Ameera melirik akbar lewat ujung matanya. Pria itu kini tengah menatapnya lamat dengan sedikit perasaan curiga.
Buru-bury Ameera melepas rangkulan Akbar dari pundaknya seraya berkata.“Lebih baik kita masuk terlebuh dahulu. Aku akan menjelaskannya di dalam,” putus Ameera kemudian mengepalai langkah mereka menuju rumah.Kedatangan Akbar di rumah bergaya minimalis modern itu disambut oleh pemandangan design interior yang memanjakan mata. Ameera mempersilahkan Akbar untuk duduk di sofa ruang tamu sedangkan ia melenggang pergi menuju dapur.Akbar mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Memperhatikan setiap sudut rumah Ameera dengan lamat. Dua buah bingkai foto keluarga tergantung di salah satu sisi dinding tepat di atas nakas tingkat berisi ornamen pajangan.Foto keluarga yang terlihat harmonis menunjukkan senyuman sepasang suami istri penuh wibawa diapit oleh dua wanita muda. Salah satu dari dua wanita itu adalah Ameera. Rambut sebahu dengan wajah cantiknya yang khas berhasil menarik perhatian Akbar.“Dia cukup cantik, tetapi aku tidak akan berpaling dari Valentine untuk alasan apapun,” ujar akbar. Ia mengatupkan bibirnya saat terdengar derap langkah kaki mendekat. Ameera datang dengan dua gelas jus jeruk di tangan.“Silahkan diminum. Melakukan banyak hal hari ini pasti melelahkan,” ucap Ameera seraya menaruh gelas jus di hadapan Akbar. Pria itu hanya mengangguk, lantas menyesap minuman buatan Ameera.Ameera duduk di sofa single di samping Akbar. Menatap lekat pria yang baru saja berpijak ke alam nyata.“Kenapa kamu membawaku kesini? Bukannya mengantarku pulang ke rumah,” kata Akbar. Nada bicaranya terdengar kesal, dan Ameera sedikit terkejut dengan apa yang ia dengar barusan.“Andai aku tahu alamatmu, aku sudah mengantarkanmu ke sana,” balas Ameera hati-hati namun penuh penekanan.“Jadi itu alasanmu membawaku ke sini? Aku tidak masalah, jadi aku tahu kemana aku harus pergi jika tidak menemukanmu di rumah sakit.” Sisa jus jeruk yang tinggal setengah dihabiskan oleh Akbar hingga tandas. Pria itu nampaknya kehausan atau memang hal itu ia jadikan sebagai pelampiasan atas emosinya semata.Hening menyelimuti dua insan itu. Tak ada yang berniat mengalah untuk membuka pembicaraan. Sikap ramah Akbar dipertemuan mereka nyatanya hanya sebuah kedok belaka. Ameera yakin, sifat aslinya adalah apa yang ia tunjukkan saat ini.“Kalau begitu, aku akan pulang sekarang.” Akbar bangkit dari tempatnya. Membenarkan posisi kemeja bagian bawahnya yang terlipat. Hanya mempertontonkan gerakan itu saja sudah membuat Ameera menahan napas. Tiba-tiba, Ameera teringat pada ucapan sahabatnya kala itu.“Kapan lagi ketemu sama titisan Dewa Yunani?” katanya. Dan benar saja, Ameera baru menyadari hal itu sekarang.“Baiklah, mari aku antar. Kamu bisa menyebutkan alamatnya padaku,” kata Ameera, kemudian ia bergegas meraih tas tangan yang sejak tadi tercampakan di atas nakas.“Antar kemana? Aku bisa pulang sendiri.” Akbar mengelak.“Dengan apa? Aku tidak tahu apakah kamu membawa kendaraan atau tidak sebelumnya. Jika pun kamu ingin naik taksi, aku khawatir kamu akan tertidur sepanjang perjalanan,” kata Ameera. Ia sudah siap untuk kembali mengarungi macetnya kota Jakarta di malam hari. Apalagi, hari ini masih hari kerja.Akbar diam mematung, seolah sedang berpikir atas apa yang Ameera katakan.“Baiklah jika itu tidak merepotkanmu, terima kasih.” Akbar mendahului langkah Ameera keluar rumah. Di tempatnya berdiri Ameera sibuk menetralkan suasana hatinya. Reaksi berlebihan yang mulai hadir sejak pertemuannya dengan Akbar.“Kamu tunggu apalagi? Ayo berangkat.” Kepala Akbar menyembul dari balik teras. Sebagian ruh Ameera yang sempat mengawang kembali ke sarangnya. Ia segera mengayunkan kakinya keluar rumah dengan langkah yang tergesa-gesa.Setengah jam berlalu, Ameera tak menyangka dirinya bisa menapakkan kaki di rumah seorang pilot tampan bernama Akbar Dimitri. Sepanjang perjalanan pria itu menjabarkan hampir setiap detail tentang dirinya pada Ameera.