Damian sepertinya sadar akan tatapan Aurora. Ia tersenyum kecil. “Kau tampak penasaran.”
Aurora tidak menampiknya. “Aku hanya bertanya-tanya… seberapa dalam dunia yang sedang aku masuki.” Damian menghentikan langkahnya, menatap Aurora dengan tatapan yang lebih serius. “Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan.” Aurora membalas tatapannya. “Lalu bagaimana?” Damian tidak menjawab langsung. Ia malah melangkah mendekat, mendekatkan wajahnya ke arah Aurora hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Aurora menahan napas. Pria ini memang berbahaya—bukan hanya karena statusnya sebagai mafia, tetapi juga karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Aurora ingin melawan, tetapi di sisi lain juga menantang instingnya sendiri. Senyuman Damian melebar. “Kau akan mengetahuinya sendiri.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku tidak takut padamu, Damian.” Damian menatapnya lama, lalu mengangkat satu alis dengan ekspresi penuh hiburan. “Oh ya?” Tiba-tiba, sebuah suara tembakan menggema di udara. Orang-orang di sekitar mereka menjerit dan berlarian mencari perlindungan. Aurora tersentak, tetapi sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Damian sudah menariknya ke dalam pelukannya, membalikkan tubuhnya dan melindunginya dari arah tembakan. Jantung Aurora berdegup kencang. Ia bisa merasakan kekuatan tubuh Damian, bisa merasakan ketegangan dalam setiap ototnya. Saat suara tembakan berhenti, Damian perlahan melepaskan Aurora. Mata pria itu berubah gelap, dingin, dan penuh ancaman. “Kita harus pergi,” katanya tegas. Aurora menatapnya, masih sedikit terkejut. Namun, saat ia melihat cara Damian mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, tiba-tiba ia menyadari satu hal— Ia baru saja melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang tidak akan pernah membiarkannya keluar dengan mudah. Damian menarik Aurora dengan cepat, menuntunnya menuju mobil hitam yang diparkir di sudut jalan. Orang-orang masih berhamburan dalam kepanikan, tetapi Damian tetap tenang. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan ketakutan atau kepanikan—hanya tatapan tajam penuh perhitungan. Aurora masih bisa merasakan sisa-sisa adrenalin yang mengalir di tubuhnya. Tadi… seseorang benar-benar menembaki mereka? “Masuk,” perintah Damian tegas, membukakan pintu mobil. Aurora ingin membantah, tetapi melihat situasi yang kacau, ia memilih menurut. Baru saja ia duduk, Damian menutup pintu dan berjalan ke sisi lain, masuk ke dalam mobil dengan gerakan cepat dan terlatih. Sopir langsung melajukan kendaraan begitu Damian memberi kode. Aurora melirik ke arah Damian, napasnya masih belum stabil. “Siapa yang melakukan itu?” Damian menatap lurus ke depan, ekspresinya tetap datar. “Aku tidak tahu. Tapi aku akan mengetahuinya dalam waktu kurang dari satu jam.” Aurora menelan ludah. Cara pria itu berbicara, seakan nyawa seseorang bisa ditentukan hanya dengan satu perintah darinya. Tiba-tiba, Damian mengangkat ponselnya dan menekan nomor. “Aku ingin semua rekaman CCTV dari distrik itu dalam waktu sepuluh menit,” katanya dingin. “Juga, periksa siapa saja yang berada di area tersebut satu jam sebelum kejadian.” Suara di seberang sana menjawab cepat, lalu panggilan berakhir. Aurora mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Kejadian tadi membuatnya sadar akan satu hal—ia bukan hanya menikahi seorang pria berbahaya, tetapi juga pria yang berada di puncak kekuasaan dalam dunia yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. ••• Begitu