Brak!Ponsel Ivy terempas jatuh. "Apa kau bilang?" Mata Daniel memerah tak percaya. "Kau ingin apa?"Ivy mundur, menyadari kemarahan Daniel yang meluap-luap. Setelah sekian lama, dia tak pernah melihat Daniel semenakutkan ini.Daniel mengungkung tubuh Ivy yang bersandar pada pagar balkon. "Dengar Iv! Aku sudah cukup menahan diri selama ini. Apa kau tak melihat pengorbananku? Aku ... Daniel Forrester merendahkan diri dan menuruti semua keinginanmu, tidak bisakah kau menghargaiku?" Setiap ucapan Daniel disertai kertak gigi."Aku pernah menghargaimu, sangat menghargaimu sampai menolak semua pria yang mendekatiku. Bahkan berniat mati demi kau dan anak kita. Tapi itu dulu, Daniel. Aku juga bukan Ivy yang sama. Aku bukan ibu yang baik buat Dean, bukan istri sempurna. Jadi buat apa? Buat apa kau mempertahankan istri seperti ini?" Ucapan Ivy semakin melukai hati Daniel.Andai wanita ini tahu betapa besar cintanya pada Ivy, mungkin dia tak akan mengeluarkan kalimat tajam itu. "Aku juga bukan p
Dokter kenalan Daniel menatapnya dalam. "Obat ini mengandung prostaglandin. Memang bisa membuat janin gugur jika dikonsumsi terus menerus."Jantung Daniel berdetak kencang. "Jika seseorang yang tak hamil, tapi juga tak haid mengonsumsinya buat apa?""Tidak mungkin, kecuali ada gangguan haid baru diminum."Daniel mengangguk mengerti. "Terima kasih, Dok." Setelah itu ia pamit pulang.Di dalam mobil, Daniel menatap laporan pengeluaran kartunya. Ivy memang tak pernah menggunakan tunai, biasanya sang istri menyuruh Jenna atau pergi berbelanja sendiri dengan kartu pemberian Daniel."Tidak mungkin," gumam Daniel. Ia telah mencocokkan harga dan jumlah yang dibeli Ivy, juga jumlah obat yang sudah dipakai. Ivy bahkan masih sempat berhubungan intim dengannya, kenapa dia harus minum obat ketika haidnya teratur. Apa Ivy sempat hamil? Apa dia mau menggugurkan kandungan, tidak mungkin juga obat ini dikonsumsi setiap hari? Jelas bisa membahayakan tubuhnya. Tunggu dulu! Daniel juga menggunakan kondom
"Apa?! Jangan sembarangan memfitnah Ivy! Dia bukan wanita jahat seperti dalam pikiranmu!" hardik Daniel. "Jus yang kuminum tiap hari! Pasti dia memasukkan sesuatu! Aku selalu minum vitaminku, selalu tidur awal, selalu menjaga asupan makananku! Tidak mungkin! Tidak mungkin aku bisa keguguran!" Molly meracau histeris."Molly sudah! Cukup! Bisa saja kau kecapean dan semua itu terjadi!" Daniel memegang lengan Molly, berusaha menenangkannya."Tidak! Aku yakin! Aku yakin pelakunya Ivy! Dia pelakunya! Dia jahat! Dia wanita paling jahat!"Plak!Satu tamparan kuat membuat Molly terhenyak. Matanya membola tak percaya. "Kenapa?" Air mata jatuh bagai rinai hujan. "Kenapa kau selalu membelanya? Kenapa?" Tenggorokannya terasa tercekat, hatinya berdenyut menyakitkan."Aku menamparmu agar sadar!""Ini juga anakmu, apa kau tak peduli padanya? Kenapa hanya Ivy dan Dean yang kau pedulikan?""Karena aku tak menginginkanmu, anak kita juga adalah kecelakaan."Molly menggigit bibir sampai berdarah. "Tapi a
Rasa sakitnya semakin parah saat dia berusaha membuka pakaian dalam dan mengangkat gaun malamnya ke atas. Molly sampai harus duduk di closet sejenak saking tak bisa berdiri terlalu lama.Ia gemetar hebat sewaktu merasakan sesuatu meluncur turun dari area intimnya, suaranya terdengar keras. Dengan jantung berdegup tak karuan, Molly menatap ke bawah."Oh God! Tidak! Tidak!" Molly menjerit histeris sewaktu menyadari apa yang baru saja jatuh dari dalam tubuhnya. Darah. Tidak! Itu gumpalan darah. Itu bayinya yang belum terbentuk sempurna. Ia menangis keras, memohon bahwa ini hanya mimpi buruknya semata.Lebih parahnya lagi, aliran darahnya tak mau berhenti. Molly mulai merasa kehilangan fokus, kepalanya terasa ringan. Dia harus segera mencari pertolongan, jika tidak ... bukan bayinya saja yang hilang, tapi juga nyawanya.Molly bertumpu pada dinding, berjalan lamban keluar dari kamarnya. Di luar tak seorang pun tampak. Para pelayan sedang tertidur nyenyak. Ia tak tahu harus meminta bantuan
Daniel membuka matanya karena sinar matahari yang menerobos masuk lewat jendela, membuat sisi wajahnya terasa panas. Ia mengusap mata, menguap lebar. "Ivy?" Hal pertama yang Daniel cari adalah istrinya.Ivy tak terlihat di tempat tidur di sampingnya. Daniel segera berdiri, memakai pakaiannya tanpa memedulikan setiap orang bisa melihatnya lewat jendela yang terbuka.Daniel kemudian berdiri di depan jendela, menatap pantai yang masih sepi di pagi hari. Ternyata Ivy sedang berjalan di tepi pantai, tampak kesepian dengan pandangan sayu.Dengan sekali lompatan tinggi, Daniel keluar dari jendela. Ia berlari tanpa alas kaki menyusul istrinya. Saking dalamnya pikiran Ivy, dia tak menyadari kehadiran Daniel, air mata mengenang di pelupuk mata, beba menyesakkan dada membuatnya sulit bernapas kala udara begitu segar.Daniel yang ingin mengagetkan Ivy langsung mengurungkan niatnya. Apa yang membuat Ivy terlihat begitu sedih? Apa dia melakukan kesalahan lagi?Ivy memukul dadanya berulang kali, pik
Sekretaris Daniel tiba dalam setengah jam, ia mengetuk pintu kamar Ivy. Daniel yang sudah tak sabar lagi langsung menemuinya, mengambil barang pesanan dan menyuruh pria itu pulang. Daniel membuka pakaiannya terburu-buru, lalu memeluk Ivy dan menciumi seluruh bagian wajah istrinya. Ah, betapa dia merindukan kebersamaan mereka. Ivy menahan diri agar tetap tenang. Kebanyakan menutup mata supaya dia tak ketakutan atau membayangkan wajah Christian dalam rupa Daniel. "Iv ...." Daniel merasakan tubuh Ivy gemetar pelan. "Its okay! Jangan khawatir. Tapi maaf, aku harus terus menutup mata." Ivy membalas pelukan Daniel. Daniel memaklumi hal tersebut, dia bersyukur Ivy tak lagi menolaknya. Dengan tergesa, pria tampan bermata hijau itu merobek bungkus pengaman, memakaikannya ke tonggak panasnya yang sudah sekeras kayu. "Ivy, aku janji akan hati-hati." Mereka sudah lama tak melakukannya, Daniel menjadi takut menyakiti Ivy. Tangan besar pria itu merambah seluruh bagian tubuh istrinya,