"Saya menjadi langsing, karena ... termotivasi ibu dulu yang mengatakan saya gendut dan bakal sulit punya anak, ditambah kelakuan Roma yang minta ditimpuk sandal, dan tugas kuliah yang nggak ada habisnya ." Jawabku dalam hati.
"Saya menjadi langsing karena...." jawabanku terpotong dengan ucapan orang tua bu Riana.
"Lo jeng Siti kenal dengan mbak suster ini kah? " tanya beliau.
" Iya kenal, dulu temennya si Roma, dulu tapi gend..." ucapan jeng Siti terpotong oleh ucapan bu Rania.
" Mbak Adel, ini anting anakku. Tolong dipasangkan ya," pinta bu Rania sambil menyerahkan sepasang anting mungil nan cantik.
"Oh iya mbak, saya bawa ya antingnya sama adek bayinya," sahut ku sambil mendorong kereta bayi.
"Iya mbak, terimakasih banyak," sahut bu Rania.
Kemudian aku mendorong kereta bayi tersebut menuju ruang perawat.
Terlihat Nur sedang mempersiap injeksi obat jadwal jam 8 malam.
"Lo, kenapa bayinya dibawa ke sini mbak?" tanya Nur.
"Iya mau masangin anting-anting bayi nih, " jawabku.
"Waduh, cie, baik bener pada baby mantan, hahahahah," ledek Nur.
Aku manyun. "Eh, daripada ngeledekin aku mulu, bantuin megang kepala bayinya dong, biar ga gerak-gerak kepalanya," pintaku.
"Oke deh, " Jawab Nur sambil mengacungkan jempol.
Tanpa dinyana ternyata pak Roma mengikuti kami dari belakang sampai di ruang perawat.
"Mbak, mau izin merekam pemasangan antingnya boleh gak?" tanyanya.
"Ya Allah, kenapa sih borokokok ini pake acara mau merekam segala," batinku.
"Boleh pak, silahkan direkam, pake sudut yang bagus dan nanti minta tolong posting di youtube ya pak," kelakar Nur.
Aku mendelik pada Nur yang sudah tertawa. "Maaf lo pak sebelumnya, memang tidak ada larangan untuk merekam tindakan paramedis di RSIA (Rumah Sakit Ibu dan Anak) ini selama tidak menganggu petugasnya, tapi saya dari tadi terganggu dengan bapak yang mondar mandir saat saya membantu persalinan istri bapak," jawabku.
"Saya janji Del, akan tutup mulut dan hanya merekam anak saya ditindik nggak lebih, yaquin, swear," Pak Roma mengangkat telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
"Huft, okelah terserah bapak," akhirnya aku menyerah.
Aku mengambil busa tebal dari salah satu kursi di ruang perawat. Nur meletakkan bayi pak Roma di atasnya. Aku mulai membuka anting yang diberikan oleh bu Rania.
"Duh, antingnya tumpul, perlu bantuan jarum steril nih." Gumamku. Memang biasanya ada dua macam anting yang pernah kujumpai. Pertama anting dengan ujung runcing, cara memasukkan ke telinga tinggal menusukkanya saja. Kedua anting dengan ujung tumpul, cara memasukkannya memakai bantuan jarum steril.
Lantas aku mengambil jarum steril dan kapas alkohol. Mulai mengusap telinga bayi yang akan ditindik.
Dan pak Roma pun mulai menyalakan rekamannya. "Eh, nggak harus pake flash juga kali kalau merekam, Fergusso, bikin silau aja," batinku.
Usai mengusap telinga dengan kapas alkohol, aku mengambil jarum steril yang telah kupersiapkan.
"Eh, Del, kok pake jarum, emang gak bisa gitu antingnya dicubleskan langsung pada telinga?" tanya pak Roma tanpa mematikan rekamannya.
Aku diem saja dan tetap fokus pada telinga bayi. Entah cuma perasaanku atau memang benar disengaja, kamera pak Roma selalu mengarah ke mukaku.
