Aluna sudah selesai mengoleskan gincu berwarna peach pada bibir mungilnya. Tidak lupa dia juga menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Rere, teman satu kos sekaligus sahabat Aluna hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah mahasiswi berusia 21 tahun itu.
"Serius kamu mau ketemuan sama cowok itu, Lun?" tanya Rere."Iya. Daripada dijodohin mending cari jodoh sendiri." Aluna mengalungkan sling bag pada bahunya."Kata kamu cowok itu udah tua dan punya istri. Serius kamu nyari yang kayak gitu?" tanya Rere lagi."Aku nggak peduli. Kalau ganteng, angkut! Yang jelas aku nggak mau kalau harus dijodoh-jodohin. Apalagi sama cowok kampung itu."Rere kembali menggelengkan kepala. Aluna pernah bercerita jika besok akan ada pria yang akan menjemput gadis itu agar kembali ke kampung untuk menikah. Mungkin ini yang menjadi alasan Aluna nekat mencari pasangan di aplikasi pencari jodoh dan melakukan kopi darat dengan pria tidak dikenal."Mau aku temenin, nggak?" Rere mulai khawatir."Nggak usah, Re. Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri. Percaya sama aku." Aluna mengulas senyum."Ya udah, hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa telpon aku.""Siap, bestie … aku berangkat dulu, ya!"Aluna berlalu, sedangkan Rere kembali melanjutkan tugas kuliahnya. Aluna hendak pergi ke sebuah cafe yang akan menjadi tempat dia bertemu dengan pria itu. Menggunakan taksi online, Aluna kembali mengecek ponsel, siapa tahu pria itu mengirim pesan pada Aluna."Saya pakai kemeja dan celana hitam. Tunggu saja di dalam kalau sudah sampai. Kamu boleh pesan makanan, nanti biar saya yang bayar billnya."Aluna kembali menaruh ponsel ke dalam tas setelah selesai membaca pesan dari pria itu. Ada sedikit kegelisahan dalam hati Aluna. Takut jika pria itu benar-benar seperti yang dideskripsikan. Jika benar, Aluna tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Pria yang akan dia temui bernama Dirga. Seorang CEO berusia 35 tahun dan sudah memiliki istri. Bisa dibayangkan jika pria bernama Dirga itu benar-benar berusia 35 tahun. Pasti pria itu terlihat tua dan tentu sangat tidak cocok untuk menjadi pacar Aluna yang masih sangat muda.Aluna sudah sampai di Scenery Cafe. Segera dia masuk dan duduk di bangku dekat jendela. Aluna memesan minuman saat seorang pelayan menghampiri. Sudah sepuluh menit sejak Aluna tiba di cafe, pria itu belum menunjukkan batang hidungnya. Aluna terus melihat keluar dari balik jendela selagi menunggu pesanan datang."Apa dia benar-benar setua itu, ya?" gumam Aluna."Aluna Pratiwi?"Aluna menoleh saat seseorang sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu mengernyitkan dahi dengan mata menyipit. Menelisik dari atas sampai bawah sosok pria yang sudah berdiri sambil mengulas senyum."Saya Dirga Aryatama."Pria bernama Dirga itu mengulurkan tangan pada Aluna. Sedikit ragu, Aluna mulai menyambut tangan itu dan mempersilahkan Dirga untuk duduk. Aluna tak melepaskan pandangannya, terkejut mendapati Dirga yang sangat jauh berbeda dari perkiraan."Sudah memesan makanan?" tanya Dirga."Su-sudah." Aluna mendadak gugup."Baguslah."Wajah putih mulus tanpa kumis dan janggut. Tubuh tinggi tegap dengan mata elang yang memiliki sorot mata tajam. Kemeja hitam yang digulung sampai siku dengan celana bahan berwarna senada. Belahan rambut yang memperlihatkan jidat paripurna. Dirga sangat tampan untuk ukuran usia 35 tahun. Pria itu bahkan terlihat modis seperti usia 25 tahun."Ini pesanan anda, Nona." pelayan menaruh secangkir latte di atas meja."Hanya pesan itu?" tanya Dirga."I-iya." Lagi-lagi Aluna gugup."Mbak, saya pesan dua sirloin steak dan sangria