Oke mungkin ini salahku. Kecewaku belakangan ini, semua salahku.
Bermain-main dengan perasaan yang belum sembuh.
Berpikir bahwa baik-baik aja memulai secepat ini.Tapi, siapa yang bisa nolak perlakuan manis saat lagi galau? Apa lagi perlakuan itu datang dari sosok setampan Ben.
Percaya deh, Ben bukan sosok yang bisa kalian hindarin gitu aja.
Tatapannya yang nggak mampu untuk nggak kalian balas, ucapan-ucapan manisnya yang spontan, sentuhannya yang begitu hati-hati.
Nggak butuh aku waktu lama untuk ingin tetap ada di samping Ben.
Untuk ngebayangin gimana kedepannya.Serius. Ben se-magic itu.
Ben tipe pria yang membuat 'suka' itu mudah untuk kita rasain. Nggak tahu deh.
Pokoknya, kecewaku yang kali ini pure kesalahan sendiri. Bukan salah Ben, bukan waktu.
Salahku.
Aku yang salah.
Well, kurasa Jenata Soebandono sampai pada umur cukup dewasa untuk nggak nyalahin siapapun atas patah hatinya.
Rupanya, cinta itu mendewasakan.
Mendewasakan siapapun yang mau berpikir di sela-sela tangisnya, bahwa walaupun karena orang lain, tapi semua kecewa bermula karena harapan dan ekspektasimu sendiri. Yang kamu yakinin. Berakhir kamu tangisin.
"Nat? Nata!"
Aku mengangkat kepalaku dan melihat sekeliling. Rupanya masih di ruang rapat. Mas Rumi mengetuk-ngetukkan pulpennya di atas meja. Berharap bisa mengembalikanku dari lamunan. Dan berhasil.
"Hah?" Tanyaku pada Mas Rumi yang menatapku khawatir.
"Kontraknya?" Rumi memberi clue.
"Oh sure. I'm in. Mas Rumi?"
"Anything you said, Captain."
"Oke. Kalau gitu, apa dari pihak Mbak Putri sebagai klien ada yang mau ditambahin mungkin?" Lanjutku.
"Nggak ada. Kita cuma mau mastiin konsep ini bisa dihandel sama kantornya Mbak Nata meskipun outdoor. Can't wait to the next progress." Ucap Putri, gadis dengan tubuh sedikit berisi di balut setelan serba merah muda, menyalami kami berdua.
"Sebelumnya saya pribadi mewakili kantor minta maaf kalau pihak kami butuh waktu cukup lama untuk mempertimbangkan email dari Mbak Putri sebelumnya." Sambung Mas Rumi. Mewakiliku.
"Nggak masalah Mas. Toh akhirnya kita bisa kerja sama juga. Good things takes time-kan?" Cocok Put. Seruku dalem hati.
Dan kami semua tertawa. Sepakat.
Aku tertawa untuk pertama kalinya sejak insiden sakit hati kemarin malem.
Tapi bukankah memang seperti ini kenyataannya?
Sesibuk-sibuknya patah hati, semua bakal terobati?
Cepat atau lambat. Patah hati, akan terobati.
Setelah mengantarkan Putri dan timnya ke parkiran cafe, aku dan Mas Rumi juga langsung ke arah mobil.
"Ada apa sih Nat? Kelihatan banget nggak fokusnya hari ini." Tanya pria yang tengah membenarkan kupluknya itu.
"Kelihatan banget ya?"
"Uhum. Kayaknya seruangan juga tadi sadar kalau kamu lagi nggak fokus. What's wrong? Tell me."
"Nah. It's ok. Hanya pikiran-pikiran yang sepintas muncul kali Mas. Nggak usah dibahas."
"Sejak kapan -pikiran-pikiran yang sepintas muncul- bisa nge-distract seorang Jenata saat kerja?"
"I don't even know Mas. Udah ah." Larangku sambil memasuki mobilnya.
"Who is he?" Sergapnya to the point. Belum menyerah.
Aku menghela nafas. Soal seperti ini, kayaknya belum pernah aku bisa lolos dari tebakan-tebakan Rumi.
"Some guy." Akuku akhirnya.
"Wanna talk about it?" Pancingnya.
