Share

Bab 8

Chlora mencorat-coret ide yang akan ia gunakan untuk terhindar dari kematian. Chlora tidak akan merasa lega jika Shelia dan Cithrel terus masuk ke dalam kehidupannya. Di mana ada tokoh utama, di sana ada masalah.

“Mengapa Virion harus ikut dalam masalah ini? Hidup memang merepotkan,” keluh Chlora.

Chlora bergidik ketika tiba-tiba udara menjadi lebih dingin. “Ah, lagi pula aku dan dia sama-sama merupakan tokoh antagonis. Tak bisakah kami menjadi teman?”

Chlora memutar matanya. “Mana mungkin. Aku adalah orang yang meracuni Shelia di novel. Ah, Shelia dan para laki-laki bodoh itu, sangat menyebalkan.”

Chlora menatap jam yang bergerak. Waktu berjalan dengan sangat cepat. Chlora menyesal ia menurunkan kewaspadaannya karena kasih sayang Galan dan Violet. Chlora tahu jika ia tidak bisa bersantai seperti ini jika dia ingin hidup.

“Sayang sekali aku terlahir kembali menjadi manusia biasa, bukan penyihir. Situasi akan menjadi lebih menguntungkan jika aku adalah penyihir.”

Chlora menatap bunga magnolia emas yang ia pajang dengan kaca. Chlora tertawa pelan ketika mengingat bunga itu mirip dengan bunga yang ada di cerita ‘Beauty and the Beast’. Sayang sekali dia memiliki nasib yang berbeda.

“Di mana-mana para tokoh utama itu memang beban. Para laki-laki yang menyukai tokoh utama juga tidak memiliki alasan yang jelas. Aku ingin berteriak kepada para penulis agar mereka berhenti membuat karakter utama yang lemah seperti itu,” keluh Chlora.

“Sial, aku lupa jika para bangsawan wajib untuk menikah. Tapi siapa yang akan menikahiku? Aku hanyalah tokoh antagonis yang berusaha untuk bertahan hidup.”

Chlora menghembuskan napasnya dan menatap daun-daun yang mulai berguguran. Matanya tanpa sadar terpaku pada jepit rambut yang diberikan saat ia berumur lima tahun. “Aku masih penasaran siapa yang memberikannya.”

Chlora melirik ke jendela, berharap orang itu bukanlah Virion. “Keluarlah, sudah berapa lama kau mendengarkan aku berbicara sendiri?”

Laki-laki itu tampak tersentak. “Bagaimana bisa kau selalu mengetahui diriku?”

“Mudah, kau tampaknya kurang lihai dalam menyelinap. Tapi untuk apa kau pergi ke sini? Jika kau membutuhkan uang aku bisa memberikannya padamu,” jawab Chlora.

“Aku tidak membutuhkan itu. Aku hanya ingin melihatmu lagi.”

Chlora menatap laki-laki berambut cokelat di hadapannya. “Setelah beberapa tahun akhirnya kau muncul lagi. Aku sempat khawatir karena temanku mengatakan jika Virion terus menyelinap ke dalam kastil Beasley. Tapi itu bukanlah dirimu.”

Tubuh laki-laki itu langsung menegang. “Memangnya apa yang akan dilakukan oleh Virion itu? Aku rasa dia bukan orang yang jahat.”

Chlora terkekeh. “Bukan orang yang jahat? Suatu hari nanti dia akan menghancurkan keluargaku karena obsesinya terhadap Shelia. Dia adalah orang yang harus aku hindari setelah Cithrel.”

“Mengapa kau bisa merasa yakin seperti itu? Bisa saja dia orang yang baik, bukan?” bantahnya.

“Jika dia orang yang baik maka dia tidak perlu menyiksa adikku, menghancurkan keluargaku, dan hal-hal kejam lainnya. Yang aku lakukan hanyalah berusaha menyelamatkan diriku sendiri.”

Laki-laki itu terdiam dan menunduk. Chlora menguap. “Jika kau ingin terus membela Virion silahkan pergi dari sini. Suasana hatiku akan buruk jika membahasnya.”

“Ah, aku ingin mengucapkan selamat tinggal. Aku akhirnya terbebas dari ayahku,” ucapnya. Namun Chlora bisa melihat laki-laki itu menahan tangisannya.

Chlora memegang rahang laki-laki itu dan menghapus air matanya. “Tidak ada yang perlu kau tangisi. Kini akhirnya kau bisa bebas dari orang biadab itu.”

“Tapi aku tidak akan bisa menemuimu lagi, jika bukan karena kata-katamu itu aku sudah menyerah sejak dulu,” ujarnya sedih.