mereka tiba di mansion, Damian langsung turun dan berjalan cepat, tidak lagi memedulikan Aurora. Aurora mengerutkan kening, lalu mengejarnya. “Hei!” Damian berhenti di ambang pintu, tetapi tidak berbalik. Aurora mengepalkan tangannya. “Apa aku tidak berhak tahu apa yang terjadi?” Damian menoleh sedikit, lalu mengangkat alis. “Kenapa? Kau takut?” Aurora mendengus. “Bukan itu. Aku hanya ingin tahu siapa yang berusaha membunuh kita barusan.” Damian terkekeh kecil. “Kita?” Aurora semakin kesal. “Ya, kita! Aku ikut hampir terbunuh di sana, ingat?” Damian menatapnya lama, lalu akhirnya berjalan mendekat. “Dengar, mi esposa,” ucapnya lembut, tetapi ada nada tajam di dalamnya. “Aku bisa mengurus ini sendiri. Kau hanya perlu duduk manis dan menjalani peranmu sebagai istriku.” Aurora menatapnya tidak percaya. “Jadi aku hanya harus diam? Seperti boneka tak bernyawa?” Senyuman Damian memudar. “Tidak,” katanya pelan. “Tapi aku tidak ingin kau ikut campur.” Aurora merasa dadanya sesak karena amarah. Sial. Pria ini benar-benar terlalu berkuasa. Namun, sebelum ia bisa mengatakan sesuatu lagi, Damian melangkah pergi, meninggalkannya berdiri di tengah ruang tamu yang megah. Aurora mengepalkan tangannya. Baiklah. Kalau Damian pikir dia bisa mendikte segalanya, dia salah besar. Aurora tidak akan menjadi wanita lemah yang hanya menunggu. Jika pria itu tidak memberitahunya, maka dia akan mencari tahu sendiri. ****** Aurora baru saja berbalik, berniat untuk pergi ke kamarnya, ketika suara berat Damian menghentikan langkahnya. "Jangan terlalu percaya diri, mi esposa." Aurora membeku. Ia menoleh dan mendapati Damian berdiri di anak tangga, menatapnya dengan mata gelap penuh ketegasan. "Kau pikir kau bisa bersikap seenaknya di rumah ini?" Damian melangkah turun, pelan tapi mengancam. "Seolah kau adalah korban yang tak bersalah?" Aurora mengepalkan tangannya. "Aku adalah korban!" katanya tegas. "Kau pikir aku ingin berada di sini? Aku yang dipaksa menikah, bukan kakak tiriku. Aku yang disodorkan sebagai pengganti, dan—" "Dan kau tahu kenapa?" Damian memotongnya. Aurora terdiam. Damian mendekat, tatapannya tajam seperti belati. "Karena keluargamu menjual informasi kepadaku. Mereka mengingkari perjanjian bisnis dan mencoba mempermainkanku." Ia menyeringai kecil, tetapi senyum itu sama sekali tidak hangat. "Aku membiarkan mereka hidup karena mereka menyerahkan dirimu sebagai kompensasi." Jantung Aurora berdebar kencang. Damian melanjutkan, suaranya rendah tetapi mengandung ancaman tersirat. "Jangan pernah lupa siapa mereka. Jangan pernah lupa siapa aku." Ia menunduk sedikit, mendekat ke wajah Aurora. "Kalau kau mencoba menantangku lagi, mi esposa, aku tidak akan segan-segan menghabisi mereka." Aurora menahan napas. Matanya menatap langsung ke dalam mata Damian—pria yang baru beberapa hari ini menjadi suaminya. Ada sesuatu di sana. Kegelapan. Bahaya. Kekuasaan yang begitu besar. Namun, ia tidak mau tunduk begitu saja. Aurora menelan ludah, lalu berkata, "Kalau begitu, kenapa kau tidak membunuh mereka sekarang?" Damian mengangkat alis, seolah tertarik dengan pertanyaan itu. "Kau ingin aku membunuh mereka?" tanyanya santai. Aurora menggeleng cepat. "Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu, kenapa kau menahannya? Kau bukan tipe pria yang membiarkan pengkhianatan begitu saja, kan?" Damian terdiam sejenak, lalu terkekeh pelan. "Menarik," gumamnya. "Kau berpikir lebih cepat dari yang kuduga." Aurora mengernyit. "Keluargamu licik," lanjut Damian. "Mereka masih