“Kamu jangan bercanda, aku tidak mungkin bisa bersama dia. Secara kriteria calon pendamping yang aku harapkan bukan seperti dia,” kilah Ameera malu-malu.
Ameera berharap usahanya kali ini tak bisa membuat Vira menjamah lebih jauh isi pikirannya. Dengan begitu, ia bisa dengan leluasa bernapas.“Aku hanya berharap di kemudian hari kamu bisa mendapatkan apa yang kamu harapkan Meera,” kata Vira memanjatkan doa-doa sebagai harapan baik untuk sang sahabat.Ameera tersenyum simpul, dalam hati juga mengaminkan ucapkan Vira. Mereka berdua pada akhirnya berpisah setelah saling mengucapkan salam hangat. Sebelum masuk ke ruangan kerjanya, Ameera menghembuskan napas pelan.“Semoga aku tidak benar-benar menyukainya. Mungkin ini hanya perasaan kagumku saja,” gumam Ameera kemudian menekan kenop pintu.Suasana ruangan kerja Ameera sama seperti biasanya, Ia menaruh tasnya di atas meja, lalu duduk menguasai area kerjanya.“Aku sudah menunggumu sejak tadi Bu Ameera, sepertinya kamu datang terlambat dari biasanya.” sebuah suara berat seorang pria membuat Ameera terperanjat kaget. Ia menoleh ke belakang, dan mendapati orang yang sudah membuat jantungnya mencelos muncul di hadapan Ameera.“Pak Akbar, apa bapak sudah lama menunggu?” tanya Amera gugup. Desiran darahnya berpacu cepat. Efek menggila lagi-lagi membuat Ameera tak bisa mengendalikan diri.Aroma musk menyeruak membelai penciuman Ameera. Akbar melangkah sembari menyingkap tirai yang membatasi antara meja kerja dan ruang periksa. Wajah lelah dan kantung mata hitam langsung menjadi fokus Ameera saat Akbar mendekat.Ameera mengikuti kemana tubuh tegap nan kekar itu berjalan, hingga langkah Akbar terhenti di depan meja kerja Ameera.“Aku sudah menunggumu sejak satu jam lalu. Dokter jaga yang mengizinkan aku masuk kemari,” jawab Akbar acuh tak acuh. Pria itu menyandarkan tubuhnya pada kursi tamu. Menatap lurus pada Ameera yang juga duduk di seberangnya.Meja kerja bagaikan tembok yang membatasi keduanya untuk saling menyapa. Ameera tak menyangka pertemuannya yang kesekian kali dengan Akbar lagi-lagi tidak pernah berjalan mulus.“Maafkan saya Pak Akbar, ada hal yang harus saya selesaikan terlebih dahulu. Terima kasih sudah bersedia menunggu.”“Tidak masalah, kasur pasienmu nyaman juga. Setidaknya aku bisa beristirahat dengan tenang.” Akbar menyela ucapan Ameera dengan cepat. Suasana langsung berubah tegang kala aura gelap yang ada dalam dirinya mulai mendominasi ruangan.Untuk beberapa detik hening menyelimuti ruangan itu, Ameera yang tak sanggup dibunuh oleh kesunyian pada akhirnya angkat bicara.“Apakah kita bisa mulai sesi konsultasinya sekarang?” tanya Ameera. Akbar mengangguk lalu memajukan tubuhnya hingga hampir menempel pada bibir meja. Sekujur tubuh Ameera menegang kala tatapan Akbar menusuk tajam ke dalam manik indahnya.“Pesonanya benar-benar kuat, mengapa aku tidak bisa mengabaikannya?” Ameera membatin.“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tantang Akbar. Gelagatnya seperti seorang bos besar yang sedang mengintimidasi bawahannya. Jika boleh jujur, rasanya Ameera ingin lari dari hadapan pria itu. Selain tak kuasa menahan gejolak aneh yang mulai tumbuh di dalam dirinya, Ameera juga tak kuasa menahan pikirannya yang terbang mengawang tiap kali ia disuguhkan pemandangan menakjubkan di hadapannya.Punggung tangan Ameera merasakan hembusan halus napas Akbar. Seolah pria itu sedang menyapanya dalam diam.“Apakah sesi konsultasi ini akan dihabiskan hanya dengan menatapku saja?” sindir Akbar dan langsung menarik kesadaran Ameera ke dunia nyata.Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Kini pandangannya sengaja diarahkan ke arah lain demi menghindari tatapan maut pasiennya.