"Shall we?"
"Well, I'll buy you a drink?" Shit. Rumi satu dari sedikit cowok yang tahu kapan harus menyogokku.
"And a Wing Stop." Tambahku. Kesempatan.
"And a Wing Stop." Mas Rumi setuju.
"Deal."
*
Dan aku menceritakan semuanya.
Semuanya.
"Kalau gitu, aku minta maaf karena udah berkontribusi dalam galau kamu kali ini."
"Kontribusi?" Aku menahan tawa. Kebangetan.
"Terus apa dong istilahnya?"
"Ya nggak kontribusi juga kali Mas Ruuuu. Emang patah hati apaan? Event?"
"Event yang patut dirayain. Cheers." Ajaknya sambil menaikkan gelas sodanya ke udara.
Aku menggeleng sebelum meladeninya. "Cheers."
"Mulai sekarang, kalau Gugi ngegangu Kamu, kabarin aku. Biar aku yang ladenin."
Aku berdecik mendengar nama itu. Gugi.
Entah kenapa hubunganku dengan Gugi bisa sekacau ini. Maksudku, semua sudah baik-baik saja, sampai Ben membawaku ke ruangannya untuk menunggu.
Benarkan?
Kalau dipikir-pikir, kami mengakhiri hubungan tanpa status itu dengan amat sangat baik. Dia kembali ke pelukan pacarnya, sedang aku ke pelukanku sendiri. Dia melanjutkan hubungan yang maha sempurnanya, sedang aku bertemu seseorang yang baru.
Tapi lihat bagaimana dewa cinta mempermainkanku.
Entah bagaimana aku bisa bertemu dengan yang nggak lain nggak bukan adalah sepupunya. Pria yang baru saja menginjak-injak perasaanku.
Dan lucunya lagi, pria itu akhirnya bertunangan dengan mantan pacarnya hanya beberapa hari setelah "seolah-olah" menyatakan cintanya keaku.
Brengsekkan?
Kamu pernah sakit hati dua kali berturut-turut secepat ini? Aku pernah.
Mendengar tawaran Rumi yang sudih meladeni Gugi jika muncul lagi, seharusnya sih perkemarin malam dia udah nggak berani menggangguku ya.
Benarkan?
But well, I was wrong.
Malamnya, setelah Rumi mengantarku balik, aku dikagetkan dengan seseorang yang tengah duduk bersila depan pintu apartemenku. Gugi. Tertunduk terkantuk-kantuk. Masih dengan baju batik yang dia kenakan kemarin. Dia nggak pulang ke rumah, atau memang bajunya hanya itu?
Entahlah. Bukan urusanku.
"Minggir. Aku mau masuk." Usirku judes.
Kulihat dia hampir terjatuh sebelum lengan kiri pria itu berhasil menahan tubuhnya.
"Nat? Kamu pulang?" Tanyanya sambil mengumpulkan tenaga untuk berdiri.
Nggak kujawab. Aku fokus memasukkan passlock pintuku yang susah kulihat karena tidak menggunakan kacamata. Aku lupa memakainya memang tadi ketika Mas Rumi menjemputku tiba-tiba di minggu pagi yang cerah untuk bertemu dengan Mbak Putri.
“Nata please.” Ucapnya sekali lagi.
Masih enggan kurespon. Aku masih sibuk memasukkan passlock ditengah kegelapan ini. Sebenarnya aku tidak serabun itu. Hanya saja, lampu depan pintuku sudah cukup remang-remang. Kurasa Pak Ada (salah satu teknisi kenalanku) belum menggantinya. Sudah dari seminggu lalu kuberitahu padahal.
"Nat." Kali ini Gugi menggapai tanganku. Menghentikanku dari kegiatan yang tengah kulakukan.
"Jangan pegang-pegang Gi!" Cepat-cepat genggamannya kulepaskan. Aku bahkan menambahkan kesan tidak sukaku dengan memelototkan mata padanya.
Tapi bukannya marah, aku justru terkejut melihatnya. Gugi berdiri dengan wajah yang penuh lebam. Bahkan di pinggir bibirnya penuh darah yang sudah mengering belum dibersihkan. Dan, dan matanya.
