LOGIN“Siapa yang berani—”
Ucapan mereka terhenti melihat wajah familiar yang sering sekali mondar-mandir di layar kaca.
Bukan karena dia adalah artis, tetapi karena lelaki berparas seperti boyband itu adalah pebisnis kaya raya.
Media selalu menyoroti kehidupan seluruh anggota keluarga Tan. Satu dari beberapa keluarga yang cukup berkuasa di negara Elrion.
“Aku dengar obrolan kalian!” teriak seorang pria ketika masuk paksa ke kamar itu. “Dan aku sedang memanggil polisi!”
Lexton jelas membual.
“Apa?!”
Keempat penjahat itu nampaknya percaya. Mereka langsung panik. “Cabut, Bro!”
Tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung kabur begitu saja.
“Kalian tidak akan lolos!” seru Lexton dari ambang pintu. “Gila kalian!”
Segera, Lexton kembali ke dalam kamar. Mengecek kondisi gadis yang mereka bawa tadi. Ia menghembuskan napas lega. “Syukurlah! Mereka belum sempat membuka semuanya.”
Memang, mereka sempat membuka kancing kemeja Ivy, tetapi belum benar-benar melepasnya. Penutup dadanya pun masih terpasang.
“Halo!” Lexton mencoba membangunkan Ivy, tetapi tidak ada reaksi.
Mulailah Lexton menggunakan kekuatan fisik. Dengan menepuk pipi Ivy, mulai dari pelan-pelan sampai agak keras.
“Wah gila! Nggak bangun juga?!” tukas Lexton frustasi. Ia tidak tahu kalau Ivy juga diberi obat tidur oleh teman-temannya. “Kayaknya dia mabuk berat.”
Hari semakin malam. Lexton bermaksud mengantar Ivy pulang, kalau ia sudah sadar. Namun, sepertinya gadis muda itu tidak akan sadar sampai besok pagi.
Karena tidak tahu ke mana harus memulangkan gadis muda itu, Lexton memutuskan untuk menghubungi staf hotel.
“Selamat malam, ada yang bisa dibantu?”
“Staf kalian, perempuan yang bisa bersihin badan. Ada nggak?”
Mendengar suara familier itu, si penerima telepon langsung menyapa, “Se—selamat malam, Pak Lexton. Ada, Pak. Saya suruh ke kamar ini ya?”
Hotel Tanverra adalah salah satu hotel yang berada di bawah perusahaan sister yang dipegang oleh salah satu kakak perempuan Lexton.
“Yes! Buruan ya!”
“Baik, Pak Lexton! Selamat Malam!”
Lexton meletakkan gagang telepon itu dan kembali duduk di sofa sambil mengecek ponselnya. Sudah banyak pesan tak terbaca dan panggilan masuk yang tidak diangkatnya.
“Ha! Masih nggak nyerah juga mereka,” keluh Lexton yang malah mematikan daya ponselnya.
Sebenarnya, Lexton kabur dari acara reuni teman-teman SMA.
Karena begitu dia datang, banyak perempuan seolah ‘menjual’ diri mereka padanya. Mereka bahkan sampai menerornya lewat pesan dan panggilan telepon.
Ketika melewati lorong, Lexton mendengar 4 lelaki kekar tadi bicara hal yang tidak seharusnya dilakukan. Spontan ia mengikuti mereka dan masuk untuk menolong gadis malang itu.
Tengah melirik Ivy dari tempat Lexton duduk, tiba-tiba bel kamar berbunyi. Bahkan suara bel itu tidak berhasil membangunkan Ivy.
Dengan malas, Lexton bangkit dan membuka pintu.
“Selamat malam, Tuan Lexton. Layanan kamar—”
“Ya, ya!” Lexton memotong perkenalan staf hotel itu sambil membuka lebar pintunya. “Masuk saja! Jangan lupa kunci pintu!”
“Baik, Tuan Lexton.”
Wajah staf hotel perempuan itu terlihat bersemu merah sambil tersipu malu. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Ia pun mengekor Lexton semakin dalam ke area tempat tidur.
“Nah, itu!”
Lexton menunjuk ke arah tempat tidur, di mana Ivy masih tetap di posisi. Bahkan bajunya masih belum dikancingkan kembali.
“Tolong mandikan anak itu! Dia mabuk dan nggak bangun-bangun dari tadi.”
Dahi staf hotel itu berkerut bingung, kemudian berubah kecewa ketika melihat bahwa tubuh yang akan dia bersihkan bukanlah milik Lexton.
‘Sialan! Gue udah semangat tadi mengajukan diri!’ keluh staf hotel itu.
Walau tidak sesuai ekspektasinya, staf hotel itu tetap mengerjakan perintah Lexton sambil mengeluh dalam hati,
‘Apes bener! Gue kira bakal mandiin Tuan Lexton. Kenapa jadi cewek nggak jelas ini sih?!’
