Share

Bab 2

Penulis: Pelmen_minmin
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-09 13:35:14

***

Dari sudut pandang Teresia sebagai pembaca, sebenarnya Luga teramat mencintai Gabriella, hanya saja caranya salah, dan Gabriella tidak mengerti itu semua jadi menganggap Luga tidak waras.

Dua orang dengan dua masa kecil yang jauh berbeda, bagaimana mungkin bisa saling mengerti. Luga dididik penuh kekejaman, sedangkan Gabriella dibesarkan layaknya permata berharga.

Ide semacam itulah yang dibuat penulis novel < I'm Yours > ini. Dengan tambahan dramatis di sana-sini hingga perasaan Teresia sendiri dibuat jungkir-balik setiap membaca babnya.

Kekerasan dan cinta, benci dan sayang, hitam dan putih, berakhir dengan kematian Gabriella yang merasa sudah tidak sanggup lagi dengan semua beban yang dipikul di dunia.

Setiap adegan kekerasan yang dilakukan Luga pada Gabriella, Teresia akan ikut menangis pilu dan meratap sedih. Tapi saat adegan begitu banyak cinta yang Luga curahkan demi meluluhkan hati Gabriella, Teresia pun ikut merona malu. Dan bahkan, jika adegan menunjukkan kebencian dan kemarahan terpendam Gabriella pada Luga, Teresia akan ikut mengomel.

"Belum aja gue sumpahin tuh penulis biar masuk ke novelnya jadi Gabriel, biar tau rasanya jadi objek obsesi." Teresia melemparkan bantal sebelum merebahkan diri dengan dengkusan sinis.

Mematikan lampu kamar menyisakan lampu tidur di ruangan tiga kali empat meter itu, jam sudah menunjukkan pukul dua pagi baru Teresia tidur. Rela begadang demi menamatkan novel.

***

Baru beberapa saat Teresia tertidur, dibangunkan oleh sensasi sesak pada pernapasannya dan rasa sakit di tenggorokan. Mengerang perlahan sebelum membuka mata, Teresia setengah mengumpulkan nyawa saat mendapati lampu padam membuat kamar gelap gulita.

Udara panas terhirup Teresia bersama bau menyengat benda terbakar.

Apa yang sedang terjadi?

Nyatanya, kinerja tubuh Teresia lebih cepat dari loading otaknya. Menyadari ada hal yang tidak beres dengan tempat berada, Teresia bangkit terhuyung-huyung di kegelapan, merangkak dari kasur mencari pintu.

Kesadaran yang tidak sepenuhnya pulih datang dengan cepat karna kepanikan, asap tebal memenuhi udara ruang kamar membatasi penglihatan dan oksigen.

"Tolong-"

Suara Teresia tercekat di tenggorokan yang terasa semakin sakit, udara sekitar memanas, perempuan 25 tahun itu meraba tembok dengan panik, mencari pintu yang entah kenapa tidak bisa di temukan.

"Panas, tolong selamatkan aku-!"

Tidak kunjung mendapatkan gagang pintu, Teresia merambat mencari jendela. Waktu berjalan seperti mengejar setiap tindakan Teresia, menemukan bingkai jendela dan membuka dengan tidak sabaran.

Teriakan dan ngaungan meminta tolong segera terdengar di udara saat Teresia berhasil melongokkan kepala ke luar jendela. Penghuni apartemen yang sama dengan Teresia beberapa masih terjebak di ruangan mereka.

Kini Teresia mengetahui bahwa sebagian besar gedung apartemen ini sedang dilalap api. Kebakaran hebat membuat asap mengepul di mana-mana, sirine pemadam kebakaran terdengar bersahutan di bawah sana.

Teresia kembali mencari pintu kamar, meraba dinding dengan air mata sudah menganak sungai dan tubuh gemetar. Akhirnya menemukan pintu kamar tapi harus tersandung oleh jatuhan atap dari lantai atas.

