Share

Rencana Balas Dendam

Semula Sherly hendak makan siang di warung tenda depan kantor saja, tapi karena mengingat waktu yang ia punya hanya setengah jam, Sherly pun memutuskan untuk makan siang di kantin kantor yang terletak di lantai lima. Karena Sherly datang saat jam makan siang sudah setengah jam berlalu, maka Sherly pun mendapati kantin itu tidak terlalu ramai. Ada beberapa orang yang tampak masih duduk mengobrol sambil menghabiskan makanannya.

Sherly memesan menu makan siangnya lantas membawanya duduk ke sebuah meja. Karena merasa canggung, Sherly pun fokus pada makanannya saja, dari pada menjadi pusat perhatian karena wajahnya yang masih asing di kantor itu.

“Karyawan baru, ya?” tegur seorang pria yang duduk di sebelah meja Sherly.

“Iya, Mas,” sahut Sherly.

“Divisi apa?” tanyanya lagi.

“Hmmm…, saya sekretaris barunya CEO,” jawab Sherly.

“Oh begitu.” Pria itu tampak manggut-manggut. “Oh, ya, saya Ghani, kepala departemen produksi,” ucapnya beberapa menit berselang sambil mengulurkan tanganya.

Sherly pun menjabat tangan itu. “Sherly,” balasnya, turut menyebutkan namanya sendiri.

Ghani tampak manggut-manggut lagi. Beberapa menit berselang, ia menghabiskan minumannya lantas bangkit berdiri. “Saya turun duluan, ya,” ucapnya.

“Ya, silakan, Mas.”

“Oh ya, selama ini di kantor sebaiknya kamu nggak ngelepas kokarde, soalnya itu yang menandakan identitas kamu sebagai bagian dari kantor ini,” terang Ghani.

“Kokarde saya masih sedang dicetak, Mas. Nanti akan saya urus ke bagian administrasi. Terima kasih sudah mengingatkan ya, Mas,” balas Sherly sopan.

“Sama-sama.” Ghani tersenyum tipis kemudian ke luar dari kantin tersebut.

Sementara Sherly melanjutkan makan siang kembalinya. Kendati orang-orang di kantor itu terlihat dingin dan ketus, tapi sebenarnya mereka semua baik. Diana dan Ghani adalah dua di antaranya. Bu Melinda juga sebenarnya baik hati meski pembawaannya sedikit ketus. Hanya Raymond saja yang tidak punya sisi baik di mata di Sherly.

Usai makan siang dan mengambil kokardenya di bagian administrasi, Sherly pun kembali ke meja kerjanya yang berada di lantai tujuh. Tampak Raymond yang sudah menunggunya dengan mata melotot.

“Kamu telat lima belas menit dari batas waktu yang telah saya berikan,” ucap Raymond ketus.

“Maaf, Pak. Tadi saya mengurus kokarde dulu di bagian administrasi,” balas Sherly.

“Saya tidak butuh alasan kamu. Sekarang juga, kamu ikut saya untuk rapat dengan klien,” tegas Raymond.

“Baik, Pak.” Sherly langsung mengambil tasnya lantas mengikuti Raymond meninggalkan lantai tujuh itu.

Ketika tiba di lantai dasar, seseorang sudah menyiapkan mobil untuk sang CEO. Sherly membukakan pintu dan mempersilakan Raymond untuk masuk terlebih dahulu, setelah itu ia duduk di sebelah Raymond.

Begitu melihat Sherly turut duduk di sebelahnya, Raymond langsung menatap sinis pada Sherly. “Siapa yang suruh kamu duduk di sini?”

Sherly melongo. Masih tidak mengerti dengan maksud pertanyaan bosnya itu.

“Kalau kamu dan saya sama-sama duduk di belakang, trus siapa yang akan menyetir?” ujar Raymond lagi, nada suaranya makin tinggi.

“Maaf, Pak. Apa maksud Bapak, saya yang harus menyetir?” balas Sherly dengan polosnya.

“Trus, menurut kamu, saya yang harus jadi supir kamu, hah?” balas Raymond.

Sherly meneguk ludahnya, kemudian bergegas turun lantas mengambil alih di belakang kemudi. Sherly mendumel dalam hati saat menyadari bahwa sang CEO sudah memberikannya tugas di luar jobdesk pekerjaannya.

“Kamu bisa menyetir, kan?” tanya Raymond saat Sherly sudah mulai menyalakan mesin mobil.

“Semoga saja bisa, Pak,” jawab Sherly asal lantas mulai melajukan kendaraan roda empat itu. Sherly memang bisa menyetir, bahkan dahulu ia difasilitasi mobil pribadi oleh orang tuanya untuk berkuliah. Hanya saja, selama tiga tahun terakhir Sherly tidak pernah memegang setir mobil lagi.

“Eh, kalau kamu nggak bisa, biar saya saja yang nyetir,” ujar Raymond yang mulai ragu dengan Sherly, terlebih saat perempuan itu berkendara dengan kecepatan tinggi.

“Santai aja, Pak. Mobil ini nggak bakal tumbang kok, Pak. Palingan cuman nabrak,” cetus Sherly. Ia sengaja menyetir ugal-ugalan sekalian balas dendam pada bosnya itu.

“Sembarangan ya kamu kalau ngomong. Kalau sama mobil saya kenapa-napa, gaji kamu bisa saya potong, lho.” Raymond terus mendumel sambil mengencangkan sabuk pengaman, tapi Sherly sama sekali tidak menghiraukan ocehan laki-laki itu.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka pun tiba di sebuah restoran temanpat Raymond akan melakukan pertemuan dengan kliennya. Sebagai sekretaris, Sherly pun mendampingi bosnya itu.

“Kamu nanti catat hal-hal penting selama meeting ya.” Raymond memperingatkan Sherly.

“Baik, Pak,” sahut Sherly.

Namun, saat rapat berlangsung, Sherly justru hanya memandangi wajah Raymond sambil mencoret-coret buku catatan kecil yang ia bawa. ‘Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Lo udah bikin hidup gue menderita! Awas saja! Gue akan balas semua perbuatan lo! Kalau perlu, gue akan bikin lo lebih menderita!’ Sherly sibuk menghujat Raymond dalam hatinya.

Dua jam berselang, rapat kecil itu pun berakhir. Raymond berjabat tangan dengan kliennya sebelum keluar dari ruang VVIP restorant tersebut. “Kamu sudah mencatat bahasan rapat tadi, kan?” tanya Raymond pada Sherly sambil berjalan menuju parkiran.

“Sudah, Pak,” sahut Sherly.

“Oh ya, saya lupa, untuk rapat selanjutnya tadi mereka bilangnya hari apa, ya?” tanya Raymond lagi.

“Hari … Hmm…” Sherly meneguk ludahnya, bagaimana mungkin ia bisa menjawab pertanyaan itu. Sherly sama sekali tidak menyimak rapat yang ia ikuti tadi.

Melihat Sherly yang hanya diam, Raymond pun jadi memutar kepala menghadap sekretaris barunya itu. “Hari apa?” ulangnya.

“Hmmm… Hari…” Sherly masih tidak menemukan jawabannya.

“Kamu sebenarnya nyatat atau enggak, sih?” Raymond merebut buku catatan kecil yang dibawa Sherly sedari tadi. Ia pun terbelalak melihat coretan-coretan di setiap lembarnya. Terang saja, Raymond jadi tersulut emosi. “Apa-apaan ini?” bentak Raymond sambil memperlihatkan isi buku itu pada Sherly. “Kamu sebenarnya niat kerja atau hanya ingin mempermalukan saya, hah?”

Sherly hanya bisa menundukkan kepala sambil mengomeli kebodohannya sendiri dalam hati. “Maaf, Pak, saya ngaku salah,” lirih Sherly.

Raymond jadi geleng-geleng kepala. “Saya benar-benar tidak habis pikir ya sama kamu. Baru hari pertama kerja, kamu sudah berkali-kali bikin saya emosi. Kalau kinerja kamu seperti ini, saya bisa aja mecat kamu lho, dan kamu harus membayar denda karena melanggar perjanjian yang sudah kamu tanda tangani di kontrak kerja. Kamu sama sekali nggak melakukan pekerjaan kamu dengan baik,” kecam Raymond.

Sherly terbelalak mendengarnya. “Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya benar-benar minta maaf,” pinta Sherly dengan raut wajah menyesal.

Raymond yang terlanjur emosi, memilih untuk memasuki mobilnya sendiri. Ia mengambil kunci mobil dari tangan Sherly. “Kamu balik ke kantor sendiri!” tegasnya, lantas meninggalkan Sherly di parkiran kantor itu.

“Pak! Jangan tinggalkan saya, Pak!” Sherly mencoba mengejar mobil Raymond, tapi hasilnya nihil. “Arghhh…! Sial!” Sherly mengumpat pada dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status