Home / Romansa / Obsesi Gila Sang Mafia / BAB-6 Bahagia diatas Penderitaan

Share

BAB-6 Bahagia diatas Penderitaan

Author: Dydy Ailee
last update Last Updated: 2025-05-07 23:59:11

Pagi itu datang terlalu cepat. Sinar matahari menyusup masuk melalui sela-sela tirai kamar Aurora, memaksa matanya membuka meski tubuhnya masih enggan bergerak.

Ia bangkit perlahan dari ranjang, perasaan gelisah masih menyelimuti dada. Ingatan tentang darah di baju Damian semalam masih segar di benaknya. Tapi lebih dari itu, ekspresi pria itu—tenang, dingin, dan sedikit... terhibur—yang terus menghantuinya.

Aurora menyentuh perutnya, mencoba meneguhkan tekad.

Hari ini ia harus mulai menggali informasi. Ia harus tahu siapa Damian Velasco sebenarnya, dan apa yang sedang ia hadapi.

Setelah mandi dan mengenakan gaun sederhana dari lemari mewah itu, Aurora berjalan keluar kamar. Seorang pelayan muda yang tampak gugup menyambutnya di lorong.

"Señorita... Tuan Velasco ingin Anda sarapan bersamanya di taman," ucapnya pelan.

Aurora mengerutkan kening. Sarapan... bersamanya?

Ia nyaris bertanya apakah ini semacam jebakan. Tapi ia hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu.

Taman belakang rumah Damian lebih luas dari yang ia kira. Kursi dan meja marmer sudah tertata, dihiasi vas mawar segar dan hidangan lengkap. Di sana, Damian duduk santai dengan setelan linen tipis berwarna krem, terlihat jauh lebih santai daripada malam sebelumnya.

Aurora menghela napas pelan dan melangkah mendekat.

"Selamat pagi," sapa Damian tanpa menoleh, tangannya memainkan pisau mentega.

Aurora duduk di seberangnya. "Pagi."

"Aku tidak melihatmu lari malam tadi," ujar Damian tenang, matanya akhirnya menatapnya. "Berani sekali."

"Aku tidak punya tempat untuk lari," balas Aurora cepat.

Damian mengangkat alis, tampak terhibur. "Kalau begitu, kita bisa bicara seperti orang beradab pagi ini."

"Apa maksudmu?" tanya Aurora.

Damian meletakkan pisau dan garpunya. "Kau tidak ditawan di sini, Aurora. Tidak seperti yang kau pikirkan. Tapi aku juga tidak membiarkan siapa pun pergi dengan mudah. Semua tergantung pada seberapa pintar kau memainkan peranmu."

Aurora menahan napas.

Permainan. Jadi ini semua permainan untuknya?

"Dan... apa peran yang kau harapkan dariku?" tanyanya hati-hati.

Damian tersenyum tipis, matanya tajam menusuk. "Istriku. Untuk dunia luar. Tapi di dalam rumah ini, kau bisa memilih: menjadi pion yang pasrah, atau... lawan yang menarik."

Aurora menggenggam tangannya di bawah meja. Pilihan itu terdengar seperti ancaman—atau tantangan.

"Aku akan menjadi sesuatu yang tidak bisa kau kendalikan," katanya pelan tapi mantap.

Damian tertawa kecil. "Aku harap begitu."

Suasana sarapan pagi kembali hening dan menegangkan. Aurora mulai bosan dan tertekan dengan keadaan. 

Setelah selesai sarapan, tanpa banyak bicara, Damian berdiri dari meja makan, merapikan jasnya, lalu menuju pintu depan.

"Aku ke kantor. Jangan coba keluar rumah," ucapnya dingin, sebelum membuka pintu dan pergi begitu saja.

Aurora menatap pintu yang baru saja tertutup. Ia mendengus pelan, lalu berjalan cepat ke ruang tengah. Ini satu-satunya kesempatan—ketika Damian tidak ada di rumah.

Ia segera memeriksa setiap sudut yang mencurigakan. Rak buku, laci-laci, ruang kerja kecil di lantai dua. Setiap langkahnya dihitung, setiap suara ditekan. Meski dikurung, bukan berarti ia tidak bisa mencari celah.

Aurora membuka setiap laci, membalik tumpukan dokumen, bahkan memeriksa belakang lukisan dan bawah karpet. Tapi hasilnya nihil. Semua terlalu rapi. Terlalu bersih.

Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada senjata, tidak ada foto atau petunjuk yang bisa menjelaskan siapa sebenarnya Damian. Bahkan ruang kerja yang ia pikir akan penuh dengan rahasia, hanya berisi laptop terkunci dan rak buku yang terlalu biasa.

Seolah rumah ini memang didesain untuk menyembunyikan semuanya.

Aurora bersandar di dinding, frustasi. Dadanya naik-turun menahan amarah dan rasa penasaran yang belum terjawab.

