Tanpa berkata apa pun, Damian berjalan ke meja, menuangkan anggur ke dalam gelas, lalu menyesapnya perlahan. Pandangannya bertemu dengan milik Aurora melalui cermin.
“Kau tidak tidur?” tanyanya, suaranya terdengar santai tetapi tetap mengintimidasi. Aurora membalikkan badan, menatapnya langsung. “Aku tidak lelah.” Damian menaikkan alis. “Kau tidak lelah setelah seharian menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal?” Aurora tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh ketegangan. “Aku sudah terbiasa dengan kejutan dalam hidup. Ini bukan yang terburuk.” Damian memperhatikan ekspresinya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuatnya berbeda. Ia tidak menangis, tidak memohon, tidak juga terlihat terlalu ketakutan. Ada keberanian dalam sorot matanya, meskipun jelas ada ketakutan yang coba ia sembunyikan. Menarik. “Kau tidak seperti yang kubayangkan,” ucap Damian akhirnya. Aurora menyilangkan tangan di depan dada. “Memangnya kau membayangkan aku seperti apa? Wanita lemah yang menangis di sudut ruangan, berharap kau akan bersikap baik padaku?” Senyum kecil Damian muncul. “Aku tidak pernah baik.” Aurora mengangkat dagunya. “Dan aku tidak pernah takut.” Ketegangan di antara mereka menguat. Damian menatapnya lama sebelum akhirnya tertawa kecil—tawa rendah yang dalam dan penuh misteri. Ia meletakkan gelas anggurnya di atas meja, lalu berjalan mendekati Aurora. Refleks, Aurora mundur setengah langkah. Namun, ia sadar bahwa ia tidak boleh terlihat gentar. Jadi, ia menghentikan langkahnya dan tetap berdiri tegak saat Damian berdiri hanya beberapa inci darinya. Pria itu menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya. Aurora menahan napas saat Damian menyentuh dagunya dengan sentuhan ringan, mengangkat wajahnya sedikit. Aurora tahu ia seharusnya menepis tangannya. Tetapi ada sesuatu dalam cara pria itu menatapnya—sesuatu yang lebih dari sekadar dominasi. “Kau boleh berkata kau tidak takut, tetapi tubuhmu berkata lain,” bisik Damian. Aurora mengepalkan tangannya. “Kau ingin aku gemetar dan memohon padamu? Maaf, aku bukan wanita seperti itu.” Damian menyeringai. Ia akhirnya melepas dagu Aurora dan mundur selangkah. “Bagus.” Aurora sedikit terkejut dengan reaksinya. “Bagus?” ulangnya. “Kau tidak lemah. Itu akan membuat permainan ini lebih menarik.” Aurora mengerutkan kening. “Permainan?” Damian memiringkan kepalanya. “Menurutmu, apa yang terjadi setelah pernikahan ini? Kau akan hidup tenang dan damai di dalam rumah ini?” Aurora menatapnya curiga. Damian tersenyum tipis. “Tunggu saja, mi esposa,” bisiknya sebelum melangkah pergi, meninggalkan Aurora dengan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Setelah Damian pergi, Aurora berdiri diam di tempatnya, napasnya masih sedikit tersengal karena adrenalin. Kata-kata pria itu masih terngiang di telinganya. Tunggu saja, mi esposa. Aurora mengepalkan tangannya. “Sialan,” gumamnya sambil menghela napas panjang. Ia melangkah ke balkon kamarnya. Angin malam Italia menyapu wajahnya, membawa aroma laut yang lembut. Kota ini begitu indah di malam hari, tetapi di balik gemerlap lampunya, ada dunia gelap yang kini telah menyeretnya masuk. Dijual oleh keluarganya sendiri. Dinikahkan dengan pria yang bahkan tidak dikenalnya. Sekarang, hidupnya bukan lagi miliknya. Namun, apakah itu berarti ia harus menyerah? Tidak. Aurora Calleste bukan wanita yang bisa diinjak-injak begitu saja. Jika Damian Velasco berpikir bahwa ia akan menunduk dan patuh seperti boneka, pria itu salah besar. ******** Keesokan paginya, Aurora memutuskan untuk keluar dari kamar. Ini adalah rumahnya sekarang—setidaknya dalam status hukum—dan ia tidak akan tinggal diam di