Home / Romansa / Obsesi Setelah Rapat Malam / Dilema dan Gaun yang Terlarang

Share

Dilema dan Gaun yang Terlarang

Author: Lembayung
last update Last Updated: 2025-10-05 15:37:42

Nara mencengkeram kemeja linen Alex, punggungnya berbenturan dengan dinding Pantry Lounge Lantai 4 yang dingin. Ciuman mereka rakus, mendesak, dan penuh risiko. Aroma kopi basi dan ambisi bercampur dengan gairah terlarang yang mereka ledakkan di tempat tersembunyi itu.

"Aku membutuhkan ini lebih dari yang aku butuhkan untuk akuisisi Eterna," bisik Alex,

Suaranya parau, sebelum kembali menciumnya dengan kekuatan seorang pria yang kecanduan kontrol. Nara tahu: ini adalah kontrak rahasia mereka, dan dia sudah terjerat jauh.

Waktu bergerak lambat dari hari Rabu hingga Sabtu pagi. Nara menghabiskan malam-malamnya dalam kondisi setengah sadar, diisi oleh tumpukan dokumen Eterna dan bayangan tangan Alex yang merayap di bawah blusnya. Ia merasa bersalah, tetapi gairah yang ditimbulkan oleh rasa bersalah itu terasa jauh lebih kuat.

Ia adalah wanita dewasa, kompeten, dan sangat tahu risiko yang ia ambil. Hubungan terlarang dengan Alex, bos sekaligus sumber kekuasaan, bisa menghancurkan reputasinya. Namun, ide tentang ruang pribadi Alex, di luar kantor, di mana mereka bisa sepenuhnya meninggalkan aturan, terasa seperti magnet yang tak tertahankan.

Sabtu pagi tiba, dingin dan cerah. Nara menatap isi lemarinya. Ia harus memilih pakaian yang tidak melanggar kode profesional, tetapi yang diam-diam mengakui sifat terlarang pertemuan ini.

Gaun sheath berwarna navy yang ia beli setahun lalu menjadi pilihan. Gaun itu tampak sopan, tetapi bahannya sedikit lentur, mengikuti lekuk tubuhnya dengan cara yang lebih intim daripada seragam kerjanya. Pilihan yang sempurna: profesional di permukaan, menggoda di bawahnya.

Ia menghabiskan waktu lebih lama di depan cermin. Ia memilih lipstik nude yang lembut, tetapi ia menekankan matanya, membuatnya tampak lebih dalam dan misterius. Ia merasa seperti mata-mata yang menyusup ke wilayah musuh, hanya saja musuhnya adalah pria yang ia damba-dambakan.

Pukul 09.30, Nara tiba di Prive Tower. Lift pribadi segera membawanya naik ke lantai paling atas. Jantungnya berdebar kencang.

Pintu terbuka, dan Nara melangkah keluar ke sebuah foyer pribadi. Alex sudah menunggu.

Ia mengenakan celana training gelap dan kaus abu-abu longgar. Penampilan itu adalah kejutan. Alex tidak pernah terlihat begitu santai, begitu manusia. Kaus itu memperlihatkan sedikit urat lengannya yang atletis, dan Nara menyadari betapa jauhnya ia dari CEO yang berjas tebal.

Namun, ia tidak tersenyum. Wajahnya tetap tegang, tetapi matanya memancarkan kebutuhan yang mendalam.

"Tepat waktu," kata Alex, suaranya pelan. Ia tidak mengucapkan sapaan. Ia hanya mengukur Nara dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya tertahan sebentar pada lekukan gaun navy Nara.

"Saya selalu tepat waktu, Pak," jawab Nara, berusaha menjaga formalitas, tetapi suaranya sedikit bergetar.

Alex melangkah mendekat. Nara mengira Alex akan menciumnya. Namun, Alex hanya mengulurkan tangan, mengambil tas dokumen.

"Masuk," Alex memimpin jalan. "Kita punya waktu dua jam untuk Eterna, sebelum kita benar-benar melupakan kalau kita pernah punya pekerjaan."

"Melupakan pekerjaan atau melupakan semua aturan, Pak?" bisik Nara, mengikuti Alex.

Alex berhenti di tengah ruang tamu. Ia berbalik, dan kini, jarak mereka hanya tinggal satu langkah.

"Keduanya, Nara," kata Alex, suaranya rendah dan mengancam. "Di luar sini, ada aturan. Di dalam sini... aturan adalah apa yang aku putuskan."

Alex tidak bergerak, tetapi tatapannya menyelimuti Nara, menelanjangi setiap lapis formalitas yang ia kenakan.

Alex membawa Nara ke meja makan yang mewah. Fokusnya kini adalah tumpukan dokumen Eterna.

"Mari kita selesaikan ini dalam dua jam, Nara," ucap Alex, suaranya kembali formal, nyaris impersonal.

Namun, di tengah pembahasan angka, keintiman dari penampilan Alex yang santai itu mulai merusak konsentrasi Nara. Kaus Alex sedikit melorot, memperlihatkan garis leher dan kulit di bawahnya pemandangan yang tak pernah ia lihat di kantor.

