LOGIN
01
"Om, bisa bantu aku?" tanya Dilara Athreya, sembari menatap pria bersetelan jas biru itu lekat-lekat.
"Bantu apa, Ra?" Tadashi Yasuo balas bertanya.
"Ada mantanku di sini. Dari tadi dia maksa aku buat ikut dengannya," jelas Dilara.
Yasuo mengangkat alisnya. "Mantanmu? Yang mana?"
"Mas Vasant. Dia ada di situ." Dilara mengarahkan dagu ke sisi kanan, di mana sekelompok pria muda tengah berkumpul.
Yasuo memerhatikan lelaki yang dimaksud, lalu dia kembali mengarahkan pandangan pada putri sulung sahabatnya, Hamzah Naranaya.
"Oke. Apa rencanamu?" tanya Yasuo.
"Kita pamitan sama pemilik acara. Terus, kita keluar dari sini," terang Dilara.
Yasuo memindai sekitar. "Tunggu sebentar. Om mesti pamit sama teman-teman dulu."
"Aku ikut."
Yasuo tidak menyahut dan membiarkan lengan kirinya digandeng gadis bergaun panjang ungu. Yasuo mengarahkan Dilara menyambangi sekelompok pengusaha senior, dan berpamitan.
Belasan menit terlewati. Keduanya telah berada di mobil sedan mewah milik Yasuo. Kedua ajudan di kursi depan, saling melirik, sebelum kembali fokus memandangi area depan mobil.
Dakhdaar Adras yang menjadi sopir, mengulum senyuman mendengarkan celotehan Dilara, yang kentara sekali sangat manja pada Yasuo.
Emryn Ardhaman yang menempati kursi samping kiri sopir, berulang kali melempar pandangan ke luar kaca, untuk menahan senyumannya.
Kedua ajudan itu tahu jika Dilara memang sangat akrab dengan Yasuo. Selain karena sang om merupakan sahabat papanya, mereka juga sempat jadi tetangga pada 17 tahun silam.
Almarhumah Nina, Nenek Yasuo dari sebelah Ibu, bertempat tinggal di perumahan elite yang sama dengan yang dihuni Keluarga Dilara. Bahkan rumah mereka saling berhadapan.
Kala Nina sakit keras, Yasuo dan ibunya, Hana Helga, menemani Erina selama setahun lebih. Setelah sang nenek wafat, Yasuo dan Hana kembali ke Tokyo.
Yasuo merupakan anak sulung dari Tadaahi Makoto, seorang pengusaha asli Jepang. Yasuo memiliki 3 orang Adik, yang semuanya bermukim di Tokyo.
Tadashi Grup memiliki kantor cabang di Indonesia. Sebab itu, setiap 3 bulan Yasuo akan datang untuk mengontrol bisnisnya di Jakarta.
"Kamu mau diantarkan ke mana?" tanya Yasuo.
"Ke unitku," jawab Dilara, sebelum dia menguap untuk ketiga kalinya.
"Sejak kapan kamu pindah ke apartemen?"
"Sekitar 2 bulanan."
"Hmm, berarti setelah pertemuan kita terakhir di rapat kantor Dewawarman."
"Hu um."
"Kenapa pindah dari rumah ayahmu?"
"Aku sudah dewasa. Pengen mandiri."
"Berapa umurmu sekarang?"
"27. Hampir 28."
"Ehm, Om pikir kamu baru 21."
Dilara membulatkan mata. "Om, nih. Itu sudah lewat 7 tahun."
"Om ingatnya kamu baru lulus kuliah, Ra."
Dilara berdecih. "Om nggak berubah. Selalu menganggapku masih remaja."
Yasuo menyunggingkan senyuman. "Sorry. Om ingatnya kamu yang dulu. Keluar dari mobil pake toga, jerit-jerit sambil melompat, lalu meluk Om di depan banyak orang."
Dilara meringis. "Yang itu, jangan diungkit lagi, Om. Masa-masa paling memalukan buatku."
