice. Suaranya enak tahu. Foto bareng ya Mbak."
Oh tidak. Kutolak halus. "Aku bukan artis Mbak. Lagi handukan pula."
"Tetep cantik kok. Cantikkan yang?" Tanyanya menyenggol seseorang di sampingnya.
Aku menggeser sedikit untuk melihat cermin.
Orang yang ketika ditanya langsung mengangguk ringan itu.Kurasa dia takjub melihat bagaimana cara Tuhan mempertemukan kami lagi dan lagi.Jadi ini pacarmu Gi? Eh tunanganmu.Yang kamu cinta dengan sungguh-sungguh itu?Kurasa kamu sama shoknya denganku saat tahu bahwa pacarmu mengidolakan aku. Setidaknya suaraku.Lagi-lagi aku nggak menjawab.
Kusenyumi kamera depan pacar Gugi yang entah sejak kapan sudah berada di hadapanku, dengan cewek ini di sampingku.Pipi kami berdempetan. Melekat tertempel satu sama lain. Siapa sangka? Not me.Setelahnya, sepasang itu pamitan. Si cewek ke meja kasir, sedang Gugi berjalan ke sofa tunggu.
Persis di belakangku.Bisa kulihat dia duduk lalu menatapku.Jadilah mata kami bertemu di cermin.Bagaimana rasanya bertatapan dengan Gugi?NGGAK ENAK. KAYA KETAHUAN NYOLONG.Salah tingkah, aku mengganti posisi agar tidak lagi melihat pantulan Gugi di cermin. Mustahil. Aku masih bisa melihatnya di belakang sana. Memperhatikanku. Dengan kedua bola mata setengah melotot. Menakutkan.
Dengan pelan kuggeser kursiku.
Pelan-pelan.Awalnya Mbak yang lagi mijetin tanganku nggak protes.Tapi lama-kelamaan,Saat kursiku hampir tidak lagi terlihat di depan cermin, dia akhirnya protes."Kok nyerong-nyerong sih dek? Sini atuh deketan! Nggak selesai-selesai ntar."
Ingiiiiiiiin rasanya kusobek mulut perempuan ini.
Suaranya sebenarnya nggak begitu besar dan menggelegar. Tapi kuyakin Gugi dengar. Pasti.Merasa nggak nyaman ditatap Gugi saat pacarnya duduk di kursi yang hanya berjarak semeter di sampingku, kuputuskan untuk menyudahi ritual pijat yang enak banget ini.
Nggak ada pilihan lain. Kubisikin Mbaknya bahwa aku punya kesibukan mendadak lain jadi tolong rambutku langsung dibilas dan dikeringin aja.
Setelah membayar, aku buru-buru keluar salon. Berada di satu gedung yang sama dengan Gugi dan perempuan itu adalah ketidak sanggupan. Bukan cemburu.
Nggak suka aja. Beda ya. Catet!Dan berhasil.
Detak jantungku terasa begitu normal hingga seseorang merampas kunci yang baru kukeluarkan dari tas. Demi apapun aku hampir teriak jika tidak kulihat Gugi sudah mendahuluiku duduk di kursi kemudi."Kamu apa-apan sih? Keluar nggak!"
"Nggak. Naik buruan!" Titahnya.
"Nggak. Kamu turun dulu. Ini mobil aku. Kamu ngapain?"
"Kamu mau naik sendiri apa harus aku paksa?"
"Enak banget kamu perintah-perintah! Turun!" Protesku nggak percaya dia punya keberanian memerintahku setelah semua kelakuannya belakangan ini. Hebat.
Gugi mengangguk.
Lalu turun. Kupikir akhirnya dia mengalah.Tapi yang terjadi adalah, pria ini menarik tanganku, kemudian dia giring naik ke kursi penumpang. Menutup pintu. Dan berlari kembali ke kursi pengemudi. Menatapku sekilas, menginjak gas, dan mobil inipun melaju. Persis adegan penculikan anak SD.Meninggalkan gedung itu.Menginggalkan gadis itu.Sudah sekian kilo kami duduk bersama.
Tidak sedikitpun dia bicara."Kamu mau kemana sih Gi? Minimal jelasin!" Tanyaku kesal.
"Ke Ben."
"Ngapain?"
Dia nggak ngejawab.
Mobil melaju hingga kami berdua berhenti di salah satu rumah yang cukup ramai.Ada tenda di depannya juga beberapa kursi yang di atur sejajar.Bisa kurasakan kepalaku sakit menghadapi Gugi hari ini.
"Ayo turun." Ajaknya.
Aku menatap Gugi. Dalam. Sangat dalam.
Aku baca papan bunga di samping-samping tenda. Semua karangan itu memberi selamat atas pertunangan Arben Raditya & Tania Hapsari.Jantungku kembali memburu. Perutku juga seketika mules."No."
"Harus kamu aku seret lagi Nata?"
"Lucu."
"Lucu? Nat, buka deh mata kamu!"
