Aurora tidak mengatakan apa-apa lagi.
Kata-kata Damian masih menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan yang sulit ia kendalikan. Keluarganya menjual informasi. Mereka mengingkari perjanjian. Mereka mengorbankannya demi menyelamatkan diri mereka sendiri. Aurora merasa mual. Tanpa menoleh ke arah Damian lagi, ia berbalik dan berjalan menuju kamar. Ia tidak peduli apakah Damian mengawasinya atau tidak. Ia tidak ingin berdebat, tidak ingin menantangnya lebih jauh untuk malam ini. Pikirannya terlalu penuh. Begitu memasuki kamar yang telah ditentukan sebagai ruang pribadinya, Aurora menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya pada kayu yang dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ruangan itu luas dan mewah, jauh dari apa yang pernah ia miliki sebelumnya. Jendela besar menghadap taman dengan air mancur klasik di tengahnya, dindingnya dihiasi ukiran dan lukisan mahal. Ranjang empat tiang dengan seprai sutra berwarna emas mendominasi ruangan, sementara lemari pakaian besar berisi gaun-gaun yang mungkin lebih mahal daripada seluruh hidupnya. Semua ini tampak seperti mimpi. Tetapi mimpi buruk. Aurora melangkah menuju jendela, menatap taman yang diterangi cahaya bulan. Angin malam bertiup lembut, tetapi hatinya terasa sesak. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini. Dari kecil, ia selalu tahu bahwa Isabella—istri sah ayahnya—membencinya. Tetapi ia tidak pernah menyangka kebenciannya begitu dalam hingga tega menjadikannya tumbal untuk menyelamatkan keluarga mereka. Dan sekarang, ia berada di sini. Di rumah seorang pria yang tidak hanya memiliki kekuasaan mutlak, tetapi juga memiliki nyawanya di tangannya. Aurora menggigit bibirnya. Ia harus pintar. Ia harus mencari cara untuk bertahan hidup. Bukan hanya sebagai wanita yang dijual oleh keluarganya, tetapi sebagai seseorang yang memiliki kendali atas dirinya sendiri. Untuk malam ini, ia memilih untuk tidak berpikir terlalu banyak. Ia berjalan ke ranjang dan merebahkan dirinya di atas seprai yang lembut. Tangannya meraba perutnya, mencoba menenangkan diri. Damian Velasco adalah ancaman, tetapi ia bukan satu-satunya musuh di sini. Karena keluarga yang seharusnya melindunginya… justru yang pertama kali mengkhianatinya. Dengan pikiran itu, Aurora memejamkan mata, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelelahan. Besok, ia harus lebih kuat. Besok, ia harus menemukan cara untuk melawan. Aurora terbangun dengan perasaan tidak nyaman. Perutnya terasa kosong, dan rasa lapar yang begitu nyata membuatnya mengerang pelan. Ia melirik jam di nakas—pukul dua dini hari. Menghela napas, ia bangkit dari ranjang. Tidur bukan lagi pilihan kalau perutnya sendiri memberontak. Ia berjalan keluar kamar dengan hati-hati, menyusuri koridor yang lengang. Rumah ini terlalu besar dan sunyi di malam hari, membuat langkah kakinya terdengar menggema. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya ia menemukan dapur. Ruangan itu luas dengan peralatan serba modern. Aurora langsung menuju kulkas dan mencari sesuatu yang bisa dimakan. Ia mengambil roti dan sebotol susu, berniat duduk di meja untuk mengisi perutnya. Namun, baru saja ia hendak menggigit rotinya, suara langkah berat terdengar dari arah pintu belakang. Aurora refleks menoleh. Dan di sanalah Damian berdiri. Nafas Aurora tercekat. Damian baru saja pulang. Jas hitamnya kusut, kemejanya berantakan… dan yang paling mengerikan—baju itu bersimbah darah. Aurora membeku di