Membuka matanya perlahan sesaat setelah merubah posisi tidurnya karena merasakan cahaya masuk melalui celah jendela kamar. Mengerjap pelan, Disya bisa merasakan perih di kedua matanya, menghembuskan napas pelan sembari menarik selimut hingga ke leher.Menatap sekeliling kamar, hening dan sepi, tidak ada siapapun di kamar itu selain Disya. Tidak berpikir Devan meninggalkannya sendirian karena jas milik lelaki itu masih berada di atas bean bag. Matanya melirik ke arah jam dinding tua yang menempel di dinding, matanya membelalak terkejut, buru-buru menyibakkan selimut lalu turun dari kasur.“Ih Pak Devan kok ngga bangunin, sih?” cerocos Disya karena kini jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Mondar-mandir sambil menggaruk kepalanya, Disya bingung apa yang harus ia lakukan—handphone—Disya menatap handphonenya yang berada di atas atas nakas, charger masih menempel, yang artinya handphonenya sedang diisi daya.Seratus persen, daya baterainya sudah penuh—sudah pasti Devan yang melakukan
Berhenti berdebat di depan meja resepsionis ketika seorang lelaki tua datang dengan membawa dua mangkuk bubur ayam pesanan Samudra sebelumnya. Jangan kira perdebatan mereka berhenti begitu saja—perdebatan itu dilanjut saat keempatnya masuk ke dalam salah satu kamar yang ditempati Samudra dan Naya semalaman.Disya menjelaskan keseluruhan cerita tentang bagaimana pada akhirnya ia dan Devan bisa bermalam di tempat ini—tidak ada kebohongan sedikitpun, diawali ketika keduanya yang menghadiri acara pertemuan para wali murid di sekolah Kai, dilanjut mengunjungi resto milik salah satu wali murid untuk dinner, saat di perjalan pulang mereka harus menggunakan maps untuk petunjuk jalan karena ada perbaikan jalan di beberapa jalanan yang akan mereka lalui, dan berujung terjebak di tempat ini karena ada masalah dengan mobil yang dikendari keduanya.Melingkarkan tangannya di lengan Samudra. “Abang... Disya beneran jelasin yang sebenarnya kok,” kata Disya kembali meyakinkan, ketika Samudra masih men
Melangkahkan kakinya dengan tergesa di lorong rumah sakit, manik matanya dengan teliti mencari nama ruangan yang akan dikunjunginya. Karena langkahnya yang terburu-buru, perempuan itu bahkan sampai menabrak beberapa pekerja, maupun pengunjung di sana.‘Paviliun Amarta’Disya menemukan ruangan yang sedang dicarinya—tanpa banyak berpikir ia langsung membuka pintu di depannya bahkan tidak mengetuk terlebih dahulu. Membuat beberapa orang yang ada di dalam langsung menatap ke arahnya.“Hah... hah...,” Menghembuskan napas panjang karena bagaimanapun ia sampai di ruangan ini dengan tergesa, juga jantungnya yang berdetak lebih cepat dari biasanya karena rasa khawatir—tetapi tunggu—“Dio!” Perempuan itu ingin berteriak memanggil nama salah satu temannya, tetapi masih ia coba tahan karena mengingat ini adalah rumah sakit, walaupun begitu Disya sudah melotot kesal, tangannya mengepal ketika melihat lelaki itu sedang asyik menyantap pizza bersama dengan teman-teman yang lain—termasuk Alif—lelaki
“Disya?”Menggigit bagian bawah bibirnya sembari memejamkan matanya perlahan. Disya rasanya ingin menghilang ketika suara itu terdengar memanggil namanya—salah satu suara yang selama seharian ini coba ia hindari.“Kamu menghindari kami?”Membalikkan tubuhnya dengan pelan, Disya berusaha menampilkan senyum lebar ketika ia sudah menatap beberapa orang yang duduk di salah satu meja VVIP yang tersedia. “Oma Nia..,” sapa Disya mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan perempuan tua yang sedang duduk menatapnya dengan tatapan angkuh. “Disya dari pagi sibuk ngurus beberapa hal, jadi baru bisa nyapa sekarang, maaf ya Oma, Om, Tante..,” lanjutnya.“Mau taruhan ngga, pernikahan Samudra sama salah satu keluarga Ganendra hanya bertahan beberapa tahun?” tanya Angelina menatap keluarganya yang juga sedang duduk mengitari meja dengan senyum miring.“Dua tahun? Satu tahun?” Azura menebak.“Mending kalau nyampe tahunan, siapa tahu bertahan cuman beberapa bulan doang?” Vita—perempuan berambut