"Dipasang anting dulu ya dek, bismillah,"
Aku mulai menusuk telinga kanan dari arah belakang dengan jarum, begitu jarum masuk tembus ke telinga depan segera kumasukkan anting tersebut kedalam ujung jarum dan menarik jarum ke belakang lagi sampai lepas dari telinga.
Sontak bayi yang terdiam menjadi menangis keras. Aku langsung mengambil kapas alkohol dan menekan telinga kanan bayi yang baru saja terpasang anting.
"Aduh Del, aduh Del, aduh nak, sabar nak, bu bidan nanti dicubit ya," seru pak Roma sambil terus merekam kami.
Aku membiarkan pak Roma ngoceh sendiri. Dan melakukan pemasangan anting pada telinga kiri. Tak lupa aku menekan telinganya dengan kapas alkohol.
Dan drama pemasangan anting pun selesai.
"Nah pak, sudah selesai, siapa tadi yang bilang akan diam saja dan tutup mulut, gangguin orang kerja aja, "aku bersungut-sungut sambil menggendong bayinya.
"Maaf Del, khilaf," sahut pak Roma menunduk.
"Khilaf kok bolak balik, dan itu ngapain kamera nyala terus, dimatiin to, sengaja mau ngerekam saya?" aku risih juga.
"Eh iya khilaf lagi."
Aku manyun. Nur terkikik.
"Ya Allah, dines kali ini betapa menguji kesabaran. Cukup sekali bertemu dengan mantan dan keluarganya, jangan lagi bertemu, " doaku dalam hati.
Tapi ternyata setelah ini, aku harus sering bertemu keluarga mereka.
Aku menggendong bayi tersebut dan meninggalkan ruang perawat diikuti oleh Nur dan pak Roma.
Nur kembali mempersiapkan injeksi jam 8, dan aku berlalu sampai ke ruang bu Rania.
"Assalamualaikum," ucapku sambil mendorong handle pintu.
"Waalaikumsalam, eh, bidan cantik lagi gendong anak cantik. " Seru bu Rania.
Aku tersenyum mendengar pujiaannya. Dan mengembalikan anaknya pada kereta dorong bayi.
"Makasih lo mbak Adel sudah masangin anting anak saya, sudah nolongin saya, pokoknya mbak Adel terbaik, " seru bu Rania.
"Wah, itu sudah tugas saya bu. Menolong dan merawat pasien hamil dan bersalin." Jawabku.
"Mohon diterima ya bu, untuk makan malam bersama teman ibu yang tadi, tanda terimakasih saya," ucap bu Rania sambil menoleh ke arah ibunya.
Ibunya mengangguk dan menyerahkan sekantong kresek, beserta sekeranjang kecil aneka buah padaku.
"Maaf bu, saya tidak bisa menerimanya, kan memang tugas saya untuk menolong pasien, " tolakku halus.
"Terima aja Del, kamu gak tahu sekarang kamu kurus kering," kata pak Roma.
Gak sekarang, gak dulu tetap body shamming. Ish.
"Terima ya mbak Adel, gak boleh lo nolak rejeki," tukas bu Rania.
"Hm, iya, terimakasih ya bu, saya terima," akhirnya aku menyerah dan menerima dua bungkusan makanan tersebut.
"Oh iya bu, kalau untuk malam ini, mau rawat gabung atau bayinya diserahkan ke ruang bayi?" tanyaku.
"Rawat gabung saja mbak, sekalian saya nyoba ngasih ASI. " Jawab bu Rania.
"Oh, ya sudah, saya pamit dulu." Aku membuka pintu kamar dan menutupnya dari luar.
"Hm, ada-ada saja, apa ya isi bungkusan ini," gumamku sambil menenteng 2 bungkusan di tangan kanan dan tangan kiri.
"Wah mbak, apa itu?" tanya Nur penasaran.