"Kamu pikir Om nggak malu? Habis itu, Om diinterogasi Mama dan kedua Adik Om yang rese itu."
"Interogasi, gimana?"
"Keluarga Om salah sangka, dikira mereka, kamu adalah pacar baru Om. Habis Om diomelin, karena pacaran sama anak kecil."
Dilara spontan mencebik, sedangkan Yasuo tersenyum lebar. Emryn dan Dakhdaar serentak terkekeh, sebelum cepat-cepat merapatkan bibir mereka, karena dicubiti Dilara yang kesal ditertawakan.
***
Hari berganti. Pagi itu, Dilara tengah membersihkan unitnya, ketika bel pintu berdering. Dilara mengernyitkan dahi, karena merasa tidak mengundang siapa pun, atau memesan sesuatu.
Dilara mendekati pintu dan mengintip dari lubang kecil. Namun, karena tidak bisa melihat siapa yang datang, akhirnya Dilara terpaksa membuka pintu sedikit dan melongok keluar.
"Hai, Sayang," sapa Vasant Bahadri, seraya menyunggingkan senyuman terbaiknya.
"Aku bukan sayangmu!" desis Dilara.
"Aku masih sayang kamu, Ra," bujuk Vasant.
Dilara memutar bola matanya, jengah dengan bualan pria tersebut. "Aku udah nggak sayang. Pergilah!" ketusnya sembari menutup pintu.
Vasant cepat-cepat menahan lawang itu. "Ra, izinkan aku masuk. Kita harus bicara."
"No!"
"Sebentar aja. 15 menit."
"Enggak mau!"
Vasant mengerahkan tenaganya kuat-kuat, hingga pintu terbuka lebih besar dan Dilara terdorong. Vasant bergegas memasuki ruangan dan menutup pintu, lalu mendekap Dilara yang spontan meronta-ronta.
"Lepasin!" pekik Dilara sambil berusaha mendorong sang mantan.
Vasant membekap mulut Dilara, lalu menyeret gadis itu menjauhi pintu. Dia tidak memedulikan gerakan Dilara yang masih berusaha meloloskan diri.
Vasant berhasil memasuki kamar dan segera menendang pintunya hingga tertutup dengan keras. Dia melepaskan dekapan dan beralih mengunci pintu, lalu menarik anak kunci untuk disembunyikan di saku celananya.
"Apaan, sih? Datang tanpa diundang dan maksa masuk!" hardik Dilara sembari memelototi lelaki yang mengenakan t-shirt hijau.
"Aku cuma pengen ngobrol sama kamu, tapi kamu malah ngusir. Akhirnya aku nekat begini," terang Vasant sambil melembutkan suara guna menenangkan pemilik unit.
"Buka pintunya. Kita bicara di luar!"
Vasant menggeleng. Lalu berpindah duduk ke tepi kasur. "Kamarmu, rapi dan bersih," ucapnya, sengaja mengalihkan perhatian Dilara yang masih memelototinya.
"Apa maumu? Cepat katakan!" desis Dilara.
"Duduk dulu, Ra."
"Enggak. Buruan ngomong! Aku sibuk!"
"Kita nggak bisa bicara kalau kamunya nggak duduk. Aku capek nenggak terus."
Dilara mengerucutkan bibirnya. Meskipun sebenarnya dia ingin terus marah, tetapi akhirnya Dilara memutuskan untuk mengikuti permintaan Vasant.
"Oke. Sekarang, jelaskan," cakap Dilara, sesaat setelah duduk di bangku dekat meja rias.
"Aku mau kita lanjutkan hubungan kita," tutur Vasant.
"Hubungan apa?"
"Pacaran, Ra. Aku beneran sayang sama kamu."
Dilara melengos. "Aku sudah nggak berminat jadi pacar pria brengsek kayak kamu! Lanjutkan saja hubunganmu sama si pelacur itu!"
Vasant mendengkus pelan. "Aku memang salah, Ra, tapi itu karena aku terpengaruh guna-guna yang dikirimkan Edna."