tempat. Matanya melebar melihat bercak merah yang menodai kain putih di tubuh pria itu. Beberapa titik darah bahkan terlihat di jemarinya, seolah ia baru saja menyentuh sesuatu yang sangat mengerikan. Damian menatapnya dari ambang pintu dapur. Tatapan gelapnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Satu detik. Dua detik. Aurora menelan ludah. "Apa… yang kau lakukan?" tanyanya lirih, suaranya hampir bergetar. Damian tidak langsung menjawab. Ia berjalan masuk, melewati Aurora dengan santai seolah ia tidak peduli dengan darah di tubuhnya. Ia membuka lemari dapur, mengambil gelas, dan menuangkan air dengan gerakan tenang. Baru setelah meneguk airnya, ia menoleh dan menatap Aurora yang masih membeku. "Kenapa kau masih terjaga?" tanyanya, suaranya dalam dan sedikit serak. Aurora mengerjap. Ia ingin menjawab, tetapi matanya terus tertuju pada noda merah di baju Damian. "Kau membunuh seseorang?" tanyanya tanpa sadar. Damian menaikkan alis, seolah terhibur dengan pertanyaan itu. "Kau ingin tahu?" Aurora menahan napas. Sebagian dirinya ingin berbalik dan lari. Sebagian lainnya ingin tetap di tempat, menatap pria itu dan menunjukkan bahwa ia tidak takut. Tapi itu bohong. Aurora memang takut. Damian menatapnya tajam sebelum meletakkan gelasnya di meja. Ia melangkah mendekat, membuat Aurora secara refleks mundur. Namun, Damian lebih cepat. Dalam sekejap, Aurora terpojok di meja dapur, dengan Damian berdiri tepat di depannya. Jarak mereka begitu dekat. Aurora bisa mencium samar aroma darah yang tercampur dengan wewangian khas pria itu. "Kalau aku bilang iya, kau akan bagaimana?" bisik Damian, suaranya rendah dan mengintimidasi. Aurora menahan napas. "Aku tidak peduli," katanya pelan, meski jantungnya berdebar kencang. Damian mengangkat sudut bibirnya, seperti terhibur. "Kau bohong." Aurora menggigit bibirnya. Ia ingin menghindari tatapan itu, tetapi mata Damian terlalu kuat menariknya. Setelah beberapa detik tegang yang terasa seperti selamanya, Damian akhirnya menjauh. "Pergilah tidur, mi esposa," katanya sambil berjalan keluar dapur. "Jangan terlalu banyak bertanya tentang hal yang tidak perlu kau tahu." Aurora masih berdiri di tempatnya, tubuhnya tegang. Saat Damian menghilang di balik koridor, ia menghela napas panjang dan menyadari tangannya gemetar. Damian Velasco benar-benar pria yang berbahaya. Dan sekarang, ia semakin yakin bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan pernah tenang. ******* Damian masuk ke kamarnya dengan langkah santai. Ia membuka kancing kemeja yang sudah ternoda darah, lalu melemparkannya ke keranjang cucian tanpa peduli. Ia berjalan menuju cermin besar di sudut ruangan, menatap bayangannya sendiri. Kemudian, senyum samar muncul di sudut bibirnya. Aurora. Gadis itu benar-benar menarik perhatiannya. Ia mengira Aurora akan ketakutan dan berlari ketika melihat darah di tubuhnya. Gadis lain pasti akan menjerit, menangis, atau bahkan pingsan di tempat. Tapi tidak dengan Aurora. Gadis itu memang takut. Matanya tidak bisa berbohong. Namun, ia tetap berdiri di tempatnya, tetap berusaha menunjukkan keberanian di hadapannya. Berani, tapi bodoh. Damian menghela napas dan melepas sisa pakaiannya. Ia masuk ke kamar mandi, membiarkan air dingin mengalir di tubuhnya. Aurora benar-benar berbeda dari wanita mana pun yang pernah ia temui. Selama ini, banyak wanita tergila-gila padanya, rela melakukan apa pun hanya untuk mendapatkan perhatiannya. Tapi Damian tidak pernah tertarik. Mereka semua