“Maaf Pak Akbar. Apa setelah konsultasi awal kemarin Pak Akbar ada keluhan?” Ameera mulai menjalankan prosedur profesinya. Ia berusaha bersikap senetral mungkin untuk membuat pasien barunya ini nyaman. Namun, jujur saja, saat ini tuntutan profesinya seolah tak sejalan dengan apa yang Ameera pikirkan kali ini. otak dan hati bertolak belakang. Rasanya Ameera ingin mengulik lebih dalam tentang pria di hadapannya.Akbar masih bergeming, tak sedikitpun melepaskan tatapannya dari Ameera. Dilihat seperti itu, Ameera salah tingkah.“Aku tidak merasakan apapun. Jadi aku rasa hari ini akan menjadi hari terakhir aku konsultasi denganmu, Bu Ameera.”Deg!“K-kalau boleh tahu, apa ada hal lain yang membuat Pak Akbar memutuskan hal ini? maksud saya, sebelum saya menghentikan observasi, saya bisa mempertimbangkan keputusan yang Pak Akbar ini,” kata Ameera mencoba memberikan pengertian pada Akbar.Sikap angkuh Akbar membuat Ameera tubuh Ameera menegang. Entah apa yang terjadi sebelumnya hingga membuat Akbar mengambil keputusan untuk mengakhiri konsultasi dengan dirinya.“Aku yakin apa yang psikolog sebelumnya katakan padaku hanyalah asumsi belaka. Buktinya, aku tetap bisa hidup normal seperti orang lain,” kata Akbar penuh keyakinan.Ameera bungkam sesaat. Pikirannya mencoba mencerna keadaan yang ada. Ia mencoba menerka alasan di balik keputusan yang diambil secara tiba-tiba itu.“Baiklah kalau begitu, saya tidak bisa melarang keputusan apa yang akan Pak Akbar ambil,” ujar Ameera dengan senyum lepasnya.Akbar tak menyahut, sikap dingin pria itu perlahan membunuh keberanian Ameera untuk menggali semakin dalam tentang dirinya. Dengan keputusan yang diambil secara tiba-tiba itu, sudah cukup jelas menjadi benteng yang akan membatasi mereka berdua. Ameera memang belum sepenuhnya mendalami apa yang sedang terjadi pada Akbar di masa lalu. Tiga kali pertemuan dengan respon Akbar yang kian hari semakin dingin, membuat nyali Ameera menciut.“Bagus, setidaknya aku tidak perlu datang kemari dengan rasa khawatir dipandang buruk oleh siapapun. Asalkan kamu tahu, aku paling anti dengan rumah sakit.” Akbar beranjak dari tempatnya merapikan lengan kemeja yang ia pakai dan melipatnya hingga ke siku.Sungguh, gerakan demi gerakan yang Akbar lakukan setiap detiknya telah direkam oleh memori ingatan Ameera. Seolah hari ini adalah pertemuan terakhir mereka, Ameera tak ingin sedikitpun menyia-nyiakan momen yang sedang berlangsung di hadapannya.Tanpa meminta persetujuan Ameera, tubuh Akbar berbalik membelakangi Ameera kemudian berjalan menuju pintu. Tanpa pamit pula pria itu meninggalkan Ameera yang masih termenung. Ameera sadar, dirinya hampir saja kehilangan sosok yang belakangan mengisi pikirannya. tepat ketika pintu dibuka oleh Akbar, Ameera kembali bersuara.“Um, Pak Akbar, tunggu!” panggil Ameera menghentikan langkah Akbar.Pria itu kembali membalikkan tubuhnya menghadap Ameera dengan raut wajah dingin.“Ada apa?” katanya datar.Ameera gugup, hanya berniat mengeluarkan satu kalimat saja sudah membuatnya pusing tujuh keliling. Sejujurnya, Ameera tak memahami kenapa refleksnya justru seolah berusaha menahan Akbar untuk tetap bersamanya.“Jika suatu saat Pak Akbar membutuhkan teman untuk cerita, atau anda mengalami beberapa keluhan yang membuat anda tidak nyaman, Pak Akbar bisa menghubungi saya kapanpun. Jika tidak nyaman di rumah sakit, kita bisa bertemu di luar,” kata Ameera tiba-tiba. Selesai mengatakan itu, Ameera langsung mengutuk dirinya sendiri!Sail! setan kecil dari mana yang sudah membuat Ameera bersikap lancang seperti ini. Mendadak ia asing pada dirinya sendiri.Ice cappucino di dalam gelas masih utuh tak tersentuh, Pikiran Ameera mengawang tanpa batas sejak kepergian Akbar yang tiba-tiba. Kedua matanya sayu, pandangannya kosong. Ameera seperti sosok mayat hidup yang tak memiliki tujuan. Duduk di kantin berhadapan dengan Vira yang kini tengah memandangnya dengan tatapan aneh. “Kamu yakin kamu baik-baik saja, Ameera?” tanya