"Yang ini kan kamu udah lihat keranjang isi buah, yang dalam kresek ini aku gak tahu isinya apa, kita lihat bareng pas kelar nyuntik ya," kataku pada Nur.
"Sip mbak, obatnya sudah kumasukkan spuit (alat suntik) tinggal menyuntikkan ke pasien saja. " Jawab Nur.
"Oke, ayo kalau gitu kita injeksi bareng-bareng," sahutku.
Selesai melakukan injeksi, kami mencuci tangan dan bersiap melihat isi dalam kresek hitam.
Yang pertama jelas keranjang berisi buah-buahan, yang kresek hitam kedua berisi..........?
Next?
Rating 21Cinta lahir bertepatan dengan cinta Adam pada Hawa. Lalu cinta mekar dan berbunga bersamaan dengan cinta Yusuf pada Zulaikha. Sayangnya cinta menjadi gila bertepatan dengan cintanya Majnun pada Laila. Namun sayangnya cinta menjadi mati bersamaan dengan matinya Romeo dan Juliet. Namun hari ini, cinta hidup dan mekar kembali bersamaan dengan hadirnya cintaku padamu.Aku melempar tatapan mendelik pada mas Andi. Sementara mas Andi tersenyum kecil. Hatiku sudah ser-seran rasanya saat mas Andi berbisik di telingaku tadi."Mas, perlu dibantu untuk berdoa setelah akad? " tawar pak penghulu pada mas Andi.Mas Andi menggeleng. "Saya sudah bisa pak, " katanya seraya memegang kepalaku dan berdoa tepat diatas ubun-ubun, "Allahumma inni as'aluka min khoiriha wa khoirimaa jabaltaha 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarimaa jabaltaha 'alaih."(Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan dirinya dan kebaikan yang engkau tentukan atas dirinya. Dan aku berlindung kepadaMu dari kej
Aku tidak menyangka Roma yang nekat akan meracuni mas Andi malah berbalik meminum racunnya sendiri. Malah kini dia harus menginap di ruang ICU.Tapi justru ada hikmah besar di balik kejadian tersebut. Menurut mas Andi, tante Ani meminta papa untuk mempercepat rancana pernikahanku dan mas Andi.Aku sangat berbahagia dengan keputusan papa. Apalagi bapakku protes padaku karena belum menikah tapi sudah sering semobil berdua."Bapak takut kamu khilaf dan tiba-tiba memberi bapak cucu," kata bapak waktu itu.Karena itu aku dan keluargaku menyambut baik rencana papa dan tante Ani. Tapi tante Ani juga punya permintaan, yaitu menguji reaksi Roma kalau tahu aku dan mas Andi akan menikah.Maka malam ini aku mengunjungi Roma lagi di ruangan VIP, setelah kemarin aku mengunjunginya di ICU.Sungguh suasana yang canggung banget. Sepi dan hening. Aku cuma bicara satu dua kalimat saja. Tidak tahu cara mencairkan suasana.Sempat bingung juga bagaimana memberitahu Rania dan Roma tentang rencana pernikahan
pov AndiSetelah aku mengantarkan Adelia pulang dari melihat Roma di ICU rumah sakit Al-Hikmah ke kontrakan, aku segera pamit pulang ke rumah baruku untuk melihat pekerjaan tukang.Ternyata lebih cepat dari prediksiku. Mungkin 4 hari bisa selesai dan aku langsung bisa membeli perabotan untuk mengisi rumah.Setelah ashar, para tukang berpamitan pulang, akupun menuju rumah Rania untuk beristirahat.Aku membaringkan tubuh penatku saat ponsel khusus keluarga di atas meja berbunyi.Aku bangun dari ranjang, dan langsung meraih benda pipih itu."Dari papa? tumben papa telepon," gumamku penuh tanda tanya.Tanpa membung waktu, aku bergegas untuk menerima telepon dari papa."Assalamualaikum, apa kabar Pa?" sapaku."Waalaikumsalam, kabar papa baik, ada hal penting yang perlu kita bahas, tentang masa depan kamu, bisa kamu ke rumah sekarang? " tanya papa."Iya Pa, Andi langsung berangkat habis ini ya,"jawabku.Setelah mendapat kepastian kedatanganku, papa langsung menutup sambungan telepon usai m