Matanya yang sayu menatapku tanpa tenaga. Tidak terlihat jelas memang tapi aku bisa melihat semua lebamnya dengan seksama.
Mataku turun ke arah kemejanya. Dua kancing teratas terbuka dan tidak kutemukan kancing lagi terjahit di sisi sebelah kiri. Kemeja lecek itu tampak sangat berbeda bentuk dengan yang kemarin dia kenakan, padahal harusnya sama. Aku yakin betul itu adalah kemeja yang sama.
Cepat-cepat mataku turun ke arah tangannya.
Kujangkau dan kuangkat ke dalam genggamanku dengan niat untuk memastikan sesuatu.
Dan benar.
Pada punggung tangan kanannya terdapat lebam-lebam dan darah yang lagi-lagi sudah mengering. Juga beberapa pasir yang terjebak di luka-lukanya.
Aku menatap matanya.
Tanpa bertanya tapi kurasa dia bisa langsung menjawab pertanyaanku.
"He deserved it." Ucap Gugi sambil menaikkan tangannya seraya memperlihatkan padaku bahwa Ben --pasti yang dia maksud adalah Ben- berhak mendapatkan pukulannya.
Aku menggenggam tangan yang dia naikkan dengan tangan kiriku. Menurunkannya, sedang tanganku yang kanan naik menyentuh lebam di pelipis lalu darah di bibirnya. "But you don't."
"For make you cried, I deserved more than him."
Tampar aku, tapi kalimat yang Gugi ucapin barusan dengan suara yang bergetar juga air mata yang menetes di pipinya, menarikku jauh.
Jauh kembali ke waktu dimana antara aku dan egoku tidak ada emosi pada pria ini.
Tidak ada yang lain selain rasa ingin memeluknya meski hanya sekali.
Sekali yang cukup untuk menyembuhkan semua kecewa juga luka yang mungkin pernah didapatnya dari orang-orang sebelumku.
Dan disinilah aku.
Perempuan yang, sebutlah egois karena memeluk pria yang bukan milikku.
Tapi malam ini, untuk sekali aja, jikapun harus bersimpuh depan kekasihnya, aku mampu.
Biarin pelukanku pada tubuh Gugi terjadi dan dia ikhlasin malam ini.
Biarin aku nyembuhin apapun yang ngebuat pria ini nangis sekarang.
Satu.
Hanya satu pelukan.Itu janjiku.
Kalaupun setelah ini ada pelukan yang lain,
Salahin Gugi atas itu.
Angin malam yang berhasil lolos melalui pintu balkon yang kubiarkan terbuka lebar ternyata cukup kurang ajar dalam menciptakan suasana super kikuk antara aku dan Gugi. Berdua, aku dan dia duduk di depan tv. Tidak di sofa. Di lantai beralaskan karpet yang belum pernah kucuci sejak kubeli setahun yang lalu. Kami duduk berhadapan. Dia bersila, aku juga. Setelah memastikan air es yang kugunakan untuk merendam handuk di mangkok sudah meresap, aku mengangkat dan memerasnya sedikit, kemudian menatap Gugi yang juga tengah menatapku. Kutempelkan handuk itu pada luka samping bibirnya. Dia belum berteriak sampai aku mulai menekan dan sedikit menggesekan handuk di sana. Biar darah yang sudah mengering itu bisa terangkat. Sekalian bersama beberapa buliran pasir halus yang terjebak di sana. "Nat, pelan. Sakit. Aw!" Ucapnya terpotong-potong. Menahan tanganku agar tidak bergerak dengan kasar. "Oh." "OH?" "Mau dibersihin nggak ini?" Dia mengangguk. "Tapi pelan-pelan Nat," mohonnya. Aku meliha