"Kamu turun gih Gi. Kamu buang-buang waktu aku banget. Sumpah."
Dia menatapku geram.
Pria itu lagi-lagi keluar dan membuka pintu di sebelah kiriku.Menarikku hingga mau tidak mau aku turun juga."Ikut aku."
"Nggak! Stop Gi! Lepasin tangan aku nggak!" Bentakku dengan suara keras. Gugi kaget dengan responku. Sedang beberapa orang yang tengah berdiri di depan tenda langsung menatap kami yang hanya berjarak beberapa meter dari situ. Satu di antaranya adalah Ben.
Kulihat Ben sangat terkejut melihatku bersama Gugi. Membuat keributan di depan tempat acaranya.
Panik mendapati Ben yang sedang berjalan ke arah kami, kutarik kunci mobil dari tangan Gugi dan langsung berbalik.Meninggalkan tempat ini dan dua lelaki itu adalah satu-satunya hal yang ada di kepalaku sekarang.Tapi tentu saja aku cukup lambat. Kedua pria itu bisa langsung menghentikanku.
"Nata?" Masih berani-beraninya Ben menyebut namaku. Tidak cukup hanya menyebut nama, dia bahkan berusaha memegang tanganku. Tentu ku tepis kasar. Begitu pula Gugi yang membantu menjauhkan tangan Ben dari tanganku. "Gugi, ada apa ini?" Tanyanya bodoh.
"-Ada apa- Ben? Lu habis nyium Nata, terus tunangan sama cewek lain, dan sekarang lu tanya ada apa? Minimal lu jelasin ke dia!" Gugi menyerang Ben dengan fakta.
Aku menarik Gugi. Menamparnya. Cuma sekali. Harusnya berkali-kali.
"Ini tujuan kamu bawa aku ke sini? Iya? Permaluin aku?" Kurasa air mataku sudah di ujung mata. Bisa kurasakan suaraku bergetar.
"Nat, nggak gitu. Aku bawa kamu ke sini, biar kamu bisa tahu orang macem apa yang kamu pikir baik buat kamu! Lihat! Buka mata kamu! Dia udah tunangan sama orang lain Nat!"
"Terus kenapa Gi? Peduli kamu apa? Dia berhak tunangan sama siapapun. Kamu salah bawa aku ke tempat ini." Ucapku membela Ben. Entah kenapa aku masih sempat membela pria brengsek itu. Tapi yang kutahu, sekarang, membela Ben adalah upayaku menjaga harga diriku sendiri.
"Tapi dia udah nyium kamu Nat! Aku tahu dia udah janjiin macem-macem jugakan ke kamu?"
Aku menatap Gugi lekat-lekat.
Penuh kebencian.Kutahu dia bisa liat itu."Dengerin aku baik-baik ya Gugi. Aku bisa nyium siapapun yang aku mau. Dia atau siapapun. Dan setau aku, itu bukan urusan kamu. Sedikitpun. Jadi please nggak usah ngomong seolah-olah kamu nggak pernah ngehancurin perasaan orang setelah janjiin dunia ke orang itu. Munafik. Sampah! MINGGIR!" Tekanku marah. Sedikit mendorongnya.
Aku masuk ke mobil, menjalankannya dan melaju selaju mungkin.
Hampir menabrak beberapa orang yang tadi sempat menonton kami.Aku tidak peduli.Dadaku sesak. Kepalaku hampir meledak.Mataku sembab.Air mataku menetes.Yang kutau, ketika mengusap air mata itu, kuusap pula harapanku pada Ben.Pria yang kupikir beda, yang kupikir baik.Yang kupikir akan jadi milikku.Akan utuh untukku.Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.Salahku.Aku yang salah.Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.Rupanya, cinta itu mendewasakan.Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, ba
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p
Aku mendapati diriku berada di salah satu Night Club di Jakarta Selatan. Terjebak di keramaian yang nggak asing, tapi jelas dari gerak-gerikku, aku nggak familiar dengan keramaian seperti ini. Musik yang dar dar dar itu membuat jantungku seperti sedang bermasalah, membuatku nyaris nggak tahan, dan ingin keluar secepatnya. “VI GUE BALIK DULUAN YA! BISA BUDEG GUE DI SINI!” Teriakku ketika sukses menarik kuping Vipa mendekat. Terlihat yang punya kuping menatapku kesal. “OH NGGAK BISA TA! INI ULTAH GUE. PALING NGGAK LU HARUS TEMENIN GUE AMPE ACARA INI KELAR! JUS JERUK LU GUE REFIL DEH” Aku memelototi cewek disampingku dengan tatapan nggak percaya. Bisa-bisanya dia memaksaku duduk berjam-jam di tempat seperti ini. “NGGAK USAH! BISA OVERDOSE VITAMIN C GUE GEGARA LU!” Kesalku. Sedang Vipa hanya tertawa mengecup pipiku kemudian lanjut larut dalam lagu EDM yang jelas kubenci itu. Dia bahkan mengiyakan saat beberapa tamu menariknya ke dance floor. I swear Vip, gue harap Umi lu di Cimahi
