Nara mencengkeram kemeja linen Alex, punggungnya berbenturan dengan dinding Pantry Lounge Lantai 4 yang dingin. Ciuman mereka rakus, mendesak, dan penuh risiko. Aroma kopi basi dan ambisi bercampur dengan gairah terlarang yang mereka ledakkan di tempat tersembunyi itu.
"Aku membutuhkan ini lebih dari yang aku butuhkan untuk akuisisi Eterna," bisik Alex,
Suaranya parau, sebelum kembali menciumnya dengan kekuatan seorang pria yang kecanduan kontrol. Nara tahu: ini adalah kontrak rahasia mereka, dan dia sudah terjerat jauh.
Waktu bergerak lambat dari hari Rabu hingga Sabtu pagi. Nara menghabiskan malam-malamnya dalam kondisi setengah sadar, diisi oleh tumpukan dokumen Eterna dan bayangan tangan Alex yang merayap di bawah blusnya. Ia merasa bersalah, tetapi gairah yang ditimbulkan oleh rasa bersalah itu terasa jauh lebih kuat.
Ia adalah wanita dewasa, kompeten, dan sangat tahu risiko yang ia ambil. Hubungan terlarang dengan Alex, bos sekaligus sumber kekuasaan, bisa menghancurkan reputasinya. Namun, ide tentang ruang pribadi Alex, di luar kantor, di mana mereka bisa sepenuhnya meninggalkan aturan, terasa seperti magnet yang tak tertahankan.
Sabtu pagi tiba, dingin dan cerah. Nara menatap isi lemarinya. Ia harus memilih pakaian yang tidak melanggar kode profesional, tetapi yang diam-diam mengakui sifat terlarang pertemuan ini.
Gaun sheath berwarna navy yang ia beli setahun lalu menjadi pilihan. Gaun itu tampak sopan, tetapi bahannya sedikit lentur, mengikuti lekuk tubuhnya dengan cara yang lebih intim daripada seragam kerjanya. Pilihan yang sempurna: profesional di permukaan, menggoda di bawahnya.
Ia menghabiskan waktu lebih lama di depan cermin. Ia memilih lipstik nude yang lembut, tetapi ia menekankan matanya, membuatnya tampak lebih dalam dan misterius. Ia merasa seperti mata-mata yang menyusup ke wilayah musuh, hanya saja musuhnya adalah pria yang ia damba-dambakan.
Pukul 09.30, Nara tiba di Prive Tower. Lift pribadi segera membawanya naik ke lantai paling atas. Jantungnya berdebar kencang.
Pintu terbuka, dan Nara melangkah keluar ke sebuah foyer pribadi. Alex sudah menunggu.
Ia mengenakan celana training gelap dan kaus abu-abu longgar. Penampilan itu adalah kejutan. Alex tidak pernah terlihat begitu santai, begitu manusia. Kaus itu memperlihatkan sedikit urat lengannya yang atletis, dan Nara menyadari betapa jauhnya ia dari CEO yang berjas tebal.
Namun, ia tidak tersenyum. Wajahnya tetap tegang, tetapi matanya memancarkan kebutuhan yang mendalam.
"Tepat waktu," kata Alex, suaranya pelan. Ia tidak mengucapkan sapaan. Ia hanya mengukur Nara dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapannya tertahan sebentar pada lekukan gaun navy Nara.
"Saya selalu tepat waktu, Pak," jawab Nara, berusaha menjaga formalitas, tetapi suaranya sedikit bergetar.
Alex melangkah mendekat. Nara mengira Alex akan menciumnya. Namun, Alex hanya mengulurkan tangan, mengambil tas dokumen.
"Masuk," Alex memimpin jalan. "Kita punya waktu dua jam untuk Eterna, sebelum kita benar-benar melupakan kalau kita pernah punya pekerjaan."
"Melupakan pekerjaan atau melupakan semua aturan, Pak?" bisik Nara, mengikuti Alex.
Alex berhenti di tengah ruang tamu. Ia berbalik, dan kini, jarak mereka hanya tinggal satu langkah.
"Keduanya, Nara," kata Alex, suaranya rendah dan mengancam. "Di luar sini, ada aturan. Di dalam sini... aturan adalah apa yang aku putuskan."
Alex tidak bergerak, tetapi tatapannya menyelimuti Nara, menelanjangi setiap lapis formalitas yang ia kenakan.
Alex membawa Nara ke meja makan yang mewah. Fokusnya kini adalah tumpukan dokumen Eterna.
"Mari kita selesaikan ini dalam dua jam, Nara," ucap Alex, suaranya kembali formal, nyaris impersonal.
Namun, di tengah pembahasan angka, keintiman dari penampilan Alex yang santai itu mulai merusak konsentrasi Nara. Kaus Alex sedikit melorot, memperlihatkan garis leher dan kulit di bawahnya pemandangan yang tak pernah ia lihat di kantor.
Nara merasa pandangannya sesekali menyimpang, bukan pada dokumen, melainkan pada urat leher Alex yang tegang.
