แชร์

Bab 04

ผู้เขียน: Olivia Yoyet
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-10-14 21:24:34

04 

Dilara memindai sekitar kamar tamu yang telah diubah sedikit letak kasurnya. Gadis bersetelan piama merah muda itu tersenyum tipis. Dia cukup puas dengan pengaturan tempat tidur yang sudah sesuai dengan keinginannya. 

Dilara mengalihkan pandangan ke lemari. Baju dan banyak aksesorisnya telah tersusun rapi. Demikian pula dengan beberapa tas dan sepatu, yang diatur berdempetan di bagian bawah. 

Tatapan Dilara beralih ke jam dinding. Dia membulatkan mata, karena baru menyadari bila waktu sudah bergeser ke tengah malam. 

Dilara keluar dari kamar terkecil di mansion itu. Dia menuju pantry untuk mengambil botol minumannya di kulkas. Dilara hendak kembali ke kamar, kala mendengar suara Yasuo. 

Dilara berpindah ke dekat pintu balkon. Dia mengamati lelaki tersebut yang tengah berdiri di dekat tembok, sembari berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. 

"Aku nggak tahu, besok bisa atau nggak ke sana, Wid," cakap Yasuo. 

"Aku tahu, Mas memang sengaja menghindariku," balas Widya Mahavira, kekasih Yasuo. 

"Enggak begitu." 

"Jangan bohong. Dari bulan lalu, Mas selalu membatalkan janji. Padahal waktuku di sini juga terbatas." 

Yasuo mendengkus. "Kan, kamu yang minta kita break dulu? Kenapa jadi nyalahin aku?" 

"Aku nggak nyalahin. Cuma pengen ketemu. Nggak boleh?" 

"Aku benar-benar nggak bisa. Ada hal yang mesti diurus." 

Helaan napas Widya terdengar dari seberang telepon. Yasuo tetap diam sembari memandangi pendaran lampu, dari banyak gedung lainnya di sekeliling. 

"Mas memang nggak pernah mau nyisihin waktu buatku, dan itu jadi alasan terkuatku buat menjeda hubungan kita," tukas Widya. "Sekarang, lebih baik diakhiri saja semuanya. Sebelum hatiku tambah sakit, karena disia-siakan," lanjutnya. 

"Oke, aku setuju," jawab Yasuo. "Aku juga capek, harus selalu ngertiin kamu. Sedangkan kamu nggak pernah paham dengan kehidupanku," sambungnya. 

"Sudah tepat keputusanku untuk berpisah, karena Mas nggak pernah mau mengalah dan menimpakan kesalahan padaku." 

"Stop! Aku capek dan mau tidur!" 

Yasuo memutuskan panggilan telepon. Dia menggertakkan gigi, karena kesal dengan ucapan Widya. Yasuo berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat, tetapi deretan kata itu akhirnya terlontar dari bibirnya. 

Dilara termangu. Baru kali itu dia mendengar Yasuo memaki. Sebab biasanya pria tersebut berlaku tenang dan bertutur kata cukup sopan. Dilara tidak berani mendatangi sang om yang masih mengomel. Dia berbalik dan jalan ke kamarnya, tanpa menyadari bila Yasuo telah melihatnya. 

Pria tersebut melengos. Yasuo meremas-remas rambutnya sembari menggerutu dalam hati, karena Dilara mungkin telah mendengar makiannya. 

Yasuo berpindah duduk di kursi balkon. Dia memandangi langit malam yang dipenuhi jutaan bintang. Embusan angin kencang tidak dihiraukan Yasuo. Dia tetap di tempat hingga merasa lelah dan ingin beristirahat.

*** 

Matahari telah naik sepenggalah ketika Yasuo keluar dari kamar utama. Dia tertegun menyaksikan Dilara yang tampak sibuk di pantry. 

Pekikan gadis itu menjadikan Yasuo segera mendekat. Dia menahan diri untuk tidak tertawa, menyaksikan Dilara memegangi tutup wajan, sembari menjauh dari kompor.