“You look so beatiful baby girl....”Tidak. Disya tidak bisa diperlakukan seperti ini, perempuan itu bisa merasakan hangat di kedua pipinya—sudah jelas pipinya pasti memerah karena ucapan mantan suaminya. Oh gosh! Sudah berapa lama pipinya tidak merasakan sensasi seperti ini?“Pak Devan mau dibawakan minum?” tanya Disya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.“...” Tidak menjawab, lelaki itu malah terus menatap manik mata Disya.Kembali mengalihkan pandangan. “Disya ambilkan minum dulu,” katanya yang sudah bersiap akan pergi, tetapi lengan kanannya dicekal oleh Devan, membulatkan matanya—tentu saja Disya dibuat terkejut dengan hal itu, dan berakhir mengurungkan niatnya untuk pergi. “Eum... butuh sesuatu yang lain, Pak?” tanya Disya lagi memastikan.“...” Lagi-lagi tidak ada jawaban. Disya malah mendapati tatapan Devan yang benar-benar tidak lepas dari maniknya, membuat detak jantungnya bergemuruh lebih cepat dari biasanya. Kan! Bagaimana bisa cepat move on, baru ditatap begitu saja ole
"Wah! Disya lo benar-benar luar biasa! Bisa buat seseorang kaya Bang Devan jadi bucin banget gini," komentar Gio yang baru saja membuka pintu kamar kakak sepupunya.Kamar luas dengan nuansa monokrom, hampir semua furniture dan segala pernak-pernik di dalamnya berwarna gelap. Namun, siapapun yang memasuki kamar ini pasti matanya akan langsung tertarik untuk menatap beberapa boneka yang ada di atas kasur. Warnanya bermacam ada pink, biru, purple—tentu saja warna-warna cerah seperti itu akan terlihat menonjol.Gio menggeleng-gelengkan kepalanya menatap sekitar, namun kakinya kembali melangkah menuju pintu yang akan mengantarkannya ke dalam ruang kerja Devan. Lelaki itu ditugaskan oleh Devan untuk mengambil map berwarna merah maroon di meja kerjanya.Gio mengeluarkan handphonenya, memotret kamar Devan sambil terkekeh lucu. "Ini kalau gue sebar di media bakal geger nih, seorang Devan Zayn Ganendra ngoleksi boneka-boneka warna pink di kamarnya...." Setelah selesai dengan kegiatan memotretny
Seluruh keluarga sudah mengetahui kabar perceraian Disya dan Devan—termasuk kelakukan gila Devan, serta rahasia yang pada akhirnya terkuak tentang siapa Ibu kandung Kai, pasalnya dulu Devan adalah lelaki yang sangat dingin, cuek, sama sekali seperti tidak tersentuh. Sepulangnya dari London, lelaki itu membawa seorang bocah yang diakui sebagai anak kandungnya, tapi Devan tidak pernah membicarakan tentang siapa dan bagaimana ibu kandung Kai sendiri.Devan itu tidak pernah mengenalkan seorang perempuan kepada keluarga besar. Disya adalah perempuan pertama yang Devan kenalkan sebagai istrinya, gadis itu juga baik, dan sudah akrab dengan keluarga besar Ganendra. Jadi, tentu saja mereka sangat menyayangkan jika mereka berpisah. Tapi... itu adalah konsekuensi yang Devan harus terima.Devan kembali menatap arlojinya, lalu menatap sekitar, menunggu kedatangan seseorang di Bandara. Senyumnya langsung merekah ketika kedua maniknya menemukan seseorang yang sedang berjalan ke arahnya dengan senyum
Wajahnya masih terlihat cantik seperti dulu, dengan netra berwarna coklat jernih, bibir tipis, dengan kedua pipi yang bulat—ingin rasanya Devan kembali membuat kedua pipi perempuan itu kembali bersemu merah, ingin sekali Devan mengelusnya lembut, mencubitnya dengan gemas."Aunty Nay mana?" tanya Maya saat melihat putra sulungnya berjalan menuruni tangga beriringan dengan Kai."Nanti menyusul katanya," jawab Kai yang langsung berjalan cepat dan duduk dipangkuan Disya."Kai sudah besar, Mommy keberatan itu kalau Kai duduk di pangkuannya," kata Maya menggelengkan kepalanya dengan terkekeh pelan."Mommy nanti mau pulang, aku mau meluk dulu Mommy sebelum Mommy pulang!" Kai melingkarkan tangannya di leher Disya, dengan tangan kanan yang masih memakan coklat yang belum juga habis sedari tadi."Padahal seharian penuh ini Kai sudah bersama Mommy kan?" tanya Maya menatap cucunya.Kai menampilkan cengirannya, dan malah semakin mengeratkan pelukannya.Devan ikut duduk di single sofa, menatap Samu