Orang-orang di sekitar swalayan yang berada di dalam mall ini masih memaku pandangan mereka ke arah Ameera dan Akbar. Ameera memutuskan untuk membawa pria itu keluar dari lingkaran orang-orang yang tidak memahami situasinya.
“Ikutlah denganku. Kita bicara di luar,” katanya tegas. Ameera menarik pelan tangan Akbar yang masih diam membisu. Pria itu mengikuti langkah Ameera tanpa menunjukkan sedikitpun pemberontakan. Mendadak Ameera was-was. Khawatir jika ucapannya tadi membuat Akbar sakit hati.Mereka berdua masuk ke dalam sebuah kafe yang cukup sepi pengunjung. Ameera memesan minuman untuk sekedar formalitas lalu mendudukkan Akbar di kursi seberangnya.“Duduk, dan tenangkan dirimu.”“Aku tidak bisa tenang sebelum dia ikut denganku, Ameera,” sentak Akbar tiba-tiba. Ameera pikir, kediaman Akbar tadi karena pria itu setidaknya sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Nyatanya, hal itu hanyalah sebuah kamuflase belaka.Ameera menghela napas pelan, menguraikan kesabarannya yang mulai menipis menghadapi tingkah pria tampan ini.Dengan segenap sisa kesabaran yang masih menumpuk, Ameera berusaha memperlihatkan sikap tenang di hadapan Akbar. Raut wajah pria itu kecut bak mangga muda yang masih mengkal. Reaksi otak Akbar menuntutnya untuk mendapatkan kembali hati Valentine yang telah berlabuh di dermaga yang lain.“Akbar, aku mencoba mengerti perasaanmu saat ini. Tapi, jika kamu gegabah seperti ini, hanya akan merugikan kamu sendiri.”“Kamu tidak tahu rasanya menjadi aku, Ameera. Kamu bisa saja bicara dengan teori yang kamu ketahui, tapi bagiku, itu sulit. Aku ingin Valentine tetap menjadi kekasihku. Apapun alasannya!” ucap Akbar marah. Lagi, emosinya meledak tanpa peduli betapa kini orang-orang yang berlalu lalang di hadapan mereka memandang sikap Akbar dengan pandangan aneh.Siapapun yang melihat adegan itu, akan berasumsi Akbar telah melakukan kekerasan verbal terhadap Ameera. Namun,, Ameera segera mematahkan stigma negatif yang perlahan menempel di diri Akbar.“Aku memang tidak berada di posisimu saat ini, Akbar. Tapi, bukankah aku sudah berjanji akan membantumu lepas dari keluhanmu?“ ucap Ameera seraya menampar Akbar pada kenyataan yang ada.Sorot mata pria itu meneduh. Ameera bisa melihat sebuah penyesalan yang terbit diantara bola mata indah sang pasien.“Tenang, Akbar. Apa yang kamu perjuangkan sekarang tidak harus membuahkan hasilnya detik ini juga. Jika kamu sudah tidak bisa melihat cinta lagi di mata mantan kekasihmu itu, lepaskan. Itu hanya menyiksa kamu.” Akbar terpaku di tempatnya. Pandangannya kosong ke depan namun pikirannya bergumul dengan satu nama wanita.“Dia mencampakkanku begitu saja demi pria lain. Aku tidak tahu apa yang kurang dariku sehingga dia berpaling,” kata akbar nelangsa. Hatinya dipenuhi oleh rasa dendam dan ambisi yang besar.Ucapan Akbar terdengar putus asa. Bahkan pria itu tak segan untuk menunjukkan kesedihannya di depan Ameera. Melihat kehampan dalam diri Akbar, hati Ameera terenyuh. Entah sejak kapan dirinya seolah tertarik ke dalam kehidupan percintaan Akbar yang mungkin terlalu kelam.Dorongan dari dalam diri Ameera menggerakkan wanita itu untuk duduk di sampingnya. Mengusap pundak lebar Akbar memberikan sedikit suntikan semangat. Meski ia tahu hal itu tak akan memberikan pengaruh banyak.