LISA POV 1
Tubuhku kaku, kenapa? Kedua tangannya, jemarinya menyentuh pipiku dan bibirnya masih berada di bibir ku. Aku bahkan tidak mampu menolak, atau membalas. Tangannya, jari-jarinya semakin lembut menyentuh wajahku dan saat tubuhku merasa terangsang, aku perlahan mengangkat tangan ku ke wajahnya, menyentuh kedua pipinya dan mulai membuka bibir ku sendiri, apa yang aku pikirkan? Aku membalas ciuman Om Tom, bahkan lebih agresif. Berapa detik sekarang? Berapa lama dia mencium ku? Berapa lama kami berciuman hingga akhirnya dia melepas bibirnya dariku? "Ah." Nafasnya terasa di wajahku, dan kini kami saling menatap satu sama lain, aku menelan saliva yang bercampur dengan miliknya, milik Om Tom. Dia membelalakkan kedua kelopak mata yang terbingkai kacamata itu, aku juga memperbaiki kacamata ku yang tadinya bertabrakan dengan miliknya. Lalu seolah dia menyadari sesuatu tubuhnya mulai menghindar cepat. "Lisa ... Astaga ... Aku minta maaf, Nak, aku betul-betul—" Prak! "Apa yang aku lakukan?" Prak! "Sialan! Dia anak sahabatmu! Bodoh!" Prak! Dia menampar pipinya sendiri beberapa kali, dan kakinya yang setengah pincang mundur ke arah meja. Aku masih kaku, membeku di tempat ku berdiri. "Om ... Om Tom." Dia berhenti dan bersandar di meja kerjanya, tangannya mengepal sementara pipinya memerah. Rambut tebalnya terlihat berantakan dan kami berada dalam senyap. Tatapan kami bertemu dan aku bertanya pada diriku sendiri, kenapa aku tidak mampu bergerak setelah mendapatkan apa yang aku inginkan selama ini? "Om benar-benar minta maaf, aku salah paham mengira—" "Mungkin sebaiknya Om istirahat." Aku menyahut dengan nada suara yang pelan. "Om juga harus melihat proyek yang dibuat ayahku untuk Om, jadi aku sebaiknya pergi." Aku merasakan ujung jemariku bergetar sementara Om Tom tak mengatakan apa pun, kami hanya saling menatap satu sama lain dalam beberapa detik sampai akhirnya keheningan pecah, aku nyaris terhentak saat bunyi deringan ponsel terdengar. Lucunya kamu juga punya nada dering yang sama jadi saat itu aku dan Om Tom mengecek ponsel kami masing-masing. "Iya, Lucas?" Dia bergetar, panggilan itu untuknya, dan aku kembali memasukkan ponselku ke dalam tas. Aku menatapnya saat raut wajah tegang miliknya berubah menjadi raut wajah lemas, dia bahkan nyaris terjatuh saat itu. "Apa maksudmu? Kenapa kau berkata omong kosong? Katakan dengan jelas, ada apa, Lucas?" Aku hanya menatap sejenak, dan meraih tingkat kayu coklat milik Om Tom, bertanya pelan, "Apa terjadi sesuatu, Om?" Matanya yang mengarah ke dinding kini dialihkan kepadaku, aku bisa merasakan ketegangan dalam dirinya, tentu, kami baru bertukar saliva sehingga ketegangan diantara kamu bahkan masih sangat terasa. Tetapi ada yang berbeda, dia nyaris jatuh. "Om." Aku meraih lengannya dan dia menatapku dalam diam, bibirnya bergetar sambil berkata, "Amanda ...." Dia nyaris pingsan, atau jatuh ke lantai seandainya aku tidak memeganginya erat-erat. Sampai saat ini aku masih bertanya, apa yang terjadi? "Om Tom ... Om baik-baik saja?" "Amanda kecelakaan ... Istriku di rumah sakit." Dia lemas, aku bisa merasakan tubuhnya tapi sesaat setelahnya dia kembali bangkit, tongkat kayu yang seukuran pinggangnya itu kini diraihnya. Dia mengambil ponselnya, lalu tak mengatakan apa pun padaku, Om Tom memilih pergi dari sana. Aku berdiri di dalam ruangan kerja pribadi Thomas Archer dan sekarang setelah dia mencium ku, dia meninggalkan ku dan menuju kepada istrinya.