Nara merasa pandangannya sesekali menyimpang, bukan pada dokumen, melainkan pada urat leher Alex yang tegang.

"Nara?" panggil Alex.

Nara tersentak. "Ya, Pak?"

"Kamu melamun," kata Alex. Ada senyuman tipis, penuh ejekan dan pemahaman. Ia tahu penyebab lamunan Nara.

"Maaf, Pak. Saya hanya mencoba menyesuaikan strategi Anda dengan klausul yang saya susun minggu lalu."

Alex menggeser kursi sedikit, merapatkan jarak mereka. "Aku bisa melihat kamu kesulitan fokus. Mungkin karena kita berjarak dua inci dari meja, bukan dua meter di ruang rapat."

Pernyataan blak-blakan itu terasa seperti tantangan.

"Saya jamin, fokus saya masih di sini," balas Nara, menunjuk tumpukan dokumen.

Alex mencondongkan tubuh, suaranya merendah. "Aku tidak yakin, Nara. Karena fokusku hilang sejak kamu menginjakkan kaki di foyer itu. Kamu tahu ini tidak akan pernah tentang dokumen Eterna."

Ia menjangkau, bukan ke dokumen, melainkan ke tangan Nara yang tergeletak di meja. Jari-jarinya melingkari pergelangan tangan Nara. Ia menarik tangan Nara sedikit, dan kemudian, ia membungkuk, mencium punggung tangan Nara dengan lembut sebuah tindakan yang begitu sopan di permukaan, namun begitu sensual dan menguasai.

"Kamu datang," bisik Alex, suaranya penuh kemenangan. "Itu artinya kamu setuju dengan kontrak rahasia."

Nara tidak mampu menarik tangannya. Sentuhan bibir Alex di kulitnya mengirimkan getaran tak terduga.

"Saya datang untuk bekerja," ucap Nara, tetapi suaranya lemah.

Alex akhirnya melepaskan tangan Nara, tetapi ia segera meraih dagu Nara dengan lembut. "Aku tahu kamu datang karena kamu menginginkannya," koreksi Alex, matanya berkilat.

Dan kemudian, ciuman itu terjadi. Ciuman yang panjang, berkuasa, dan penuh hasrat tertekan. Alex berdiri, dan menarik Nara hingga ia berdiri di antara lutut Alex, tangan Alex kini memeluk pinggang Nara dengan erat. Gaun navy Nara yang lentur kini terasa seperti lapisan kedua kulit.

Nara membalas ciuman itu dengan intensitas yang ia simpan berhari-hari. Ia merangkul leher Alex, jari-jarinya menyentuh rambut halus di belakang kepala Alex. Gairah itu meledak, menghancurkan sisa-sisa profesionalisme.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Obsesi Setelah Rapat Malam   Bayangan di Pesta Pertunangan

    Setelah dua bulan menenggelamkan diri dalam pekerjaan dan membangun perusahaannya, Nara kembali ke Jakarta. Bukan untuk menetap, melainkan untuk memenuhi hukuman terakhir yang ia tetapkan sendiri: menyaksikan Alex Kael terikat selamanya.Pesta pertunangan resmi Alex dan Eliza diadakan di Grand Ballroom yang mewah, menjadi puncak dari sandiwara yang telah mereka rancang. Nara tidak lagi datang sebagai 'tamu bisnis'. Ia datang sebagai pemilik perusahaannya sendiri, membawa aura kesuksesan yang dingin dan tak terbantahkan.Nara mengenakan gaun velvet berwarna hijau zamrud yang elegan dan jauh lebih mewah daripada gaun hitam di acara sebelumnya. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memancarkan kepercayaan diri yang brutal. Di lehernya, ia mengenakan kalung sederhana namun berkelas, tanpa perhiasan mencolok, ia membiarkan kesuksesannya menjadi satu-satunya aksesorisnya.Nara melangkah masuk ke ballroom yang ramai. Seketika, ia merasakan perubahan atmosfer yang familier—perhatian terf

  • Obsesi Setelah Rapat Malam   Sebuah Sandiwara

    Eliza, yang haus akan pengakuan dan stabilitas, terbius oleh penampilan Alex yang meyakinkan. Ia merasa Alex akhirnya serius. Sandiwara itu kembali berjalan, tetapi bagi Alex, setiap senyuman yang ia berikan pada Eliza adalah pengkhianatan yang ia bayar dengan rasa sakit Nara.Sementara Alex terperangkap dalam kemewahan palsunya, Nara kembali ke apartemen kecilnya di Zürich. Nara melakukan hal yang sama: memulai sandiwara baru untuk dirinya sendiri. Sandiwara kemandirian.Nara tahu, ia tidak bisa mengalahkan pengaruh Aldebaran dengan uang atau kekuasaan. Ia harus mengalahkan mereka dengan kreativitas dan inovasi. Nara mulai menggunakan laptop barunya untuk membangun jaringan profesionalnya di Eropa. Ia tidak melamar pekerjaan; ia mulai merancang proyek konsultasi independen sebuah ide brilian yang ia kembangkan saat bekerja untuk NovaTech.Proyeknya adalah tentang analisis risiko strategis untuk perusahaan-perusahaan start-up teknologi di Eropa, sebuah area yang jauh dari jangkauan Al