Chlora tersenyum tipis. “Suatu hari, kita akan bertemu lagi. Aku berjanji, kita akan bertemu ketika kau sudah bahagia dan aku sudah terlepas dari ikatan takdirku.”

Chlora mengulurkan kelingkingnya dan laki-laki itu membalasnya. Chlora tersenyum senang, setidaknya ia bisa membuat anak di hadapannya bisa bertahan hidup berkat kata-katanya yang bagi Chlora tidak berarti sama sekali.

“Bisa kah aku diam di sini sebentar? Aku janji aku akan segera pergi.”

Chlora mengangguk. “Tentu saja! Ke mana kau akan pergi?”

“Aku akan pergi ke akademi. Aku belajar dengan keras agar bisa lolos dalam tes dan pergi dari neraka itu. Aku sudah tidak tahan menghadapi ayahku.”

“Wow! Aku juga akan pergi ke akademi dua tahun lagi. Berarti kau dua tahun lebih tua dariku, bukan? Aku harap kita bisa bertemu nanti!” pekik Chlora semangat.

“Ya, kita pasti bertemu nanti,” balasnya.

Chlora menatap wajah laki-laki itu. “Ah, jadi kau merupakan bangsawan juga? Jarang sekali ada bangsawan yang memiliki hobi menyelinap ke dalam rumah bangsawan lain. Kau berasal dari keluarga mana?”

Laki-laki itu hendak menjawab, namun ia mengingat kata-kata Chlora tadi. “Aku akan memberitahumu jika kau sudah masuk dalam akademi. Aku akan menunggumu di sana.”

“Baiklah, siapa sangka kau akan bermain tebak-tebakkan denganku. Tapi aku akan menahan rasa penasaranku selama dua tahun,” ucap Chlora.

Laki-laki itu tersenyum lemah “Berjanjilah jika kau tidak akan membenciku.”

“Mana mungkin. Aku tidak akan membenci orang sebaik dirimu,” sahut Chlora.

Laki-laki itu menahan rasa sakit yang ada di dadanya. “Berjanjilah terlebih dahulu. Aku tidak yakin kau akan bertingkah sama jika kau tidak berjanji.”

“Aku berjanji tidak akan membencimu, apakah kau sudah puas?” dengus Chlora.

Ia tersenyum dan mengacak rambut Chlora. “Aku senang bisa bertemu orang sebaik dirimu.”

Chlora tertawa. “Aku tidak sebaik itu! Aku hanya menolong orang yang perlu bantuan.”

“Sampai jumpa, maaf jika aku terus menyelinap ke dalam rumahmu,” laki-laki itu mengecup dahi Chlora dan segera pergi dari sana.

Wajah Chlora merona. “Astaga, apa yang dilakukan anak berumur tiga belas tahun?”

“Walau pun masih kecil, tapi ia memiliki wajah yang tampan. Sayang sekali ia mempunyai ayah yang kasar. Andai saja dia memberitahu nama keluarganya maka aku akan segera melaporkan ayahnya itu,” ucap Chlora.

“Tapi kenapa ia tidak mau memberitahu nama keluarganya? Aku merasa ada yang janggal.”

Chlora menatap sebuah ranting yang ia letakkan di pohon rumahnya. Ranting pohon itu merupakan barang buatan Zoey, yang memiliki fungsi untuk mengetahui keberadaan Virion apa bila ia masuk ke dalam kastil Beasley.

Chlora tertawa kecil ketika menyadari betapa kerasnya mereka berdua mencoba untuk menghindar dari kematian. Siapa sangka gadis sedatar Zoey akan melakukan usaha sekeras itu agar tetap hidup.

Chlora juga baru mengetahui jika para penyihir terlibat dalam buku dan mendapatkan hal yang tidak diinginkan, maka mereka akan langsung mengubah takdir itu. Seperti yang ia dan Zoey lakukan. Bahkan Zoey mengatakan para penyihir akan berlomba-lomba mendapatkan barang sihir yang muncul di buku.

“Ah, anak itu tadi membantah bahwa Virion adalah orang jahat, memangnya apa yang ia tahu?”

Chlora mengedarkan pandangannya dan terkejut ketika bunga magnolia emas yang ia pajang mengeluarkan cahaya seperti cahaya lampu. Chlora langsung mendekati bunga itu dan memutar-mutar kacanya.

“Apa yang terjadi? Apakah ini pertanda aku akan dibunuh Virion?”

Chlora mengigit kuku jarinya. “Dari pilihan takdir kenapa aku harus mendapatkan takdir untuk menjadi calon pasangan pemilik pedang Lazarus?!”

Chlora mendesah dan memeluk kotak kaca itu. “Apa pun yang akan terjadi, tolong jangan bunuh aku. Aku hanya ingin menjalani hidup dengan tenang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status