Share

PASIEN NOMOR SEMBILAN
PASIEN NOMOR SEMBILAN
Penulis: Ris Manice

Prolog

Ketika selesai menutup pintu kamar kecil yang ada di dalam ruangan, telah kudapati sosok yang menunggu di sofa beludru yang berseberangan dengan tempatku duduk, hanya dipisahkan oleh meja kaca yang diatasnya terdapat namaku beserta gelar P,Si. di belakangnya.

Punggung rapuh di depan sana sama sekali tak bereaksi meski heels yang kupakai sangat tak mungkin untuk tidak mengeluarkan suara. Namun, detik kemudian kepalanya sekilas menengok menyadari kehadiranku.

Hah! 

Aku memicingkan mata, mencoba mengenali. Wanita itu ...!

Sikapku memang berlebihan, tidak seharusnya berlaku demikian. Maka buru-buru mengendalikan diri–menghampiri.

Segera kubaca daftar pasien yang tergelatak di meja. Menyusuri setiap nama.

Allsya–nama yang sering digumamkan seseorang. Dan sekarang sebagai pasien dengan nomor urut sembilan. Tak habis pikir!

Apa motifnya datang kemari? Memberitahu bahagianya di atas sakit orang lain? Mengumumkan kemenangannya? Berbagai praduga negatif lainnya memeneuhi isi kepala. 

Wanita ini, sumber patah hati. Entah pelet macam apa yang digunakannya, hingga lelaki yang kucintai–teman dari dini tak mampu menganggapku yang selalu menamani.

Dan kabarnya, lelaki yang kucintai itu melangsungkan lamaran dua hari yang lalu.

Aku menggeleng. Stop, jangan bawa masalah personal. Ini urusan pekerjaan, maka harus profesional! Tegasku pada diri sendiri.

"Apa yang membuatmu datang kemari, Nona?" Kulemparkan pertanyaan pertama yang tak lupa dengan selarik senyuman agar membuatnnya nyaman. Itu adalah sebagai keharusan, meski saat ini aku melakukannya dengan penuh sandiwara agar tak terlihat kalah di hadapannya. Sedangkan tanganku yang berkuku panjang ini sangat gatal untuk mencabik seonggok tubuh wanita yang telah sepuluh tahun lalu menjadi duri dalam daging.

Tak menyahut sama sekali, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara.

Raganya terlihat kosong dengan pandangan yang menerawang, mungkin menyusuri segala sudut kenang. Namun yang pasti, isi kepala itu terlalu sesak.

Apa yang terjadi dengannya? Aku mulai penasaran. Apakah dua hari lalu gagal lamaran?

Mati-matian aku membujuk hati yang terbakar amarah untuk sedikit mengasihani. Berbagai rapal kalimat untuk menyadarkanku dari kegilaan ini. Menyugesti diri untuk tetap dalam kendali. Harga diri sebagai profesi menjadi pertaruhan saat ini.

Sempat beberapa menit disergap sunyi. Tak ada tanda-tanda akan membuka suara, apalagi hanya sekedar menjawab tanya.

Pengabaian. 

Namun, berikutnya aku baru menyadari dengan seiringnya luruhlah dinding batu yang menyelimuti hati. Salah satunya, hal seperti inilah yang kusuka dari konsepsi ilmu jiwa. Sebagai remote control untuk wajar dalam berekspresi. Dengan kata lain sangat berguna untuk menangani diri, secepatnya mengendalikan pada realita yang pernah atau sedang dihadapi.

Bukankah pengabaian ini tidak terjadi untuk pertama kalinya?

Bahkan bukan untuk pertama kalinya juga mendapati seseorang yang enggan berbicara, padahal mereka sudah paham tujuannya datang.

Perlu menunggu beberapa detik lagi untuk mengajukan pertanyaan kedua sekaligus menarik perhatiannya dengan tatapan sengaja agar merasa diperhatikan.

Namun, detik itu pula kepalanya menoleh lalu menggeleng. Mata itu menyiratkan keraguan bahkan ketakutan. 

Yeah, paham betul apa maksudnya. 

Dengan datangnya kemari, mereka sudah tak punya lagi pendengar akan ceritanya. Sejak itu terjadi, mereka akan menutup diri. Entah sengaja karena menurutnya manusia lain sudah tak dapat dipercaya atau karena dirinya sendiri hilang percaya diri. Semuanya mereka simpan rapat-rapat sendirian, tak pernah sedikit pun berbagi. Hingga lelah dan kewalahan, mereka butuh pendengar.

Kuselami legamnya manik yang membingkai  mata bulatnya itu. Namun pupilnya sangat kecil dan redup bahkan tersamarkan oleh bayangan bulu mata lentiknya. Permukaan matanya yang bening bak kristal itu tak mampu menghadirkan binar. Sarat akan kesakitan.

Aku tertawa kecil, bukan ingin menertawakannya sungguhan karena terlihat sebagai pesakitan, tetapi mencoba mengendurkan otot-otot wajah agar terlihat ramah.

"Segala sesuatu pasti punya alasan, Nona," ucapku memberi pengertian. "Bahkan datangnya Anda kemari dalam keadaan sadar," lanjutku sediplomatis mungkin.

Masih dengan lekat menatap netranya, aku mencoba meyakinkan. Tersenyum tulus bersimpati.

"Ssaa-kit." Suaranya tercekat juga terdengar begitu sesak.

Yeah, dia datang kepadaku memang murni sebagai pesakitan. Bahkan dalam keadaan sangat kacau dan memprihatinkan. Sunghuh kasihan! 

Bahu itu mulai berguncang. Rapuh kemudian luruh. Entah kemana dirinya yang dulu. Hilang atau terjebak? Aku tak mengenalnya dalam kondisi sekarang. 

"Bicaralah! Saya tidak akan menyela selagi tidak diminta," tawarku akhirnya. 

Dan aku pun segera menyiapkan segenap perlengkapan untuk merekap catatan tentangnya. Kemudian segera memposisikan diri sebagaimana yang harus aku lakukan: mendengarkan. 

Tentang cemburu yang mungkin saja akan menyergap ketika lelaki pujaan hadir dalam cerita pasien di depanku ini dengan begitu manis, itu urusan nanti. Jangan khawatir, aku akan menghabisinya. Sebab satu hal yang pasti, dalam keadaan ini aku benar-benar netral. Kemarahan yang sempat mengendap itu telah menguap, entah karena tuntutan profesional atau memang sepotong hati tergelitik kasihan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status