Share

Bab 2

***

Dari sudut pandang Teresia sebagai pembaca, sebenarnya Luga teramat mencintai Gabriella, hanya saja caranya salah, dan Gabriella tidak mengerti itu semua jadi menganggap Luga tidak waras.

Dua orang dengan dua masa kecil yang jauh berbeda, bagaimana mungkin bisa saling mengerti. Luga dididik penuh kekejaman, sedangkan Gabriella dibesarkan layaknya permata berharga.

Ide semacam itulah yang dibuat penulis novel < I'm Yours > ini. Dengan tambahan dramatis di sana-sini hingga perasaan Teresia sendiri dibuat jungkir-balik setiap membaca babnya.

Kekerasan dan cinta, benci dan sayang, hitam dan putih, berakhir dengan kematian Gabriella yang merasa sudah tidak sanggup lagi dengan semua beban yang dipikul di dunia.

Setiap adegan kekerasan yang dilakukan Luga pada Gabriella, Teresia akan ikut menangis pilu dan meratap sedih. Tapi saat adegan begitu banyak cinta yang Luga curahkan demi meluluhkan hati Gabriella, Teresia pun ikut merona malu. Dan bahkan, jika adegan menunjukkan kebencian dan kemarahan terpendam Gabriella pada Luga, Teresia akan ikut mengomel.

"Belum aja gue sumpahin tuh penulis biar masuk ke novelnya jadi Gabriel, biar tau rasanya jadi objek obsesi." Teresia melemparkan bantal sebelum merebahkan diri dengan dengkusan sinis.

Mematikan lampu kamar menyisakan lampu tidur di ruangan tiga kali empat meter itu, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi baru Teresia tidur. Rela begadang demi menamatkan novel.

***

Baru beberapa saat Teresia tertidur, dibangunkan oleh sensasi sesak pada pernapasannya dan rasa sakit di tenggorokan. Mengerang perlahan sebelum membuka mata, Teresia setengah mengumpulkan nyawa saat mendapati lampu padam membuat kamar gelap gulita.

Udara panas terhirup Teresia bersama bau menyengat benda terbakar.

Apa yang sedang terjadi?

Nyatanya, kinerja tubuh Teresia lebih cepat dari loading otaknya. Menyadari ada hal yang tidak beres dengan tempat berada, Teresia bangkit terhuyung-huyung di kegelapan, merangkak dari kasur mencari pintu.

Kesadaran yang tidak sepenuhnya pulih datang dengan cepat karna kepanikan, asap tebal memenuhi udara ruang kamar membatasi penglihatan dan oksigen.

"Tolong-"

Suara Teresia tercekat di tenggorokan yang terasa semakin sakit, udara sekitar memanas, perempuan 25 tahun itu meraba tembok dengan panik, mencari pintu yang entah kenapa tidak bisa di temukan.

"Panas, tolong selamatkan aku-!"

Tidak kunjung mendapatkan gagang pintu, Teresia merambat mencari jendela. Waktu berjalan seperti mengejar setiap tindakan Teresia, menemukan bingkai jendela dan membuka dengan tidak sabaran.

Teriakan dan ngaungan meminta tolong segera terdengar di udara saat Teresia berhasil melongokkan kepala ke luar jendela. Penghuni apartemen yang sama dengan Teresia beberapa masih terjebak di ruangan mereka.

Kini Teresia mengetahui bahwa sebagian besar gedung apartemen ini sedang dilalap api. Kebakaran hebat membuat asap mengepul di mana-mana, sirine pemadam kebakaran terdengar bersahutan di bawah sana.

Teresia kembali mencari pintu kamar, meraba dinding dengan air mata sudah menganak sungai dan tubuh gemetar. Akhirnya menemukan pintu kamar tapi harus tersandung oleh jatuhan atap dari lantai atas.