"Guna-guna?"
"Ya."
Dilara tersenyum miring. "Kamu pikir aku percaya? Dasar, pembual!"
"Kamu harus percaya. Itu hasil pengobatan spiritualku."
Dilara tercengang, sebelum menggeleng pelan. "Apa pun yang keluar dari mulutmu, aku nggak percaya!" tegasnya. "Sekali lagi kukatakan, nggak percaya!" geramnya sembari berdiri.
"Sekarang, kamu pergi. Sebelum aku memanggil sekuriti untuk menyeretmu keluar!" ancam Dilara sembari menunjuk ke pintu.
Vasant tersenyum miring. Alih-alih takut dengan ancaman Dilara, dia justru makin tertantang untuk menaklukkan Dilara.
Vasant berdiri dan menyambangi Dilara. Dia hendak menciumi gadis tersebut, yang spontan mundur hingga menabrak bangku.
Dilara menggapai apa pun dari meja rias. Kala Vasant mendekat, Dilara menghantamkan kotak aksesorisnya ke kepala pria itu, yang seketika mengaduh.
Belum puas sampai di situ, Dilara nekat menendangi area bawah tubuh Vasant hingga lelaki tersebut menjerit sembari memegangi bagian yang sakit.
Vasant terhuyung-huyung ke belakang, sebelum jatuh ke lantai sambil mengaduh. Dilara bergegas mendekat untuk mengambil kunci yang dikantongi pria itu.
Dilara berdiri dan menyambar tas kecil serta ponselnya di meja samping kiri kasur. Tanpa menghiraukan Vasant, Dilara membuka kunci pintu kamar, lalu keluar dan jalan cepat ke pintu utama.
05Dilara mengaduk-aduk mi ayam di mangkuk, tanpa berniat menyantapnya. Gadis bermata cukup besar itu masih memikirkan ucapan sang mama tadi siang, yang membuat mood-nya berantakan. Dilara dan Yasuo sudah berdiskusi. Pria berhidung bangir itu menyarankan agar Dilara mengungkapkan semuanya pada Hamzah dan Mega. Terutama karena Dilara tidak berniat untuk meneruskan hubungannya dengan Vasant. "Dimakan, Ra. Jangan cuma diaduk dan dipandangin," cetus Yasuo yang mengejutkan perempuan di seberang meja. "Aku ... nggak mood buat makan," kilah Dilara. "Enggak enak?" "Enak. Cuma hatiku yang kacau.""Karena balon hijau meletus?" "Ha?" Yasuo mengulum senyuman. "Bercanda. Supaya kamu senyum." "Ehm, ya." "Ke siniin mi-nya. Kuhabiskan." "Jangan. Ini, kan, bekasku." "No problem.""Om nggak jijik?" "Kenapa harus jijik? Kamu, kan, nggak menderita penyakit menular." "Bukan itu, tapi ini beneran bekasku." "Om masih lapar. Daripada mesan lagi, mending itu aja yang dihabiskan.""Tapi ...."Yas
04 Dilara memindai sekitar kamar tamu yang telah diubah sedikit letak kasurnya. Gadis bersetelan piama merah muda itu tersenyum tipis. Dia cukup puas dengan pengaturan tempat tidur yang sudah sesuai dengan keinginannya. Dilara mengalihkan pandangan ke lemari. Baju dan banyak aksesorisnya telah tersusun rapi. Demikian pula dengan beberapa tas dan sepatu, yang diatur berdempetan di bagian bawah. Tatapan Dilara beralih ke jam dinding. Dia membulatkan mata, karena baru menyadari bila waktu sudah bergeser ke tengah malam. Dilara keluar dari kamar terkecil di mansion itu. Dia menuju pantry untuk mengambil botol minumannya di kulkas. Dilara hendak kembali ke kamar, kala mendengar suara Yasuo. Dilara berpindah ke dekat pintu balkon. Dia mengamati lelaki tersebut yang tengah berdiri di dekat tembok, sembari berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. "Aku nggak tahu, besok bisa atau nggak ke sana, Wid," cakap Yasuo. "Aku tahu, Mas memang sengaja menghindariku," balas Widya Ma