Matahari pagi masuk dari celah tirai jendela yang lupa ditutup semalem. Nggak hanya menghangatkan wajahku, tapi juga berusaha menembus kelopak mataku. Aku yang masih belum sadar penuh pun, meregangkan semua urat-urat juga tulang-belulang di tubuh seperti biasa, hingga tanganku menyentuh seseorang di sebelah kiri. Demi apapun aku kaget. Sedang yang kusentuh, yang ternyata sudah terbangun lebih dulu itu, menatapku dengan kepala yang bertumpuh pada lengan kanannya. Aku membeku. Kutahan posisi itu barang sekian detik. Memastikan aku sudah benar-benar bangun. Dengan berkedip-kedip beberapa kali, aku berusaha melihat wajah orang itu dengan jelas. Memastikan. Dia, Maksudku Gugi. Dia menopang kepala dengan lengan kanan yang membuat posisinya jadi lebih tinggi dari kepalaku. Pria itu maju mendekat dan mengecup keningku berulang kali, lalu pucuk hidungku, sebelum akhirnya satu kecup lembut mendarat di bibirku. Guuuuys, when I said lembut, it really is. Kelembutan bibirnya mengingatkanku p
Aku mendapati diriku berada di salah satu Night Club di Jakarta Selatan. Terjebak di keramaian yang nggak asing, tapi jelas dari gerak-gerikku, aku nggak familiar dengan keramaian seperti ini. Musik yang dar dar dar itu membuat jantungku seperti sedang bermasalah, membuatku nyaris nggak tahan, dan ingin keluar secepatnya. “VI GUE BALIK DULUAN YA! BISA BUDEG GUE DI SINI!” Teriakku ketika sukses menarik kuping Vipa mendekat. Terlihat yang punya kuping menatapku kesal. “OH NGGAK BISA TA! INI ULTAH GUE. PALING NGGAK LU HARUS TEMENIN GUE AMPE ACARA INI KELAR! JUS JERUK LU GUE REFIL DEH” Aku memelototi cewek disampingku dengan tatapan nggak percaya. Bisa-bisanya dia memaksaku duduk berjam-jam di tempat seperti ini. “NGGAK USAH! BISA OVERDOSE VITAMIN C GUE GEGARA LU!” Kesalku. Sedang Vipa hanya tertawa mengecup pipiku kemudian lanjut larut dalam lagu EDM yang jelas kubenci itu. Dia bahkan mengiyakan saat beberapa tamu menariknya ke dance floor. I swear Vip, gue harap Umi lu di Cimahi
Aku duduk manis di mobil Gugi. Nggak mau repot-repot menatapnya di samping. Tadi kami sempat berdebat di parkiran. Menurutnya yang sok pintar itu, aku harus pulang bersamanya, dan menitipkan kunci mobilku pada satpam disitu untuk nanti diambil oleh temannya.Aku menyandarkan kepalaku pada kacanya yang berembun, sedang pandanganku lurus ke depan. Memerhatikan jalanan dini hari ibu kota yang nggak seramai jam-jam sebelumnya.Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Mataku sesekali mengikuti arah wiper yang Gugi aktifkan. Sampai akhirnya mobil itu berbelok memasuki kawasan apartemen tempatku tinggal. Gugi memarkirkan mobilnya di basement, tapi tidak mematikan mesinnya.Dengan lemas, aku membuka seatbelt yang kukenakan. Kemudian diikuti olehnya. Baru aku mau membuka pintu mobil, tangannya terjulur menghentikanku."Nat..""Udah malem Gi. Aku capek banget.""Aku tahu, tapi please jangan gitu lagi."Aku berbalik menatapnya. Nggak paham."Jangan gitu lagi apa?""Ke tempat kaya gitu, apa lagi s
Yang kusyukuri adalah, Gugi nggak ngotot malem ini menyusulku naik ke unit. Mungkin dia tahu betul, keadaannya sedang nggak kondusif dan aku bener-bener kehabisan tenaga buat lanjut ngehadepin dia malam ini. Sesampainya di lantai yang kutuju, mataku menangkap sesuatu di depan pintu. Itu bukan Gugi lagikan? Dan memang bukan. Itu bouquet bunga dengan kertas coklat lusuh yang membungkusnya. Dahiku mengernyit membuat dua alisku yang lupa kupertebal tadi pagi hampir bertemu di tengah. Aku mengangkatnya dan membuka pintu. Langkahku kuseret hingga sofa. Kuperhatikan bunga di tanganku dengan seksama. Ini kali pertama aku ngelihat bunga jenis ini. Oh ada catatan kecil tergulung dan diselip agak dalam. Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, tapi aku janji bakal jawab semuanya. Nanti, saat semua keterlanjuran ini beres aku tanganin. Ini Hyacinth, Nata. Yang ungu melambangkan kesedihan, dan penyesalah. Maafin aku udah nyakitin kamu dengan cara yang paling kamu benci. Nyakitin kamu rasanya n
