Mata Diraja menyapu daerah kampus Cahaya Ilmu College yang bertaraf internasional dengan tujuan mencari sosok tunangannya. Sore ini dia meminta sang supir untuk drop off dia di kampus Ambar dan berencana untuk kembali pergi makan malam bersama Ambar. Untungnya rencana dadakannya ini disetujui oleh Ambar dan mengatakan kalau kelasnya selesai jam empat sore tadi. Maka dari itu selepas meeting dia langsung cabut menuju kampus. Dia duduk di sebuah bangku taman sambil mengecek ponselnya, meneliti laporan itinerary honeymoon yang disusun Nina setelah Ambar mengusulkan tujuan mereka. Tiap negara disajikan dengan power point deck yang rapi dan runut. Lengkap dengan jadwal, destinasi wisata, informasi penginapan hingga kegiatan favorit yang bisa dilakukan. Diraja sudah pergi ke tiga kandidat destinasi bulan madu ini. Tapi mungkin Ambar memilih tiga tempat ini karena dia belum pernah ke sana. Dia akan mendapatkan jawabannya hari ini juga agar Nina dapat membantu mereka untuk mengurus sisanya
“Jangan disentuh. Nanti memarnya semakin sakit,” larangnya seraya meraih tangan Ambar. Dia menyetir secepat yang dia bisa dan mereka akhirnya tiba di pelataran parkir rumah sakit yang biasa dia datangi. Diraja langsung membawa Ambar ke ruang IGD dan meminta perawat serta dokter untuk segera memeriksa Ambar. “Aku sebenarnya nggak apa-apa. Ini paling memar-memar aja.” Ambar masih mengatakan kalau dia baik-baik saja. Diraja duduk di sampingnya seraya mengecek bagaimana dokter dan perawat membersihkan luka-luka di wajah dan lengan dengan antiseptik dan menegakkan anamnesa seraya mengecek seluruh tubuh Ambar. "Oke, sepertinya memang memar, tapi tadi kepalanya terbentur nggak?" tanya dokter setelah memeriksa Ambar. "Nggak kok, Dok," balas Ambar yakin. "Baik, lukanya dibersihkan setiap hari kemudian memarnya juga jangan lupa diberikan salep supaya cepat hilang sakitnya. Saya juga resepkan obat pereda nyeri, bisa diminum selama nyeri masih terasa," ujar sang dokter yang menuliskan resep
AMBARAmbar membuka matanya dan menatap ruangan sekeliling. Tempat yang penuh kesan maskulin begitu terasa asing baginya. Di balik selimut hangat, terdapat ranjang yang begitu empuk dan nyaman, bantal yang begitu pas menyangga lehernya selama tidur tadi. Matanya mengerjap, mencoba mengumpulkan seluruh fokus akan apa yang terjadi. Tak lama, kilasan memori masuk dan menciptakan ingatan utuh atas apa yang dia alami seharian ini. Dia baru saja ketiduran di ranjang Diraja setelah minum obat pereda nyeri yang membuatnya ngantuk maksimal. Dengan kaget Ambar duduk dan rasa nyeri tumpul yang lambat laun menjalar menelusup indranya. Ouch! Pipinya terasa sakit, begitu pula punggung dan pahanya. Ambar mencoba beranjak dari ranjang dengan berhati-hati. “Mas Diraja?” Ambar memanggil sang tuan rumah. Merasa kikuk ditinggal di tempat paling privat tanpa sang pemilik rumah. Tak ada jawaban. Ambar berhenti sejenak, dan berjalan mengelilingi kamar tidur Diraja. Tempat sang calon suami beristirah
Langkah kaki Ambar dan Mas Darius bergema di lantai marmer kediaman mewah milik kakak iparnya tersebut. Kakaknya dan sang suami memutuskan untuk pindah ke rumah ini setelah tahu kalau Mbak Amira hamil. Dan untuk mengurus rumah ini, mereka mempekerjakan Pak Rama sebagai kepala butler di kediamannya untuk mengurusi semua urusan rumah tangga dari A sampai Z. Ambar disapa dengan ramah ketika sang butler membuka pintu utama dan wajahnya berubah khawatir ketika melihat bagaimana kondisi wajahnya yang babak belur. “Nona Ambar, kenapa wajahnya seperti itu? Apa yang bisa saya bantu?” tanya Pak Rama dengan kekhawatiran yang tak bisa ditutupi lagi. Tapi Ambar hanya tersenyum singkat dan menggelengkan kepalanya. “Aku baik-baik saja, Pak. Sudah minum obat dan hanya butuh istirahat,” jawabnya sopan. Kakaknya yang mendengar suara di lantai dasar keluar dari kamarnya di lantai dua dan menuruni tangga penuh semangat. “Hati-hati, love! Jangan berlari seperti itu!” Suara Darius yang terdengar