pov RomaAku seperti bermimpi mendengar suara Rania mengaji di dekatku. Suara itu terdengar samar dan begitu merdu.Selanjutnya masih seperti dalam mimpi, saat aku mendengar Rania berkata, "Mas, cepat sembuh ya, sakit hatiku saat melihatmu masih mencintai Adelia tidak seberapa dibanding khawatirnya aku karena takut kehilanganmu,"Aku merasa Rania mencium kening dan mengelus rambutku. Serta berbisik,"aku mencintaimu Mas, mencintai kelebihanmu dan segala kekuranganmu,"Kemudian sepi lagi merajai hati. Lalu aku merasa berada di padang rumput yang luas.Antara sadar dan tidak, aku seperti melihat Rania menggendong Rum menjauh dariku, "Jangan pergi," seruku.Tapi Rania tetap berlalu sambil melambaikan tangannya. "Kamu sepertinya lebih mencintai Adelia, Mas, jadi apa gunanya aku dan Rum ada di dekatmu," sahutnya semakin menjauh.Terengah-engah aku mengejarnya."Aku minta maaf sayang, aku janji akan melupakan Adelia, aku mohon maafkan aku, aku akan jadi suami dan ayah yang baik." Janjiku."Te
pov RaniaAku baru saja berganti baju seusai mandi saat mendengar mas Andi berteriak. Dari suaranya terdengar begitu panik.Aku buru-buru keluar dari kamar dan menuju ruang makan, asal suara mas Andi berteriak.Mama juga tergopoh-gopoh turun dari kamarnya di lantai atas.Dan betapa terkejutnya aku melihat mas Roma tergeletak miring dengan berwajah kebiruan dan mulutnya berbusa.Aku langsung menangis histeris. Mas Andi lalu memberikan Rum pada mama.Mas Andi segera memeriksa nadi di pergelangan tangan Roma kemudian dia langsung berlari ke arah kamarnya.Tidak berapa lama, ambulance pun datang. Mas Andi segera menuju ruang depan dan kembali ke ruang makan bersama perawat UGD.Kemudian mas Andi dan perawat tersebut menaikkan mas Roma ke atas brangkard kemudian mendorongnya ke halaman."Rania, ayo ikut denganku ke rumah sakit," instruksi mas Andi padaku.Aku mengangguk. Dengan wajah bingung dan masih berlinangan air mata aku mengikuti mas perawat yang mendorong brangkard ke dalam ambulance
pov dokter Andi Semalaman aku memikirkan perkataan Adelia di telepon. Apa benar Roma akan melakukan hal nekat untuk mendapatkan Adelia, sementara aku adalah sepupu Rania. Apa Roma tega melakukan hal buruk padaku.Ah, masa bodoh. Aku cuma perlu waspada saja pada segala ucapan dan tindakan Roma sekarang.Lelah berpikir kemungkinan yang akan Roma lakukan padaku membuatku lelah dan tertidur.Besok harinya, setelah sholat subuh, aku memilih bersantai di kamar sebelum aku mengawasi para tukang di rumahku.Saat sedang asyik membaca artikel kesehatan, aku dikejutkan oleh ketukan pintu. Sepertinya suara Roma."Ndi, coba keluar kamar sebentar, aku mau ngobrol," serunya.Dengan rasa penasaran aku membuka pintu dan tampaklah wajah Roma di depan kamar.Aku mulai bersikap waspada."Ada apa? tumben ngajak ngobrol," tanyaku. Curiga? jelas. Selama aku tinggal disini, dia jarang mengajakku ngobrol lebih dahulu."Iya, cuma mau nanya aja, semalam kayaknya aku denger kamu beli rumah ya," tanya Roma ramah.