Ia menatap jam dinding. Damian mungkin akan pulang beberapa jam lagi.

Waktu semakin sempit. Tapi tetap saja... tidak ada apa pun.

******

Di sebuah ruang keluarga yang cukup besar, keluarga Aurora sedang duduk santai, menikmati teh dan kue-kue kecil yang disajikan di meja. Ruangan itu tampak sunyi dan tenang, kontras dengan kekacauan yang terjadi beberapa waktu lalu.

Giovanni Calleste, ayah Aurora, duduk dengan sikap tenang, tatapan matanya tajam namun tampak puas. “Semua ini berkat keputusan yang tepat. Damian tahu apa yang harus dilakukan. Sekarang kita bisa bernapas lega.”

Isabella, ibu Aurora, memiringkan kepala dengan senyum tipis. “Tentu saja. Dengan Aurora keluar dari gambar, semua ancaman terhadap keluarga ini akan hilang. Kita tidak perlu lagi khawatir tentang apapun.”

Bianca, kakak tiri Aurora yang sejak lama merasa tak ada tempat di hati keluarga, menyeringai. “Mereka selalu membuat masalah besar dari hal-hal kecil. Ternyata, sekali masalah itu diselesaikan, semuanya akan baik-baik saja.”

Suasana yang semula tegang kini berubah menjadi lebih ringan. Tidak ada penyesalan, hanya perasaan lega yang mendalam. Mereka sudah berkomplot untuk menumbalkan Aurora—gadis yang mereka anggap beban. Bagi mereka, itu adalah langkah pragmatis untuk bertahan hidup di dunia penuh intrik ini.

Bianca mengangkat cangkir teh dengan santai, memandangi ayah dan ibu tirinya, “Seharusnya ini sudah dilakukan dari dulu. Dengan cara ini, kita bisa tetap menjaga status dan kekuasaan keluarga.”

Giovanni mengangguk setuju, “Benar. Tidak ada tempat untuk orang yang lemah dalam dunia seperti ini. Aurora telah diberi kesempatan, tapi dia tak mampu memanfaatkannya.”

Tanpa mereka sadari, ucapan-ucapan mereka menggema di telinga setiap orang yang mendengarnya. Mereka merasa aman. Keluarga ini telah memilih jalan mereka, dan sekarang mereka merasa dunia mereka semakin stabil.

Namun, di balik ketenangan itu, nasib Aurora masih terkatung-katung, berjuang dengan dirinya sendiri dalam keheningan.

Tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi di tengah tawa bahagia mereka. Suasana tiba-tiba terasa mencekam. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Gila Sang Mafia    BAB-6 Bahagia diatas Penderitaan

    Pagi itu datang terlalu cepat. Sinar matahari menyusup masuk melalui sela-sela tirai kamar Aurora, memaksa matanya membuka meski tubuhnya masih enggan bergerak.Ia bangkit perlahan dari ranjang, perasaan gelisah masih menyelimuti dada. Ingatan tentang darah di baju Damian semalam masih segar di benaknya. Tapi lebih dari itu, ekspresi pria itu—tenang, dingin, dan sedikit... terhibur—yang terus menghantuinya.Aurora menyentuh perutnya, mencoba meneguhkan tekad.Hari ini ia harus mulai menggali informasi. Ia harus tahu siapa Damian Velasco sebenarnya, dan apa yang sedang ia hadapi.Setelah mandi dan mengenakan gaun sederhana dari lemari mewah itu, Aurora berjalan keluar kamar. Seorang pelayan muda yang tampak gugup menyambutnya di lorong."Señorita... Tuan Velasco ingin Anda sarapan bersamanya di taman," ucapnya pelan.Aurora mengerutkan kening. Sarapan... bersamanya?Ia nyaris bertanya apakah ini semacam jebakan. Tapi ia hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu.Taman belakang rumah D

  • Obsesi Gila Sang Mafia    BAB 5

    Aurora tidak mengatakan apa-apa lagi. Kata-kata Damian masih menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan yang sulit ia kendalikan. Keluarganya menjual informasi. Mereka mengingkari perjanjian. Mereka mengorbankannya demi menyelamatkan diri mereka sendiri. Aurora merasa mual. Tanpa menoleh ke arah Damian lagi, ia berbalik dan berjalan menuju kamar. Ia tidak peduli apakah Damian mengawasinya atau tidak. Ia tidak ingin berdebat, tidak ingin menantangnya lebih jauh untuk malam ini. Pikirannya terlalu penuh. Begitu memasuki kamar yang telah ditentukan sebagai ruang pribadinya, Aurora menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya pada kayu yang dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ruangan itu luas dan mewah, jauh dari apa yang pernah ia miliki sebelumnya. Jendela besar menghadap taman dengan air mancur klasik di tengahnya, dindingnya dihiasi ukiran dan lukisan mahal. Ranjang empat tiang dengan seprai sutra berwarna emas mendominasi ruangan, s