Staf hotel itu juga jadi bertanya-tanya, kenapa ada wanita muda di kamar yang sama dengan pria kaya raya incaran bayak wanita itu.
“Oh ya! Kalau hal ini kesebar di luar sana, berarti kamu pelakunya ya!” Lexton membaca nama yang tertera di dada kiri staf hotel itu, lalu mengeja dengan tegas, “Blondina!”
Sedikit takut, staf perempuan itu mengangguk. “Pa—paham, Tuan Lexton.”
Segera, staf itu membersihkan tubuh Ivy. Sekitar 15 menit kemudian, ia selesai.
“Ini, tip buat kamu!” Lexton memberikan puluhan lembar uang dengan nominal tertinggi di negara Nusaraya. “Sekalian uang tutup mulut!”
Mendapat uang banyak, staf itu berterima kasih lalu pamit pergi.
Lexton kembali memandangi gadis muda di atas kasur itu. Bahkan setelah diseka seperti itu, Ivy tidak juga bangun.
“Hei, kamu nggak takut aku melakukan hal buruk padamu, hm?” Lexton berharap Ivy bisa mendengarnya dan langsung bangun karena ketakutan.
Sayang, itu hanyalah harapan Lexton yang ketinggian.
Melihat kacamata bulat besar yang menutupi sebagian wajah Ivy, Lexton pun melepasnya. Ia terkejut.
‘Padahal cuma lepas kacamata, tapi aku bisa lihat wajah seluruhnya manis begini,’ batin Lexton sambil mengusap pipi Ivy.
Ujung jari Lexton tak kuasa meraba pelan, hingga ke bibir gadis yang masih tak sadarkan diri itu.
Hasratnya baru saja memuncak, ketika tiba-tiba tas Ivy yang ada di samping menarik perhatian Lexton.
Ada yang menyembul dari sela tas itu. Sebuah kartu pelajar.
“Ceroboh sekali!” gumam Lexton sambil menarik keluar kartu itu.
Netranya hampir lepas ketika membaca apa yang tertera di sana.
“Astaga! Anak kecil!”
“Wow!”Semua mata memandangi gaun Ivy yang memang luar biasa cantik. Mendiang ibunda Ivy—Adelle Whitmore, adalah model yang cukup terkenal di luar negeri. Terutama di negara Nexare. Namun, ia melepas semua itu demi mengikuti ayah Ivy—Vincent Adinata kembali ke tanah air Sundhara.“Ew! Please lah!” Mereka langsung kecewa begitu melihat Ivy.“Seenggaknya lu tuh pake bedak, Nerd!” tukas yang lain. “Lepas kacamata juga!”Kekehan geli mengelilingi Ivy. “Baju udah bagus banget, mukanya yang nggak dipermak!”Jesslyn sedikit iri dengan gaun itu. Ia tidak tahu kalau Ivy punya gaun secantik itu. ‘Kalau gue yang pakai, pasti lebih bagus!’Ivy tak peduli dengan omongan mereka. Yang penting ia datang sesuai aturan. Baginya itu cukup. Ia duduk di meja yang sudah diatur sesuai dengan nama. Menyebalkannya Ivy duduk di samping lelaki bernama Carlo. Karena nama lengkapnya Herace Carlo Omar, ia jadi berdampingan dengan Ivy.Ivy tahu, Carlo adalah kekasih dari Jemima Andhara, anak donatur kedua, yang
“Happy belated birthday, Iv!”6 hari lalu, tepatnya tanggal 9 September, Ivy Adinata resmi berusia 19 tahun. Air mata Ivy semakin tumpah tak keruan, karena ulah Lexton. “Atas dasar apa coba, kakak ngerayain ulang tahunku?”Lexton terkekeh. ‘Sambil nangis aja masih bisa komentar. Lucu amat botol yakult ini!’“Memang harus ada alasannya?” tanya Lexton sambil mencubit pipi gadis itu. “Aku tahu ulang tahunmu, ya kurayakan. Simple.”“Tapi kita kan baru kenal!”Ucapan Ivy seolah menarik Lexton pada kenyataan. Ia sendiri tidak paham kenapa saat mendengar kabar dari Samantha, tanpa pikir panjang langsung pergi ke rumah Ivy. Lexton mengesampingkan ketidaktahuannya. Ia mengangkat bahu sambil berkata, “Well, kalau memang butuh alasan, mungkin karena aku merasa bersalah.” “Bersalah? Karena?” tanya Ivy bingung. “Karena kartu namaku, kamu jadi mengalami hari yang buruk.”Ivy langsung menyeka air matanya. Membuat Lexton merasa bersalah, Ivy tidak suka itu. Dengan tegas ia berkata, “Nggak! Itu s