“Aku betul-betul tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku kehilangan Lisa, sama seperti aku kehilangan Hitch.” Ayah baru saja bangun dari pingsan, sementara aku duduk berselimut di sofa di ruangan utama keluarga Archer setelah semua tamu pergi. Annie juga terus meminta maaf kepadaku karena tidak bisa membantuku saat aku akan jatuh. “Semuanya baik-baik saja sekarang, Lisa juga tidak apa-apa.” “Terima kasih padamu, Tom.” Ayah menoleh pada Om Tom yang sekarang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan ayah. “Aku Tidka tahu apa yang akan terjadi tanpa mu.” “Kau tidak perlu berlebihan.” Amanda, aku cukup terkejut saat melihatnya mengarahkan kursi roda ke arah kami, aku tidak berekspektasi akan kondisinya yang terlihat lebih buruk dari yang kubayangkan. “Lisa, bagaimana perasaan mu, Nak?” Dia mengarahkan kursi rodanya ke arahku, dan aku hanya tersenyum getir kepadanya. “Aku merasa baikan, Tante.” “Kalau begitu kalian berdua menginap di sini saja. Kalian pasti shock berat.” “Ide bag
LISA, APA KAU DATANG KE PERAYAAN SELAMAT DATANG IBUKU? Tidak, aku tidak akan datang jika ayah tidak memaksa. Pesan Lucas masih belum kubalas. Bahkan saat belum kubalas, dia menambah jumlah teks pesannya. AKU MENUNGGU MU SORE INI, SAMPAI JUMPA Aku rasanya hanya ingin berbaring sendirian sepanjang hari lalu tidur empat hari tanpa gangguan siapa pun. Entah kenapa Pak Richard yang membahas mengenai Thomas Archer membuat kepala ku merasa sakit. Bagaimana jika dia mengatakan sesuatu kepada seseorang? Tentang lukisan ku, gambarku mengenai Om Tom. Tamatlah riwayatku. Kujatuhkan kepalaku ke bantal dan berguling-guling tidak karuan, sudah jam dua siang dan ayah akan berangkat jam 4 sore. Meletihkan. Tidak ada pilihan selain bangkit dari tidur dan memilih-milih gaun yang akan kuganakan, merah? Terlalu mencolok di pesta orang lain, biru? Terlalu kasual, merah jambu? Ku lempar semua gaun yang kutemukan yang kurasa tidak cocok untukku dan sekarang aku menemukan gaun itu. Hijau. Bukan warna k
Aku kelelahan, tanganku sudah sangat pegal, arang hitam yang aku gunakan untuk menggambar kini sudah pupus dan aku tidak punya arang tambahan lagi. “Sepertinya kau sudah kalah.” “Sialan.” Aku meringis dan menoleh ke belakang, ke arah suara yang baru saja membisikkan ku ucapan penurun semangat. “Lumayan.” Dia memuji dengan kedua tangan di dalam saku celana. “Aku sudah selesai, akan aku lanjutkan besok, Pak Richard.” Aku berdiri dan menarik kanvas yang berada di tiang gambar. “Well, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, Lisa.” Aku membersihkan tanganku di wastafel sambil berkata, “Katakan saja.” “Kau tidak akan menjadi perwakilan galeri kita di festival tahun ini.” Aku terhentak, lagi. Kumatikan kerang air dan berkata, “Tidak peduli.” Aku melangkah pergi, hendak pergi lalu kembali ke sana, ke hadapan Pak Richard karena sebenarnya, aku peduli. “Siapa kalau bukan aku?” Aku bisa merasakan ketegangan yang diberikan Pak Richard di hadapan ku, dia sedikit ragu tetapi tetap mengatakann