  • Obsesi Setelah Rapat Malam   Pelucutan Terakhir

    Alex berdiri di hadapan Nara, tubuhnya menjadi perpaduan sempurna antara ancaman dan gairah. Nara telah memaksanya meninggalkan sandiwara dan tunangannya di pegunungan, hanya untuk menghadapi kebenaran di kota yang dingin ini."Apa yang kamu inginkan, Nara?" desak Alex lagi, suaranya serak. "Kamu memanggilku ke sini dengan ancaman risiko hukum. Itu adalah kebohongan. Kamu memanggilku karena kamu ingin menghukumku.""Saya memanggil Anda ke sini karena saya butuh penutupan," balas Nara, suaranya mantap. Ia tidak berteriak; ia berbicara dengan ketenangan yang menghancurkan. "Anda menghancurkan karir saya, Alex. Anda membuat saya aset yang tidak dapat dipekerjakan di mana pun di dunia. Saya datang untuk menuntut kompensasi terakhir.""Kompensasi finansial?" tanya Alex, ia mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya. "Ambil. Ambil semua yang kamu mau. Tapi pergi!""Bukan uang," potong Nara, menatap kartu itu dengan jijik. "Uang Anda menjijikkan. Saya menuntut kebenaran. Saya menuntut Anda

  • Obsesi Setelah Rapat Malam   Kebebasan yang Dingin

    Nara tiba di Zürich, Swiss. Ia memilih kota itu karena keterasingannya dari jaringan bisnis Alex dan keterkenalannya akan kerahasiaan tempat yang sempurna untuk menyembunyikan kebenaran yang berat.Udara Zürich terasa dingin dan bersih, sebuah kontras nyata dengan kekacauan yang baru saja ia tinggalkan di Jakarta. Nara menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, jauh dari kemewahan suite yang Alex hibahkan. Ia ingin menghapus semua jejak kendali Alex dari hidupnya.Minggu pertama Nara dipenuhi dengan kesibukan yang terpaksa. Ia belajar bahasa lokal, mencari informasi tentang pasar kerja internasional, dan yang paling penting, memproses perpisahan yang brutal yang ia alami. Flash drive yang berisi semua bukti pengakuan obsesi Alex setiap kode, setiap chat, dan speech lamaran tersimpan aman di sebuah kotak tersembunyi. Itu adalah senjata pamungkasnya, yang ia harap tidak perlu digunakan.Nara tahu, Alex pasti sudah menyadari kepergiannya dan penolakan untuk dihubungi. Keheningan d

  • Obsesi Setelah Rapat Malam   Awal Kehancuran

    Pagi harinya, suasana di suite pertunangan terasa dingin dan beku. Alex keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya pucat, tetapi topeng CEO telah dipasang kembali—lebih keras dan lebih tak bernyawa dari sebelumnya.Eliza sudah menunggunya di ruang tamu. Ia mengenakan gaun tidur sutra, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh perhitungan."Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Eliza, nadanya menuntut. "Kau tidak menyentuhku. Kau mengurung diri di ruang kerja. Dan kau menyebut wanita lain saat kau sedang mabuk champagne."Alex berjalan ke minibar dan menuangkan air dingin. "Aku lelah, Eliza. Tekanan dari Ayahku dan Dewan Direksi sangat besar. Wanita yang kau maksud hanyalah asisten yang aku pecat. Aku memikirkannya karena dia adalah aset yang hilang, dan itu merugikan Aldebaran.""Bohong," balas Eliza. "Kau tidak hanya memikirkan aset. Kau marah. Kau terobsesi pada wanita itu. Dan aku melihatnya, Alex. Aku melihat bagaimana kau memegang pinggulnya saat di ballroom itu bukan sentuhan formal. I

  • Obsesi Setelah Rapat Malam   Neraka Sang Pengantin

    Nara pergi, tetapi kehadirannya tertinggal di ballroom itu, menari di antara gemerlap kristal dan senyuman palsu. Alex berdiri membeku di sudut ruangan. Lengan yang baru saja ia gunakan untuk menarik Nara terasa dingin dan hampa.Tuan Kael Senior segera mendekat, matanya menyala marah. "Apa yang baru saja kau lakukan, Alex? Kau membiarkan asistenmu menghinaku dan merusak suasana! Dan kenapa dia begitu berani menolak tawaranku?""Ayah, Nona Nara Anjani adalah aset penting NovaTech," jawab Alex, suaranya tenang, tetapi terasa datar. "Aku tidak bisa memaksa staf perusahaan mitra kita. Ini adalah protokol bisnis yang baru.""Protokol omong kosong!" geram Tuan Kael Senior. "Wanita itu adalah masalah, Alex. Aku tidak percaya kau tidak menyadari betapa berbahayanya dia. Dia memancarkan rasa tidak hormat!""Dia adalah Kepala Strategi Operasional, Ayah. Dia hanya profesional," Alex menimpali, ia memaksakan dirinya untuk mempertahankan sandiwara itu. Ia tahu, setiap kata yang ia ucapkan adalah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status