“Aku percaya apa yang kamu perjuangkan akan berbuah manis. Tapi kamu juga harus membuka mata pada hal baru di luar sesuatu yang tidak bisa kamu jangkau lagi. Atau bahkan tak menginginkan kamu dalam lembaran hidupnya, Akbar,” kata Ameera. Persetan dengan ucapannya yang sok bijak. Kali ini, bahkan kemampuannya mempengaruhi dan memberikan dorongan semangat seolah melumpuh.Empati Ameera benar-benar dimainkan. Sejak pertemuan mereka satu minggu lalu, Akbar tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa kabar. Padahal, Ameera sudah memberikan jadwal konsultasi lanjutan dua hari lalu.Kini mereka justru kembali dipertemukan lewat sebuah kebetulan lagi. Ameera tak tahu bagaimana Akbar bisa mengetahui setiap seluk beluk mantan kekasihnya itu.“Kamu harus bisa melepaskan dia yang sudah memilih untuk pergi dari hidupmu. Itu tandanya Tuhan akan mengirimkan satu hal yang lebih baik, Akbar. Percayalah.”Ameera tak memiliki cara lain selain memberikan kekuatan pada Akbar. Pria itu bungkam seribu bahasa, entah apakah semua ucapan Ameera masuk ke dalam pikirannya.“Lebih baik sekarang kita pulang. Berikan aku alamatmu, aku akan mengantarmu pulang,” kata Ameera seraya bangkit dari tempatnya.Pandangan Akbar kosong namun tubuhnya tetap menuruti perintah Ameera untuk bangkit. Tak ingin Akbar semakin menjadi-jadi, keputusannya untuk membawa Akbar pulang adalah opsi terbaik saat ini.Sepanjang perjalanan tak ada obrolan yang berarti diantara mereka. Ameera menyetir mobilnya membelah kota Jakarta di tengah senja. Ia hampir kehabisan akal untuk mencari alamat rumah Akbar. Dan sialnya, ia juga tidak mengingat dengan jelas data diri Akbar di dokumen pasien. Kini, pria itu pulas terlelap dengan kepala yang bersandar pada dinding pintu mobil. Wajahnya terlihat tenang dan damai saat tertidur. Berbanding terbalik dengan apa yang Akbar tunjukkan saat ia terjaga.Ameera memarkirkan mobilnya di garasi. Ia tidak memiliki pilihan lain selain membawa Akbar ke rumahnya. Ia bergegas turun dari mobil lalu membuka pintu pintu kursi penumpang yang ditempati oleh Akbar. Untuk sejenak ia terdiam. Memikirkan bagaimana caranya agar Ia bisa membawa Akbar masuk ke dalam rumahnya.“Akbar, bangun. Turunlah dari mobilku,” kata Ameera sambil menepuk lengan Akbar. Tidak ada pergerakan yang berarti. Namun Ameera tak ingin menyerah begitu saja. Ia harus mengambil langkah cepat sebelum mulut pedas para tetangga komplek menggaungkan gosip tak sedap tentang dirinya.“Akbar. Akbar.”“Emmh, jangan ganggu aku. Aku sedang bersama Valentine. Enyahlah!”Gerakan tangan Akbar yang menghempas pegangan Ameera di tangan pria itu terlepas. Bahkan kekuatannya tak bisa terkalahkan hingga membuat tubuh Ameera yang mungil hampir terjerembab.Ameera mendengus kesal. Pria tampan ini nyatanya tidak hanya mengalami delusi di dunia nyata.“Huhft, sabar Ameera. Sabar. Ini ujian pekerjaanmu. Selesaikan dengan baik,” gumam Ameera. Ia mengelus dadanya seolah tindakan itu bisa membantunya memperbanyak stok sabar.Kali ini Ameera tak akan menyerah. Ia mencoba peruntungan sekali lagi. Dengan tekad kuat dan bulat. Ameera menarik tubuh Akbar hingga keluar mobil. Yang pertama kali ia tarik adalah salah satu kaki Akbar yang akan menjadi tumpuan beban pria itu. Dua kaki sudah turun dari mobil, kini tinggal tubuhnya.“Eerrrhh! Huh hah!” Dengan sekuat tenaga, Ameera menarik tubuh kekar itu. Menaruh salah satu tangan Akbar di pundaknya yang kecil.“Ayo Ameera, kamu pasti bisa,” ucapnya menyemangati diri sendiri. Sambil memapah Akbar yang dalam kondisi setengah sadar.“Apa yang sedang kamu lakukan? Kamu mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan ya?” Suara berat Akbar membuat Ameera menahan langkahnya masuk ke dalam rumah. Pintu hanya berjarak dua meter dari tempatnya. Namun, refleksnya untuk menoleh ke belakang langsung berpacu dengan degup jantung yang tiba-tiba berdetak dengan ritme yang tak biasa.