POV 3 TOM Suasana rumah sakit yang mencekam, detik demi detik, semuanya seolah mencekik Thomas Archer di tempat duduknya. Dia memandang putranya yang bersandar frustasi di tempat duduknya. Lalu, dia memandang Annie yang bersandar di bahu kakaknya. “Ayah akan tetap berada di sini. Kalian pulang lah.” Dia berdiri dari duduknya dan mendekat ke arah anak-anaknya yang tidak membalas apa yang dia katakan. “Lucas, bawa adikmu pulang.” “Tidak.” Lucas menjawab tegas, “Annie mungkin bisa pulang, tapi aku tidak mau. Aku tidak akan meninggalkan ibu.” “Aku juga tidak ingin pergi.” Annie menyahut dan mengangkat kepalanya dari bahu Lucas. “Ibu kalian akan baik-baik saja, dan dia pasti tidak ingin kalian terlihat lelah saat dia bangun. Jadi sekarang, berdirilah dan pulang.” Annie dan Lucas tidak menjawab, mereka hanya menatap Tom lalu mengatakan keinginan ayah mereka untuk segera pulang, sementara Tom sendiri, dia duduk menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang rumah sakit, meringkuk dan tak bisa
Apa yang terjadi sebenarnya, antara aku dan Om Tom? Kenapa dia … Kenapa dia menyentuhkan jari telunjuknya padaku? Kenapa tangannya menyentuh jemariku? Dan saat aku merasa semuanya sedang tidak masuk akal, kutarik kembali tangan ku lalu berdiri. “Aku mau ke toilet.” Semua mendongak memandangku yang sekarang berdiri lalu ke toilet perempuan. Aku bercermin, bertanya, “Ini tidak mungkin. Aku menciumnya lalu dia menciumku, sekarang apa perasaan ku terbalas?” Pertanyaan itu terus menggema dalam kepala ku, ku tarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya. “Tenang, Lisa.” Kurapikan rambutku lalu keluar dari kamar kecil. Tubuh ku terhentak saat berada di luar dan menemukan Lucas. “Lisa.” Aku tidak tahu bagaimana raut muka ku saat itu tapi aku tahu Lucas sedang berada dalam posisi yang begitu hancur. Dia berjalan lalu menjatuhkan pelukannya kepadaku. “Lu … Lucas kau, hmmm.” “Terima kasih sudah ada bersama kami.” Kuperbaiki kacamata ku yang molor lalu mencoba bersikap tenang, walau kep
"Sangat malang, sungguh, kemarin Tom dan sekarang Amanda." Ayah menggelengkan kepalanya sembari menyantap makanan yang tersaji di atas meja. "Aku bahkan tidak bisa menikmati makanan ku sendiri. Kepalaku terus kepikiran dengan mereka." Ayah mendorong piringnya ke tengah meja dan bersandar di sandaran kursi. Aku diam saja, dan dia menoleh padaku, menatap ku lekat-lekat dan berkata, "Apa kau ada di sana? Saat Tom mendapatkan kabarnya?" "Hmm?" Ku tolehkan pandangan ku, dan mengangguk, "Iya, aku ada di ruangan Om Tom, kami sedang ...." Hampir aku mengeluarkan ucapan itu 'berciuman.' Sambil menyentuh bibir ku. Tapi syukurlah aku tidak mengatakan apa pun. "Pasti sangat mengejutkan untuk Tom." Dia berkali-kali menggeleng, menghela nafas panjang lalu menatap ku lagi dengan prihatin. "Apa aku punya kampus besok?" "Tidak." Aku menggeleng. "Baguslah kalau begitu, kita akan ke rumah sakit menjenguk Amanda." Dia mendorong kursinya dan rasanya aku tidak memiliki tenaga yang cukup kuat untuk