DIRAJASuasana di dalam ruang pertemuan dekan fakultas terasa begitu tegang. Atau setidaknya, dari sudut pandang para mahasiswi yang duduk berdesak-desakan di samping orang tua mereka. Mata mereka bengkak dan bekas luka serta memar pun mereka alami, bahkan bisa dibilang lebih parah dibandingkan luka yang dialami Ambar. Memang benar kata tunangannya. Ambar tetap menang meskipun melawan empat berandalan yang kini ciut nyalinya ketika dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kriminalnya. “Kami benar-benar menyesal atas kejadian yang dialami oleh Ambar Tri Handayani… Kami tak tahu kalau mahasiswi tersebut merupakan kerabat Pak Darius dan Pak Diraja,” ujar salah satu staf pengajar yang wajahnya sudah pucat pasi dan pias. Ini memang bisa menjadi skandal dari universitas bertaraf internasional di Jakarta dan jelas-jelas mencoreng citra yang susah payah dibangun. “Saya nggak ngerti bagaimana sistem rekrutmen kalian. Bisa-bisanya kalian meloloskan orang-orang seperti ini,” ujar Diraja d
Jika dihitung-hitung, hanya beberapa kali saja Diraja mengunjungi kantor Darius dan bertandang di ruangannya. Tapi yang pasti, kali ini tak ada tendensi buruk yang Diraja simpan di balik prasangkanya ketika dia melangkahkan kaki di lantai lima puluh, tempat tertinggi pemimpin perusahaan ini bekerja siang dan malam. Saat tiba, Diraja langsung diantar oleh resepsionis muda yang memasang senyum lebar ketika melihat Diraja. Pria itu tahu gelagat sang resepsionis yang terlihat begitu terbuka, hangat dan flirty kepadanya. Untungnya perjalanan dari lift menuju ruang kerja Darius begitu singkat sehingga dia tak perlu meladeni perempuan tersebut. “Bapak Darius ada di dalam, silakan.” Sang resepsionis mengetuk pintu dan meminta izin agar Diraja masuk. Setelah Darius mengatakan masuk, Diraja melangkah masuk sebelum pintu ditutup kembali oleh resepsionis muda itu. Di dalam, sudah ada Nero yang berdiri di samping Darius yang sedang berkutat di depan monitor besar seraya berdiskusi. Nero menga
AMBARSemalam dia menelepon ibu dan bapak setelah didesak oleh kakaknya. Mbak Amira sudah mengatakan kalau Ambar ingin menginap di rumahnya beberapa hari ke depan, namun alasan yang kakaknya berikan begitu rancu yang jelas membuat kedua orang tuanya semakin curiga. Apalagi kakaknya itu tidak bisa berbohong layaknya Ambar yang sedikit lebih ‘bandel’ dan ‘carefree’ dibanding sang kakak. Ambar sengaja menelepon kedua orang tuanya terlebih dahulu sebelum mereka memaksa menghubunginya lewat video call dan melihat betapa ‘bengep’ wajahnya setelah beradu cakaran dan pukulan dengan keempat mahasiswi gila yang entah kenapa begitu dendam kepada Ambar. Setelah berhasil meyakinkan keduanya bahwa Ambar baik-baik saja dan dia melakukan tindakan impulsif ini karena begitu kangen dengan kakaknya, akhirnya kedua orang tuanya percaya dan tidak mempermasalahkan dirinya yang menginap di rumah Mbak Amira beberapa hari ke depan. Semoga saja bekas memarnya bisa tersamarkan ketika dia kembali pulang ke ru
“Pasti nggak bakal sekacau itu, kan?” Ambar mencoba mengkonfirmasi ke kakaknya. Tapi rupanya Mbak Amira memilih bungkam dan memperhatikan kuku-kuku cantiknya yang telah di-manicure dengan apik. “Justru kakakmu itu yang paling tahu bagaimana gilanya mereka bertiga kalau sudah merencanakan sesuatu.” Tante Angela tersenyum puas. Ambar menghela napasnya perlahan. Masalah ini akan dia urus belakangan setelah dia bertemu Mas Darius atau Diraja kelak. Lihat saja kalau mereka macam-macam dan membuat hidup Ambar di kampus semakin rumit karena ‘display of power’ yang mereka lakukan untuk memberikan pelajaran kepada para mahasiswi preman penyebar teror itu. “Aku akan bereskan itu nanti, Tante,” tandasnya. Dia harus kembali pada agenda awalnya bertemu Tante Angela. Mencari tahu informasi tentang Diraja dan sepupunya Biantara. Bagaimana hubungan mereka satu sama lain. Baik dari sisi profesional maupun kehidupan personal mereka. “Tante… aku sebenarnya ke sini karena ingin menanyakan sesuatu