Terima kasih sudah berkenan mampir di cerita sederhana ini. Tidak mewah memang, tetapi cerita ini aku tulis dengan hati dan cinta. Segenap hati aku menulis ini dalam keadaan tidak sempurna, karena authornya masih human. Bukan alien. Mhehehe :)
Semua emosiku aku tuang di cerita PAID LOVE dari sedih, senang, gusar, bahagia bahkan tersedu-sedu seperti saat aku menuliskan sedikit ucapan untuk yang sudah singgah apalagi menetap bersama Author yang hobi makan remahan taro ini.
Kiranya kalian kata-kata tidak puitis dan aneh ini bisa dong, kasih ulasan tentang cerita PAID LOVE, entah itu Raline, Gavin, Laura dan lain-lain.
Singkat memang, tapi tidak ada cerita yang berakhir harus bahagia. Cerita ini memang menggantung, dan agak sedikit menyakitkan tetapi author berharap dimanapun kalian semoga bahagia selalu menyertai. Dijauhkan dari corona sekalian di muka bumi ini! Enyahlah, kau virus!
Aku harus mengakhiri cerita ini, untuk memulai cerita baru. Apapun kritik dan saran kalian, author akan baca dan resapi. Buat kalian yang sudah baca aku tidak bisa menjabat tangan kalian, aku hanya ingin menundukkan kepala sebagai rasa terimakasih ku sama kalian semua!
Muah! Muah! Muah! ( ˘ ³˘)♥
Maaf atas banyaknya kekurangan author dalam penulisan. Mianhae (っ˘̩╭╮˘̩)っ
Author akhiri cerita PAID LOVE, untuk memulai cerita baru lainnya. Semoga kalian banyak selalu sukses dimanapun dan kapanpun! Selamat berbahagia ~
Bubay ~
Extra bab untuk my readers beloved, PAID LOVE. ___________ Di sebuah mall, Raline dan sang tante pergi ke sebuah store branded luar negeri. Dimana ada foto Raline yang terpampang lebar didepan store menggunakan pakaian branded tersebut dari atas hingga bawah. Ya, hari ini adalah hari tenang Raline sebelum berangkat pergi ke Australia minggu depan. Ia, mendapat black card untuk membelanjakan kartu hitam mewahnya dengan brand yang menjadikannya Brand Model Ambassador. “Ral, Tante mau ke toilet dulu sebentar. Kamu disini aja kan?” ijin Tante Maria pada san keponakan. Raline mengangguk sebagai jawaban. “Raline tunggu disini, ya, Tan.” Maria pun bergegas pergi dari store tersebut dan mencari toilet terdekat. Raline juga kembali diarahkan oleh salah satu retail sales berpengalaman pada produk terbaru mereka. Pada saat tangan Raline meraih salah satu tas yang terpanjang, tiba-tiba ada seseorang yang meraihnya terlebih dahulu. Lantas, wanita itu langsung menoleh dan menatap sosok lelak
“Buka seragam mu, sekarang!” titah Gavin. Menatap sayup wajah Aletta yang tengah sibuk mencumbu lehernya penuh gairah di sudut perpustakaan. “Ok, babe.” Aletta menuruti permintaan lelaki itu dan membuka perlahan kancing seragam sekolah yang masih melekat di jam pulang sekolah. Gavin yang tengah menikmati permainan lidah Aleta, tiba-tiba melihat sosok wanita yang tengah mengintip aktifitas nakalnya bersama Aletta dari celah rak buku. Brak!! Sebuah buku terjatuh tiba-tiba. Suara buku yang terjatuh, membuat kenikmatan dua sejoli itu harus terhenti seketika. Sontak Aletta terkejut dan membalikkan badan. Aletta keluar dari balik rak buku perpustakaan, dan menangkap si cupu Raline. Benar saja, Raline merusak suasana intim a
"Aku akan menjaga Raline segenap jiwa, bayi mungilku tumbuh dengan sangat cantik setiap harinya. Aku akan melakukan apa saja, untuk menjauhkan Raline dari Mami Lisa …. " *** CLUB HOUSE MONALISA. Saat Laura memasuki room pandangannya tertuju kepada Maria yang tengah terkapar. Terlihat kalau Maria tengah dalam keadaan mabuk berat. "Maria, ayo bangun!" mohon Laura sambil mengguncang tubuh Maria. “Tolong antarkan Maria pulang dan jangan coba-coba ambil kesempatan dengan keadaannya sekarang!" pintanya sambil mengingatkan anak buah Mami Lisa. “Kamu ini suka sekali mengatur. Mentang-mentang kesayangan Mami Lisa.” Protes bodyguard bernama Derek dengan rambut plontosnya. “Janga