“A-aku… .”Suhu dingin di ruangan ini terasa menusuk bagi Ameera. Entah kenapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Ameera menggeliat di atas kasur besar yang ia tempati saat ini. Kepala pening dan berat tubuh yang kehilangan banyak tenaga, ada apa ini sebenarnya? Ia mencoba membuka mata, melihat ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum fokus. Kini ia berada di sebuah kamar yang terasa asing baginya. Kamar ini juga baru pertama kali ia singgahi. “Apakah aku masih di vila milik Akbar?” Ameera bergumam sendiri. Sadar tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Pintu kamar terkunci rapat. Nuansa kamar yang serba putih ini membuat Ameera cukup kesulitan menyeimbangkan kinerja otaknya setelah bangun tidur. Dengan langkah tertatih, Ameera berjalan menuju pintu. Kepalanya masih terasa berat seolah ada benda yang membebaninya saat ini. Di luar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain suara sandal yang dipakai Ameera. Ia menatap sekeliling namun tidak menemukan satupun tanda Akbar ada di
Tubuh Ameera terhuyung ke belakang setelah sebuah tamparan melandas mulus di pipinya. Untuk beberapa saat Ameera mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang ia hadapi. Suara tamparan yang begitu keras membuat kesadaran Akbar terpulihkan. Ameera berdiri di depannya sambil menatapnya bingung. “Ameera? Kenapa kamu yang di sini?” tanya Akbar tak kalah bingung. Semua kejadian yang melibatkan mereka berdua tadi ternyata hanya ilusi semata. Akbar mengusap kedua matanya berusaha menetralkan pandangan yang sebelumnya buram. “Aku di sini sejak tadi. Menemani kamu melewati banyak hal. Tapi aku rasa kamu terlalu fokus dengan Valentine sehingga tidak ingat ada aku di sini.” Ameera bicara dengan nada yang sedikit dinaikkan. Mendengar betapa Ameera berusaha keras untuk menahan emosinya, Akbar menunjukkan sedikit rasa bersalah di wajah tampan pria itu.“Jadi.. Valentine yang aku lihat tadi..” “Dia hanya halusinasimu,” sela Ameera cepat menampar balik pria itu agar sadar dengan keadaan ya
Ameera memandangi sebuah rumah di depannya dengan pandangan yang tak biasa. Di sekitar rumah itu dikelilingi dengan taman bunga yang nampak indah. Ia tidak menyangka Akbar akan membawanya ke sini setelah insiden yang mendebarkan terjadi.“‘Masuklah. Setidaknya di sini aman,” kata Akbar setelah mengunci mobilnya. Pria itu berjalan tergopoh sambil memegangi tangannya yang luka. “Perlahan saja, aku juga merasa di sini aman,” balas Ameera. Ia membantu Akbar yang kesakitan untuk menaiki tangga menuju teras rumah itu. Akbar termangu melihat perlakuan Ameera yang begitu lembut padanya. “Arggh!” “Kamu tunggu sini, aku akan mencari kotak P3K untuk menangani lukamu.” Ameera bergegas pergi menyusuri setiap sudut rumah ini. Tidak peduli apakah Akbar akan mengizinkannya atau tidak. Bagi Ameera, keselamatan Akbar saat ini adalah yang utama. Rumah ini terbagi menjadi beberapa bagian. Ruang tengah di dominasi dengan cat dinding berwarna biru yang menyejukkan. Seperti rumah pada umumnya, ruang ten
Akbar melenggang pergi dari hadapan Ameera dengan obat-obatan yang ia abaikan.Sebagai orang yang berniat untuk membantu, tentu ada rasa tersinggung akan sikap Akbaryang terkesan seenaknya.“Kalau kamu tidak meminum obat ini, kamu akan terus dihantui perasaan gelisah. Tidak adasalahnya untuk rileks sebentar, Akbar,” kata Ameera mencoba membujuk.“Aku bukan orang gila, Ameera. Harus berapa kali aku katakan padamu?” balas Akbardengan nada sedikit tinggi.“Baiklah kalau begitu. Kita pulang sekarang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”Ameera bangkit dari tempatnya, menarik lengan Akbar dan menyeret pria itu keluar darikamar hotel.Sebelum benar-benar meninggalkan hotel, Ameera harus menyelesaikan tanggung jawabatas ulah yang dilakukan Akbar. Membayar denda untuk aset hotel yang hancur karenalampiasan emosi Akbar.Sedangkan Akbar sendiri hanya diam termangu menatap ke sekitar dengan pandanganmalas. Benar-benar seperti orang yang tak berniat untuk hidup.“Totalnya j