03 Dilara memandangi deretan baju perempuan di lemari kamar kedua, yang bersebelahan dengan kamar tamu. Dia memilih setelan tunik hijau muda, lalu menarik benda itu. Dilara menutup pintu lemari, sebelum berpindah ke depan cermin. Dilara bergegas berpakaian, kemudian menyisiri rambutnya. Dilara bersyukur dalam hati, karena Mirai telah mengizinkan Dilara meminjam bajunya. Tadashi Mirai Shiori adalah Adik bungsu Yasuo. Usianya sama dengan Dilara dan hanya berbeda bulan. Mirai sudah beberapa kali ikut Yasuo dinas ke Jakarta, karena gadis itu tengah dipersiapkan untuk menggantikan tugas Kakak tertuanya tersebut. Sebab itu Mirai meninggalkan puluhan pakaiannya di kamar itu.Yasuo dan tim Eropa, akan melakukan proyek besar di salah satu kota indah di Inggris. Yasuo yang menjadi pimpinan proyek, akan menetap di sana hingga proyek tuntas dikerjakan. Yasuo tergabung di grup 4 PG, alias Perusahaan Gabungan buatan Artio Laksamana Pramudya, yang akrab dipanggil Tio. PG beranggotakan 50 pengusa
02Yasuo termangu, saat Dilara tiba-tiba muncul di lobi utama gedung apartemen yang ditempatinya. Wajah tegang Dilara menjadikan Yasuo membatalkan niatnya untuk bertanya, dan langsung mengajak gadis itu ke lift khusus penghuni mansion. Sepanjang jalan lift itu Dilara sama sekali tidak mengatakan apa pun. Dia baru menceritakan semuanya, setelah tiba di mansion sang om. Yasuo terkesiap sesaat, sebelum dia meraih ponsel dari meja guna menelepon Emryn, yang tengah libur dan menginap di kediaman Fikri, Kakak sepupunya. Yasuo menerangkan maksudnya dan Emryn berjanji akan mengecek ke unit apartemen Dilara. "Kamu tenang, ya, Ra. Emryn akan segera ke sana. Dia pasti mengajak semua sepupunya buat ngecek unitmu," cakap Yasuo seusai menutup sambungan telepon. "Aku benar-benar marah sama Vasant. Bisa-bisanya dia memaksa masuk!" desis Dilara sembari mengepalkan kedua tangannya. Yasuo menepuk pelan punggung tangan kiri Dilara. "Tindakanmu sudah benar, dan Om kagum dengan keberanianmu." Dilara
01"Om, bisa bantu aku?" tanya Dilara Athreya, sembari menatap pria bersetelan jas biru itu lekat-lekat. "Bantu apa, Ra?" Tadashi Yasuo balas bertanya. "Ada mantanku di sini. Dari tadi dia maksa aku buat ikut dengannya," jelas Dilara. Yasuo mengangkat alisnya. "Mantanmu? Yang mana?" "Mas Vasant. Dia ada di situ." Dilara mengarahkan dagu ke sisi kanan, di mana sekelompok pria muda tengah berkumpul. Yasuo memerhatikan lelaki yang dimaksud, lalu dia kembali mengarahkan pandangan pada putri sulung sahabatnya, Hamzah Naranaya. "Oke. Apa rencanamu?" tanya Yasuo. "Kita pamitan sama pemilik acara. Terus, kita keluar dari sini," terang Dilara. Yasuo memindai sekitar. "Tunggu sebentar. Om mesti pamit sama teman-teman dulu." "Aku ikut." Yasuo tidak menyahut dan membiarkan lengan kirinya digandeng gadis bergaun panjang ungu. Yasuo mengarahkan Dilara menyambangi sekelompok pengusaha senior, dan berpamitan. Belasan menit terlewati. Keduanya telah berada di mobil sedan mewah milik Yasuo.