Panas bara api menyerang beberapa bagian tubuh Teresia, tapi tidak ada waktu untuk sekedar merasakan sakit, dia bangkit lagi dengan lebih hati-hati menghindari jatuhan atap dan tebaran benda tajam. Menuju pintu keluar apartemen yang nyatanya terkunci, sementara kunci ada di dalam kamar tidur.

Teresia mengerang sudah hampir menjatuhkan air mata ketakutan, memukul pintu berharap ada yang mendengar dan mau mendobrak untuknya.

"Tolong-! Ada orang di luar? Ada orang di sini! Tolong- ... siapapun tolong saya!"

Lantai tempat Teresia berpijak bergetar hebat, gedung apartemen itu goyah akibat beberapa penyangga dilahap api besar.

Teresia merosot jatuh ke lantai saat penglihatan dan napas semakin memberat, terlalu banyak menghirup asap, paru-parunya meronta. Ketukan pada pintu melemah seiring waktu berlalu, sesak menguasai dirinya sebelum ambruk sepenuhnya di lantai.

Tolong ...

Selamatkan aku ...

***

"Ha-ah!"

Teresia tersentak keras sekaligus menghembuskan napas memburu membuat tubuhnya turun-naik seperti habis berlari maraton, mata membola menatap langit-langit bersih yang asing.

"Yerin-!"

"Ya Tuhan-!"

"Dia sadar."

Segera suara-suara penuh syukur itu masuk ke pendengaran Teresia membuatnya bangkit duduk. Setengah linglung menatap sekitar yang berupa kamar tidur mewah, semua perabot terlihat asing.

HEH, di mana ini?

"Sayang, tiduran dulu, kamu pasti masih syok." Seorang wanita menekan bahu Teresia lembut agar berbaring kembali di ranjang empuk berselimut tebal dan hangat itu.

Teresia yang bingung gagal mengeluarkan suara, menatap empat orang asing di samping ranjang, salah satunya pria berjas putih khas dokter.

"Menurut hasil pemeriksaan, benturan keras di kepala Nona Yerin mengakibatkan sebagian ingatannya hilang, tapi itu tidak akan lama karena ingatan Nona Yerin bisa kembali seiring waktu," jelas dokter pria itu sopan.

Hah?

Hilang ingatan kepalamu-!

Teresia jelas-jelas masih ingat bagaimana lika-liku perjalanan pahit hidupnya, bahkan kejadian mengerikan beberapa jam lalu, bagaimana bisa tiba-tiba diklaim hilang ingatan.

Lagipula ... di mana sih ini?

"Hey, kamu ingat nama kamu?" Gadis muda dengan rambut pirang bergelombang dan manik mata biru pucat bertanya sambil duduk di pinggir kasur.

Cantik banget.

Teresia mengernyit lebih dalam, tentu saja dia ingat nama sendiri. "... Teresia Syeilendri," jawabnya polos dengan suara serak.

Wajah orang-orang di kamar itu memucat tidak sesuai respon seharusnya. Seakan tak bisa berkata-kata, dokter berdehem sejenak.

"Ini bisa terjadi, terkadang orang yang kehilangan ingatan otaknya membuat jalan memory baru," terang dokter itu setelah melihat sekali lagi catatan medis pasiennya.

Ngarang-!

Dokter gadungan mana sih ini, bisa-bisanya pemeriksaan Teresia dipalsukan, padahal sudah jelas dia korban kebakaran gedung apartemen, tidak terbentur apapun kecuali mati terbakar, tidak mungkin amnesia.

"Yerin, hey, dengarkan aku."

Tatapan tajam Teresia pada dokter diinterupsi gadis di sampingnya lagi, bersama usapan lembut di rambut.

"Kamu Vie Yerinsa De Vries," kata gadis itu menunjuk dada Teresia, kemudian melirik sepasang orang dewasa di sisi kasur.

"Dan mereka orangtua kita," tambahnya dengan senyum lembut.

