Share

[ 9 ]

Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.

Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.

Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.

Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.

Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.

Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.

Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.

Untuk ngebayangin gimana kedepannya.

Serius. Ben se-magic itu.

Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.

Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.

Salahku.

Aku yang salah.

Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.

Rupanya, cinta itu mendewasakan.

Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, bahwa walaupun karena orang lain, tapi semua kecewa bermula karena harapan dan ekspektasimu sendiri. Yang kamu yakinin. Berakhir kamu tangisin.

"Nat? Nata!"

Aku mengangkat kepalaku dan melihat sekeliling. Rupanya masih di ruang rapat. Mas Rumi mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja. Berharap bisa mengembalikanku dari lamunan. Dan berhasil.

"Hah?" Tanyaku pada Mas Rumi yang menatapku khawatir.

"Kontraknya?" Rumi memberi clue.

"Oh sure. I'm in. Mas Rumi?"

"Anything you said, Captain."

"Oke. Kalau gitu, apa dari pihak Mbak Putri sebagai klien ada yang mau ditambahin mungkin?" Lanjutku.

"Nggak ada. Kita cuma mau mastiin konsep ini bisa dihandel sama kantornya Mbak Nata meskipun outdoor. Can't wait to the next progress." Ucap Putri, gadis dengan tubuh sedikit berisi di balut setelan serba merah muda, menyalami kami berdua.

"Sebelumnya saya pribadi mewakili kantor minta maaf kalau pihak kami butuh waktu cukup lama untuk mempertimbangkan email dari Mbak Putri sebelumnya." Sambung Mas Rumi. Mewakiliku.

"Nggak masalah Mas. Toh akhirnya kita bisa kerja sama juga. Good things takes time-kan?" Cocok Put. Seruku dalem hati.

Dan kami semua tertawa. Sepakat.

Aku tertawa untuk pertama kalinya sejak insiden sakit hati kemarin malem.

Tapi bukankah memang seperti ini kenyataannya?

Sesibuk-sibuknya patah hati, semua bakal terobati?

Cepat atau lambat. Patah hati, akan terobati.

Setelah mengantarkan Putri dan timnya ke parkiran cafe, aku dan Mas Rumi juga langsung ke arah mobil.

"Ada apa sih Nat? Kelihatan banget nggak fokusnya hari ini." Tanya pria yang tengah membenarkan kupluknya itu.

"Kelihatan banget ya?"

"Uhum. Kayaknya seruangan juga tadi sadar kalau kamu lagi nggak fokus. What's wrong? Tell me."

"Nah. It's ok. Hanya pikiran-pikiran yang sepintas muncul kali Mas. Nggak usah dibahas."

"Sejak kapan -pikiran-pikiran yang sepintas muncul- bisa nge-distract seorang Jenata saat kerja?"

"I don't even know Mas. Udah ah." Larangku sambil memasuki mobilnya.

"Who is he?" Sergapnya to the point. Belum menyerah.

Aku menghela nafas. Soal seperti ini, kayaknya belum pernah aku bisa lolos dari tebakan-tebakan Rumi.

"Some guy." Akuku akhirnya.

"Wanna talk about it?" Pancingnya.

"Shall we?"

"Well, I'll buy you a drink?" Shit. Rumi satu dari sedikit cowok yang tahu kapan harus menyogokku.

"And a Wing Stop." Tambahku. Kesempatan.

"And a Wing Stop." Mas Rumi setuju.

"Deal."

*

Dan aku menceritakan semuanya.

Semuanya.

"Kalau gitu, aku minta maaf karena udah berkontribusi dalam galau kamu kali ini."

"Kontribusi?" Aku menahan tawa. Kebangetan.

"Terus apa dong istilahnya?"

"Ya nggak kontribusi juga kali Mas Ruuuu. Emang patah hati apaan? Event?"

"Event yang patut dirayain. Cheers." Ajaknya sambil menaikkan gelas sodanya ke udara.

Aku menggeleng sebelum meladeninya. "Cheers."

"Mulai sekarang, kalau Gugi ngegangu Kamu, kabarin aku. Biar aku yang ladenin."

Aku berdecik mendengar nama itu. Gugi.

Entah kenapa hubunganku dengan Gugi bisa sekacau ini. Maksudku, semua sudah baik-baik saja, sampai Ben membawaku ke ruangannya untuk menunggu.

Benarkan?

Kalau dipikir-pikir, kami mengakhiri hubungan tanpa status itu dengan amat sangat baik. Dia kembali ke pelukan pacarnya, sedang aku ke pelukanku sendiri. Dia melanjutkan hubungan yang maha sempurnanya, sedang aku bertemu seseorang yang baru.

Tapi lihat bagaimana dewa cinta mempermainkanku.

Entah bagaimana aku bisa bertemu dengan yang nggak lain nggak bukan adalah sepupunya. Pria yang baru saja menginjak-injak perasaanku.