“Sudah aku katakan, aku tidak berbohong. Aku adalah seorang pilot.” Akbar menunjuk satu foto yang menempel di dinding ruang tengah. Seorang pria tampan dengan wajah perpaduan lokal dan belahan eropa itu tersenyum manis. Akbar terlihat tampan dalam balutan atribut kebanggaannya.“Aku tidak menyangka kamu adalah sosok dibalik burung besi yang banyak dikagumi orang-orang,” timpal Ameera sambil mengedarkan pandangannya ke beberapa foto yang dipajang di ruang tamu.“Apakah kamu tinggal sendiri?” Ameera bertanya lagi. Kali ini ia memberanikan diri untuk menatap langsung si pemilik rumah yang berdiri dua meter darinya.“Kalau aku sendiri, memangnya kenapa? Apakah kamu menemani?” Balas Akbar menggoda. Ia mengangkat sebelah sudut bibirnya ke atas. Nampak licik dan penuh taktik. Melihat itu, Ameera merinding dibuatnya.“Tidak. Aku hanya memastikan kebiasaan tidurmu yang sembarangan tidak merepotkan orang lain nantinya,” balas Ameera sarkas. Ini adalah kali pertamanya melontarkan sebuah kalimat sarkasme pada orang yang baru Ameera kenal. Entah apa yang mendorong wanita itu untuk melakukan hal yang paling pantang ia lakukan.Seketika Ameera menyesali ucapannya yang lancang, “maafkan aku, aku tidak bermaksud mengkritikmu,” katanya. Pandangannya turun tak lagi menatap wajah Akbar.“Tidak masalah, aku tahu diam-diam kamu memperhatikanku sejak tadi.”“Jangan geer kamu.”“Jika itu hal serius, aku pun tak masalah. Tetapi, hatiku hanya untuk wanita yang aku cintai. Yaitu Valentine.”Deg!Bagaikan sergahan petir di tengah gelapnya malam. Ameera merasakan jauh di relung hatinya yang paling dalam, ada rasa tak terima. Dalam benaknya Ameera memaki respon yang ditunjukkan oleh tubuhnya.“Jadi, wanita tadi yang sudah membuat kamu begitu terobsesi?” kata Ameera tiba-tiba. Wajah Akbar sontak berubah saat nada bicara Ameera terdengar serius.Ini adalah salah satu cara Ameera untuk melakukan pendekatan terhadap pasiennya. Banyak orang yang kesulitan mengungkapkan apa yang ada di kepala mereka hanya karena satu alasan. Takut dinilai buruk oleh orang lain.Padahal, hal itu justru menghambat kebahagiaan seseorang dalam hidupnya.“Dia pergi meninggalkanku dan mencampakkan aku begitu saja. Aku tidak tahu apa yang kurang dariku hingga dia berpaling.” Akbar kembali memutar kaset ingatannya di kepala. Mempertontonkan dirinya yang begitu mendominasi hubungan bersama Valentine kala itu.“Jika kamu tidak mengetahui alasan dia pergi, mungkin kamu bisa mengambil waktu untuk merenungkan diri. Ada kalanya kepergian seseorang memang karena ia benar-benar memilih jalan lain atau kita adalah satu-sayunya alasan kepergiannya,” ucap Ameera panjang lebar. Semua yang ia katakan adalah fakta. Hanya dua hal yang mempersulit perjalanan cinta seseorang, pengkhianatan, atau ego keduanya.Akbar kembali termenung. Dadanya naik turun akibat napas yang memburu.“Dia yang meninggalkanku tanpa alasan. Dia pula yang memilih pria berandal itu untuk jadi kekasihnya. Aku sudah memberikan segenap cintaku untuk Valentine tapi itu dirasa tak pernah cukup,” tukas Akbar marah. Tiap kali membahas Valentine, emosinya seolah dipermainkan. Ameera bisa melihat ambisi yang begitu besar tersembunyi di balik sorot mata Akbar yang tajam.“Itu bukan perasaan cinta,” batinnya.Suhu dingin di ruangan ini terasa menusuk bagi Ameera. Entah kenapa sekujur tubuhnya terasa lemas. Ameera menggeliat di atas kasur besar yang ia tempati saat ini. Kepala pening dan berat tubuh yang kehilangan banyak tenaga, ada apa ini sebenarnya? Ia mencoba membuka mata, melihat ke sekeliling dengan pandangan yang masih belum fokus. Kini ia berada di sebuah kamar yang terasa asing baginya. Kamar ini juga baru pertama kali ia singgahi. “Apakah aku masih di vila milik Akbar?” Ameera bergumam sendiri. Sadar tidak ada orang lain selain dirinya di sana. Pintu kamar terkunci rapat. Nuansa kamar yang serba putih ini membuat Ameera cukup kesulitan menyeimbangkan kinerja otaknya setelah bangun tidur. Dengan langkah tertatih, Ameera berjalan menuju pintu. Kepalanya masih terasa berat seolah ada benda yang membebaninya saat ini. Di luar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain suara sandal yang dipakai Ameera. Ia menatap sekeliling namun tidak menemukan satupun tanda Akbar ada di