berguna untukku… setidaknya untuk sementara." Aurora mencengkeram gaunnya erat. Jadi, ini yang sebenarnya terjadi. Keluarganya bukan hanya menyerahkannya, tetapi juga menjual sesuatu yang lebih berharga—mungkin informasi, mungkin kekuasaan. Apapun itu, Damian masih menyimpan mereka hidup karena ia memiliki rencana lain. "Jadi… aku hanya alat, ya?" gumam Aurora, suaranya bergetar. Damian menatapnya dalam-dalam. "Kau bisa menjadi lebih dari itu, mi esposa. Kalau kau cukup pintar." Aurora menahan napas. "Dan kalau aku tidak cukup pintar?" tantangnya. Damian menyeringai. "Maka kau hanya akan menjadi pion yang bisa kuhabisi kapan saja." Aurora membalas tatapannya, menolak mundur. Baiklah. Kalau ini permainan yang harus ia jalani, maka ia akan memainkan perannya dengan baik. Damian mengamati wajahnya sejenak, lalu berbalik dan pergi tanpa kata lain. Aurora berdiri di sana, dadanya naik turun karena emosi yang berputar di dalam dirinya. Kali ini, ia benar-benar harus berhati-hati. Karena taruhannya bukan hanya dirinya sendiri—tetapi juga hidupnya.Pagi itu datang terlalu cepat. Sinar matahari menyusup masuk melalui sela-sela tirai kamar Aurora, memaksa matanya membuka meski tubuhnya masih enggan bergerak.Ia bangkit perlahan dari ranjang, perasaan gelisah masih menyelimuti dada. Ingatan tentang darah di baju Damian semalam masih segar di benaknya. Tapi lebih dari itu, ekspresi pria itu—tenang, dingin, dan sedikit... terhibur—yang terus menghantuinya.Aurora menyentuh perutnya, mencoba meneguhkan tekad.Hari ini ia harus mulai menggali informasi. Ia harus tahu siapa Damian Velasco sebenarnya, dan apa yang sedang ia hadapi.Setelah mandi dan mengenakan gaun sederhana dari lemari mewah itu, Aurora berjalan keluar kamar. Seorang pelayan muda yang tampak gugup menyambutnya di lorong."Señorita... Tuan Velasco ingin Anda sarapan bersamanya di taman," ucapnya pelan.Aurora mengerutkan kening. Sarapan... bersamanya?Ia nyaris bertanya apakah ini semacam jebakan. Tapi ia hanya mengangguk dan mengikuti pelayan itu.Taman belakang rumah D
Aurora tidak mengatakan apa-apa lagi. Kata-kata Damian masih menggema di kepalanya, menciptakan kekacauan yang sulit ia kendalikan. Keluarganya menjual informasi. Mereka mengingkari perjanjian. Mereka mengorbankannya demi menyelamatkan diri mereka sendiri. Aurora merasa mual. Tanpa menoleh ke arah Damian lagi, ia berbalik dan berjalan menuju kamar. Ia tidak peduli apakah Damian mengawasinya atau tidak. Ia tidak ingin berdebat, tidak ingin menantangnya lebih jauh untuk malam ini. Pikirannya terlalu penuh. Begitu memasuki kamar yang telah ditentukan sebagai ruang pribadinya, Aurora menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya pada kayu yang dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya. Ruangan itu luas dan mewah, jauh dari apa yang pernah ia miliki sebelumnya. Jendela besar menghadap taman dengan air mancur klasik di tengahnya, dindingnya dihiasi ukiran dan lukisan mahal. Ranjang empat tiang dengan seprai sutra berwarna emas mendominasi ruangan, s