Ha-?

HAAAAAHH?!

WHAT THE FUCK!

Kebohongan nyata macam apa ini!?

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi sang protagonis   Bab 103

    ***"Vie, tenanglah," bisik Luga kesulitan menahan lonjakan tenaga gadis itu."Sakit! Sakiitt! Sakiitt!" Yerinsa tidak menahan jeritan untuk mengeluarkan segala keluhan yang hanya bisa diwakili satu jenis kata itu saja.Memeluk erat gadis yang menggeliat seperti cacing kepanasan, Luga tidak mengatakan apapun selain membantu menekan kepala itu ke dadanya, juga membiarkan kemeja kusut direnggut Yerinsa.Bercak kemerahan timbul di kemeja, Luga mendesis rendah merasakan luka jahitan pasti terbuka kembali karena tersikut lengan Yerinsa, membuat kain kasa ikut bernoda darah."Gerald!" teriak Luga ke arah pintu masuk.Hanya butuh satu detik untuk seorang pria masuk terburu-buru. "Saya, Tuan Muda," sahutnya."Bantu aku," kata Luga sambil mengeluarkan sebuah botol kecil dan suntikan dari saku celana.Pria bernama Gerald mendekati tempat tidur, membantu memindah isi cairan dari botol ke dalam suntikan, lalu menyerahkan kembali pada Luga, membiarkan sang tuan muda menyuntik sendiri.Tubuh Yerins

  • Obsesi sang protagonis   Bab 102

    ***Abrady menegang di posisi memangku Yerinsa, merasakan moncong dingin revolver menyentuh tepat di pelipis sama seperti sebelumnya dialami Luga. Selain itu, tanpa diduga sederet pria kekar bersenjata yang sebelumnya mengancam Luga, kini malah berpaling mengancam Abrady.Pertemuan mengharukan yang diimpikan akan berakhir indah nyatanya tidak semulus yang dibayangkan. Rencana diam-diam memang sudah disusun sebelum keberangkatan, membayar sejumlah penembak jitu sebagai pelindung dan bisa digunakan mengancam.Namun, siapa menyangka Luga tau satu langkah di depan Abrady."Kupikir manusia, ternyata memang serangga yang tidak memiliki akal," desis Luga dengan sorot mata kelewat dingin."Apa yang sudah kamu lakukan pada orang-orangku?" tanya Abrady geram.Seringai Luga tersungging lebar. "Sejak kapan mereka orang-orangmu?" tanyanya mengejek."AYAH!" teriak Gabriella saat situasi dua pria itu mendadak terbalik.Margareth menangis melihat sang suami berada di bawah target ancaman Luga sekaran

  • Obsesi sang protagonis   Bab 101

    ***"Luga!" pekik Yerinsa kencang melihat Luga ambruk di tanah dengan memegang satu kaki.Tubuh Yerinsa gemetar, menatap sang ayah yang baru saja memberikan perintah menembak. Bagaimana bisa ayahnya memerintahkan hal sekejam itu dilakukan pada Luga, bahkan tanpa pembicaraan apapun di antara mereka."Yerin, jangan ke mana-mana! Tetap di sini!" Margareth menyusul berteriak saat Yerinsa benar-benar akan turun dari kursinya."Lepaskan aku, Bu. Ayah melukai Luga," pinta Yerinsa tanpa sadar mata sudah berkaca-kaca."Dia pantas mendapatkannya, Yerin. Bahkan harusnya lebih dari itu," sentak Gabriella, menarik kasar Yerinsa agar kembali duduk.Yerinsa menoleh tercengang. "Apa maksudmu dia pantas mendapatkan itu? Kamu mendukung Ayah melakukan kejahatan?" tanyanya tidak percaya."Sayang, percayalah pada Ayahmu, dia ingin kita semua kembali, seperti dulu lagi, mengertilah," ujar Margareth lembut mengusap pipi basah Yerinsa."Tapi, tidak perlu dengan hal keterlaluan seperti ini, Bu. Jangan melukai