Tanpa mengatakan apa pun, Yasuo mengambil tutup kaca itu dari tangan Dilara, dan segera menutup wajan yang meletup-letup akibat gorengan ayam di sana. 

"Kalau ngegoreng ayam atau ikan, wajannya ditutup, supaya nggak nyiprat," tutur Yasuo. "Lebih bagus lagi, sebelum digoreng itu, kamu taburin tepung terigu dikit. Dijamin nggak nyiprat," terangnya.

"Ehm, aku nggak tahu tentang itu," kilah Dilara sambil merapikan rambutnya dengan jemari.

"Kamu beli ayam di mana?" 

"Di bawah. Pas joging tadi, ada mobil sayur lewat. Aku beli ayam, bumbunya, sama kemangi, timun, dan perlengkapan bikin sambal." 

"Kedengarannya enak. Aku jadi lapar." 

"Chopper di mana, Om?" 

"Buat apa chopper?" 

"Ngalusin cabe dan kawan-kawannya. Buat sambal." 

"Diulek aja, Ra." 

"Aku nggak bisa ngulek." 

"Geser. Biar aku yang bikin sambel. Kamu cuci aja timun dan kemanginya." 

"Oke." 

"Di kulkas kayaknya ada tahu. Nanti sekalian digoreng." 

Dilara tidak menyahut, melainkan langsung membuka pintu kulkas. Dia berjongkok untuk mengecek bagian bawah dan mengambil sebungkus tahu.

"Om, ini kimchi, kan?" tanya Dilara sembari menatap kotak bening persegi panjang. 

"Ya," sahut Yasuo yang tengah mengupas duo bawang.

"Aku mau." 

"Keluarin, taruh di meja." 

Belasan menit terlewati. Keduanya telah berada di meja makan. Mereka bersantap sambil sekali-sekali mendesis kepedasan. 

Dilara menyambar tisu dari meja dan mengusapkannya ke atas bibir. Dia menengadah dan seketika tersenyum, menyaksikan pipi Yasuo yang memerah, akibat kepedasan. 

"Om, nih, aneh. Dia yang nyambel, tapi malah kepedasan," ledek Dilara. 

"Kupikir cabe rawitnya nggak terlalu pedas. Makanya kumasukin 10 biji. Tahunya, jeletot," jawab Yasuo, sebelum meraih mug dan meminum airnya sampai habis. 

"Pantesan pedas banget. Cabenya banyak." Dilara menyendok sambal dan dipindahkan ke piringnya. "Tapi, enak banget ini. Suka aku," pujinya.

"Hmm, nanti kita belanja dan beli banyak cabe sama tomat. Om bikin sambal banyak dan simpan buat stok." 

"Ya, aku mau." 

Matahari bergerak cepat menuju siang. Yasuo dan Dilara telah berada di pusat perbelanjaan. Keduanya sedang berdiskusi untuk menentukan daging yang hendak dibeli, ketika seseorang menepuk pundak Yasuo dari belakang. 

"Mas, lagi belanja?" tanya Naomi Lucia Smith, mantan istri Yasuo.

"Ya," balas pria berkemeja biru pas badan. "Kamu, belanja juga?" tanyanya basa-basi. 

"Hu um." Naomi menunjuk troli di belakang. Kemudian dia mengamati kedua orang di hadapannya. "Dilara, betul?" desaknya sembari menatap perempuan berkulit putih. 

"Ya, Tante. Apa kabar?" Dilara bersalaman dengan perempuan yang pernah membuatnya patah hati, dulu.

"Kabarku, baik." Naomi memindai sekitar. "Aku nggak lihat ketiga adikmu," lanjutnya. 

"Mereka nggak ikut." 

"Ehm, sorry. Kami mau ke kasir," sela Yasuo. 

"Oh, sudah selesai belanja?" tanya Naomi. 

"Ya." Yasuo mengangkat kemasan daging yang menjadi pilihannya. "Duluan, Mi," sambungnya, sebelum mendorong trolinya menjauh. 

Naomi terus mengamati pasangan yang tengah menjauh. Dia mengernyitkan dahi, saat menyadari jika Dilara menggamit lengan kiri Yasuo. 