Vira khawatir, gelagat yang ditunjukkan sahabatnya sama sekali berbeda dengan kesehariannya. Banyak pertanyaan yang kini bersarang di pikirannya. Ameera mengalihkan perhatiannya pada sang sahabat, tatapan kosongnya membuat Vira semakin khawatir. Ia bagaikan seorang yang kehilangan arah. Bahkan Ameera sendiri tak tahu apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Sentuhan Vira di tangan Ameera membuatnya terperanjat. Lamunannya buyar seketika. Sadar dirinya sedang menjadi pusat perhatian oleh sahabatnya sendiri, Ameera menjawab,“Aku rasa aku kurang enak badan hari ini, Vira.” Sebuah jawaban yang terdengar aman untuk menyembu
Ameera menatap mata pasangan itu dengan segenap sisa keyakinan yang ia miliki. Keberaniannya kian menipis saat sorot mata Valentine dan kekasihnya seolah menuntutnya untuk menjawab sebuah kenyataan yang dibalut dengan kebohongan.“Ameera adalah kekasihku. Untuk apa kalian mengetahui urusan kami?” Ameera sontak menoleh saat pinggangnya terasa dirangkul erat. Betapa terkejutnya ia saat Akbar sudah berdiri di samping tubuhnya dengan ekspresi dingin dan ketus pada Valentine.“Apa yang salah denganmu, Valentine? Apakah kamu belum bisa berpindah hati dariku?” ucap akbar dengan nada merendahkan. Gestur tubuhnya terlihat superior karena telah berhasil membuat Valentine mati kutu. “Aku tahu kamu masih membutuhkan aku, hingga akhirnya kamu memutuskan untuk menyelidiki tengangku lewat Ameera,” sambung Akbar lagi. “Jangan geer kamu Akbar. Aku hanya menyapanya. Tidak ada urusan denganmu sama sekali,” tandas Valentine tak kalah sinis.Ameera berada di tengah-tengah dua orang yang pernah terikat
Berbagai macam pikiran berkecamuk di kepala Ameera sepanjang perjalanannya pulang ke rumah. Beberapa kali Ameera harus menerima makian dari pengendara lain karena tidak fokus menyetir mobilnya. Tempat yang kini ia tempati, adalah tempat yang sebelumnya dipijak oleh Akbar. sepulangnya pria itu, justru meninggalkan banyak sekali pertanyaan yang mengisi pikiran Ameera. jejaknya seolah tak bisa hilang. bahkan saat ini, Ameera masih bisa mencium aroma musk dari parfum yang biasa dipakai oleh Akbar. Ameera menghela napas pelan, melepaskan kegundahan yang sekarang tengah menggelayuti hati. Dibuat galau oleh seseorang yang ia tahu tidak merasakan hal yang sama adalah sebuah tutorial penyiksaan diri sendiri. Bagaimana tidak, jika kebanyakan orang yang jatuh cinta selalu memiliki cara untuk membuat dirinya berada di sekitar orang yang mereka cintai, berbeda dengan Ameera. Terlalu dini untuk berpikir apa yang ia rasakan untuk Akbar saat ini adalah perasaan cinta. Yang Ameera tahu, ia terpeson
Ameera melangkahkan kedua kakinya keluar dari rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa. Langkahnya semakin cepat kala di kepalanya terngiang tentang kalimat yang dikatakan Vira sebelum ia pergi tadi. Sambil melangkah Ameera merogoh sling bag yang tersampir di pundak. Mencari benda pipih yang akan membawanya untuk membelah hiruk pikuk kota Jakarta. Tit! Tit! Suara alarm kunci mobil yang terbuka semakin membuat Ameera berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidak menyangka dirinya akan memberikan reaksi seperti sekarang. Pernyataan dari Vira membuat Ameera hampir saja kehilangan akal waras. Apa yang ia dengar sontak membuatnya mengambil keputusan yang mungkin akan melanggar niat awalnya sendiri. Mobil melaju dengan cepat hingga tidak terasa setengah jam kemudian Ameera sudah sampai di sebuah rumah mewah yang kemarin sempat ia singgahi. rumah itu nampak sepi seolah tak ada satu orangpun yang menghuni. Ameera keluar dari mobilnya menatap ke seluruh penjuru rumah besar dan mewah