sama—terlalu mudah jatuh cinta pada ketampanan dan kekuasaannya. Namun, Aurora tidak seperti itu. Ia bisa melihat perasaan benci dan ketidaksukaan dalam sorot mata gadis itu. Dan anehnya, itu justru membuatnya semakin penasaran. Keluar dari kamar mandi, Damian mengenakan pakaian tidur dan berjalan ke balkon. Angin malam menerpa wajahnya saat ia menyalakan cerutu. Kembali ia mengingat wajah Aurora saat di dapur tadi. Wajah polos yang sok berani itu benar-benar menggelitiknya. Damian tidak tahu apakah ini hanya sekadar ketertarikan sesaat atau sesuatu yang lebih dalam. Tapi satu hal yang pasti… Aurora Calleste akan menjadi hiburan yang menarik di hidupnya. Senyum licik terukir di wajahnya saat ia menghisap cerutunya. Malam ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Damian merasa sedikit lebih tertarik pada sesuatu. Atau lebih tepatnya… seseorang.Pagi itu datang terlalu cepat. Sinar matahari menyusup masuk melalui sela-sela tirai kamar Aurora, memaksa matanya membuka meski tubuhnya masih enggan bergerak.Ia bangkit perlahan dari ranjang, perasaan gelisah masih menyelimuti dada. Ingatan tentang darah di baju Damian semalam masih segar di benaknya. Tapi lebih dari itu, ekspresi pria itu—tenang, dingin, dan sedikit... terhibur—yang terus menghantuinya.Aurora menyentuh perutnya, mencoba meneguhkan tekad.Hari ini ia harus mulai menggali informasi. Ia harus tahu siapa Damian Velasco sebenarnya, dan apa yang sedang ia hadapi.Setelah mandi dan mengenakan gaun sederhana dari lemari mewah itu, Aurora berjalan keluar kamar. Seorang pelayan muda yang tampak gugup menyambutnya di lorong."Señorita... Tuan Velasco ingin Anda sarapan bersamanya di taman," ucapnya pelan.Aurora mengerutkan kening. Sarapan... bersamanya?Ia nyaris bertanya apakah ini semacam jebakan. Tapi ia hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu.Taman belakang rumah D
Aurora tidak mengatakan apa-apa lagi. Kata-kata Damian masih menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan yang sulit ia kendalikan. Keluarganya menjual informasi. Mereka mengingkari perjanjian. Mereka mengorbankannya demi menyelamatkan diri mereka sendiri. Aurora merasa mual. Tanpa menoleh ke arah Damian lagi, ia berbalik dan berjalan menuju kamar. Ia tidak peduli apakah Damian mengawasinya atau tidak. Ia tidak ingin berdebat, tidak ingin menantangnya lebih jauh untuk malam ini. Pikirannya terlalu penuh. Begitu memasuki kamar yang telah ditentukan sebagai ruang pribadinya, Aurora menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya pada kayu yang dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ruangan itu luas dan mewah, jauh dari apa yang pernah ia miliki sebelumnya. Jendela besar menghadap taman dengan air mancur klasik di tengahnya, dindingnya dihiasi ukiran dan lukisan mahal. Ranjang empat tiang dengan seprai sutra berwarna emas mendominasi ruangan, s
Damian sepertinya sadar akan tatapan Aurora. Ia tersenyum kecil. “Kau tampak penasaran.” Aurora tidak menampiknya. “Aku hanya bertanya-tanya… seberapa dalam dunia yang sedang aku masuki.” Damian menghentikan langkahnya, menatap Aurora dengan tatapan yang lebih serius. “Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan.” Aurora membalas tatapannya. “Lalu bagaimana?” Damian tidak menjawab langsung. Ia malah melangkah mendekat, mendekatkan wajahnya ke arah Aurora hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Aurora menahan napas. Pria ini memang berbahaya—bukan hanya karena statusnya sebagai mafia, tetapi juga karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Aurora ingin melawan, tetapi di sisi lain juga menantang instingnya sendiri. Senyuman Damian melebar. “Kau akan mengetahuinya sendiri.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku tidak takut padamu, Damian.” Damian menatapnya lama, lalu mengangkat satu alis dengan ekspresi penuh hiburan. “Oh ya?” Tiba-tiba, sebuah suara tembakan