  • Obsesi sang protagonis   Bab 100

    ***Kerinduan yang terpendam selama berbulan-bulan membuncah di mata biru itu, segera pandangan Yerinsa buram akibat berkaca-kaca. Bahagia menggelegak dari lubuk hati begitu melihat sosok Gabriella, Margareth, lalu disusul Arbady turun dari helikopter dibantu beberapa orang berpakaian hitam tebal seperti jaket boomber.Mereka benar-benar di sini, melihatnya, bertatapan dengannya penuh rindu, dalam jarak yang hanya terpaut lebih dari sepuluh meter.Satu langkah pertama Yerinsa ambil saat helikopter dimatikan dan udara sekitar menjadi tenang, lupa bahwa tadi berlari bersama Luga hingga tautan tangan itu terlepas untuk menyongsong menyambut keluarga tercinta.Luga menatap tangan sendiri yang menggantung di udara, kehangatan kecil dari tangan lembut menghilang perlahan. Menatap punggung sempit bak peri yang berlari menuju gerbang kehidupan alam bebas, tangan Luga mendadak terkepal."Ibu," lirih Yerinsa dengan setetes linangan air mata jatuh di pipi, menatap sang ibu yang juga mendekat."A

  • Obsesi sang protagonis   Bab 99

    ***Yerinsa mengangguk sambil menerima jabat tangan itu, bangkit berdiri di atas kekuatan kaki sendiri. Aroma musk yang familiar di hidung Yerinsa sekarang tercium dari tubuh Luga bersama campuran wangi mint dari sabun mandi."Ayo turun sekarang," ajak Yerinsa saat tangan sudah digenggam erat.Baru saja akan melangkah lebih dulu memimpin jalan ke arah pintu keluar, niatnya tidak bisa terlaksana karena kaki Luga masih terpaku kuat di lantai, tidak bergeser saat ditarik."Ada apa?" tanya Yerinsa heran, menoleh menatap Luga yang masih diam."Morning kiss, kamu belum memberikannya," kata Luga dengan dahi berkerut samar."A- ... Oh," gumam Yerinsa gugup, masih ada dua pelayan selain mereka di kamar ini, jadi mendadak canggung oleh kalimat Luga yang diucapkan tanpa malu.Luga melirik Chang Mei dan Ruan Ruan yang menjadi sumber kegugupan Yerinsa. Dengan gerakan bola mata saja sudah cukup membuat mereka mengerti dan merundukkan tubuh."K-Kalau begitu kami permisi, Nona, Tuan." Chang Mei berka

  • Obsesi sang protagonis   Bab 98

    ***Hari yang dinanti Yerinsa selama dua hari belakangan, tidak, lebih tepatnya tujuh bulan ini, akhirnya tiba. Bangun pagi dengan semangat empat-lima bahkan sebelum Chang Mei dan Ruan Ruan membangunkan.Saat dua pelayan itu memasuki kamar, Yerinsa sudah berendam di air hangat dalam bathup. Bersenandung kecil sambil memainkan busa sabun yang menggunung di permukaan air hingga wangi semerbak memenuhi kamar mandi.Jadi, setelah Yerinsa keluar kamar mandi, Lolita dress hitam beserta seluruh aksesoris dari atas kepala hingga ujung kaki sudah disiapkan Ruan Ruan, sementara Chang Mei menunggui di depan pintu ruang ganti."Anda sangat senang, Nona," komentar Chang Mei sambil membantu mengeringkan sisa bulir air di wajah dan leher Yerinsa."Tentu, hari ini akhirnya aku dijemput keluargaku," balas Yerinsa lebih bersemangat dari hari biasanya.Dua pelayan yang membantu Yerinsa mengenakan pakaian itu saling tatap sejenak, ada sepintas keresahan di sorot mata mereka sebelum menatap Yerinsa dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status