Share

BAB 1

~ Keberanian itu sebagai awal pemberontakan. Dan pemberontakan adalah awal dari perubahan.

___________

Dia seorang gadis dari keluarga berada. Seatap dengan orang tua lengkap di bawah bangunan paling mewah di desanya. Terpandang karena kekayaan keluarganya.

Sayang nasibnya tak semujur yang terlihat. Terlahir sebagai wanita yang hidupnya diperlakuan seolah tidak berharga.

Sejak ia mulai bisa mengingat, Allsya sudah harus tahu bagaimana caranya agar tidak meminta jatah makan dua sang kakak lelaki yang berlauk mewah sedangkan dirinya hanya nasi bertabur garam. Sebenarnya mereka selalu berbaik hati menyisihkan untuknya, tapi percuma selalu ketahuan sang ayah yang kemudian akan dilahapnya begitu saja.

Allsya kecil selalu bertanya-tanya, kenapa ia selalu diperlakukan berbeda? Namun, pertanyaan itu tak pernah sampai pada siapapun karena dirinya sendiri selalu bisa menjawabnya. Tentu saja Allsya harus selalu sama dengan sang mama.

Pagi itu adalah sebuah rutinitas sang ayah yang menyempatkan diri berkumpul sebelum pergi bekerja-dengan dua kakak lelakinya yang tak henti menyebutkan permintaan.

"Lysa mau sepeda hitam, yah."

Seperti yang sudah diduganya permintaan Allsya tak akan digubris. Tak ada tawar menawar.

Namun, ada yang lebih menyakitkan lagi dari sebuah penolakan. Ketika sang ayah pulang dengan menenteng pesanan dua kakak lelakinya.

Kecemburuan itu seolah sengaja diciptakan sang ayah. Lalu membiarkan iri merasuki relung hati.

Mama juga tidak memakai sepeda, begitu pikir Allsya untuk menenangkan hati kecilnya yang tak mampu marah.

Hal itu memang tak membuat seketika mati, tapi perlahan menusuk hati Allsya secara pasti. Terlebih semenjak pikirannya yang mampu dengan bebas mengkritisi.

***

Benar kata R.A. Kartini, wanita yang sudah dicerdaskan pikirannya tidak akan sanggup lagi hidup di dunia nenek moyangnya.

Begitupun Allsya bertahan hidup dengan keras kepalanya.

Semenjak dikenalkan oleh sang mama dengan aksara, Allsya begitu semangat dan juga cepat mempelajarinya. Memang pada dasarnya ia anak yang cerdas. Ketika teman sebayanya baru mengenal salah satu huruf abjad di taman kanak-kanak, ia sudah kenyang dengan bahan bacaan yang dipinjamnya dari sang kakak.

Kecintaannya mencari ilmu itu penuh lika-liku. Perjuangannya menempuh pendidikan mendapatkan banyak tentangan. Celaan masyarakat setempat yang menjadi makanan harian. Begitupun sang ayah yang dengan tegas melarangnya.

Ketika Allsya duduk di kelas V, sang ayah dengan terang-terangan memintanya untuk berhenti sekolah.

"Sudahlah tak usah sekolah, capek!" Begitu kata ayahnya.

Allsya heran, apanya yang membuat capek? Padahal ia sendiri merasa tidak keberatan meski harus menempuh empat kilo meter dengan jalan kaki, justru senang menjalani rutinitas setiap hari di sekolah. Karena di sana ia bisa bermain dengan teman-temannya. Tidak seperti di rumah yang selalu disibukkan dengan membantu aktivitas sang mama yang menggunung , ia merasa terkungkung.

"Ayah, sok tahu," gumamnya pelan. Berlalu dengan mengangkat bahu.

Dibalik semua lancarnya setelah percakapan itu, Allsya tidak tahu apa yang dikatakan sang mama. "Tanggung Kang, tunggu Allsya lulus setahun lagi," ucap mamanya waktu itu mencoba bernegoisasi.

Dan benar saja, janji yang diucapkan mamanya itu ditagihnya lagi ketika Allsya di penghujung SD-ketika teman-temannya sibuk mendaftarkan diri untuk melanjutkan ke jenjang SLTP.

"Kenapa Lysa gak boleh sekolah, Ayah?"

"Karena kamu perempuan."

Sungguh, alasan klasik yang tak masuk akal!

"Semua orang punya hak yang sama akan pendidikan, ayah." Protes Allsya begitu kencang-tak terima.

"Kamu ...!" Murka ayahnya dengan mata yang hampir lompat keluar juga telunjuk yang mengacung ke arah Allsya seolah itu bisa membunuhnya.

"Pokoknya aku mau sekolah," kekeh Allsya tak menghiraukan kemarahan sang ayah. Ditatapnya balik mata yang melotot itu dengan tak gentar. Lalu dibantingnya pintu kamar sebelum ayahnya akan membuka suara.

Itu kali pertamanya Allsya bersikap demikian. Keberanian itu sebagai awal pemberontakan. Dan pemberontakan adalah awal dari perubahan.

"ANAK KURANG AJAR!!!"

Teriakan ayahnya yang menggelegar sama sekali tak menciutkan nyali. Allsya nekat sekali akan melanjutkan sekolah. Toh tidak perlu biaya, begitu pikirnya.

Memang pada waktu itu, SMP negeri tidak memungut bayaran sama sekali. Tetapi Allsya tidak tahu, biaya sehari-hari dan keperluannya untuk melanjutkan sekolah itu tidak luput dari yang namanya uang.

Dan sejak itu pula, Allsya tidak tahu dunianya semakin tidak wajar. Apalagi haknya sebagai anak sengaja diabaikan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status