Share

Terusir

         Dua minggu berlalu begitu saja, setiap harinya aku hanya menghabiskan waktu dengan Bi Inah, dengan komunikasi yang amburadul. Sering terjadi diskomunikasi dengannya, Bi Inah tidak paham apa yang kumaksud atau aku yang tidak memahami apa yang dimaksud Bi Inah.

Namun, satu paling harus ku syukuri, Bi Inah sangat peduli padaku dan aku banyak belajar bahasa Indonesia dengannya. Setidaknya cara pengucapanku tidak begitu buruk lagi untuk beberapa kata yang sering salah pengucapan.

Dalam dua minggu ini juga aku tidak bisa menghubungi Mommy, aku semakin bingung dengan apa yang sedang Mommy rencanakan. Seandainya aku tidak mengabari Mommy bahwa aku sudah sampai di Indonesia, apakah Mommy akan mencariku?

Sesuai informasi Bi Inah, hari ini Opa dan Oma akan pulang dari liburannya, aku tidak tahu bagaimana harus menyambut mereka, bagaimana aku harus menghadapi Oom dan Tanteku, beserta keluarga lainnya.

Dari yang aku baca, sistem kekeluargaan bagi orang Indonesia sangat kental. Mungkin mereka akan menerimaku dengan baik sebagai anak dari kakak tertua dirumah ini, tetapi mengingat Opa yang sudah berjanji menjemputku di Bandara, tetapi ternyata sedang liburan, membuatku tidak yakin dengan apa yang aku baca.

Dari kamarku di lantai dua, kudengar samar-samar ada suara dibawah. Dengan ragu-ragu aku turun, bagaimanapun aku harus menghadapi semuanya. Kulihat Opa dan Oma dengan rambut yang sudah didominasi warna putih, tetapi masih tampak kuat dan sehat.

“Hai Opa, Oma..” Sapaku dengan ragu

Seketika semua orang memandang aneh ke arahku, dan itu membuatku semakin gugup. Aku tidak tahu siapa saja mereka, aku hanya mengenali Opa dan Oma lewat foto saja. Kami sama sekali tidak pernah bicara lewat telefon, karena memang Mommy tidak pernah mengenalkanku pada keluarga besarnya.

“Are you Henzie?” (“Apakah kamu Henzie?”)

Tanya seorang pria dengan perawakan tinggi, mungkin dia Oom ku, karena sedikit mirip dengan Mommy.

“Ya Oom.” Aku menjawab dengan senyuman penuh keraguan

“Kamu tahu aku Oom kamu karena wajahku terlihat mirip dengan Ibumu?”

“Sorry, can you speak a little slower? I can't understand.” (Maaf, bisakah Anda bicara sedikit lebih lambat, aku tidak paham.”)

"You know I'm your uncle because my face looks like your mom?" (“Kamu tahu aku Oom kamu karena wajahku terlihat mirip dengan Ibumu?”)

“Ya benar.” Jawabku merasa senang

Kondisi saat ini benar-benar sangat kaku, kulihat wajah Opa yang tidak begitu menyukai kehadiranku, tetapi beda dengan Oma yang tersenyum lalu memelukku.

“Kamu sudah dewasa.”

Ucapnya pelan, lalu menggandeng tanganku kedalam rumah, aku sedikit lega. Lalu semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Aku belum berkenalan dengan yang lain, tetapi sepertinya mereka tidak begitu peduli dengan kehadiranku. Opa dan Oma duduk disofa, lalu Oma memintaku duduk didepannya.

“Kami senang kamu sampai dengan selamat. Tapi kamu bukan tanggung jawab kami, kamu urus saja bagaimana rencana-rencanamu selanjutnya.” Ucap Opa dengan tegas

Aku kebingungan, karena aku tidak paham secara keseluruhan apa yang Opa katakan. Tapi aku tidak berani bertanya apa maksud Opa.

“Kamu cari tempat tinggalmu, Opa tidak nyaman jika kamu ada dirumah ini.”

Aku paham inti dari kalimat Opa kali ini, dan aku mengangguk.

“Bisa saya pergi sekarang?” Tanyaku terbata-bata dan Oma menahan tanganku

“Besok saja, kamu bisa tidur sekarang.” ucap Oma pelan dengan mata berkaca-kaca

Aku segera masuk kekamar yang kutempati dua minggu terakhir. Aku menangis, aku kehilangan arah. Mommy janji akan ada banyak cinta yang menyambutku di Indonesia, tapi kenyataanya semua orang mengharapkan aku pergi. London atau Indonesia sama saja, semua menolak kehadiranku, tidak ada cinta.

Bahkan Mommy juga tidak bisa dihubungi, dan malam ini aku terusir. Bagaimana aku harus melanjutkan hidup didunia yang semuanya sangat asing? Aku merasa terbuang ditempat yang sama sekali tidak kupahami.

Dengan airmata masih menganak-sungai aku mencoba mencari hotel yang akan kutempati untuk sementara waktu. Walaupun Oma menahanku untuk pergi besok, tapi sebisanya aku akan keluar malam ini juga dari rumah ini. Aku menunggu Opa dan Oma selama dua minggu, tapi inilah hal yang kudapatkan setelahnya.

Mungkin Bi Inah mendengar percakapan tadi, Bi Inah mengetuk pintu kamar yang kutempati. Aku membukanya dan memeluk Bi Inah, aku tidak punya siapa-siapa saat ini selain Bi Inah. Bi Inah paham sekali apa yang kurasakan, dia memelukku dan mengelus lembut punggungku.

“Sudah Non, jangan menangis. Non jauh-jauh dari luar negeri sana sendirian, berarti Non bisa bertahan juga sendirian di tempat baru.”

Aku tidak begitu paham arti dari kalimat Bi Inah, tapi yang kutangkap adalah dukungan dari Bi Inah untukku.

“Bi Inah, I will find a hotel and will move to the hotel tonight.” (“Bi Inah, Aku akan cari hotel dan akan pindah ke Hotel malam ini.”)

“Hotel?” Tanya Bi Inah

Mungkin hanya kata hotel yang bisa Bi Inah pahami dari apa yang aku katakan. Dan aku menganggukkan kepala. Bi Inah langsung berdiri dan membereskan barang-barangku ke koper. Aku bisa merasakan cinta Bi Inah yang tulus, walaupun dia sama sekali tidak mengerti bahasa Inggrisku tapi dia mengerti hatiku, dan bagiku hal seperti itu sangat menghangatkan jiwaku yang dingin.

Tidak butuh waktu lama, Bi Inah sudah merapikan semuanya. Dan meminta ponselku, lalu menyimpan nomor ponselnya. Aku tersenyum dan memeluknya lama. Aku butuh sosok seperti Bi Inah dalam hidupku, tapi tempat ini bukanlah tempatku, aku harus melepaskannya juga.

Bi Inah membantuku memesan taksi online, dan juga membantu membawakan koperku. Aku berniat pamit pada Oma, tetapi ketika ingin menemui Oma. Opa mengibaskan tangannya isyarat menyuruhku pergi saja. Dan akupun pergi tanpa pamit pada Oma.

Aku pergi, ya aku terusir lagi.

Jika kau sedikit peka, dalam keterasingan sekalipun,

masih ada Cinta yang bisa kau rasakan”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status