Ups! Decak Aletta sengaja menubruk tubuh Raline. “Hahaha!" Gelak tawa siswa-siswi lain riuh menertawakan si cupu nan malang Raline. Bukannya membantu malah yang lain ikut-ikutan melempari Raline dengan kertas sembari merutuki gadis itu. Aletta membungkukkan tubuhnya dan berbisik ke telinga Raline. “Awas aja, kalau kamu menyebarkan kejadian kemarin. Aku nggak segan-segan berjanji akan membuatmu kehilangan beasiswa disini. Bahkan bisa saja di semua sekolah. Ingat, dimanapun!” gertak Aletta yakin. “A-aku tidak akan memberitahukan kejadian kemarin. Tidak ada untungnya juga untukku,” jawab Raline terbata-bata. “Good girl. Tidak salah kamu dikenal dengan sebutan cupu!" Aletta menata
Gavin memiringkan senyumnya dengan tatapan tajam mengarah ke wajah Raline. Saat Gavin melangkahkan kakinya, sontak membuat Raline memundurkan posisinya menjauh. "K-kamu mau apa? Jangan macam-macam. Dasar otak mesum!" Ancam Raline dengan tubuh yang gemetaran. Gavin tidak menanggapi ancaman dari Raline. Sedangkan yang ada dipikiran Raline sekarang adalah bagaimana caranya, bisa keluar dari kamar mandi sekolah. “Buka pintunya, Vin. Aku mau pulang,” pinta Raline datar. “Jawab dulu pertanyaanku, apa kamu menyukaiku?” tanya Gavin penasaran. “Pft! Suka? Hahaha …." Raline tertawa mendengar pertanyaan dari Gavin.
Belum sempat Raline berterima kasih, Devin sudah berada di depan bersiap untuk turun dari bus. Tidak lama bus kembali melaju, Raline merasakan ada yang mengganjal di atas tempat duduknya. Raline mengambil sesuatu yang mengganjal dengan tangannya. Sebuah buku tulis, dengan sampul polos. Raline membuka halaman awal, dan mendapati nama Devin, tertera di halaman awal. "Astaga, rupanya Devin ketinggalan buku disini," decak Raline khawatir. Karena Devin sudah turun terlebih dahulu dari bus, Raline memutuskan akan menyimpan buku tersebut sampai besok. Dan akan mengembalikannya besok disekolah. Perlahan Raline mencermati tulisan yang berjajar dengan rapi di buku milik Devin. "Tulisannya saja rapi. Enak dibaca. Sudah tampan dan pintar lagi," puji Raline membac
Keesokan harinya.Raline bersiap seperti biasa. Mengubah wajah cantiknya menjadi jelek, sebelum keluar dari rumah. Lalu mengenakan seragam sekolah. Raline yang tengah berada sendirian di rumah, tidak sempat sarapan karena sudah hampir terlambat sekolah. Sudah biasa bagi Raline bangun tidur tidak melihat siapapun di rumahnya. Menyiapkan segala sesuatu sendirian, bagi Raline adalah hal mudah. Terlahir dengan perhatian dan pengertian yang baik, membuat Raline mengerti akan perjuangan Ibunya.Setelah semua sudah beres, Raline berjalan menuju halte. Dengan langkah cepat Raline mengejar waktu agar tidak melewatkan gerbang yang segera tertutup dalam hitungan 30 menit lagi.
Perawat membuka pintu yang bertuliskan nama Dr. Daniel Aksara. Laura mengangguk segan dan menebar senyum kepada perawat yang sudah membukakan pintu untuknya. Sikap urakan Laura masih kental, saat berada ditengah orang banyak. Perlahan Laura masuk ke dalam ruangan, dan langsung duduk tanpa permisi kepada dokter yang tengah berdiri menghadap nakas di belakang meja kerja. "H-halo, Dok." Sapa Laura bingung. Dokter yang berperawakan tinggi besar itu berbalik badan, untuk melihat pasien yang akan diperiksanya. Brugh! Laura langsung terperanjat saat