Share

CELOTEH GUS ALAM

Gus Alam masih menunggu Arlesa di ruang tamu, Arlesa masih di dalam kamar mengganti pakaiannya, terlihat di laci meja boneka beruang coklat yang usang duduk lesuh, Arlesa tersenyum kecil pada boneka Maysa itu.

"Aku sudah menemukan, Tuanmu." Ucap Arlesa pada boneka itu.

Dia membayangkan senyuman manis Maysa saat di Cafe, Ah, betapa manisnya gadis itu. Wajahnya penuh keluguan, ada ketulusan, hangat, dan ceria. Tak sia-sia dia menjaga hati untuk putri kecil itu, kata orang, cinta memang kadang buat orang bodoh, Arlesa menunggu waktu selama 15 tahun hanya bertemu dengan gadis dari dunia seberang.

Padahal, di dunianya bertebaran gadis cantik yang sangat memujanya. Namun hanya Maysa yang menjebaknya dalam kenangan. Akankah Maysa mengingat Arlesa bila memperkenalkan diri lagi? Arlesa harap demikian.

Setelah berganti pakaian dengan kaos oblong putih, Arlesa turun ke lantai bawah, di ruang tamu masih ada Gus Alam yang masih mengamati setiap interior rumah sewaan itu.

"Pak Gus, aku mau masak. Pak Gus lapar?" tanyanya.

"Kenapa kamu masak? tinggal pesan saja, kan bisa?" timpal Gus Alam heran.

Arlesa berlalu ke dapur, "Aku senang dengan masakanku sendiri, jika ada waktu luang, aku selalu memasak untuk diriku sendiri." Sahut Arlesa yang mulai mengambil bahan-bahan tersedia di kulkas.

Gus Alam pun ke dapur, dia akan mewawancarai Arlesa lagi, begitu banyak rahasia Wandara yang ingin ia ketahui, rasa penasarannya makin menggebu melihat Arlesa yang mampu memiliki apa yang sulit di dapat di dunianya.

"Kau di Wandara kerja apa?" tanya Gus Alam.

"Belajar, dan belajar saja." Sahut Arlesa yang sedang mengiris dadu bawang bombai.

"Bararti di Wandara kau anak konglomerat, ya?"

"Bisa di bilang begitu, Pak Gus."

Belum cukup puas, Gus Alam lagi-lagi bertanya.

"Disana banyak kemampuan bela diri, ya?"

"Iya, bagi siapa saja yang pantas menerimanya." Jawab Arlesa.

"Contohnya?"

Arlesa memukul dinding tembok rumah itu dengan keras, sehingga tembok  retak oleh bekas tonjokkan tangan kanannya yang sangat kuat.

Gus Alam terkejut menarik nafas. Selain tampan nan kaya, Arlesa juga memiliki kekuatan yang dasyat.

"Kamu dapat ilmu tenaga dalam dari mana?" tanya Gus Alam meraba dinding retak itu.

"Dari Paman Rajab." Jawab Arlesa, yang di maksud olehnya ialah Panglima Rajab, karna tak ingin memberitahu Gus Alam identitasnya, terpaksa Arlesa harus berbohong kecil kali ini.

" Berhentilah bertanya tentang Wandara padaku, Pak Gus. Tanya yang lain saja." Protes Arlesa.

Dia lelah bila harus menceritakan Wandara secara detil.

"Baik, tapi aku mau tanya lagi, siapa yang kau cari di alam kami?" tanya Gus Alam yang ingin serba tahu semua tentang Arlesa.

Arlesa lelah ditanya menghela nafas. Apa yang harus dijawabnya, padahal ini rahasia  pribadinya.

"Pasti seorang perempuan, kan?" Gus Alam menebak.

"Iya, seorang perempuan yang 15 tahun menyiksaku."

"Selama itu? "

"Iya, Pak Gus. Makanya aku ke dunia kalian karena aku ingin menemui dia. Kami sudah berjanji dulu untuk bertemu saat dewasa."

Gus Alam memahami bahwa kisah cinta Arlesa ternyata sudah lama terjalin. Pria paruh baya itu ingin bertanya lagi, tetapi Arlesa tiba-tiba mengutarakannya sendiri.

"Pak Gus mau tau siapa perempuan itu?" tanya Arlesa.

"Hm," Gus Alam memainkan telujuknya. "Dari pancaran matamu, aku sudah bisa tebak." Imbuh Gus Alam memanyunkan bibir.

Arlesa tersenyum malu, ternyata sejak di cafe tadi, Gus Alam memperhatikan sikapnya pada Maysa. Ah, apakah Maysa juga menilik hal itu? semoga saja tidak. Arlesa belum menemukan kesiapan mengakui semuanya.

"Setelah makan, saya akan ke Cafe lagi, Pak Gus." Ujarnya.

"Saya ikut, masa tuan rumah keluar, tamu malah sendiri." Ketus Gus Alam yang mulai akrab dengan Arlesa yang beda generasi dengannya.