mocktail." Dirga mulai memesan."Baik. Mohon ditunggu, ya."Sang pelayan segera pergi. Meninggalkan Dirga dan Aluna yang masih terjebak suasana canggung. Jenuh, Dirga akhirnya memulai percakapan."Masih sekolah?" tanya Dirga."Kuliah, Om," jawab Aluna.Dirga terkekeh yang mana membuat Aluna bingung. Ini pertama kali Dirga melakukan kopi darat seperti ini. Seumur hidup dia tidak pernah bermimpi akan melakukan hal sekonyol ini."Geli juga, ya, dipanggil Om," kekeh Dirga."Terus, mau saya panggil apa? Kakak, Tuan, Bapak?"Dirga kembali tergelak mendengar ucapan Aluna. Aluna semakin bingung. Dia sempat berpikir jika Dirga mengalami gangguan jiwa karena terus saja tertawa."Nggak apa-apa, panggil Om saja. Emang saya sudah tua, kok." Tawa Dirga mulai mereda."Jadi beneran umur Om 35 tahun?" tanya Aluna penasaran."Iya. Kamu nggak percaya?"Dirga mulai merogoh saku celana untuk mengambil dompet dan menyerahkan kartu identitasnya pada Aluna. Saat melihat kartu itu, mata Aluna membulat sempurna. Pria itu benar-benar tidak bohong soal identitas yang dia jabarkan saat mereka chatting."Jadi beneran umur Om 35 tahun? Udah punya istri?"Dirga mengangguk seraya mengulas senyum. Sedangkan Aluna hanya menggelengkan kepala tidak percaya. Tidak menyangka dia benar-benar sedang kopi darat dengan seorang CEO yang sudah beristri."To the point aja, jadi kenapa kamu mau kopi darat sama saya?""Om dulu yang kasih tahu alasannya. Om udah punya istri. Ngapain cari cewek lain lewat aplikasi?"Dirga menghela napas. Jika bukan karena kelakuan istrinya tidak mungkin Dirga ada disini. Pria itu hanya sedang mencari pelarian."Seperti yang saya bilang saat kita chatting, saya sedang ada masalah dengan istri saya. Kalau kamu, kenapa mau ketemu sama saya? Padahal sudah tahu saya punya istri."Kali ini Aluna yang bingung harus menjawab apa. Gadis itu bahkan sampai menggaruk kepalanya yang tak gatal. Haruskah Aluna jujur seperti Dirga?"Saya lagi butuh seseorang yang mau pura-pura jadi pacar saya. Besok ada pria yang akan datang untuk menjemput saya. Pria yang orang tua saya jodohkan dengan saya.""Oh, jadi begitu ceritanya …." Dirga mengangguk paham. "Jadi, kita berdua sama-sama sedang lari dari masalah, ya?"Aluna hanya mengangguk pelan setuju dengan pernyataan Dirga. Tiba-tiba terbesit sebuah ide dalam otak Dirga. Dia melihat sebuah peluang pada sosok Aluna."Kalau kamu setuju, bagaimana kalau kita bikin kesepakatan yang sama-sama menguntungkan?" usul Dirga seraya menyulut batang sigaretnya."Maksud Om? Kesepakatan yang seperti apa?" Aluna penasaran."Kalau kamu setuju, saya akan kasih kamu apa saja yang kamu mau asalkan kamu bersedia jadi pacar saya.""Jadi selingkuhan Om?" Dirga mengangguk sebagai jawaban.Aluna nampak berpikir sejenak. Berkencan dengan pria beristri sungguh sangat berbahaya. Namun, mendengar tawaran menggiurkan dari Dirga membuat Aluna sedikit tertarik."Boleh minta apa aja?" tanya Aluna."Iya, apa aja. Kamu bebas minta apa saja. Saya ini CEO, saya bisa ngabulin semua keinginan kamu."Aluna menyeringai, senang mendengar ucapan Dirga. Dalam otak sudah terbesit untuk menguras habis harta sang CEO ini untuk biaya kuliahnya. Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar meminta harta pada Dirga."Bagaimana, deal?" tawar Dirga sekali lagi."Deal," ujar Aluna setuju. "tapi aku juga ada syarat untuk Om.""Syarat apa?" Dirga penasaran."Besok Om harus mau pura-pura jadi pacar saya. Pria kampung itu bakalan datang besok. Jadi, Om harus datang dan mengaku sebagai pacar saya. Jangan lupa, Om harus berpenampilan seperti anak muda seperti saya."Dirga mengangguk paham seraya tersenyum. Berbarengan dengan itu makanan pesanan mereka datang. Dirga segera mematikan batang sigaretnya. Begitu juga Aluna yang sudah tidak sabar untuk menyantap makanan yang sudah tersaji di atas meja."Jadi kita deal, ya!" seru Dirga."Deal!" Aluna mengangguk mantap."Baiklah. Jadi saya sudah bisa minta hak saya kalau begitu.""Maksudnya?" Aluna mengernyitkan dahi."Temani saya di hotel malam ini. Bisa?""Mampus!""Ada apa, Lun?"Aluna menunjuk pada seseorang yang sudah berdiri sambil bersandar di depan pintu gerbang kampus. Terlihat seorang pria mengenakan jaket denim dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi untuk ukuran seorang lelaki. Aluna segera menarik Rere dan sembunyi di balik tembok. "Ada apa, sih?" Rere semakin penasaran. "Mati aku, Re. Dia benar-benar datang." "Siapa?""Doni!"Aluna mengintip sedikit dari balik dinding. Pria bernama Doni itu masih berdiri tegak di sana dan terlihat sedang menyulut batang sigaret. Aluna kembali bersembunyi saat Doni mulai mengarahkan pandangannya ke pintu utama kampus. Dimana Aluna dan Rere sedang bersembunyi. "Kita tunggu saja sampai pria itu pergi." "Dia nggak bakalan pergi. Aku tahu dia pria seperti apa." Aluna terlihat panik. "Kita cari jalan lain. Bagaimana?" Rere memberi usul. "Nggak bisa. Kampus ini cuma punya satu pintu gerbang dan dia ada di sana. Aku harus apa sekarang, Re?" Aluna semakin frustasi. Dirga, nama itu tiba
"Bisa bantu saya bawakan ini?"Aluna mengangguk lalu meraih satu kantong kresek berwarna putih yang berisi banyak snack dan camilan. Aluna tidak ikut Dirga masuk ke minimarket dan lebih memilih untuk menunggu di luar. Sampai saat ini pikirannya masih belum bisa berpikir jernih. Entah obat apa yang pria itu beli. Entah untuk siapa obat itu. Mengingat mungkin saja hari ini mereka berdua akan melakukan aktivitas yang memerlukan sebuah obat. "Argh …." Aluna mengusak rambutnya. "Kamu kenapa?" tanya Dirga bingung. "Nggak.""Kamu nggak lagi sakit, 'kan?" tanya Dirga sekali lagi. "Nggak, Om.""Bagus kalau begitu. Ayo, kita pergi."Dirga meraih tangan Aluna lalu mengaitkan pada lengannya. Hal yang membuat Aluna mengernyitkan dahi. Terlebih saat melihat Dirga sedang mengedipkan sebelah mata. "Gandeng tangan saya, ya. Sekarang 'kan kamu pacar saya," goda Dirga. Aluna menghela napas, pasrah saat Dirga sudah menggandeng tangannya. Mereka berdua mulai berjalan menuju ruang hotel yang Dirga pe
Seminggu setelah kejadian itu, Dirga dan Aluna tidak saling menghubungi satu sama lain. Hal yang Aluna syukuri karena sampai saat ini mahkotanya masih terjaga dengan baik. Walau jauh dari dalam lubuk hati, Aluna masih sedih dengan perlakuan Dirga tempo hari. Gadis dengan rambut diikat bun itu kembali mengetik. Mengerjakan tugas kuliah yang sempat terbengkalai. Namun, pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, wajah Dirga terus terbesit dalam isi kepala. "Dia mirip serigala," celetuknya. Dirga Aryatama, dua kali bertemu dan pria itu seperti memiliki dualitas yang berbeda di mata Aluna. Sikap ramah yang sempat membuat Aluna nyaman dan tidak takut sekalipun mereka baru saling kenal. Akan tetapi, di sisi lain sifat dingin yang ditunjukkan pria itu mampu membuat Aluna bergidik ngeri. Sorot mata tajam dengan tatapan mengintimidasi, hanya sekali ucap siapapun akan dibuat takut oleh CEO tampan itu. "Kenapa aku peduli? Kamu pasti sudah tidak waras, Aluna." Gadis itu memukul dahi pelan, lal
"Dasar gila!"Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah. Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu? "Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran. "Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan. "Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar. "Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal. "Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga. Takut, Bagas s