dalam kamar seperti seorang tahanan. Ia menuruni tangga dengan anggun, mengenakan gaun rumah berbahan satin yang ringan, tetapi tetap terlihat elegan. Saat ia melangkah ke ruang makan, ia menemukan Damian sudah duduk di sana, menikmati kopi paginya dengan tenang. Pria itu tampak rapi dengan kemeja hitam yang lengannya sedikit digulung. Cahaya matahari pagi menyinari wajahnya yang tampan, tetapi Aurora tidak bisa lupa bahwa pria ini juga berbahaya. Mereka bertatapan. Damian mengangkat alis, tampak sedikit terkejut melihat Aurora muncul tanpa dipanggil. “Aku pikir kau masih akan mengunci diri di kamar.” Aurora mendudukkan diri di kursi di hadapannya. Ia meraih cangkir kosong dan menuangkan kopi sendiri. “Dan membiarkanmu berpikir aku wanita lemah? Tidak, terima kasih.” Damian tersenyum kecil. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, tampak tertarik. “Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang, mi esposa?” Aurora menyeruput kopinya sebelum menatap pria itu dengan penuh tantangan. “Aku ingin pergi keluar.” Senyum Damian memudar sedikit. “Keluar?” Aurora mengangguk. “Ya. Ini kota yang indah, bukan? Aku ingin berjalan-jalan.” Damian menatapnya lama sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kau tahu bahwa kau sekarang adalah istri mafia, kan? Dunia luar tidak seaman yang kau kira.” Aurora menaruh cangkirnya dengan sedikit suara. “Aku bukan tahananmu, Damian.” Suasana di meja makan mendadak tegang. Damian menatap Aurora, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit sorot baru di matanya. Seolah ia baru benar-benar melihat siapa Aurora sebenarnya. Wanita ini memang berbeda. Biasanya, wanita-wanita di sekitarnya selalu berusaha menyenangkannya atau takut kepadanya. Tetapi Aurora? Ia menatapnya seolah menantangnya, bukan sebagai istri yang patuh, tetapi sebagai seseorang yang menolak tunduk begitu saja. “Menarik,” gumam Damian akhirnya. Aurora bersandar ke kursinya, menyilangkan tangan. “Apa yang menarik?” Damian menyeringai. “Keberanianmu.” Aurora menatapnya dengan dingin. “Aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku bukan boneka yang bisa kau atur.” Damian mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau kau ingin keluar, aku akan mengizinkannya. Tetapi dengan satu syarat.” Aurora mengangkat alis. “Apa?” Damian mendekat, menatapnya dengan tajam. “Aku yang akan menemanimu.” Aurora terdiam. Di satu sisi, ia ingin bebas dari bayang-bayang pria ini. Tetapi di sisi lain, ini juga bisa menjadi kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentangnya. Dengan ekspresi tak tergoyahkan, Aurora akhirnya mengangguk. “Baik. Kalau itu syaratnya.” Damian menyeringai. “Bagus.” Tanpa mereka sadari, ada percikan api di antara mereka. Sebuah pertempuran yang baru saja dimulai. ****** Aurora melangkah keluar dari mansion dengan kepala tegak. Udara pagi di Italia terasa segar, menyambutnya dengan angin sepoi-sepoi yang menari di rambutnya. Meskipun di dalam dirinya masih berkecamuk amarah dan ketakutan, ia menolak untuk memperlihatkannya. Damian berjalan di sisinya dengan santai, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, matanya mengamati Aurora dengan tatapan penuh misteri. “Kau ingin ke mana?” tanyanya, suaranya rendah dan tenang, tetapi tetap mengandung otoritas yang sulit diabaikan. Aurora meliriknya sekilas. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingin berjalan-jalan.” Damian terkekeh pelan. “Jadi kau meminta izin untuk keluar tanpa tahu mau ke mana? Itu lucu, mi esposa.” Aurora mendecak pelan, tetapi memilih mengabaikannya. Ia melangkah lebih cepat, sengaja mengabaikan kehadiran pria itu. Namun, baru beberapa langkah, Damian menarik pergelangan tangannya. “Kau lupa sesuatu,” ucapnya. Aurora berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. “Apa lagi?” Damian tersenyum miring. “Kau adalah istriku sekarang. Dan istri seorang Velasco tidak bisa keluar begitu saja tanpa pengawalan.” Aurora menatapnya tajam. “Dan kau pikir aku akan kabur?” Damian menatapnya lebih dalam, seolah berusaha membaca pikirannya. “Aku tidak tahu. Tapi aku tidak akan mengambil risiko.” Sekejap, Aurora ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia menahan diri. Ia sadar, pernikahan ini bukan hanya transaksi semata, tetapi juga jerat yang mengekangnya dalam dunia gelap milik Damian. Ia tidak punya pilihan. Untuk saat ini. ********* Mereka akhirnya berjalan ke distrik pusat kota, di mana kafe-kafe kecil berjejer di sepanjang jalan berbatu. Aurora menikmati pemandangan itu, berusaha melupakan kenyataan bahwa pria di sampingnya adalah seorang mafia. Namun, ia segera menyadari sesuatu. Setiap orang yang mereka lewati, setiap mata yang menatap mereka, selalu memancarkan ekspresi yang sama—takut. Bukan padanya. Tetapi pada Damian. Bahkan tanpa berbicara, keberadaan pria itu sudah cukup untuk membuat orang-orang menyingkir dari jalannya. Aurora melirik Damian dengan ekor matanya. Siapa sebenarnya pria ini?Pagi itu datang terlalu cepat. Sinar matahari menyusup masuk melalui sela-sela tirai kamar Aurora, memaksa matanya membuka meski tubuhnya masih enggan bergerak.Ia bangkit perlahan dari ranjang, perasaan gelisah masih menyelimuti dada. Ingatan tentang darah di baju Damian semalam masih segar di benaknya. Tapi lebih dari itu, ekspresi pria itu—tenang, dingin, dan sedikit... terhibur—yang terus menghantuinya.Aurora menyentuh perutnya, mencoba meneguhkan tekad.Hari ini ia harus mulai menggali informasi. Ia harus tahu siapa Damian Velasco sebenarnya, dan apa yang sedang ia hadapi.Setelah mandi dan mengenakan gaun sederhana dari lemari mewah itu, Aurora berjalan keluar kamar. Seorang pelayan muda yang tampak gugup menyambutnya di lorong."Señorita... Tuan Velasco ingin Anda sarapan bersamanya di taman," ucapnya pelan.Aurora mengerutkan kening. Sarapan... bersamanya?Ia nyaris bertanya apakah ini semacam jebakan. Tapi ia hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu.Taman belakang rumah D
Aurora tidak mengatakan apa-apa lagi. Kata-kata Damian masih menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan yang sulit ia kendalikan. Keluarganya menjual informasi. Mereka mengingkari perjanjian. Mereka mengorbankannya demi menyelamatkan diri mereka sendiri. Aurora merasa mual. Tanpa menoleh ke arah Damian lagi, ia berbalik dan berjalan menuju kamar. Ia tidak peduli apakah Damian mengawasinya atau tidak. Ia tidak ingin berdebat, tidak ingin menantangnya lebih jauh untuk malam ini. Pikirannya terlalu penuh. Begitu memasuki kamar yang telah ditentukan sebagai ruang pribadinya, Aurora menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya pada kayu yang dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ruangan itu luas dan mewah, jauh dari apa yang pernah ia miliki sebelumnya. Jendela besar menghadap taman dengan air mancur klasik di tengahnya, dindingnya dihiasi ukiran dan lukisan mahal. Ranjang empat tiang dengan seprai sutra berwarna emas mendominasi ruangan, s