Beberapa hari sudah berlalu setelah pertemuan terakhir Ameera dengan Valentine waktu itu.Ameera melanjutkan hari-harinya dengan perasaan gelisah.Semenjak itu pula Akbar kembali menghilangkan jejak. Pikir Ameera, mungkin saja pria itusedang sibuk dengan pekerjaannya. Terakhir kali informasi yang Ameera dapatkan, Akbarmulai aktif kembali untuk menjalankan tugasnya sebagai pilot. Setidaknya dengan informasiyang ia dapatkan itu Ameera bisa sedikit membuatnya tenang.“Bu Ameera, apakah anda masih menangani klien atas nama Akbar?” Seorang suster yangduduk di depan Ameera bertanya di sela-sela jam istirahat mereka. Ameera yang hendakmenyuapkan makanan menghentikan niatnya.“Beliau masih menjadi klienku, sus. Tapi beberapa waktu ini beliau ada kesibukan. Ada apa,sus?” Ameera bertanya balik.“Tidak apa, bu. Kemarin saya lihat beliau sempat mengunjungi rumah sakit. Saya pikir beliaumau konsultasi dengan Bu Ameera, tapi ternyata menjemput seorang wanita yang dokterobgyn,”
Kamu hati-hati di jalan ya.” Vira menempelkan kedua pipinya secara bergantian di wajah Ameera. Jam praktik mereka sudah habis dan waktunya untuk pulang.“Iya, kamu juga hati-hati. Aku duluan ya.” Ameera pamit sembari melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Mobil putih miliknya terparkir di area paling ujung. Membuat Ameera mau tak mah harus berjalan lebih jauh dari biasanya. Setelah bercengkrama dengan Vira, rasanya sebagian besar bebannya terangkat meski Ameera tidak menceritakan dengan gamblang masalahnya.“Ameera.” Langkah Ameera terhenti saat seseorang memanggil namanya. Ameera tidak langsung membalikkan tubuhnya untuk mencari tahu siapa orang itu. Ia memilih diam. Tak sedikitpun berkutik. Derap langkah kaki orang itu terdengar semakin jelas dan dekat. Rasanya, Ameera harus menunjukkan sikap lebih waspada sebelum berbagai hal tak diinginkan terjadi.“Ameera, apakah kamu sudah mau pulang?” tanya orang itu sambil menepuk pundak Ameera. Tubuh Ameera seketika menegang.“Ameera ini
Suasana hati Ameera mendadak kacau karena rencana yang tadi malam dicanangkan oleh mamanya. Beban pikiran semakin bertambah dikala Ameera tak memiliki pilihan lain. Lalu, bagaimana ia bisa mengatasi semuanya? Sepertinya kapasitas otaknya tak mampu lagi menahan beban pikiran yang semakin menumpuk. Wajahnya terlihat semakin frustasi. Tak tahu lagi bagaimana ia harus bersikap saat ini. Deretan data pasien sudah menjadi makanannya sehari-hari. Namun masalah di luar pekerjaan justru yang paling dirasa berat bagi Ameera.“Wajah kamu kusut banget. Ada apa?” Vira tiba-tiba datang dari ruang konsultasi di sebelah ruangan Ameera yang hanya dibatasi oleh tirai. “Astaga, sejak kapan kamu di sana, Vira?” ucap Ameera terkejut. Sebelah tangannya mengelus dada. Vira nyengir kuda. Memampang raut wajah tak bersalah di depan Ameera. “Ku lihat sejak tadi pagi sahabatku begitu frustasi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu wahai sobat?” Goda Vira sambil mengedipkan sebelah matanya. Jangan heran deng
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kaku bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang d