Share

Bertemu Sang CEO

Sherly berlari-lari kecil saat ke luar dari pintu lift. Ia ingin secepat mungkin meninggalkan perusahaan tersebut. Sherly sendiri tidak habis pikir kenapa ia bisa bertemu kembali dengan laki-laki itu. Meski sebenarnya Sherly juga mempertanyakan kenapa ia memilih kabur? Bukankah ia memang mencari laki-laki itu selama ini? Bukankah ia ingin meminta laki-laki itu untuk bertanggung jawab?

Di lobi, Sherly justru bertemu dengan Diana. “Udah selesai wawancaranya?” tegur Diana yang heran melihat Sherly ke luar lift dengan raut ketakutan.

“Su-sudah, Mbak.” Sherly bahkan sampai tergagap saat menjawab pertanyaan Diana. Ia menanggalkan blazer yang dikenakannya lantas mengembalikannya pada Diana. “Terima kasih banyak ya, Mbak,” ucap Sherly.

“Gimana hasil wawancaranya?” tanya Diana lagi, nada bicaranya terdengar dingin, sama seperti Ibuk HRD tadi, pun tidak jauh berbeda dengan sang CEO tadi. Sherly sampai berpikir bahwa seisi kantor memiliki karakter yang seperti itu.

Belum sempat Sherly menjawab pertanyaan Diana, Bu Melinda tampak ke luar dari lift dan mengejar Sherly. “Kamu kok kabur, sih? Katanya mau kerja di sini,” ujar Bu Melinda pada Sherly dengan nada tinggi.

“Saya sepertinya tidak bisa bekerja di sini, Buk,” jawab Sherly.

“Kenapa? Apa alasannya?”

Sherly menghela napas, ia benar-benar tidak tahu harus menjelaskan apa. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya kabur dari tempat itu. “Maaf, Buk, tadi saya turun karena ingin cari makan siang,” ucap Sherly akhirnya.

Bu Melinda geleng-geleng kepala. “Ada-ada saja kamu. Hari pertama kerja sudah bikin ulah. Sekarang cepat kamu temui Pak Raymond lagi!”

Sherly meneguk ludahnya sendiri. “Baik, Buk,” lirihnya.

***

Sherly kembali menuju ruangan CEO tersebut. Ia mengetuk pintu dan dipersilakan masuk. Sang CEO duduk di kursinya sambil menatap Sherly yang masih menundukkan kepala semenjak memasuki ruangan itu. “Saya sepertinya tahu kenapa kamu tiba-tiba kabur,” ucapnya.

Darah Sherly langsung berdesir. Mukanya langsung berubah merah.

“Kamu pernah bertemu saya sebelumnya?” tanya laki-laki bernama Raymond Rudiart itu.

“Tidak, Pak,” bantah Sherly.

“Tegakkan kepala kamu!”

Sherly pun menegakkan kepalanya, hingga mata mereka berdua pun bertatapan. Sialnya Sherly kembali teringat kejadian tiga tahun yang lalu itu. Satu malam yang telah mengubah hidup Sherly untuk selamanya.

Raymond bangkit dari tempat duduknya dan mendekati Sherly. “Saya rasa kita pernah bertemu. Apa kamu gadis yang di Wakatobi bulan lalu? Oh bukan, kamu gadis yang Labuan Bajo tahun lalu, ya?” selidik Raymond yang menyipitkan matanya sambil mengingat-ingat perempuan di hadapannya itu.

Sherly justru terbelalak mendengar pertanyaan Raymond. Berapa banyak gadis yang telah diajak kencan satu malam oleh laki-laki itu? Lantas Sherly perempuan yang ke berapa?

“Hei, ayo cepat katakan! Kamu orang yang pernah mencuri handphone dan dompet saya, kan? Ayo mengaku, kamu gadis yang mana! Kalau kamu mengaku, mungkin saya bisa memberi hukuman yang lebih ringan untukmu,” desak Raymond.

Kening Sherly berkerut mendengarnya. “Hah? Apa Bapak sedang menuduh saya sebagai pencuri?”

“Memang begitu adanya, kan?” balas Raymond sambil melipat tangannya di depan dada. Tatapannya terlihat begitu mengintimidasi.

“Tidak!” bantah Sherly yang terdengar tegas.

“Lalu kenapa kamu langsung kabur begitu melihat saya, hah?” Raymond menaikkan sebelah alisnya.

Sherly gelagapan. Ia jadi teringat dengan tatapan Raymond tiga tahun yang lalu, yang berhasil menghipnotisnya. Tapi kali ini, Sherly tidak akan menjadi lemah lagi. “Saya lari, karena tadi saya kebelet buang air,” ucap Sherly, mencari-cari alasan.

Raymond justru tertawa mendengar alibi perempuan itu. “Apa kamu tidak punya alasan lain yang lebih berbobot?” sindirnya. “Oke, oke, seperti ini saja. Saya hanya ingin memastikan, kamu masih mau bekerja di perusahaan ini atau tidak?”

Bibir Sherly menjadi bungkam kembali, kendati di saat bersamaan pikirannya sedang berkecamuk. Ia benar-benar merasa dilema. Jika ia menolak pekerjaan itu, maka tujuannya untuk membungkam hinaan keluarganya akan gagal. Tapi, jika ia menerima pekerjaan tersebut, maka ia harus bertemu dengan laki-laki itu setiap hari. Sebenarnya bertemu dengan Raymond setiap hari tidaklah buruk, hanya saja Sherly yang tidak siap karena merasa terus dihantui tragedy yang menimpanya tiga tahun silam. Lagipula, sampai kapan juga ia bisa berpura-pura dan menyembunyikan semua itu dari Raymond? Tapi, buat apa juga ia harus menyembunyikannya? Bukankah Sherly semestinya berterus terang saja dan meminta Raymond bertanggung jawab atas masa depan Bryan? Dengan demikian, Sherly juga dapat membungkam anggapan keluarganya sekaligus.

Sherly menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin mengemis dan mengharap belas kasihan dari Raymond. Sherly memerhatikan penampilan laki-laki itu. Dari sikapnya yang ketus, Sherly beranggapan laki-laki itu bukanlah laki-laki yang baik. Sherly tidak ingin Bryan mengetahui bahwa dalam darahnya mengalir darah laki-laki tidak baik melalui hubungan yang sangat tidak terpuji.

Raymond melirik jam tangannya. “Berapa lama lagi saya harus menunggu kamu menjawab pertanyaan saya, hah?”

Sherly menelan ludah. “Saya masih mau kerja di sini, Pak,” lirih Sherly akhirnya.

Raymond tersenyum sarkas. “Nah, begitu kan jelas. Ini tidak, asal kabur aja. Kamu itu akan bekerja sebagai sekretaris saya, lho. Kalau kamu tidak berpendirian dan tidak bertanggung jawab seperti ini, bisa ikutan kacau juga pekerjaan saya.” Nada bicaranya terdengar ketus dan dingin.

Sherly menundukkan kepalanya. “Saya minta maaf, Pak.”

“Ya, sudah. Karena ini sudah masuk jam makan siang, kamu boleh istirahat dulu. Nanti jam satu, kamu sudah harus standby di meja kamu, ya. Ingat, saya nggak suka karyawan yang kerjanya tidak cermat,” tegas Raymond “Mengerti kamu?”

“Mengerti, Pak,” sahut Sherly. “Kalau begitu, saya permisi, Pak.”

“Silakan,” balas Raymond dingin.

Sherly pun ke luar dari ruangan CEO yang terasa menyeramkan itu. Di depan pintu, ia langsung menghentak-hentakkan kakinya sendiri. “Sial! Sial! Sial! Kenapa sih gue harus ketemu sama dia lagi? Kenapa juga dia harus jadi boss gue?” Sherly merasa geram sendiri dengan scenario hidup yang sedang dijalaninya.

Tapi Sherly kembali teringat dengan putra kecilnya. Ia harus bertahan di sana untuk memberikan kehidupan yang baik untuk Bryan. Sherly bertekad, jika nanti ia mendapatkan pekerjaan lain, ia akan angkat kaki dari kantor itu. Yang jelas, Sherly tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Raymond.

Sementara itu, di dalam ruangannya, Raymond masih berusaha mengingat-ingat sekretaris barunya itu. Ia yakin pernah bertemu dengan Sherly sebelumnya, tapi Raymond tidak mengingat di mana pastinya. Melihat reaksi Sherly saat bertemu dengannya, Raymond merasa yakin bahwa Sherly adalah salah satu perempuan yang pernah melakukan kencan satu malam dengannya. Tapi di mana? Dan kapan? Ya, Raymond memang kerap melakukan kencan satu malam dengan perempuan. Bahkan ia juga melakukan kencan satu malam dengan mantan sekretarisnya, lantas meminta sekretaris tersebut berhenti daripada skandal mereka menjadi rumor seisi kantor.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status