  • Obsesi Gila Sang Mafia    Bab 4 Permainan Yang Dimulai

    Damian sepertinya sadar akan tatapan Aurora. Ia tersenyum kecil. “Kau tampak penasaran.” Aurora tidak menampiknya. “Aku hanya bertanya-tanya… seberapa dalam dunia yang sedang aku masuki.” Damian menghentikan langkahnya, menatap Aurora dengan tatapan yang lebih serius. “Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan.” Aurora membalas tatapannya. “Lalu bagaimana?” Damian tidak menjawab langsung. Ia malah melangkah mendekat, mendekatkan wajahnya ke arah Aurora hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Aurora menahan napas. Pria ini memang berbahaya—bukan hanya karena statusnya sebagai mafia, tetapi juga karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Aurora ingin melawan, tetapi di sisi lain juga menantang instingnya sendiri. Senyuman Damian melebar. “Kau akan mengetahuinya sendiri.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku tidak takut padamu, Damian.” Damian menatapnya lama, lalu mengangkat satu alis dengan ekspresi penuh hiburan. “Oh ya?” Tiba-tiba, sebuah suara tembakan

  • Obsesi Gila Sang Mafia    BAB 3 Wanita Yang Tak Mudah Ditaklukan

    Tanpa berkata apa pun, Damian berjalan ke meja, menuangkan anggur ke dalam gelas, lalu menyesapnya perlahan. Pandangannya bertemu dengan milik Aurora melalui cermin. “Kau tidak tidur?” tanyanya, suaranya terdengar santai tetapi tetap mengintimidasi. Aurora membalikkan badan, menatapnya langsung. “Aku tidak lelah.” Damian menaikkan alis. “Kau tidak lelah setelah seharian menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal?” Aurora tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh ketegangan. “Aku sudah terbiasa dengan kejutan dalam hidup. Ini bukan yang terburuk.” Damian memperhatikan ekspresinya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuatnya berbeda. Ia tidak menangis, tidak memohon, tidak juga terlihat terlalu ketakutan. Ada keberanian dalam sorot matanya, meskipun jelas ada ketakutan yang coba ia sembunyikan. Menarik. “Kau tidak seperti yang kubayangkan,” ucap Damian akhirnya. Aurora menyilangkan tangan di depan dada. “Memangnya kau membayangkan aku seperti apa? Wanita lemah y

  • Obsesi Gila Sang Mafia    BAB 2 Malam Pertama

    Aurora duduk diam di dalam mobil hitam yang melaju di jalanan gelap Milan. Tangannya bertaut di pangkuan, gaun pengantinnya masih terpakai dengan sempurna, tetapi jantungnya berdegup kencang. Di sampingnya, Damian Velasco duduk diam. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya sejak mereka meninggalkan gereja. Suasana dalam mobil terasa begitu dingin, membuat Aurora menegakkan punggungnya dengan kaku. “Ke mana kita pergi?” Ia akhirnya memberanikan diri bertanya. Damian menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Rumah.” Rumah. Bukan hotel, bukan tempat resepsi, hanya rumah. Tentu saja, pernikahan mereka bukan pernikahan biasa. Tidak ada pesta, tidak ada ucapan selamat, hanya sebuah transaksi. Damian tidak mengatakan apa pun lagi, dan Aurora tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya menggenggam ujung gaunnya erat, mencoba mengendalikan kegelisahannya. Setelah beberapa saat, mobil memasuki sebuah gerbang tinggi dengan penjagaan ketat. Aurora menatap ke luar jendela dan m

  • Obsesi Gila Sang Mafia    BAB 1- Tumbal Keluarga Calleste

    Malam itu, hujan turun deras di Milan. Rintiknya menghantam kaca jendela dengan ritme yang seolah menambah ketegangan di dada Aurora Calleste. Ia duduk di kursi panjang di ruang keluarga, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. Di sekelilingnya, orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya justru tampak seperti musuh. Giovanni Calleste, ayahnya, berdiri di dekat perapian dengan wajah serius. Isabella, ibu tirinya, hanya duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, sementara Bianca, kakak tirinya, tampak gelisah. “Mengapa aku?” Suara Aurora bergetar saat ia akhirnya berbicara. Ayahnya menghela napas panjang, seolah bosan dengan pertanyaan itu. “Karena kau yang paling tidak berharga.” Aurora merasakan dadanya mencengkung, tetapi ia tidak kaget. Sejak kecil, ia tahu bahwa dirinya hanyalah kesalahan—anak haram yang tidak pernah diinginkan. Namun, mendengar ayahnya mengatakan itu secara langsung tetap membuat hatinya hancur. “Aku bahkan tidak mengenalnya,” lanjutnya, menc

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status