Damian sepertinya sadar akan tatapan Aurora. Ia tersenyum kecil. “Kau tampak penasaran.” Aurora tidak menampiknya. “Aku hanya bertanya-tanya… seberapa dalam dunia yang sedang aku masuki.” Damian menghentikan langkahnya, menatap Aurora dengan tatapan yang lebih serius. “Dunia ini tidak seperti yang kau bayangkan.” Aurora membalas tatapannya. “Lalu bagaimana?” Damian tidak menjawab langsung. Ia malah melangkah mendekat, mendekatkan wajahnya ke arah Aurora hingga jarak di antara mereka semakin menipis. Aurora menahan napas. Pria ini memang berbahaya—bukan hanya karena statusnya sebagai mafia, tetapi juga karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat Aurora ingin melawan, tetapi di sisi lain juga menantang instingnya sendiri. Senyuman Damian melebar. “Kau akan mengetahuinya sendiri.” Aurora mengepalkan tangannya. “Aku tidak takut padamu, Damian.” Damian menatapnya lama, lalu mengangkat satu alis dengan ekspresi penuh hiburan. “Oh ya?” Tiba-tiba, sebuah suara tembakan
Tanpa berkata apa pun, Damian berjalan ke meja, menuangkan anggur ke dalam gelas, lalu menyesapnya perlahan. Pandangannya bertemu dengan milik Aurora melalui cermin. “Kau tidak tidur?” tanyanya, suaranya terdengar santai tetapi tetap mengintimidasi. Aurora membalikkan badan, menatapnya langsung. “Aku tidak lelah.” Damian menaikkan alis. “Kau tidak lelah setelah seharian menikah dengan pria yang bahkan tidak kau kenal?” Aurora tersenyum tipis, tetapi senyumnya penuh ketegangan. “Aku sudah terbiasa dengan kejutan dalam hidup. Ini bukan yang terburuk.” Damian memperhatikan ekspresinya. Ada sesuatu dalam diri wanita ini yang membuatnya berbeda. Ia tidak menangis, tidak memohon, tidak juga terlihat terlalu ketakutan. Ada keberanian dalam sorot matanya, meskipun jelas ada ketakutan yang coba ia sembunyikan. Menarik. “Kau tidak seperti yang kubayangkan,” ucap Damian akhirnya. Aurora menyilangkan tangan di depan dada. “Memangnya kau membayangkan aku seperti apa? Wanita lemah y
Aurora duduk diam di dalam mobil hitam yang melaju di jalanan gelap Milan. Tangannya bertaut di pangkuan, gaun pengantinnya masih terpakai dengan sempurna, tetapi jantungnya berdegup kencang. Di sampingnya, Damian Velasco duduk diam. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya sejak mereka meninggalkan gereja. Suasana dalam mobil terasa begitu dingin, membuat Aurora menegakkan punggungnya dengan kaku. “Ke mana kita pergi?” Ia akhirnya memberanikan diri bertanya. Damian menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke depan. “Rumah.” Rumah. Bukan hotel, bukan tempat resepsi, hanya rumah. Tentu saja, pernikahan mereka bukan pernikahan biasa. Tidak ada pesta, tidak ada ucapan selamat, hanya sebuah transaksi. Damian tidak mengatakan apa pun lagi, dan Aurora tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya menggenggam ujung gaunnya erat, mencoba mengendalikan kegelisahannya. Setelah beberapa saat, mobil memasuki sebuah gerbang tinggi dengan penjagaan ketat. Aurora menatap ke luar jendela dan m
Malam itu, hujan turun deras di Milan. Rintiknya menghantam kaca jendela dengan ritme yang seolah menambah ketegangan di dada Aurora Calleste. Ia duduk di kursi panjang di ruang keluarga, kedua tangannya mengepal di atas pangkuan. Di sekelilingnya, orang-orang yang seharusnya menjadi keluarganya justru tampak seperti musuh. Giovanni Calleste, ayahnya, berdiri di dekat perapian dengan wajah serius. Isabella, ibu tirinya, hanya duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, sementara Bianca, kakak tirinya, tampak gelisah. “Mengapa aku?” Suara Aurora bergetar saat ia akhirnya berbicara. Ayahnya menghela napas panjang, seolah bosan dengan pertanyaan itu. “Karena kau yang paling tidak berharga.” Aurora merasakan dadanya mencengkung, tetapi ia tidak kaget. Sejak kecil, ia tahu bahwa dirinya hanyalah kesalahan—anak haram yang tidak pernah diinginkan. Namun, mendengar ayahnya mengatakan itu secara langsung tetap membuat hatinya hancur. “Aku bahkan tidak mengenalnya,” lanjutnya, menc