Aku nggak pernah secanggung ini makan bareng orang tua sendiri. Nggak pernah, sampai hari ini. Sampai Gugi di sini. Dia duduk tepat di hadapanku, di samping Papah. Dengan kemeja biru tua yang lengannya digulung di kedua sisi hingga beberapa senti di bawah sikunya. Hari ini rambutnya rapi nggak kaya biasanya. Di sepanjang garis rahangnya terlihat bulu-bulu halus yang mulai tumbuh. Kumisnya pun begitu. Kenapa dia di sini? Tepat saat kedua orang tuaku sedang berkunjung?Bukankah seharusnya dia berada dimanapun selain di sini? “Jeee, kamu kok nggak bilang sih kalau janjian sama temennya? Tahu gitu Mamah masak lebih banyak tadi." Aku menatap wanita di sampingku yang tengah tersenyum-senyum menatap Gugi itu. Aku tahu betul apa yang ada di pikirannya.“Oh saya memang nggak janjian sama Nata, Tante. Tadi kebetulan emang lewat daerah sini.” Gugi menjelaskan dengan senyuman yang tertarik dari ujung kuping kanan ke kirinya. “Kebetulan katanya Pah, hahaha. Lucu ya temen Jeje,” kini Mamahku
Aku menarik nafas yang dalam sebelum membuangnya dihadapan kedua mata Ben. “Ben, aku segitu bodohnya ya di mata kamu?” “Nata, please ngomong pakai hati kamu. Jangan pakai emosi.” “Hati? Jadi kamu pikir kamu cukup tahu hati aku seperti apa?” Dia mencoba menjangkau tanganku. Kutepis. Sambil melihat ke sekeliling. Takut gerakan kami berdua terlalu mencolok dan menarik perhatian orang-orang. Lagi. “Nata, aku tahu kita bisa ngobrol dengan tenang. Nggak pakai emosi.” “Kamu yang bisa. Aku nggak. Ben, apapun itu, tolong nggak sekarang.” Aku memohon. Menatap matanya lebih dari lima detikpun aku belum mampu. Apa lagi dibujuk-bujuk. Nggak bisa. “Apa yang nggak sekarang?” “Ini. Apapun ini. Jangan sekarang.” “Nggak. Ini harus sekarang.” Ngototnya. “Ben, kayaknya tenaga dan mental aku belom pulih deh dari semua kegilaan kamu kemaren. Kamu tahu nggak rasanya kayak apa? Kaya naik Roller Coaster. Terlalu cepat sampai aku mual.” “Aku tahu, makanya aku di sini. Untuk minta maaf, untuk jelasin
Mas Rumi mendahuluiku. Dia melarangku berdiri. Menyuruhku tetap duduk di kursi. Sedang Gugi menatapnya serius. “Masih berani lu nyari Nata? Kurang ungu pipi lu kemarin?” Ucap Mas Rumi mendekati Gugi. “Ru, gue nyari Nata. Bukan lu.” “Nggak gue ngizinin. Lu kalau mau bikin stres cewek, cari yang lain. Jangan temen gue!” Aku yang nggak tahan mendengar keributan mereka di tengah teman kerjaku yang lain, mencoba melerai. “Kamu duduk,” titahku menunjuk Mas Rumi, “kamu, pulang!” lalu menunjuk Gugi. “Oke, sama kamu. Ayo.” Ucapnya menarik pergelangan tanganku. Usahanya dihentikan Mas Rumi yang langsung melepaskan genggaman Gugi dengan menepaknya keras. Dan berhasil. “Udah gue bilang, gue nggak ngasih izin! Lu yang ikut gue sekarang!” Selanjutnya, mereka berdua meninggalkan ruangan. Entah kemana. Entah bahas apa. * [ Rumi’s POV ] “Percaya omongan gue, lu nggak bakal mau lihat gue naik pitam Gi!” Ucapku ngasih peringatan ke orang yang baruku kenal setahun belakangan itu. Orang yang d