Share

Lagi-lagi suara menjijikkan

BAB 4

Aku sedikit menyungingkan senyum karena ternyata secinta itu mas Satria mencintaiku sampai berpikiran hingga sejauh ini. 

Terima kasih, suamiku, aku sangat mencintaimu. Aku tidak salah telah melabuhkan dan menyerahkan hati ini seutuhnya untukmu. 

"Yasudah kalau begitu Mas tutup dulu ya teleponnya. Mas mau istirahat kebetulan besok ada matrial baru datang pagi. Jadi Mas pagi-pagi sekali harus ngecek dulu barangnya," ucap mas Rama berniat menyudahi obrolan kami. 

"Yasudah, Mas, selamat malam dan selamat beristirahat suamiku. I love you, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Sayang, i love you to."

Aku pun merebahkan tubuhku ke atas pembaringan dan meletakkan ponselku di atas nakas di samping tempat tidur. Setelahnya aku memejamkan mata karena esok pagi aku pun harus berangkat ke sekolah tempatku mengajar. 

***

"Ah, Mas, mana lidahmu? Tapi jangan kencang-kencang begitu dong suaramu. Nanti kedengeran sama Mbak Anin lho. Tapi pasti yang tadi itu akan terasa geli dan nikmat." 

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali karena telinga ini mendengar suara menjijikkan itu. Lalu, apa tadi? Dia menyebut namaku? Wah, ini benar-benar tidak bisa dibiarkan. 

Telingaku memang sangat sensitif. Sedikit saja ada suara saat aku sedang tidur pasti telingaku akan mendengarnya. Terlebih lagi kamar yang digunakan oleh Zea berada di samping kamarku. 

Aku melihat jam di ponsel yang kuletakkan tadi di atas nakas. Jam menunjukkan pukul 01.00 wib dini hari. Cukup lama aku terlelap ternyata. Sialan! Sudah berapa lama mereka berada di dalam sana? Apakah baru saja atau sejak tadi? Hah, benar-benar aku sudah dikelabui oleh bocah ingusan seperti Zea. 

Bergegas aku melangkah menuju kamar Zea. Akan tetapi, aku tanpa menggebrak pintu atau ribut-ribut seperti kemarin. Takutnya nanti Zea berkilah lagi. Lekas aku mengambil kunci cadangan kamar yang Zea gunakan. Kumasukkan anak kunci tersebut dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang dapat membuat pria yang bersama Zea kembali pergi. Aku yakin pria itu pasti masuk lewat jendela karena kamar kami berdua jendelanya berada di samping dan menjalur ke halaman depan. 

Ceklek. 

Aku mendorong pintu itu setelah kunci berhasil kubuka. Aku memicingkan mata karena ternyata lagi-lagi aku tidak mendapati siapa pun di kamar ini kecuali Zea yang tengah menggunakan baju yang lagi-lagi kurang bahan atau seperti saringan tahu yang biasa orang menyebutnya dengan lingerie. Bahkan, Zea juga tidak memakai pakaian dalam sehingga organ intimnya tercetak jelas di balik kain yang transparan itu. 

"Mbak Anin? Lagi-lagi Mbak Anin masuk ke kamar orang seenaknya saja?!" ketus Zea yang membuatku tersentak. Ia menatapku seolah-olah sedang ingin menelanku bulat-bulat. 

Fokusku tadi memang selain kepada baju yang Zea gunakan juga ke ponsel Zea. Sepertinya Zea tengah melakukan panggilan video call. Akan tetapi, dengan siapa? Apakah mas Rama? Sebaiknya besok aku tanyakan sama mas Rama. 

"Zea? Kamu ngapain pakai baju begitu? Kamu juga kenapa jam segini belum tidur? Bukankah ini sudah malam? Besok kamu kan kuliah? Kamu lagi video call sama siapa sih malam-malam begini?" tanyaku memberondong pertanyaan pada Zea. 

"Mbak Anin nih kenpa sih? Kepo banget sama urusanku? Mau aku pakai baju apa juga terserah aku kan? Toh aku berada di kamar dan tidak kemana-mana. Jadi aku telanjang sekali pun kurasa tidak menjadi masalah. Lagian besok aku kuliah siang jadi aku mau tidur malam juga gak masalah kan? Kalau soal video aku sedang video call sama temanku karena aku belum bisa tidur." 

"Terus kamu video call an sama siapa? Apa kamu video call pakai baju seperti ini dengan temanmu? Lihat onderdilmu saja kelihatan! Di mana urat malumu? Kamu itu sudah menjadi seorang istri. Harusnya bisa menjaga marwah sebagai seorang istri!" sentakku pada Zea. 

Sungguh aku tidak habis pikir bagaimana bisa dia bervideo call dengan temannya dalam kondisi dia tidak memakai apa pun dan hanya menutupinya dengan baju saringan tahu tadi. Astaga, apakah seperti ini istri yang mami pilihkan untuk mas Rama? 