Tubuh Ameera terhuyung ke belakang setelah sebuah tamparan melandas mulus di pipinya. Untuk beberapa saat Ameera mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang ia hadapi. Suara tamparan yang begitu keras membuat kesadaran Akbar terpulihkan. Ameera berdiri di depannya sambil menatapnya bingung. “Ameera? Kenapa kamu yang di sini?” tanya Akbar tak kalah bingung. Semua kejadian yang melibatkan mereka berdua tadi ternyata hanya ilusi semata. Akbar mengusap kedua matanya berusaha menetralkan pandangan yang sebelumnya buram. “Aku di sini sejak tadi. Menemani kamu melewati banyak hal. Tapi aku rasa kamu terlalu fokus dengan Valentine sehingga tidak ingat ada aku di sini.” Ameera bicara dengan nada yang sedikit dinaikkan. Mendengar betapa Ameera berusaha keras untuk menahan emosinya, Akbar menunjukkan sedikit rasa bersalah di wajah tampan pria itu.“Jadi.. Valentine yang aku lihat tadi..” “Dia hanya halusinasimu,” sela Ameera cepat menampar balik pria itu agar sadar dengan keadaan ya
Ameera memandangi sebuah rumah di depannya dengan pandangan yang tak biasa. Di sekitar rumah itu dikelilingi dengan taman bunga yang nampak indah. Ia tidak menyangka Akbar akan membawanya ke sini setelah insiden yang mendebarkan terjadi.“‘Masuklah. Setidaknya di sini aman,” kata Akbar setelah mengunci mobilnya. Pria itu berjalan tergopoh sambil memegangi tangannya yang luka. “Perlahan saja, aku juga merasa di sini aman,” balas Ameera. Ia membantu Akbar yang kesakitan untuk menaiki tangga menuju teras rumah itu. Akbar termangu melihat perlakuan Ameera yang begitu lembut padanya. “Arggh!” “Kamu tunggu sini, aku akan mencari kotak P3K untuk menangani lukamu.” Ameera bergegas pergi menyusuri setiap sudut rumah ini. Tidak peduli apakah Akbar akan mengizinkannya atau tidak. Bagi Ameera, keselamatan Akbar saat ini adalah yang utama. Rumah ini terbagi menjadi beberapa bagian. Ruang tengah di dominasi dengan cat dinding berwarna biru yang menyejukkan. Seperti rumah pada umumnya, ruang ten
Akbar melenggang pergi dari hadapan Ameera dengan obat-obatan yang ia abaikan.Sebagai orang yang berniat untuk membantu, tentu ada rasa tersinggung akan sikap Akbaryang terkesan seenaknya.“Kalau kamu tidak meminum obat ini, kamu akan terus dihantui perasaan gelisah. Tidak adasalahnya untuk rileks sebentar, Akbar,” kata Ameera mencoba membujuk.“Aku bukan orang gila, Ameera. Harus berapa kali aku katakan padamu?” balas Akbardengan nada sedikit tinggi.“Baiklah kalau begitu. Kita pulang sekarang. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah.”Ameera bangkit dari tempatnya, menarik lengan Akbar dan menyeret pria itu keluar darikamar hotel.Sebelum benar-benar meninggalkan hotel, Ameera harus menyelesaikan tanggung jawabatas ulah yang dilakukan Akbar. Membayar denda untuk aset hotel yang hancur karenalampiasan emosi Akbar.Sedangkan Akbar sendiri hanya diam termangu menatap ke sekitar dengan pandanganmalas. Benar-benar seperti orang yang tak berniat untuk hidup.“Totalnya j