"Nara?" panggil Alex.
Nara tersentak. "Ya, Pak?"
"Kamu melamun," kata Alex. Ada senyuman tipis, penuh ejekan dan pemahaman. Ia tahu penyebab lamunan Nara.
"Maaf, Pak. Saya hanya mencoba menyesuaikan strategi Anda dengan klausul yang saya susun minggu lalu."
Alex menggeser kursi sedikit, merapatkan jarak mereka. "Aku bisa melihat kamu kesulitan fokus. Mungkin karena kita berjarak dua inci dari meja, bukan dua meter di ruang rapat."
Pernyataan blak-blakan itu terasa seperti tantangan.
"Saya jamin, fokus saya masih di sini," balas Nara, menunjuk tumpukan dokumen.
Alex mencondongkan tubuh, suaranya merendah. "Aku tidak yakin, Nara. Karena fokusku hilang sejak kamu menginjakkan kaki di foyer itu. Kamu tahu ini tidak akan pernah tentang dokumen Eterna."
Ia menjangkau, bukan ke dokumen, melainkan ke tangan Nara yang tergeletak di meja. Jari-jarinya melingkari pergelangan tangan Nara. Ia menarik tangan Nara sedikit, dan kemudian, ia membungkuk, mencium punggung tangan Nara dengan lembut sebuah tindakan yang begitu sopan di permukaan, namun begitu sensual dan menguasai.
"Kamu datang," bisik Alex, suaranya penuh kemenangan. "Itu artinya kamu setuju dengan kontrak rahasia."
Nara tidak mampu menarik tangannya. Sentuhan bibir Alex di kulitnya mengirimkan getaran tak terduga.
"Saya datang untuk bekerja," ucap Nara, tetapi suaranya lemah.
Alex akhirnya melepaskan tangan Nara, tetapi ia segera meraih dagu Nara dengan lembut. "Aku tahu kamu datang karena kamu menginginkannya," koreksi Alex, matanya berkilat.
Dan kemudian, ciuman itu terjadi. Ciuman yang panjang, berkuasa, dan penuh hasrat tertekan. Alex berdiri, dan menarik Nara hingga ia berdiri di antara lutut Alex, tangan Alex kini memeluk pinggang Nara dengan erat. Gaun navy Nara yang lentur kini terasa seperti lapisan kedua kulit.
Nara membalas ciuman itu dengan intensitas yang ia simpan berhari-hari. Ia merangkul leher Alex, jari-jarinya menyentuh rambut halus di belakang kepala Alex. Gairah itu meledak, menghancurkan sisa-sisa profesionalisme.
Hari yang biasanya dipenuhi antusiasme menjelang akhir pekan, tetapi di lantai eksekutif Aldebaran Corp, yang terasa hanyalah ketegangan yang merayap di udara.Ia tidak menatap Nara ia tidak berbicara dengannya secara langsung kecuali melalui interkom. Nara mengamati Alex dari mejanya: sikapnya lebih kaku, gerakannya lebih terukur, seolah ia sedang berjuang keras untuk menahan dorongan yang ia lepaskan tadi malam.Nara sendiri merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Setiap kali Vira atau rekan kerja lain masuk ke area mereka, ia merasa panik. Ia takut ada sisa aroma, ada kerutan di blusnya, atau bahkan sisa jejak pada dasi Alex yang ia perbaiki.Pukul 11.00, Alex memanggil Nara ke ruangannya untuk pembahasan mendalam mengenai laporan Eterna. Mereka duduk di meja yang sama, tempat di mana mereka melanggar aturan dua malam lalu."Laporan ini," kata Alex, menunjuk ke sebuah paragraf mengenai cash flow. "Perlu penekanan ekstra di sini. Aku tidak ingin dewan direksi salah mengartikan
Chapter Ciuman di pantry itu berbeda dari sebelumnya. Tidak ada kecanggungan seperti yang pertama, dan tidak ada kehati-hatian seperti saat mereka berada di apartemen. Ciuman ini terburu-buru, dipenuhi adrenalin dan bahaya.Alex mendorong Nara perlahan hingga ia tersudut di antara meja marmer dan dinding. Pintu pantry itu memang terkunci otomatis, tetapi suara klik sekecil apapun dari luar bisa menghancurkan segalanya.Gairah membuat mereka bergerak cepat. Alex menjauhkan kepalanya sebentar, napasnya memburu di leher Nara. Tangan besarnya meraba bagian belakang leher Nara, menariknya ke dalam pelukan yang menekan. Nara bisa merasakan detak jantung Alex yang menggila, jauh lebih kencang daripada detak jantungnya sendiri."Aku gila," bisik Alex, suaranya parau, bukan pertanyaan, melainkan pengakuan. "Aku tidak bisa fokus. Setiap rapat, aku hanya memikirkan kapan aku bisa melakukan ini lagi."Nara tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya mencengkeram kemeja Alex di bahunya, menariknya k