Aluna menelan saliva saat pria itu meloloskan kemeja putih dari tubuh atletisnya. Dirga sudah duduk membelakangi Aluna. Menyodorkan punggung putih mulus tersebut untuk mendapatkan terapi dari sang pacar rahasia. "Aku mulai, ya, Om."Aluna membalur minyak angin yang baru dia beli beberapa saat lalu pada punggung Dirga. Secara perlahan ia mengolesi minyak angin agar terbalur dengan rata. Tanpa Aluna sadari sentuhan lembut yang dia lakukan menimbulkan desiran asing pada aliran darah pria itu.. "Kalau sakit bilang, ya."Dirga mengangguk paham dan Aluna mulai mengerok punggung sang CEO dengan koin. Garis merah kini menghiasi punggung Dirga. Pria itu benar-benar sedang sakit. "Istri saya sudah mengakui kalau dia selingkuh. Kami berdua bertengkar."Aluna berhenti sejenak saat Dirga membuka suara. Pria itu tiba-tiba saja menceritakan permasalahannya dengan sang istri. Aluna tidak menanggapi, dia kembali mengerok punggung Dirga. "Sampai saat ini, kami belum dikaruniai seorang anak. Dia men
Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar. "Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?""Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam. "Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana. "Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung. "Satu … dua … ti …."Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini. "Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."Sat
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa malam sudah tiba. Aluna dan Dirga tengah duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Seharian bermain di pantai ternyata menyenangkan dan cukup menguras energi. Mereka tengah makan malam berdua di salah satu restoran yang ada di kawasan pantai Ancol. "Bagaimana laptopnya, sudah kamu coba?" "Sudah. Bagus, Om. Terima kasih. Saya tinggal pindahin semua filenya." Aluna nampak sumringah. "Papi, Papi Dirga. Jangan panggil Om lagi, oke!" Dirga mengingatkan. "Iya, Papi."Dirga tersenyum melihat sikap patuh Aluna. Tidak pernah sekalipun gadis itu menolak apapun yang Dirga minta. Jika diperhatikan lebih teliti lagi, Aluna cukup cantik, tidak kalah cantik dengan Mayang semasa muda dulu. Gadis berpenampilan sederhana itu terlihat menggemaskan dengan kedua lesung pipi. Menambah kesan manis apalagi ketika Aluna sedang tersenyum."Bagaimana kabar pria itu? Pria yang dijodohin sama kamu itu, apa dia datang lagi?" Dirga kembali membuka percakapan."Nggak
Dirga berjalan cepat setelah sampai di rumah sakit yang dituju. Setelah beberapa saat akhirnya Dirga sampai di ruangan tempat Mayang dirawat. Terlihat sang istri tengah terbaring dengan tangan di gips dan perban di kepala. "Mayang, kamu baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini?"Dirga sudah tidak bisa membendung lagi perasaan khawatir. Meraih sebuah kursi yang ada di sana, Dirga segera mengambil tempat di samping ranjang milik Mayang. Pria itu meraih tangan sang istri lalu mengusap punggung tangan mulus itu dengan lembut. "Pak Ilham tadi mengantuk. Jadi, ya gitu, deh. Seperti yang kamu lihat sekarang."Mayang sama sekali tidak berminat melihat kehadiran Dirga. Andai saja sebelah tangannya tidak di gips, mungkin dia akan mengambil posisi memunggungi sang suami. Meski mendapat perlakuan dingin dari sang istri, Dirga tetap berusaha memasang senyum dihadapan wanita terkasihnya. "Kamu udah makan? Mau aku belikan sesuatu?" bujuk Dirga. "Tidak usah. Aku nggak lapar," jawab Mayang seperlun