Tanpa berkata apa pun, Damian berjalan ke meja, menuangkan anggur ke dalam gelas, lalu menyesapnya perlahan. Pandangannya bertemu dengan milik Aurora melalui cermin. “Kau tidak tidur?” tanyanya, suaranya terdengar santai tetapi tetap mengintimidasi. Aurora membalikkan badan, menatapnya langsung. “Aku tidak lelah.” Damian menaikkan alis. “Kau tidak lelah setelah seharian menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal?” Aurora tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh ketegangan. “Aku sudah terbiasa dengan kejutan dalam hidup. Ini bukan yang terburuk.” Damian memperhatikan ekspresinya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuatnya berbeda. Ia tidak menangis, tidak memohon, tidak juga terlihat terlalu ketakutan. Ada keberanian dalam sorot matanya, meskipun jelas ada ketakutan yang coba ia sembunyikan. Menarik. “Kau tidak seperti yang kubayangkan,” ucap Damian akhirnya. Aurora menyilangkan tangan di depan dada. “Memangnya kau membayangkan aku seperti apa? Wanita lemah y
Aurora duduk diam di dalam mobil hitam yang melaju di jalanan gelap Milan. Tangannya bertaut di pangkuan, gaun pengantinnya masih terpakai dengan sempurna, tetapi jantungnya berdegup kencang. Di sampingnya, Damian Velasco duduk diam. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya sejak mereka meninggalkan gereja. Suasana dalam mobil terasa begitu dingin, membuat Aurora menegakkan punggungnya dengan kaku. “Ke mana kita pergi?” Ia akhirnya memberanikan diri bertanya. Damian menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Rumah.” Rumah. Bukan hotel, bukan tempat resepsi, hanya rumah. Tentu saja, pernikahan mereka bukan pernikahan biasa. Tidak ada pesta, tidak ada ucapan selamat, hanya sebuah transaksi. Damian tidak mengatakan apa pun lagi, dan Aurora tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya menggenggam ujung gaunnya erat, mencoba mengendalikan kegelisahannya. Setelah beberapa saat, mobil memasuki sebuah gerbang tinggi dengan penjagaan ketat. Aurora menatap ke luar jendela dan m
Malam itu, hujan turun deras di Milan. Rintiknya menghantam kaca jendela dengan ritme yang seolah menambah ketegangan di dada Aurora Calleste. Ia duduk di kursi panjang di ruang keluarga, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. Di sekelilingnya, orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya justru tampak seperti musuh. Giovanni Calleste, ayahnya, berdiri di dekat perapian dengan wajah serius. Isabella, ibu tirinya, hanya duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, sementara Bianca, kakak tirinya, tampak gelisah. “Mengapa aku?” Suara Aurora bergetar saat ia akhirnya berbicara. Ayahnya menghela napas panjang, seolah bosan dengan pertanyaan itu. “Karena kau yang paling tidak berharga.” Aurora merasakan dadanya mencengkung, tetapi ia tidak kaget. Sejak kecil, ia tahu bahwa dirinya hanyalah kesalahan—anak haram yang tidak pernah diinginkan. Namun, mendengar ayahnya mengatakan itu secara langsung tetap membuat hatinya hancur. “Aku bahkan tidak mengenalnya,” lanjutnya, menc