Ciuman itu menjadi semakin rakus, membakar sisa kesadaran Nara. Gairah Alex terasa liar dan tak terkontrol, sebuah kontras nyata dengan ketenangan di kantor. Ia mendorong Nara dengan lembut, memaksanya bersandar di meja makan, menghimpitnya dengan tubuhnya.Nara membiarkan gairah Alex menguasai, tangannya meraba bahu dan punggung Alex yang kini terasa keras dan tegang. Ia menyadari betapa intim sensasi yang ditimbulkan oleh penampilan Alex yang santai ini hanya kaus tipis yang membiarkan Nara merasakan panas tubuhnya secara langsung.Tangan Alex yang memeluk pinggang Nara kini bergerak liar dan menuntut. Satu tangannya bergeser ke atas, menyelip di bawah gaun navy Nara. Jari-jari Alex yang hangat menyentuh punggung telanjang Nara, memberikan sentuhan yang terlalu intim untuk pertemuan kerja.Saat ciuman mereka semakin dalam, tangan Alex yang satunya menjelajahi sisi tubuh Nara, bergerak dari pinggang, melintasi tulang rusuk, hingga mencapai area terlarang. Ia tidak menyentuh secara la
Nara mencengkeram kemeja linen Alex, punggungnya berbenturan dengan dinding Pantry Lounge Lantai 4 yang dingin. Ciuman mereka rakus, mendesak, dan penuh risiko. Aroma kopi basi dan ambisi bercampur dengan gairah terlarang yang mereka ledakkan di tempat tersembunyi itu."Aku membutuhkan ini lebih dari yang aku butuhkan untuk akuisisi Eterna," bisik Alex,Suaranya parau, sebelum kembali menciumnya dengan kekuatan seorang pria yang kecanduan kontrol. Nara tahu: ini adalah kontrak rahasia mereka, dan dia sudah terjerat jauh.Waktu bergerak lambat dari hari Rabu hingga Sabtu pagi. Nara menghabiskan malam-malamnya dalam kondisi setengah sadar, diisi oleh tumpukan dokumen Eterna dan bayangan tangan Alex yang merayap di bawah blusnya. Ia merasa bersalah, tetapi gairah yang ditimbulkan oleh rasa bersalah itu terasa jauh lebih kuat.Ia adalah wanita dewasa, kompeten, dan sangat tahu risiko yang ia ambil. Hubungan terlarang dengan Alex, bos sekaligus sumber kekuasaan, bisa menghancurkan reputasi
Pagi berikutnya, Nara tiba lebih awal. Ia merasa seperti kriminal yang baru saja meninggalkan lokasi kejahatan. Seluruh tubuhnya tegang, menunggu isyarat pertama dari Alex Kael.Ia menyiapkan Americano di meja Alex. Dingin. Itu adalah perintah yang tidak logis, melanggar kebiasaan Alex, tetapi ia mematuhinya. Perintah itu adalah pengakuan dan kode rahasia mereka.Ketika Alex masuk pukul 07.50, ia tampak lebih kaku. Ada garis gelap di bawah matanya, tanda kurang tidur. Ia bahkan tidak membalas sapaan Nara, hanya mengangguk dingin dan berjalan lurus ke ruang kerjanya. Pintu kaca buram tertutup, kembali menjadi pembatas.Nara menarik napas lega. Kontrol kembali.Namun, beberapa menit kemudian, bel interkom berbunyi."Masuk," suara Alex terdengar datar.Nara masuk, membawa tablet jadwal. Matanya secara naluriah mencari cangkir kopi dingin itu. Cangkirnya kosong. Alex sudah menghabiskannya.Alex duduk di kursinya, membaca laporan. Ia tidak mendongak."Saya ingin kamu membatalkan rapat deng
Saat Alex kembali mencium bibirnya, tangannya mulai bergerak dari punggung bawah Nara. Gerakannya sengaja melambat, seperti penyiksaan yang manis. Jari-jarinya meluncur di sepanjang tulang rusuk Nara, meraba setiap lekukan yang tersembunyi di balik blus sutra.Blus Nara terasa terlalu tipis sekarang. Alex memperdalam sentuhannya, jarinya menjalar ke sisi dada Nara, memberi tekanan lembut yang mengirimkan gelombang kejut. Nara terkesiap, ciuman mereka terlepas sesaat.Sentuhan itu membuat Nara sadar penuh akan pelanggaran yang mereka lakukan. Mereka di ruang direksi, lantai eksekutif. Karyawan lain hanya berjarak satu lift. Setiap sentuhan adalah risiko hancurnya karier."Alex, kita..." Suara Nara tercekat, napasnya putus-putus. Ia memanggil Alex dengan nama, bukan gelar sebuah pelanggaran yang lebih besar.Alex menghentikan sentuhannya di sisi dada Nara, tetapi tidak melepaskan. Tangan besarnya menangkup lembut di sisi rusuk Nara. Ia menatap mata Nara yang kini dipenuhi campuran gair