Beberapa hari sudah berlalu setelah pertemuan terakhir Ameera dengan Valentine waktu itu.Ameera melanjutkan hari-harinya dengan perasaan gelisah.Semenjak itu pula Akbar kembali menghilangkan jejak. Pikir Ameera, mungkin saja pria itusedang sibuk dengan pekerjaannya. Terakhir kali informasi yang Ameera dapatkan, Akbarmulai aktif kembali untuk menjalankan tugasnya sebagai pilot. Setidaknya dengan informasiyang ia dapatkan itu Ameera bisa sedikit membuatnya tenang.“Bu Ameera, apakah anda masih menangani klien atas nama Akbar?” Seorang suster yangduduk di depan Ameera bertanya di sela-sela jam istirahat mereka. Ameera yang hendakmenyuapkan makanan menghentikan niatnya.“Beliau masih menjadi klienku, sus. Tapi beberapa waktu ini beliau ada kesibukan. Ada apa,sus?” Ameera bertanya balik.“Tidak apa, bu. Kemarin saya lihat beliau sempat mengunjungi rumah sakit. Saya pikir beliaumau konsultasi dengan Bu Ameera, tapi ternyata menjemput seorang wanita yang dokterobgyn,”
Kamu hati-hati di jalan ya.” Vira menempelkan kedua pipinya secara bergantian di wajah Ameera. Jam praktik mereka sudah habis dan waktunya untuk pulang.“Iya, kamu juga hati-hati. Aku duluan ya.” Ameera pamit sembari melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Mobil putih miliknya terparkir di area paling ujung. Membuat Ameera mau tak mah harus berjalan lebih jauh dari biasanya. Setelah bercengkrama dengan Vira, rasanya sebagian besar bebannya terangkat meski Ameera tidak menceritakan dengan gamblang masalahnya.“Ameera.” Langkah Ameera terhenti saat seseorang memanggil namanya. Ameera tidak langsung membalikkan tubuhnya untuk mencari tahu siapa orang itu. Ia memilih diam. Tak sedikitpun berkutik. Derap langkah kaki orang itu terdengar semakin jelas dan dekat. Rasanya, Ameera harus menunjukkan sikap lebih waspada sebelum berbagai hal tak diinginkan terjadi.“Ameera, apakah kamu sudah mau pulang?” tanya orang itu sambil menepuk pundak Ameera. Tubuh Ameera seketika menegang.“Ameera ini
Suasana hati Ameera mendadak kacau karena rencana yang tadi malam dicanangkan oleh mamanya. Beban pikiran semakin bertambah dikala Ameera tak memiliki pilihan lain. Lalu, bagaimana ia bisa mengatasi semuanya? Sepertinya kapasitas otaknya tak mampu lagi menahan beban pikiran yang semakin menumpuk. Wajahnya terlihat semakin frustasi. Tak tahu lagi bagaimana ia harus bersikap saat ini. Deretan data pasien sudah menjadi makanannya sehari-hari. Namun masalah di luar pekerjaan justru yang paling dirasa berat bagi Ameera.“Wajah kamu kusut banget. Ada apa?” Vira tiba-tiba datang dari ruang konsultasi di sebelah ruangan Ameera yang hanya dibatasi oleh tirai. “Astaga, sejak kapan kamu di sana, Vira?” ucap Ameera terkejut. Sebelah tangannya mengelus dada. Vira nyengir kuda. Memampang raut wajah tak bersalah di depan Ameera. “Ku lihat sejak tadi pagi sahabatku begitu frustasi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu wahai sobat?” Goda Vira sambil mengedipkan sebelah matanya. Jangan heran deng
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kaku bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang
Bukan aku yang mau mencari masalah denganmu. Tapi kamu yang memulai masalah,” jawab Ameera ketus. Tak ada lagi rasa takut dan khawatir yang hinggap di dalam dirinya. Satu hal yang paling penting baginya saat ini adalah, mengamankan Valentine dari segala macam ancaman bahaya yang mungkin saja Akbar rencanakan.Persetan dengan apapun yang ada dipikiran Akbar. Ia hanya ingin semuanya selamat. Tidak peduli juga pria itu akan membenci Ameera setelah ini.“Ameera, tolong bawa pergi pacarmu ini. Aku tidak sudi kembali dengannya,” pungkas Valentine setengah memohon.Sorot matanya menunjukkan betapa wanita itu ingin lepas dari jeratan Akbar. Ameera sebagai sesama wanita pun menaruh iba padanya.“Sudahlah, Akbar. Lebih baik kita pergi dari sini sebelum aksimu menjadi bulan-bulanan warga komplek.” “Tidak. Aku tidak akan pulang tanpa Valentine. Kamu memang kekasihku tapi bukan berarti kamu bisa mengaturku, Ameera,” tandas Akbar kejam. Tak hanya Ameera, Valentine pun terkejut dengan reaksi yang d