LOGINHari-hari setelah percakapan tentang Hamburg berjalan seperti air sungai yang tenang di permukaan, namun deras di bawahnya. Nadia tetap membuka cafe setiap pagi. Ia menyapa pelanggan, menyeduh kopi, tersenyum, bercanda. Namun di sela-sela rutinitas itu, pikirannya sering melayang jauh. Setiap sudut cafe kini terasa lebih bermakna, seolah ia sedang berpamitan, meski belum benar-benar pergi. Daniel tidak mendesaknya. Ia belajar untuk menunggu. Ia membantu di cafe, membersihkan meja, mengantar pesanan, bahkan belajar mencatat stok biji kopi. Setiap sore, mereka duduk berdampingan tanpa selalu bicara dan justru dari situlah Nadia melihat kesungguhan Daniel yang baru: ia tidak lagi ingin menjadi tamu dalam hidupnya. Suatu sore, Nadia menemukan Daniel berbicara lewat telepon di sudut cafe. Wajahnya serius, nada bicaranya rendah namun tegas. Ia tidak menguping, tapi ia tahu dunia Daniel kembali mengetuk pintu. Setelah panggilan itu selesai, Daniel mendekat. “Hamburg?” tanya Nadia pela
Pagi di Ubud terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menyelinap perlahan ke dalam kamar, menyentuh wajah Nadia yang terjaga sejak subuh. Ia tidak langsung bangun. Pikirannya masih tertinggal pada percakapan semalam, kata Hamburg yang kini tak lagi terasa asing, namun juga belum sepenuhnya ramah. Daniel tertidur di sisinya, napasnya teratur. Untuk sesaat, Nadia kembali menatap wajah lelaki itu, lelaki yang hidupnya berdiri di dua dunia yang sangat berbeda. Dunia yang dingin, rapi, penuh angka dan keputusan besar. Dan dunia kecilnya di Ubud hangat, berantakan dengan caranya sendiri, dan penuh mimpi yang tumbuh perlahan. Ia bangkit pelan, menuju dapur kecil. Saat sedang menuang air panas ke cangkir, Daniel muncul di ambang pintu. “Kamu bangun cepat,” kata Daniel, suaranya masih serak. Nadia tersenyum tipis. “Aku sulit tidur lagi.” Daniel mendekat, bersandar di meja. Ia tidak langsung bicara. Ada sesuatu yang jelas ingin ia sampaikan, tapi ia memilih waktu yang tepat sepert
Malam itu, Ubud terasa terlalu sunyi untuk dua orang yang sedang dipenuhi kata-kata yang belum terucap. Hujan turun perlahan, mengetuk atap kafe dengan ritme yang konstan, seolah memberi waktu bagi siapa pun di bawahnya untuk berpikir. Nadia duduk di kursi rotan dekat jendela, secangkir teh di tangannya sudah lama dingin. Daniel berdiri di dekat pintu, memandangi halaman yang basah, punggungnya tegang seperti sedang menahan keputusan yang berat. Sudah hampir satu jam mereka diam. Bukan karena marah. Bukan karena tidak peduli. Justru karena terlalu banyak yang dipedulikan. Daniel akhirnya berbalik. Ia melangkah pelan mendekati Nadia, lalu duduk di hadapannya. Tangannya bergerak ragu, lalu berhenti di atas meja cukup dekat, tapi tidak menyentuh. “Nad…” suara Daniel rendah, hati-hati. “Aku sudah memikirkan ini sejak tadi sore.” Nadia mengangkat wajahnya. Matanya tenang, tapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan. “Apa pun yang akan kamu katakan,” ujar Nadia pelan, “tolong
Pagi itu terasa terlalu tenang untuk sebuah perubahan besar. Nadia bangun lebih dulu. Ia menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur, dan kopi hitam untuk Daniel. Ia melakukan semuanya dengan gerakan ringan, seolah takut suara kecil apa pun akan membangunkan kebahagiaan yang masih rapuh. Daniel keluar dari kamar dengan rambut masih sedikit berantakan. Ia tersenyum melihat meja kecil di teras. “Kamu bikin ini semua?” tanya Daniel. Nadia mengangguk. “Bukan sesuatu yang mewah.” Daniel mendekat, mengecup keningnya singkat. “Ini mewah bagiku.” Namun bahkan saat mengucapkannya, ponsel di tangannya bergetar. Daniel menegang refleks yang tidak luput dari perhatian Nadia. Ia melirik layar itu. Satu email. Dari Rebecca. Daniel tidak langsung membukanya. Ia menaruh ponsel terbalik di meja, mencoba fokus pada Nadia. Tapi matanya sudah berubah menjadi lebih waspada, lebih serius. “Ada apa?” tanya Nadia lembut, meski dadanya sudah berdebar. “Pekerjaan,” jawab Daniel cepat. Terl
Pagi di Ubud datang perlahan, seperti seseorang yang tidak ingin mengganggu ketenangan. Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, burung-burung kecil bernyanyi tanpa tergesa, dan cahaya matahari menyusup malu-malu ke sela dedaunan. Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Ia merasakan kehadiran lain di ruangan itu, napas yang tenang, hangat, dan nyata. Daniel tidur di sisinya, satu lengannya terulur di atas bantal kosong, seolah semalam ia mencari sesuatu bahkan dalam tidurnya. Untuk sesaat, Nadia hanya menatapnya. Wajah lelaki itu terlihat berbeda ketika tidak sedang memikul dunia di bahunya. Tidak ada ketegangan di rahang, tidak ada garis keras di kening. Hanya Daniel lelaki yang jatuh cinta padanya di sebuah cafe kecil, jauh sebelum kata perusahaan dan Eropa menjadi bayangan besar di antara mereka. Ia bangkit perlahan, berusaha tidak membangunkan Daniel. Namun saat ia melangkah menuju pintu, tangan Daniel meraih pergelangan tangannya. “Kamu mau ke mana?” suara Daniel sera
Malam di Ubud terasa berbeda sejak Daniel kembali. Udara tetap hangat, angin tetap lembut, tapi ada ketegangan halus yang menggantung di antara mereka tapi bukan ketegangan buruk, melainkan kesadaran bahwa sesuatu telah berubah. Mereka duduk di teras belakang kafe Nadia. Lampu kuning kecil menyala temaram, menyinari meja kayu yang sudah menemani Nadia sejak awal ia membuka tempat ini. Daniel duduk di seberangnya, kedua tangannya saling bertaut, seolah sedang menahan kata-kata agar tidak tumpah terlalu cepat. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam. Diam yang kali ini tidak menyakitkan. Diam yang dipilih dengan sadar. “Aku tidak akan lama-lama di Bali,” kata Daniel akhirnya, memecah keheningan. Nadia mengangguk pelan. Ia sudah menduganya. “Kapan?” “Beberapa minggu lagi aku harus bolak-balik Eropa–Asia. Perusahaan belum sepenuhnya stabil" ucap Daniel. Nadia menatap wajahnya. Inilah pertama kalinya Daniel membicarakan perusahaannya tanpa menghindar. “Kamu selalu menyebutnya sek







