Share

BAB 6 A

PAPA MUDA 6 A

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Mendengar kembali nama yang dulu memilih pergi dalam wujud berbeda setelah menggapai mimpi sungguh seperti petir di siang bolong. Bukan tidak bahagia bisa tahu berada di titik sekarang, tetapi ada amarah saat menengok kembali jalan yang harus dilewati sebelum sampai tempat tujuan.

Bertahun-tahun Alsaki mencoba memahami dan mengerti alasan Arista—istrinya ingin menjadi penulis terkenal. Namun, hingga detik ini akalnya masih tidak terima. Karena dirinya dan Gala mendadak tersingkirkan dari prioritasnya sebagai perempuan yang sudah menikah.

Hingga tali yang seharusnya menguat malah terlepas begitu saja. Akan tetapi, sekarang wanita di depannya dengan begitu mudah mengatakan hal yang membangkitkan lagi luka hatinya. Alsaki masih menatap tajam setelah berhasil mengungkapkan apa yang ia rasakan. Bahkan ada rasa ingin mempertegas sekali lagi.

"Kalau lagi makan itu mending fokus! Enggak usah ngelirik ponsel terus! Ini hari pertama, Dyra! Saya bisa buat kamu pulang sekarang juga!" ujarnya sekali lagi memberi penekanan akan sebuah hukuman untuk menutupi hatinya yang mengacau.

"Iya, Mas. Saya minta maaf," jawab wanita yang seketika menundukkan wajahnya. Bahkan ponsel dalam genggaman langsung dijauhkan dari pandangan. 

Pria yang masih kadang pesakitan mengingat kepergian Arista perlahan melunak melihat wanita di depannya menuruti perintahnya. 

"Bagus! Lain kali jangan ulangi! Kalau masih ingin bekerja di sini," tegasnya, lalu kembali masuk ruangannya. 

Entah kenapa rasanya mendadak berubah mendengar Dyra menyebut nama yang ingin ia lupakan selama ini. Padahal saat pertama melihatnya, wanita itu terlihat mempesona. Bahkan hatinya sempat mengagumi. 

"Astaghfirullah ... kenapa aku melepaskan amarah pada Dyra? Dia tidak salah," sesalnya setelah duduk bersandar di kursi kesayangannya. 

Alsaki meraup wajahnya kasar. Dada yang baru saja panas karena ingatan luka lalu kembali membelenggu akalnya, kini perlahan lebih sejuk. Tarikan napas panjang dan berulang mampu menyamarkan perasaannya. 

Kedua mata sengaja terpejam untuk menenangkan situasi hatinya. Setengah amarah sudah hampir menguap dan terbang bersama udara. Bayangan Gala—anaknya memberikan kesejukan akan kehidupan yang beberapa tahun ini terjalin berdua. 

"Maafkan, Papa, Sayang ...," ujarnya lirih sembari meremas rambutnya agar pusing kepalanya berkurang. Hingga nanti keadaan diri dan hatinya baik-baik saja dengan sendirinya.

~

Sementara Alsaki menenangkan dirinya, wanita yang baru saja melihat amarah pada pria pemilik Gala Cell tiba-tiba merasa bersalah.  Dyra sadar kelakuannya bisa membahayakan dirinya dan orang lain. Hobi membacanya mungkin harus dilakukan di tempat lain, misalnya rumah. Belum lagi membuatnya lalai dalam pekerjaan. 

"Kenapa bego banget sih ... mungkin memang aku harus ngurangi baca. Apalagi bukan di tempatnya," lirihnya sembari menghapus bulir bening yang tidak disadari menetes membasahi pipi. Usia yang masih dalam tahap labil membuat egonya merasa terguncang mendapat satu teguran. Meskipun itu memang sebuah kesalahan. Namun, melihat pria yang hampir mencuri simpatinya saat pertama bertemu dikuasi amarah menciutkan nyalinya. 

Adrian yang menyaksikan kejadian di depannya tiba-tiba merasa iba. Ia tahu kalau Mas Alsaki tidak pernah menegur karyawannya tanpa sebab. 

"Ra ... kamu baik-baik saja? Jangan masukin hati omongannya Mas Al, ya? Dia orang baik sebenarnya. Cuma itu, dia nggak suka kalau pas udah mau jam kerja malah maianan ponsel," ujar Adrian saat mendekat dan menatap wajah yang menurutnya menyimpan kecewa. 

Wanita yang sadar kesalahannya menoleh, menatap pria di sebelahnya. "Aku nggak apa-apa, Ri ... ini memang salahku yang tidak tahu tempat menyalurkan hobi. Ya udah, aku mau makan roti dulu," jawabnya lalu pergi ke ruangan belakang.

Kebetulan di area belakang ada taman kecil dengan beberapa kursi yang mungkin digunakan untuk melepas lelah sejenak. Dyra melihatnya sekilas saat memasuki ruangan sang pemilik konter tadi pagi. Bunga yang bermekaran itu seakan mengerti keadaan hatinya yang butuh kekuatan.

Jemari lentiknya mengambil roti dalam kotak bekal dan memakannya perlahan. Kepalanya memutar kembali pertemuan pertama dengan Alsaki di sekolah Cantika. Manis. Berbeda jauh dengan sikapnya beberapa menit lalu. Ia kini menyadari bahwa penampilan itu tidak selalu membuat terkesan. Karena kenyataannya semua itu memiliki rahasia yang tidak diketahui orang. Termasuk mempunyai Gala di sisi dalam usia muda.

Dyra menarik dalam napasnya, lalu mengembuskannya perlahan. 

"Apa dia memiliki alergi mendengar penulis dan novel? Kenapa sikapnya terkesan begitu marah?" tanyanya pada sendiri. Hanya itu yang muncul dalam kepalanya karena merasa wajah itu berubah setelah dirinya bercerita hobi membaca. 

Lamunan Dyra membuat kepekaan berkurang setengah. Ia tidak menyadari kehadiran anak kecil dan seorang wanita. Pikirannya terlalu dipenuhi sesak oleh ucapan Alsaki—pemilik konter. 

Gala tahu siapa wanita yang duduk di tempat favoritnya, ia berlari kecil dan langsung mendekat. "Tantenya Cantika, kok, di sini?" tanyanya dengan wajah begitu polos. 

Drya tersentak melihat bocah yang begitu mirip dengan Alsaki berada di depannya. Kedua pria ini memang hampir mirip, mungkin Gala adalah versi anak-anak seorang Alsaki. Akan tetapi, sikap manisnya jauh berbeda. 

"Ga--gala? Iya. Tante sekarang kerja di sini. Baru tahu kalau tempat ini punya papamu," jawabnya sedikit terbata karena masih terkejut. 

Bocah kecil itu justru tersenyum begitu manis. Seakan telah lama mengenal dan bertemu puluhan kali. "Main aja sama Gala, yuk?" ajaknya tiba-tiba. 

Sang nenek yang melihat tingkah cucunya langsung menarik lembut tangan mungil itu agar tidak menganggu. "Sayang ... kita ke sini, kan, mau ketemu papamu. Jangan ganggu Tante istirahat ya? Kita ke ruangan Papa yuk?" bujuknya sembari mengusap punggung tangan kecil itu. 

Gala menggeleng, "tapi bosan main sama Papa terus. Boleh ya, Nek ... kali ini aja ...." Bocah kecil itu masih memohon. 

------***------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status