Naomi mendengkus kesal. Dia tidak suka jika ada perempuan yang dekat dengan Yasuo, seperti yang sudah-sudah. Naomi penasaran dan ingin menyelidiki kedua orang tersebut. 

Puluhan menit terlewati. Yasuo dan Dilara tengah memasukkan belanjaan ke mobil, kala ponsel gadis itu berbunyi dan menampilkan nama sang mama. Dilara bergegas menjawab panggilan itu dan mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam. Di mana, Kak?" tanya Mega Surinala. 

"Di tempat parkir, Ma. Baru beres belanja," jelas Dilara. 

"Sama siapa?" 

"Alia." 

"Langsung pulang ke apartemen. Jangan keluyuran terus." 

"Iya." 

"Jumat depan, ada undangan. Anaknya Om Erwin nikah. Kamu yang gantiin Papa sama Mama." 

"Tempatnya?" 

"Nanti Mama share lokasinya." 

"Oke." 

"Sabtunya, pulang. Keluarga Vasant mau berkunjung." 

"Ehm, ya." 

"Mama tutup dulu. Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam." 

Dilara masih memegangi ponsel, meskipun Mega telah mengakhiri pembicaraan. Dilara menengadah ketika dipanggil Yasuo, yang mengajaknya menaiki mobil.

"Om, Sabtu depan, keluarga Vasant mau ke rumah Papa. Aku mesti gimana?" tanya Dilara yang menjadikan Yasuo terhenyak.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Om, Nikah, Yuk!   Bab 05

    05Dilara mengaduk-aduk mi ayam di mangkuk, tanpa berniat menyantapnya. Gadis bermata cukup besar itu masih memikirkan ucapan sang mama tadi siang, yang membuat mood-nya berantakan. Dilara dan Yasuo sudah berdiskusi. Pria berhidung bangir itu menyarankan agar Dilara mengungkapkan semuanya pada Hamzah dan Mega. Terutama karena Dilara tidak berniat untuk meneruskan hubungannya dengan Vasant. "Dimakan, Ra. Jangan cuma diaduk dan dipandangin," cetus Yasuo yang mengejutkan perempuan di seberang meja. "Aku ... nggak mood buat makan," kilah Dilara. "Enggak enak?" "Enak. Cuma hatiku yang kacau.""Karena balon hijau meletus?" "Ha?" Yasuo mengulum senyuman. "Bercanda. Supaya kamu senyum." "Ehm, ya." "Ke siniin mi-nya. Kuhabiskan." "Jangan. Ini, kan, bekasku." "No problem.""Om nggak jijik?" "Kenapa harus jijik? Kamu, kan, nggak menderita penyakit menular." "Bukan itu, tapi ini beneran bekasku." "Om masih lapar. Daripada mesan lagi, mending itu aja yang dihabiskan.""Tapi ...."Yas

  • Om, Nikah, Yuk!   Bab 04

    04 Dilara memindai sekitar kamar tamu yang telah diubah sedikit letak kasurnya. Gadis bersetelan piama merah muda itu tersenyum tipis. Dia cukup puas dengan pengaturan tempat tidur yang sudah sesuai dengan keinginannya. Dilara mengalihkan pandangan ke lemari. Baju dan banyak aksesorisnya telah tersusun rapi. Demikian pula dengan beberapa tas dan sepatu, yang diatur berdempetan di bagian bawah. Tatapan Dilara beralih ke jam dinding. Dia membulatkan mata, karena baru menyadari bila waktu sudah bergeser ke tengah malam. Dilara keluar dari kamar terkecil di mansion itu. Dia menuju pantry untuk mengambil botol minumannya di kulkas. Dilara hendak kembali ke kamar, kala mendengar suara Yasuo. Dilara berpindah ke dekat pintu balkon. Dia mengamati lelaki tersebut yang tengah berdiri di dekat tembok, sembari berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. "Aku nggak tahu, besok bisa atau nggak ke sana, Wid," cakap Yasuo. "Aku tahu, Mas memang sengaja menghindariku," balas Widya Ma

