Gio tiba-tiba mencengkram tangan Renata dengan kuat, membuat wanita itu menjadi meringis kesakitan. "Apa yang kau pikirkan sendiri tadi? Sehingga kau tidak menggubris perkataanku!” Ia menaikkan sebelah alisnya, tatapan matanya sangat tajam menatap ke arah sang istri.
“Sakit,Gio!”"rintih Renata.
"Jawab dulu pertanyaanku!" hardiknya.
Lidah Renata terasa sangat kelu ingin mengucapkan sesuatu, lantaran melihat tatapan mata dari Gio yang sangat mengerikan. Lelaki itu menatapnya dengan tajam, sehingga membuat ia menjadi gemetar ketakutan.
“Aku hanya merasa heran, kenapa kau tidak marah dengan perkataan dari Bram, itu saja,” jawab Renata dengan tergagap.
Cengkraman dari tangan Gio mulai melunak, membuat Renata menjadi merasa sangat lega.
“Oh, itu. Lagi pula itu kan sudah masa lalu kalian, jadi aku tidak akan mencampurinya dan bukankah semua orang sering memiliki masa lalu?” Gio mengedikkan bahunya, pertanda ia tidak mempermasalahkan semua itu.
“Aku kira kau akan marah kepadaku.” Renata menundukkan kepalanya, di dalam hatinya entah kenapa merasa kecewa.
“Itu sudah masa lalu, Sayang. Lagipula kamu adalah milikku, Jadi apa yang bisa dia lakukan?" Gio menaikkan sudut bibirnya.
‘Entah kenapa aku kurang puas dengan jawabannya,’ gumam Renata di dalam hati.
Di satu sisi Renata merasa sangat senang sekali mendengar Gio mempercayainya, tetapi entah kenapa pikirannya malah berbeda sekali dengan apa yang ia rasakan. Yaitu, pikirannya merasa sangat aneh sekali dengan sikap Gio yang merasa tidak pernah takut kehilangan dirinya.
“Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Bram sudah menunggu di bawah, kasihan dia terlalu lama menunggu kita.“ Gio melangkahkan kakinya lebih dulu meninggalkan Renata seorang diri di dalam kamar.
Renata diam sejenak, ia menepis semua pikiran buruk yang berputar-putar di dalam kepalanya. Kemudian baru melangkahkan kakinya mengikuti Gio untuk menuju ke bawah, tempat di mana Bram berada. Walau pun ia merasa enggan sekali menemui lelaki itu, tetapi Bram adalah sepupu dari suaminya. Sehingga walaupun enggan Renata sendiri tetap tidak bisa mengabaikan.
“Maaf, ya, Bram. Karena membuat kau menunggu terlalu lama di bawah.” Gio berlari kecil menuruni tangga.
“Tidak masalah.” Bram menyahut tanpa menoleh sedikit pun ke arah Gio, ia sibuk memperhatikan foto Renata bersama dengan sepupunya itu.
Renata bergegas mengikuti suaminya dari belakang, ia melihat kalau Bram tampak sibuk sekali memperhatikan foto dirinya bersama dengan Gio. Namun, ia memilih tidak peduli dan langsung pergi menuju ke tempat ruang makan. Lantaran harus menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga.
Dari arah dapur Renata dapat mendengarkan kalau jedua lelaki itu sekarang sedang berbincang-bincang bersama. Sesekali akan terdengar suara tawa dari Gio dan Bram.
“Makanan sudah siap!” teriak Renata, ia melihat kedua lelaki itu masih berbicara.
“Iya, kami akan segera ke sana.” Gio merangkul Bram untuk menuju ruang makan.
Renata memilih menunggu kedua lelaki itu masuk terlebih dahulu, lalu baru mengikuti dari belakang. Gio memilih duduk di kursinya, diikuti dengan Bram.
“Maaf makanannya cuma ini, karena tidak tahu kalau ada tamu yang akan datang ikut makan bersama.” Renata mengukirkan senyuman tipis, ia berniat menyindir Bram yang datang secara mendadak.
“Iya, tidak masalah. Lagi pula apapun yang kau masak bukankah semuanya sangat enak?” Bram membalas senyuman Renata dengan senyuman manis bibirnya.