"Sudah kukatakan itu bukan urusan Mbak Anin. Mbak Anun kenapa sih suka banget ikut campur urusanku? Yang penting kan aku enggak keluyuran gak jelas seperti pesan Mas Rama kan? Heran deh orang kok rempong banget!" 

"Heh dengar ya! Kamu menjadi urusanku karena aku gak mau kamu mencoreng wajah suamiku dengan kelakuanmu yang bad attitude itu! Kamu pikir kamu siapa? Apakah kamu berharap akan dibela oleh Mas Rama ha! Tau diri kamu! Bisa masuk di dalam rumah tanggaku juga karena Mami! Kalau bukan karena Mami mana mungkin Mas Rama mau sama perempuan modelan kayak kamu begini!" 

"Apaan sih! Awas ya aku aduin sama Mami biar Mbak Anin diomelin sama Mami!" ancam Zea dengan bibir mengerucut. Huh, ingin banget rasanya aku kuncir itu bibir dia yang bimoli. Cantik sih aku akui, tapi sayang minim akhlak. 

"Sana aduin saja kamu kira aku takut! Awas kalau aku lihat kamu ngelakuin hal aneh-aneh. Aku pastikan kamu akan dicerai oleh Mas Rama!" ancamku balik pada Zea. 

Akan tetapi, bukannya takut justru Zea terbahak mendengar ucapanku. 

"Ngapain ketawa? Kesurupan kamu?" 

"Ya abis Mbak Anin lucu, coba saja kalau memang berhasil Mas Rama menceraikanku? Aku akan acungi jempol buat Mbak Anin. Apa Mbak Anin lupa kalau aku ini kesayangan Mami? Pasti lah Mami akan membelaku," ucapnya pongah. 

"Huh, jangan sombong kamu! Akan kupastikan kamu menangis kalau tahu yang sebenarnya!" 

"Maksud Mbak Anin apa?!" Aku tidak memperdulikan Zea. Aku pun kembali ke dalam kamarku. Namun, langkahku terhenti karena Zea menarik lenganku kuat hingga membuat aku hampir saja tersungkur. 

"Kamu apa-apaan sih, Zea!" Aku menghempaskan tangan Maya yang mencengkram erat tanganku. Kutatap tajam wajahnya yang meringis akibat perbuatanku. 

"Mbak Anin tuh yang apa-apaan! Maksud Mbak Anin ngomong begitu tadi apa?" Aku menautkan alisku mencoba mencerna ucapan Zea. 

"Maksudku? Yakin mau tau?"

  Kudekatkan bibirku di telinga Zea dan membisikkan kata-kata yang membuat wajahnya memerah. 

"Bersiaplah untuk dicerai oleh Mas Rama tanpa mendapatkan apa pun dari yang kami punya. Jangan kamu pikir aku dan Mas Rama tidak tahu niatmu dan orang tuamu menikahkanmu dengan Mas Rama itu hanyalah harta. Jadi, jangan pernah bermimpi untuk mendapatkannya karena sepeser pun kamu tidak berhak di dalamnya. Paham!" Aku menjauhkan bibirku dari telinganya sembari tersenyum manis tapi dengan makna mengejek. 

"Sialan kamu, Mbak! Jangan sembarangan nuduh ya! Memangnya kamu ada bukti atas ucapanmu itu?" Aku tersenyum sinis sebelum menjawab pertanyaan Zea. 

"Bukti? Tentu ada, tapi tidak sekarang aku tunjukkan. Suatu saat nanti jika waktunya sudah tiba maka duar! Akan meledak dan ledakannya akan mencabik-cabik harga dirimu yang memang sebenarnya sudah tidak berharga itu." 

Aku tersenyum puas melihat pemandangan wajah Zea yang sudah seperti kepiting rebus. Aku pun ingin kembali melanjutkan langkahku menuju kamar tidurku. Namun, saat badan ini akan berbalik tiba-tiba saja Zea menarik rambutku dan membuatku terjatuh dengan posisi terduduk. 

sialan! Berani sekali dia berbuat seperti itu padaku dan di rumahku. Dia pikir aku akan takut gitu? Oh tentu tidak. Aku pun banhun dari posisi dudukku karena terjatuh tadi. Kutatap wajah Zea yang sudah tersenyum puas seolah-olah tengah mengejekku dengan kalimat 'rasakan itu!' 

Tentu saja rasanya darahku mendidih. Refleks tanganku menampar kuat pipinya hingga membuat Zea terhuyung dan kepalanya menoleh ke samping. 

"Jangan pernah pancing seekor buaya yang tengah kelaparan untuk menerkam. Karena sekali saja kau terkena gigitannya yang tajam aku jamin kau akan mati karenanya!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status