Damian sepertinya sadar akan tatapan Aurora. Ia tersenyum kecil. “Kau tampak penasaran.” Aurora tidak menampiknya. “Aku hanya bertanya-tanya… seberapa dalam dunia yang sedang aku masuki.” Damian menghentikan langkahnya, menatap Aurora dengan tatapan yang lebih serius. “Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan.” Aurora membalas tatapannya. “Lalu bagaimana?” Damian tidak menjawab langsung. Ia malah melangkah mendekat, mendekatkan wajahnya ke arah Aurora hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Aurora menahan napas. Pria ini memang berbahaya—bukan hanya karena statusnya sebagai mafia, tetapi juga karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Aurora ingin melawan, tetapi di sisi lain juga menantang instingnya sendiri. Senyuman Damian melebar. “Kau akan mengetahuinya sendiri.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku tidak takut padamu, Damian.” Damian menatapnya lama, lalu mengangkat satu alis dengan ekspresi penuh hiburan. “Oh ya?” Tiba-tiba, sebuah suara tembakan
Tanpa berkata apa pun, Damian berjalan ke meja, menuangkan anggur ke dalam gelas, lalu menyesapnya perlahan. Pandangannya bertemu dengan milik Aurora melalui cermin. “Kau tidak tidur?” tanyanya, suaranya terdengar santai tetapi tetap mengintimidasi. Aurora membalikkan badan, menatapnya langsung. “Aku tidak lelah.” Damian menaikkan alis. “Kau tidak lelah setelah seharian menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal?” Aurora tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh ketegangan. “Aku sudah terbiasa dengan kejutan dalam hidup. Ini bukan yang terburuk.” Damian memperhatikan ekspresinya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuatnya berbeda. Ia tidak menangis, tidak memohon, tidak juga terlihat terlalu ketakutan. Ada keberanian dalam sorot matanya, meskipun jelas ada ketakutan yang coba ia sembunyikan. Menarik. “Kau tidak seperti yang kubayangkan,” ucap Damian akhirnya. Aurora menyilangkan tangan di depan dada. “Memangnya kau membayangkan aku seperti apa? Wanita lemah y
Aurora duduk diam di dalam mobil hitam yang melaju di jalanan gelap Milan. Tangannya bertaut di pangkuan, gaun pengantinnya masih terpakai dengan sempurna, tetapi jantungnya berdegup kencang. Di sampingnya, Damian Velasco duduk diam. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya sejak mereka meninggalkan gereja. Suasana dalam mobil terasa begitu dingin, membuat Aurora menegakkan punggungnya dengan kaku. “Ke mana kita pergi?” Ia akhirnya memberanikan diri bertanya. Damian menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Rumah.” Rumah. Bukan hotel, bukan tempat resepsi, hanya rumah. Tentu saja, pernikahan mereka bukan pernikahan biasa. Tidak ada pesta, tidak ada ucapan selamat, hanya sebuah transaksi. Damian tidak mengatakan apa pun lagi, dan Aurora tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya menggenggam ujung gaunnya erat, mencoba mengendalikan kegelisahannya. Setelah beberapa saat, mobil memasuki sebuah gerbang tinggi dengan penjagaan ketat. Aurora menatap ke luar jendela dan m
Malam itu, hujan turun deras di Milan. Rintiknya menghantam kaca jendela dengan ritme yang seolah menambah ketegangan di dada Aurora Calleste. Ia duduk di kursi panjang di ruang keluarga, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. Di sekelilingnya, orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya justru tampak seperti musuh. Giovanni Calleste, ayahnya, berdiri di dekat perapian dengan wajah serius. Isabella, ibu tirinya, hanya duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, sementara Bianca, kakak tirinya, tampak gelisah. “Mengapa aku?” Suara Aurora bergetar saat ia akhirnya berbicara. Ayahnya menghela napas panjang, seolah bosan dengan pertanyaan itu. “Karena kau yang paling tidak berharga.” Aurora merasakan dadanya mencengkung, tetapi ia tidak kaget. Sejak kecil, ia tahu bahwa dirinya hanyalah kesalahan—anak haram yang tidak pernah diinginkan. Namun, mendengar ayahnya mengatakan itu secara langsung tetap membuat hatinya hancur. “Aku bahkan tidak mengenalnya,” lanjutnya, menc