Renata semakin merasa kikuk mendengar pujian yang keluar dari mulut Bram. Lantaran lelaki itu dengan terang-terangan memujinya di depan Gio. Alhasil ia membuat sayuran yang berada di dalam mangkuk tumpah ke pakaian Gio.
“Maafkan aku! Aku tidak sengaja melakukannya.” Renata segera menarik mangkuk untuk menjauh dari Gio.
Wajah Gio terlihat memerah, tetapi ia cepat mengukirkan senyuman manis di bibirnya. "Tidak masalah, Sayang. Lagi pula kamu hanya menumpahkannya sedikit, bukan?”
Renata menganggukkan kepalanya, ia sangat senang sekali dengan perlakuan manis dari Gio. Yaitu lelaki itu memaafkan kecerobohan yang dirinya buat. Padahal selama ini tidak seperti itu.
“Kau tidak duduk? Dari tadi kau hanya berdiri saja.” Bram mengerutkan dahinya, ia menatap penuh keheranan kepada Renata.
“Aku menunggu kalian selesai makan terlebih dahulu, baru akan makan—” Renata dengan cepat membekap mulutnya.
Renata langsung terkejut, ia menoleh menatap ke arah samping. “Astaga!“ ia berteriak dengan nyaring.“Tenanglah, Renata! Ini aku Bram. “ Bram langsung menaruh kopi di samping Renata.Sementara Renata mengucek-ngucek matanya, lantaran ia tidak terlalu melihat dengan jelas lelaki yang ada di hadapannya. Setelah sepenuhnya tenang, ia sadar kalau memang yang ada di depannya adalah Bram.“Aku tidak ingin membangunkanmu, karena kau terlihat sangat pulas. Pikirku kalau aku meletakkan kopi hangat ini di pipimu maka kau akan bangun dengan tenang, tapi ternyata kau malah makin histeris karena terkejut.” Bram menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal, ia menyesali keputusannya.“Maksudmu aku tertidur?” Renata menautkan kedua alisnya, ia tak sadar kalau dirinya tertidur.Bram hanya menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan dari Renata. Wanita itu hanya terdiam melamun memikirkan kapan tertidur. Hanya saja Renata menatap handset yang sekarang sudah terlepas dari telinganya. Ia pun baru saja te
Semua suara hiruk pikuk karyawan yang bersiap ingin pulang menjadi hening lantaran memandang ke arah Renata. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi."Baiklah saya akan mengerjakannya besok.” Renata ingin memasukkan berkas itu ke dalam laci miliknya, tetapi dicegat oleh Leon, sekretaris.“Siapa bilang besok?” Leon menatap datar ke arah Renata.Tatapan Leon membuat Renata tergagap, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya.“ Apakah aku harus mengerjakan sekarang? Tapi kalau sekarang tidak mungkin aku akan menyelesaikannya dan waktu yang singkat.” Renata menatap bingung, ia meminta penjelasan dari Leon.Hanya saja anggukan Leon membuat Renata menjadi lemas. Anggukan itu pertanda kalau dirinya harus mengerjakan pekerjaan yang banyak tersebut sekarang juga, padahal baru hari pertama bekerja ia sudah harus mengerjakan pekerjaan sebanyak ini seorang diri. Syukur-syukur kalau sebelum tengah malam ia akan menyelesaikannya, tetapi kalau dengan tumpukan sebanyak ini bisa-bisa Renata harus meng
Bram mengisyaratkan dengan tangannya supaya sang sekretaris pergi dari ruangan itu. Sehingga sekarang hanya mereka berdua saja.Renata menjadi canggung akan hal itu, ia tidak nyaman berada di ruangan tertutup hanya berdua bersama Bram. Apalagi teringat malam panas bersama lelaki itu.“Kenapa kau datang menemuiku? Apa kau merindukanku karena sikap dinginku tadi?” Bram menopang dagunya di atas kedua tangannya, ia terus menatap ke arah Renata.Renata memutar bola matanya dengan malas, tetapi ia tahu kalau di sini dirinya hanyalah seorang bawahan sehingga tidak boleh bersikap kurang ajar kepada atasan.“Tidak Pak. Saya ke sini hanya ingin meminta maaf atas kesalahan yang saya perbuat tadi.” Renata menundukkan kepala, ia enggan menatap ke arah Bram.Hanta saja saat menundukkan kepala Renata melihat sepatu hitam yang mengkilat tepat di hadapan matanya. Ia pun mendongak, ternyata Bram sudah berada di depan sambil terus memandang dirinya."Seharusnya kalau berbicara kau tatap aku. Jangan meli