  • Om, Nikah, Yuk!   Bab 03

    03 Dilara memandangi deretan baju perempuan di lemari kamar kedua, yang bersebelahan dengan kamar tamu. Dia memilih setelan tunik hijau muda, lalu menarik benda itu. Dilara menutup pintu lemari, sebelum berpindah ke depan cermin. Dilara bergegas berpakaian, kemudian menyisiri rambutnya. Dilara bersyukur dalam hati, karena Mirai telah mengizinkan Dilara meminjam bajunya. Tadashi Mirai Shiori adalah Adik bungsu Yasuo. Usianya sama dengan Dilara dan hanya berbeda bulan. Mirai sudah beberapa kali ikut Yasuo dinas ke Jakarta, karena gadis itu tengah dipersiapkan untuk menggantikan tugas Kakak tertuanya tersebut. Sebab itu Mirai meninggalkan puluhan pakaiannya di kamar itu.Yasuo dan tim Eropa, akan melakukan proyek besar di salah satu kota indah di Inggris. Yasuo yang menjadi pimpinan proyek, akan menetap di sana hingga proyek tuntas dikerjakan. Yasuo tergabung di grup 4 PG, alias Perusahaan Gabungan buatan Artio Laksamana Pramudya, yang akrab dipanggil Tio. PG beranggotakan 50 pengusa

  • Om, Nikah, Yuk!   Bab 02

    02Yasuo termangu, saat Dilara tiba-tiba muncul di lobi utama gedung apartemen yang ditempatinya. Wajah tegang Dilara menjadikan Yasuo membatalkan niatnya untuk bertanya, dan langsung mengajak gadis itu ke lift khusus penghuni mansion. Sepanjang jalan lift itu Dilara sama sekali tidak mengatakan apa pun. Dia baru menceritakan semuanya, setelah tiba di mansion sang om. Yasuo terkesiap sesaat, sebelum dia meraih ponsel dari meja guna menelepon Emryn, yang tengah libur dan menginap di kediaman Fikri, Kakak sepupunya. Yasuo menerangkan maksudnya dan Emryn berjanji akan mengecek ke unit apartemen Dilara. "Kamu tenang, ya, Ra. Emryn akan segera ke sana. Dia pasti mengajak semua sepupunya buat ngecek unitmu," cakap Yasuo seusai menutup sambungan telepon. "Aku benar-benar marah sama Vasant. Bisa-bisanya dia memaksa masuk!" desis Dilara sembari mengepalkan kedua tangannya. Yasuo menepuk pelan punggung tangan kiri Dilara. "Tindakanmu sudah benar, dan Om kagum dengan keberanianmu." Dilara

  • Om, Nikah, Yuk!   Bab 01 - Pacaran Dengan Anak Kecil?

    01"Om, bisa bantu aku?" tanya Dilara Athreya, sembari menatap pria bersetelan jas biru itu lekat-lekat. "Bantu apa, Ra?" Tadashi Yasuo balas bertanya. "Ada mantanku di sini. Dari tadi dia maksa aku buat ikut dengannya," jelas Dilara. Yasuo mengangkat alisnya. "Mantanmu? Yang mana?" "Mas Vasant. Dia ada di situ." Dilara mengarahkan dagu ke sisi kanan, di mana sekelompok pria muda tengah berkumpul. Yasuo memerhatikan lelaki yang dimaksud, lalu dia kembali mengarahkan pandangan pada putri sulung sahabatnya, Hamzah Naranaya. "Oke. Apa rencanamu?" tanya Yasuo. "Kita pamitan sama pemilik acara. Terus, kita keluar dari sini," terang Dilara. Yasuo memindai sekitar. "Tunggu sebentar. Om mesti pamit sama teman-teman dulu." "Aku ikut." Yasuo tidak menyahut dan membiarkan lengan kirinya digandeng gadis bergaun panjang ungu. Yasuo mengarahkan Dilara menyambangi sekelompok pengusaha senior, dan berpamitan. Belasan menit terlewati. Keduanya telah berada di mobil sedan mewah milik Yasuo.

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status