Aku duduk manis di mobil Gugi. Nggak mau repot-repot menatapnya di samping. Tadi kami sempat berdebat di parkiran. Menurutnya yang sok pintar itu, aku harus pulang bersamanya, dan menitipkan kunci mobilku pada satpam disitu untuk nanti diambil oleh temannya.Aku menyandarkan kepalaku pada kacanya yang berembun, sedang pandanganku lurus ke depan. Memerhatikan jalanan dini hari ibu kota yang nggak seramai jam-jam sebelumnya.Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Mataku sesekali mengikuti arah wiper yang Gugi aktifkan. Sampai akhirnya mobil itu berbelok memasuki kawasan apartemen tempatku tinggal. Gugi memarkirkan mobilnya di basement, tapi tidak mematikan mesinnya.Dengan lemas, aku membuka seatbelt yang kukenakan. Kemudian diikuti olehnya. Baru aku mau membuka pintu mobil, tangannya terjulur menghentikanku."Nat..""Udah malem Gi. Aku capek banget.""Aku tahu, tapi please jangan gitu lagi."Aku berbalik menatapnya. Nggak paham."Jangan gitu lagi apa?""Ke tempat kaya gitu, apa lagi s
Yang kusyukuri adalah, Gugi nggak ngotot malem ini menyusulku naik ke unit. Mungkin dia tahu betul, keadaannya sedang nggak kondusif dan aku bener-bener kehabisan tenaga buat lanjut ngehadepin dia malam ini. Sesampainya di lantai yang kutuju, mataku menangkap sesuatu di depan pintu. Itu bukan Gugi lagikan? Dan memang bukan. Itu bouquet bunga dengan kertas coklat lusuh yang membungkusnya. Dahiku mengernyit membuat dua alisku yang lupa kupertebal tadi pagi hampir bertemu di tengah. Aku mengangkatnya dan membuka pintu. Langkahku kuseret hingga sofa. Kuperhatikan bunga di tanganku dengan seksama. Ini kali pertama aku ngelihat bunga jenis ini. Oh ada catatan kecil tergulung dan diselip agak dalam. Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi aku janji bakal jawab semuanya. Nanti, saat semua keterlanjuran ini beres aku tanganin. Ini Hyacinth, Nata. Yang ungu melambangkan kesedihan, dan penyesalah. Maafin aku udah nyakitin kamu dengan cara yang paling kamu benci. Nyakitin kamu rasanya n
Aku nggak pernah secanggung ini makan bareng orang tua sendiri. Nggak pernah, sampai hari ini. Sampai Gugi di sini. Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Papah. Dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung di kedua sisi hingga beberapa senti di bawah sikunya. Hari ini rambutnya rapi nggak kaya biasanya. Di sepanjang garis rahangnya terlihat bulu-bulu halus yang mulai tumbuh. Kumisnya pun begitu. Kenapa dia di sini? Tepat saat kedua orang tuaku sedang berkunjung?Bukankah seharusnya dia berada dimanapun selain di sini? “Jeee, kamu kok nggak bilang sih kalau janjian sama temennya? Tahu gitu Mamah masak lebih banyak tadi." Aku menatap wanita di sampingku yang tengah tersenyum-senyum menatap Gugi itu. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya.“Oh saya memang nggak janjian sama Nata, Tante. Tadi kebetulan emang lewat daerah sini.” Gugi menjelaskan dengan senyuman yang tertarik dari ujung kuping kanan ke kirinya. “Kebetulan katanya Pah, hahaha. Lucu ya temen Jeje,” kini Mamahku
Aku menarik nafas yang dalam sebelum membuangnya dihadapan kedua mata Ben. “Ben, aku segitu bodohnya ya di mata kamu?” “Nata, please ngomong pakai hati kamu. Jangan pakai emosi.” “Hati? Jadi kamu pikir kamu cukup tahu hati aku seperti apa?” Dia mencoba menjangkau tanganku. Kutepis. Sambil melihat ke sekeliling. Takut gerakan kami berdua terlalu mencolok dan menarik perhatian orang-orang. Lagi. “Nata, aku tahu kita bisa ngobrol dengan tenang. Nggak pakai emosi.” “Kamu yang bisa. Aku nggak. Ben, apapun itu, tolong nggak sekarang.” Aku memohon. Menatap matanya lebih dari lima detikpun aku belum mampu. Apa lagi dibujuk-bujuk. Nggak bisa. “Apa yang nggak sekarang?” “Ini. Apapun ini. Jangan sekarang.” “Nggak. Ini harus sekarang.” Ngototnya. “Ben, kayaknya tenaga dan mental aku belom pulih deh dari semua kegilaan kamu kemaren. Kamu tahu nggak rasanya kayak apa? Kaya naik Roller Coaster. Terlalu cepat sampai aku mual.” “Aku tahu, makanya aku di sini. Untuk minta maaf, untuk jelasin