“Nah loh!”Beberapa mahasiswa mulai tertarik untuk melihat kelanjutan nasib Ivy—si ‘nerd’. Mereka tak lagi berbisik, menyuarakan pikiran.“Samantha pasti ngamuk nih!”“Mati lu, Nerd! Bisa dipenjara nyolong kartu nama Lexton Tan dari Samantha!”Ivy yang mendengar itu pun mulai panik. Ia tak menyangka kalau keponakan yang dia maksud adalah Samantha.Dari banyak omongan orang, Ivy tahu kalau Samantha bukan anak yang mudah didekati. Tentu saja, bukan karena Samantha gadis aneh seperti Ivy, tetapi karena dia tidak mau berteman dengan siapapun. Namun, Ivy tidak merasa ia perlu takut pada Samantha. Ia tidak berbuat kesalahan. “Gue nggak nyolong kartu nama itu, Samantha!” tegas Ivy sekali lagi. Kali ini ia menatap dalam-dalam ke arah Samantha. “Gue berani sumpah!”Sementara itu, Samantha sendiri merasa geram. Wajahnya yang sudah jutek karena selalu diam dan berkutat dengan pikirannya sendiri, semakin terlihat menyeramkan.Tidak ada yang tahu kalau dalam hati, Samantha sedang merutuki Lexton
“Oi, Nerd! Cariin tanda tangan kakak tingkat di BEM dong!”“Sekalian gue!”Semester pertama dimulai dengan kegiatan pengenalan kampus dan atributnya. Universitas Arkamaya menyelenggarakan masa orientasi hanya dalam 1 hari. Tugasnya pun hanya mengumpulkan 30 tanda tangan kakak tingkat mereka. Tidak harus yang berada dalam organisasi.Ivy menatap beberapa teman kuliahnya yang sudah mulai menumpuk buku mereka. Entah apa mereka ini masih bisa disebut teman. “5 aja. Kalau kebanyakan, kalian kena sendiri!” Ivy memperingatkan, demi kebaikan mereka. Yang lain langsung berdecak kesal. “Ck! Bener juga lu, Nerd!”Tanpa menunggu lagi, Ivy segera membawa 4 buku mereka. 5 termasuk miliknya. Ivy sibuk mencari kakak tingkat ke segala penjuru. Tentu saja, ia meminta 5 kali tanda tangan pada setiap orang. “Kamu bawa 5 buku?” tanya seorang kakak tingkat. Di lihat dari badge yang ada di dada kirinya, kakak tingkat adalah salah satu anggota eksekutif organisasi kemahasiswaan. Namanya Henoch F.T.Enta
“20 tahun?!”Ivy terkesiap ketika selesai menghitung jarak usia yang membentang jauh. Lexton hampir tersedak karena tak menyangka Ivy akan sekaget itu. Namun, percakapan mereka terhenti karena ponsel Lexton yang berdering lembut. Lexton mengangkat tangan ke arah Ivy, meminta waktu sesaat untuk menerima panggilan itu. Sementara menunggu, Ivy masih dalam mode tercengang. Ia tak menyangka, lelaki berusia 38 tahun itu memiliki wajah yang tidak sesuai dengan umurnya. Ketika kenyataan itu akhirnya Ivy terima, ia pun hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Bahunya terlihat turun, seolah menunjukkan level semangat yang ia miliki.Ia memutuskan untuk pergi. ‘Ah! Mending aku balik ke antrian. Kalau di sini aku—’Pikiran Ivy terhenti ketika tubuhnya tiba-tiba oleng. Seseorang sengaja menabraknya. “Uwah!” Karena sedang linglung, Ivy tak bisa menjaga keseimbangan. Buk!Ivy mendarat sempurna di dada Lexton. Untung saja, Lexton mendengar jeritan kecil Ivy dan segera berbalik untuk menjadi banta
“Ya elah! Dia lagi, dia lagi!”“Buset! Kirain udah mati Si Nerd!”Suara sumbang dan cekikikan itu ditujukan pada Ivy.Libur panjang masih tersisa 1 minggu lagi, sebelum perkuliahan dimulai. Namun, ia harus ke kampus hari ini, gara-gara ulah Jesslyn. Sepupunya itu mencabut aliran listrik dari jaringan internet di rumah saat Ivy tengah sibuk memilih jadwal kelas. Akhirnya, Ivy malah tidak mendapatkan kelas yang paling penting untuk semester 1 nanti. “Oi, Nerd!” teriak salah satu teman SMA Ivy. “Ambil kuliah apa lu?!”Mereka pasti melanjutkan jenjang ke Universitas Arkamaya. Sekitar 98% murid dari SMA Ivy memang tidak berniat melanjutkan pendidikan di luar instansi milik Yayasan Arkamaya Foundation.Universitas Arkamaya merupakan bagian dari yayasan Arkamaya Foundation yang menaungi seluruh jenjang sekolah mulai dari penitipan anak sampai universitas. Yayasan mereka bahkan selalu mengutamakan lulusan Arkamaya untuk bekerja di sana. Oleh karena itu, kebanyakan para murid sudah saling k