Dan lucunya lagi, pria itu akhirnya bertunangan dengan mantan pacarnya hanya beberapa hari setelah "seolah-olah" menyatakan cintanya keaku.

Brengsekkan?

Kamu pernah sakit hati dua kali berturut-turut secepat ini? Aku pernah.

Mendengar tawaran Rumi yang sudih meladeni Gugi jika muncul lagi, seharusnya sih perkemarin malam dia udah nggak berani menggangguku ya.

Benarkan?

But well, I was wrong.

Malamnya, setelah Rumi mengantarku balik, aku dikagetkan dengan seseorang yang tengah duduk bersila depan pintu apartemenku. Gugi. Tertunduk terkantuk-kantuk. Masih dengan baju batik yang dia kenakan kemarin. Dia nggak pulang ke rumah, atau memang bajunya hanya itu?

Entahlah. Bukan urusanku.

"Minggir. Aku mau masuk." Usirku judes.

Kulihat dia hampir terjatuh sebelum lengan kiri pria itu berhasil menahan tubuhnya.

"Nat? Kamu pulang?" Tanyanya sambil mengumpulkan tenaga untuk berdiri.

Nggak kujawab. Aku fokus memasukkan passlock pintuku yang susah kulihat karena tidak menggunakan kacamata. Aku lupa memakainya memang tadi ketika Mas Rumi menjemputku tiba-tiba di minggu pagi yang cerah untuk bertemu dengan Mbak Putri.

“Nata please.” Ucapnya sekali lagi.

Masih enggan kurespon. Aku masih sibuk memasukkan passlock ditengah kegelapan ini. Sebenarnya aku tidak serabun itu. Hanya saja, lampu depan pintuku sudah cukup remang-remang. Kurasa Pak Ada (salah satu teknisi kenalanku) belum menggantinya. Sudah dari seminggu lalu kuberitahu padahal.

"Nat." Kali ini Gugi menggapai tanganku. Menghentikanku dari kegiatan yang tengah kulakukan.

"Jangan pegang-pegang Gi!" Cepat-cepat genggamannya kulepaskan. Aku bahkan menambahkan kesan tidak sukaku dengan memelototkan mata padanya.

Tapi bukannya marah, aku justru terkejut melihatnya. Gugi berdiri dengan wajah yang penuh lebam. Bahkan di pinggir bibirnya penuh darah yang sudah mengering belum dibersihkan. Dan, dan matanya.

Matanya yang sayu menatapku tanpa tenaga. Tidak terlihat jelas memang tapi aku bisa melihat semua lebamnya dengan seksama.

Mataku turun ke arah kemejanya. Dua kancing teratas terbuka dan tidak kutemukan kancing lagi terjahit di sisi sebelah kiri. Kemeja lecek itu tampak sangat berbeda bentuk dengan yang kemarin dia kenakan, padahal harusnya sama. Aku yakin betul itu adalah kemeja yang sama.

Cepat-cepat mataku turun ke arah tangannya.

Kujangkau dan kuangkat ke dalam genggamanku dengan niat untuk memastikan sesuatu.

Dan benar. 

Pada punggung tangan kanannya terdapat lebam-lebam dan darah yang lagi-lagi sudah mengering. Juga beberapa pasir yang terjebak di luka-lukanya.

Aku menatap matanya.

Tanpa bertanya tapi kurasa dia bisa langsung menjawab pertanyaanku.

"He deserved it." Ucap Gugi sambil menaikkan tangannya seraya memperlihatkan padaku bahwa Ben --pasti yang dia maksud adalah Ben- berhak mendapatkan pukulannya.

Aku menggenggam tangan yang dia naikkan dengan tangan kiriku. Menurunkannya, sedang tanganku yang kanan naik menyentuh lebam di pelipis lalu darah di bibirnya. "But you don't."

"For make you cried, I deserved more than him."

Tampar aku, tapi kalimat yang Gugi ucapin barusan dengan suara yang bergetar juga air mata yang menetes di pipinya, menarikku jauh.

Jauh kembali ke waktu dimana antara aku dan egoku tidak ada emosi pada pria ini.

Tidak ada yang lain selain rasa ingin memeluknya meski hanya sekali.

Sekali yang cukup untuk menyembuhkan semua kecewa juga luka yang mungkin pernah didapatnya dari orang-orang sebelumku.

Dan disinilah aku.

Perempuan yang, sebutlah egois karena memeluk pria yang bukan milikku.

Tapi malam ini, untuk sekali aja, jikapun harus bersimpuh depan kekasihnya, aku mampu.

Biarin pelukanku pada tubuh Gugi terjadi dan dia ikhlasin malam ini.

Biarin aku nyembuhin apapun yang ngebuat pria ini nangis sekarang.

Satu.

Hanya satu pelukan.

Itu janjiku.

Kalaupun setelah ini ada pelukan yang lain,

Salahin Gugi atas itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status