Alista menarik tangan Renata dengan kasar, ia menatap tajam. “Berani sekali kau menyebut nama Pak CEO! Sudah datang terlambat ditambah lancang!”Renata mengerutkan keningnya, ia menatap ke arah Bram.“Dia anak baru?” Tunjuk Bram kepada Renata, ekspresi wajahnya dingin.Renata tertegun melihat sikap Bram yang berpura-pura tidak mengenali dirinya. Ada rasa nyeri di hati, tetapi ia sadar kalau ia lah yang membuat lelaki itu mungkin marah.“Iya, Pak! Hari ini hari pertama dia masuk kerja, tapi malah datang terlambat dan bahkan lancang menyebut nama Bapak.” Alista menundukkan kepalanya, sesekali ia melirik kepada Renata untuk menuruti apa yang dirinya lakukan.“Cepat apa yang kau tunggu? Minta maaf sama Pak Bram.” Alista berbisik pelan di telinga Renata.Renata merasa canggung, ia ragu untuk meminta maaf kepada Bram. Lantaran sedari awal tidak pernah melakukan itu sehingga membuat ia enggan melakukannya.Hanya saja Alista yang berada di samping terus mendesak supaya Renata meminta maaf kep
Suasana ketika menjadi hening tidak ada satupun yang berbicara di antara mereka berdua. Seakan-akan sedang larut dalam pikiran masing-masing.Namun, tiba-tiba Renata berdecak karena perasaan kesal yang dirinya rasakan. Gio yang mendengar hal itu menjadi mengerutkan dahi, menatap ke arah dirinya sekarang.“Kenapa kau memandangku seperti itu?“ Renata menatap sinis ke arah Gio, nampak sekali ia tak menyukai tatapan dari lelaki itu.“Aku hanya merasa sepertinya kau bertemu dengan dia, karena responmu seperti itu.” Gio mengeraskan cengkraman ke tangan Renata.Renata menjadi meringis kesakitan karena apa yang dilakukan oleh Gio. “Memangnya kalau iya kenapa? Bukannya tidak masalah kalau aku bertemu dengan lelaki lain, dan juga dia adalah sepupumu?” Ia menepis tangan lelaki itu dengan kuat supaya melepaskan cengkraman.Hanya saja tak seperti yang Renata duga, saat ia berusaha untuk melepaskan cengkraman tangan Gio dari dirinya malah semakin kuat. Karena Gio merasa kesal dengan apa yang telah
Renata terus menatap seorang lelaki yang menatapnya itu. Namun naas, lelaki tersebut sudah pergi menjauh sehingga sangat sulit mengenali siapa orang itu.“Mungkin aku salah lihat,” ucap Renata, ia menghela nafas berat.Renata memilih untuk menemui sang nenek yang berada di rumah sakit. Memang keadaan orang tua itu sekarang mulai memburuk lantaran usianya yang sudah tidak lagi muda. Sehingga membuat ia selalu menjadi khawatir akan neneknya itu.Suara batuk dan aroma obat-obatan menyambut kedatangan Renata. Aroma yang begitu menusuk, sehingga membuat ia menjadi kesulitan untuk bernafas, tetapi memilih menyimpannya untuk diri sendiri supaya sang nenek tidak sedih.“Renata.” Seulas senyum terukir di bibir Tini menyambut kedatangan sang cucu.Renata membalas senyuman itu, walau saat melihat wajah Tini terasa begitu menyakitkan. Karena ia menyembunyikan tentang kondisi rumah tangganya. Sehingga ia dengan cepat memalingkan wajah ke arah lain, supaya bisa menutupi perasaan gundah yang dirinya