Pertanyaan Akbar langsung membuat Ameera bungkam seketika. Bukan itu niatnya. Ameera tulus membantu pria itu untuk lepas dari jeratan masa lalu dan kesehatan mental yang harus segera dipulihkan. Mendengar cerita Vira, sudah cukup membuat pikiran Ameera bertanya-tanya. Mengapa pria seperti Akbar masih bisa bertahan dengan masa lalu yang membuat masa depannya suram. “Bukan begitu maksudku, Akbar. Tolong dengarkan dulu,” sanggah Ameera tak enak hati. Ia tidak boleh kalah dengan aura intimidasi yang secara tak langsung berkobar di sekitarnya. Ameera menghela napas pelan, mengurai kegugupan yang sedang berusaha ia tutupi. Sedangkan Akbar, bungkam seribu bahasa. Memberikan waktu bagi Ameera untuk bicara. Ditatapnya dalam dua manik indah di hadapannya. Jantung Ameera berdebar semakin kencang kala sorot dingin nan menusuk itu menjamah setiap rongga netranya. Gelenyar hangat tiba-tiba menyergap relung hati Ameera. Sontak disaat itu juga ia menyadari, ada perasaan aneh yang telah menguasai
Ameera sampai di rumahnya dengan langkah terburu-buru keluar dari mobil memasuki rumahnya. Dengan sebelah tangan menjinjing tas kertas berisi kotak pemberian Akbar ia melangkah cepat menuju kabar. Seorang wanita gg bertugas sebagai asisten rumah tangga terperangah melihat tingkah aneh bosnya barusan. “Non Ameera, ada apa? Kenapa teburu-buru begitu?” teriak sang asisten rumah tangga. Wanita itu tetap memanggil Ameera meski tahu pertanyaannya tak akan sempat digubris oleh Ameera.Pintu kamarnya dibuka lebar, Ameera sedikit kesulitan dengan barang bawaan di tangannya. Tepat ketika kotak kado berukuran cukup besar itu ia landaskan di atas kasur, Ameera menghela napas pelan. Sial! Keputusan yang berasal dari ambisinya sudah membuat Ameera buta. Sejujurnya, ia sama sekali tidak penasaran dengan isi kotak itu dan memilih untuk mengabaikannya hingga dering pemberitahuan pesan di ponsel Ameera berbunyi.“Jika kamu tidak memenuhi perintahku tadi, aku tidak akan mau mengenalmu lagi. Jangan be
Langkah kaki Ameera terasa semakin berat saat ia masuk ke area sebuah hotel mewah bergaya klasik. Bangunan hotel pencakar langit itu adalah satu-satunya gedung hotel paling megah di kota ini. Tak ayal siapapun yang datang ke mari adalah orang-orang yang diduga memiliki kapasitas kekuasaan yang sangat besar. Pandangan Ameera mengedar ke segala arah. Bak seekor anak itik yang kehilangan induknya berdiri di tengah kerumunan orang dengan gengsi setinggi langit. Pandangan Ameera mengedar ke seluruh penjuru hotel. Baru pertama kali dalam hidupnya masuk ke dalam lingkaran bergengsi seperti ini. Di samping Ameera, Akbar melangkah gagah dalam balutan jasnya. Ekspresi dingin dan angkuhnya seketika membuat semua pandangan orang-orang di sana beralih pada kehadiran mereka. Jangankan untuk sekedar menebar senyum, bahkan niat untuk menyapa pun tak akan melandas di benak pria itu.“Ikuti langkahku, jangan sekalipun membuat onar sepanjang acara. Ingat, kamu menanggung nama baikku di sini,” ujar A
Pandangan dua orang yang sedang berseteru itu teralihkan saat Ameera berdiri tepat di depan mereka. Raut wajah tegang yang semakin membuat suasana sekeliling mereka menegang adalah pertanda Akbar baru saja berbuat ulah. Ameera memandang Akbar dengan tatapan tak percaya. Bukankah baru kemarin Ameera mendengar Akbar tak ingin lagi berhubungan dengan Valentine. Bukan, bukan karena Ameera cemburu. Melainkan karena..“Sedang apa kamu di sini?” tanya Akbar sinis. Nada bicaranya terdengar tak suka. “A-aku kebetulan lewat dan menemui di sini. Aku rasa tidak ada yang salah,” jawab Ameera gugup. Ingin rasanya memberontak dan membuat sebuah gebrakan atas sikap Akbar padanya. Tetapi, Ameera masih cukup waras untuk memahami situasi yang ia hadapi saat ini. Berulang kali Ameera menghirup napas dalam demi menenangkan diri di tengah aura akbar yang sedang mengintimidasi. “Tenang Ameera, kamu tidak boleh terlihat lemah. Kamu harus bisa membuat Akbar lepas dari masa lalunya,” batin Ameera berkecam