**********************

Pukul sebelas malam, Maysa masih berada di Cafe. Gala sudah pulang sejam yang lalu, karena besok dia punya jadwal mata kuliah pagi. Maysa hanya seorang diri di Cafe, ada tamu tapi hanya hitungan jari saja.

Mata Maysa mulai menyipit. Kantuknya tak tertahan, kopi cara jitunya melawan rayuan malam agar meringkuk di balik selimut. Oh, Tuhan, buatlah mataku bertahan sampai subuh nanti. Batinnya meronta.

Tidak lama kemudian, ada empat anak muda mabuk didepan cafenya. Mereka masuk dengan suara teriakan tak jelas. Kaki mereka ada yang menendang meja, ada pula yang membanting kursi. Melihat aksi brutal anak muda yang seumuran Gala itu, Maysa beranjak mengambil sapu.

"Kalian keluar dari sini, dasar anak-anak tidak tau aturan." Hardik Maysa.

Sebagian pengunjung cafe di buat takut oleh mereka. Ada yang bersembunyi, ada pula yang keluar dari cafe itu tanpa membayar pesanan mereka. Salah seorang dari anak muda itu menghampiri Maysa, matanya merah, langkah gontai karena mabuk berat.

"Hei, perawan tua. Bikinkan kami kopi, dan makanan." Katanya penuh wajah ancaman.

Maysa mengangkat bibir sebelah, dia memukul kepala remaja itu dengan gagangan sapu, sekuat-kuatnya.

Plak ! Plak !

"Ini, enak saja mau menyuruh saya dengan cara tidak sopan." Kecam Maysa yang masih memukuli remaja itu

Ketiga teman mereka mulai jengkel dengan perlawanan pemilik Cafe Zona. Dua orang meraih tangan Maysa untuk di ringkus dari belakang, sementara seorang lagi ingin membekap mulut Maysa. Mereka sudah gelap mata, akal mereka sudah  menjadi binatang lagi, Maysa akan mereka perkosa beramai-ramai.

"Jangan !!" Pinta Maysa menutup mata. Salah satu remaja itu mulai mendekatkan bibirnya.

Duk ! Duk ! Duk ! Duk ! plak !

Tiba-tiba ada suara pukulan keras terdengar. Maysa masih menutup mata. Dia meraba sekujur tubuhnya, tak ada yang sakit, lalu siapa yang di pukuli? perlahan, Maysa membuka mata. Di lihatnya keempat remaja itu, sudah tergeletak di lantai dengan wajah memerah.

Di antara mereka ada pria tampan yang tidak asing berdiri. Pria itu Arlesa, pengunjung cafe yang tadi siang. Imbuh Maysa dalam hati.

"Kamu baik-baik saja? tanya Arlesa berjongkok mengamati wajah Maysa yang masih ketakutan.

Maysa hanya mengangguk. Tangannya di raih oleh Arlesa untuk berdiri. Untuk pertama kalinya, tangan mereka bersentuhan, menyatu setelah berpisah lima belas tahun. Wajah mereka sangat berdekatan, Arlesa menatap  Maysa penuh kerinduan, seakan ingin menumpahkan rasanya malam ini juga.

"Terima kasih," ucap Maysa pelan.

Keempat remaja itu keluar dari Cafe, mereka ketakutan sebab pukulan Arlesa begitu keras. Hanya sekali pukulan, wajah mereka bengkak lebam membiru.

"Apa mereka sering menganggu mu?" tanya Arlesa.

"Ini pertama kali, aku juga tidak tahu, mereka siapa." Jawab Maysa yang meraih kursi untuk Arlesa.

Maysa ikut pula duduk di kursi secara berhadapan. Dia memijit-mijit tangannya bekas cengkraman remaja tadi.

"Ini sudah malam, sangat bahaya bila perempuan bekerja." Tukas Arlesa.

Maysa menghela nafas, benar kata pria itu, tapi apa boleh buat, tanggungan hidup terlalu besar. Dia harus bisa bekerja keras demi kelangsungan pendidikan adik-adiknya.

"Aku tahu, tapi hidupku  bukan untuk bersantai, ada banyak yang harus aku bahagiakan."

Arlesa memahami maksud kata-kata Maysa. Andaikan Maysa sudah menjadi kekasihnya, dia tidak akan membiarkan Maysa bekerja keras seperti ini. Apapun yang diminta Maysa akan dia berikan, tanpa bersusah payah begadang meniti pekatnya malam.

"Oh, ya. Saya panggil Arlesa saja, sepertinya usia kita tidak beda jauh." Ujar Maysa mengakrabkan diri, karena bagaimana pun dia berhutang budi pada pria rupawan itu.

"Iya, usia kita memang hanya beda setahun."

"Hem? apa maksudnya?" Maysa bingung lagi, bagaimana Arlesa bisa tahu usia mereka hanya beda setahun? ah, pria ini apakah para normal? batin Maysa menyelidik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status