Panas bara api menyerang beberapa bagian tubuh Teresia, tapi tidak ada waktu untuk sekedar merasakan sakit, dia bangkit lagi dengan lebih hati-hati menghindari jatuhan atap dan tebaran benda tajam. Menuju pintu keluar apartemen yang nyatanya terkunci, sementara kunci ada di dalam kamar tidur.

Teresia mengerang sudah hampir menjatuhkan air mata ketakutan, memukul pintu berharap ada yang mendengar dan mau mendobrak untuknya.

"Tolong-! Ada orang di luar? Ada orang di sini! Tolong- ... siapapun tolong saya!"

Lantai tempat Teresia berpijak bergetar hebat, gedung apartemen itu goyah akibat beberapa penyangga dilahap api besar.

Teresia merosot jatuh ke lantai saat penglihatan dan napas semakin memberat, terlalu banyak menghirup asap, paru-parunya meronta. Ketukan pada pintu melemah seiring waktu berlalu, sesak menguasai dirinya sebelum ambruk sepenuhnya di lantai.

Tolong ...

Selamatkan aku ...

***

"Ha-ah!"

Teresia tersentak keras sekaligus menghembuskan napas memburu membuat tubuhnya turun-naik seperti habis berlari maraton, mata membola menatap langit-langit bersih yang asing.

"Yerin-!"

"Ya Tuhan-!"

"Dia sadar."

Segera suara-suara penuh syukur itu masuk ke pendengaran Teresia membuatnya bangkit duduk. Setengah linglung menatap sekitar yang berupa kamar tidur mewah, semua perabot terlihat asing.

HEH, di mana ini?

"Sayang, tiduran dulu, kamu pasti masih syok." Seorang wanita menekan bahu Teresia lembut agar berbaring kembali di ranjang empuk berselimut tebal dan hangat itu.

Teresia yang bingung gagal mengeluarkan suara, menatap empat orang asing di samping ranjang, salah satunya pria berjas putih khas dokter.

"Menurut hasil pemeriksaan, benturan keras di kepala Nona Yerin mengakibatkan sebagian ingatannya hilang, tapi itu tidak akan lama karena ingatan Nona Yerin bisa kembali seiring waktu," jelas dokter pria itu sopan.

Hah?

Hilang ingatan kepalamu-!

Teresia jelas-jelas masih ingat bagaimana lika-liku perjalanan pahit hidupnya, bahkan kejadian mengerikan beberapa jam lalu, bagaimana bisa tiba-tiba diklaim hilang ingatan.

Lagipula ... di mana sih ini?

"Hey, kamu ingat nama kamu?" Gadis muda dengan rambut pirang bergelombang dan manik mata biru pucat bertanya sambil duduk di pinggir kasur.

Cantik banget.

Teresia mengernyit lebih dalam, tentu saja dia ingat nama sendiri. "... Teresia Syeilendri," jawabnya polos dengan suara serak.

Wajah orang-orang di kamar itu memucat tidak sesuai respon seharusnya. Seakan tak bisa berkata-kata, dokter berdehem sejenak.

"Ini bisa terjadi, terkadang orang yang kehilangan ingatan otaknya membuat jalan memory baru," terang dokter itu setelah melihat sekali lagi catatan medis pasiennya.

Ngarang-!

Dokter gadungan mana sih ini, bisa-bisanya pemeriksaan Teresia dipalsukan, padahal sudah jelas dia korban kebakaran gedung apartemen, tidak terbentur apapun kecuali mati terbakar, tidak mungkin amnesia.

"Yerin, hey, dengarkan aku."

Tatapan tajam Teresia pada dokter diinterupsi gadis di sampingnya lagi, bersama usapan lembut di rambut.

"Kamu Vie Yerinsa De Vries," kata gadis itu menunjuk dada Teresia, kemudian melirik sepasang orang dewasa di sisi kasur.

"Dan mereka orangtua kita," tambahnya dengan senyum lembut.

Ha-?

HAAAAAHH?!

WHAT THE FUCK!

Kebohongan nyata macam apa ini!?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status