LOGINKenapa aku sampe gemeteran sama toko parfum? Sebenernya udah lama aku musuhan sama semua bau. Nggak cuman parfum. Tapi trauma ini mendadak naik level gara-gara rentetan kerusuhan pagi tadi.
Ingatan Dimas melayang mundur.
Saat itu, di ruang HRD studio digital printing, Dimas berusaha duduk tegap. Di depannya ada om-om yang gayanya udah kayak yang paling punya kantor. Kakinya nangkring santai di atas meja, nunjukin sol sandalnya yang semulus pipi artis Korea. Di situ tertempel noda cokelat misterius.
Mudah-mudahan bukan eek kucing.
Si om HR membolak-balik CV Dimas dengan kecepatan siput, seolah sedang meneliti naskah kuno. Tatapan matanya kosong kayak isi dompet akhir bulan.
Dimas melirik jam dinding di sebelah kirinya; sudah sepuluh menit lebih jarumnya bergeser dalam keheningan.
Mumpung nganggur, ia pun mengamati sekitar. Ruangan ini ternyata multifungsi: ruang kerja, gudang, sekaligus sauna. Tumpukan kertas dan gulungan spanduk membentuk lanskap pegunungan di setiap sudutnya. Satu-satunya sirkulasi udara datang dari kipas angin di langit-langit yang putarannya agak sekarat.
Tapi semua “kenyamanan” ini—ruang sempit, panas, dan om-om tatapan kosong—masih bisa ditolerir. Asal ada empat aturan emas yang tidak dilanggar: 1. Jangan; 2. Suruh; 3. Buka; 4. Masker.
"Bisa dibuka maskernya, Mas?"
Duh, mampus.
Otak Dimas langsung masuk mode taktik. Wah, gimana ini? Sik, sik, santai Dim, gini skenarionya. Choice A: aku tolak. Si Om bakal auto-nyinyir, CV-ku dilempar ke bak sampah, pulang jadi pengangguran terhormat. Keren sih. Choice B: aku buka. Dalam hitungan detik aku bakal sengsara, dijamin viral, malu seumur hidup. Tapi ada peluang 1% bakal diterima kerja. Hm … worth it gak ya?
Dimas memilih secret choice C: negosiasi. “Umm … anu, Pak …. Saya ada kondisi medis, itu sudah saya tulis di bagian atas sendiri,” katanya sambil menunjuk berkasnya dengan gugup.
“Kondisi medis apa? Covid udah lewat kok,” balasnya, seolah masalah hidup Dimas itu cuma selevel gangguan nyamuk. “Udahlah, buka aja.”
Nyerah. Dimas menarik napas panjang lalu dengan gerakan setegang tim gegana, ia melepas kaitan maskernya. Seketika, udara sumuk yang tadi tertahan langsung nyerbu lubang hidungnya. Ia buru-buru menahan napas, beralih ke mode pernapasan lewat mulut.
Si Om nurunin kakinya dari meja dengan bunyi gedebuk kasar. “Oke, Mas Dimas. Coba ceritakan, apa kelebihan terbesarmu?”
Crut.
Sebuah pelor cilik meluncur dari mulut si Om. Mata Dimas menangkap setitik air liur melayang seanggun atlet ice skating sebelum mendarat di meja dengan bunyi ‘tik’ yang nyaris tak terdengar.
Dimas melotot. Jigongnya mencolot, gaes. Oke, oke, Dim, fokus, fokus. Keluarin jurus ‘Menjilat buat Meroket’. Bernapas lewat mulut, ingat, bernapas lewat mulut.
"Um ... anu, saya …, kata teman-teman, saya cepat belajar, Pak. Saya yakin bisa segera jalankan SOP perusahaan, apalagi kalau dibimbing sama orang yang berpengalaman kayak Bapak.”
Si Om langsung menegakkan punggung, perut buncitnya ikut terangkat bangga. “Terus, kenapa tertarik kerja di sini?”
Bresss. Rentetan muncratan baru datang lagi, kali ini kayak gerimis lokal.
Dimas menahan diri untuk tidak menyeka dahinya. “Anu … saya lihat reputasi perusahaan Bapak ini luar biasa dalam hal kualitas cetak, jadi, umm … saya ingin jadi bagian dari tim yang terhebat.”
Si Om tersenyum lebar, memamerkan pemandangan gigi yang … ya begitulah. “Ah, ini sebenernya bukan perusahaanku, sih. Aku kerja aja, tapi pantes ya aku jadi bos di sini?” Alisnya naik dua kali.
“Oh, Bapak karyawan?” Dimas pura-pura terkejut. “Masa, sih? Saya kira bapak bosnya.”
Si om menatapnya tajam sejenak, lalu meledaklah dia. “BHUA HA HA HA!”
Tekanan pada huruf ‘BH’ itu menciptakan cipratan tunggal berkecepatan tinggi. Laksana penembak jitu, setetes iler mendarat sempurna ke dalam mulut Dimas yang sedikit terbuka.
BWAH! APAAN NIH? Dalam sepersekian detik, Dimas lupa cara bernapas lewat mulut dan auto-narik napas … lewat hidung.
Realita di depan mata Dimas langsung meleleh. Wajah si om berubah. Meregang. Mulutnya memanjang menjadi corong hijau tua yang berkedut-kedut. Pupil hitamnya melebar, menelan seluruh bagian putih matanya. Kancing dadanya copot dan dari dalam menyeruak dedaunan rimbun.
Dimas membeku.
Monster itu menatapnya sebentar ... lalu memuntahkan peluru pertamanya.
CEP-PLOK!
Refleks, Dimas menjatuhkan diri ke belakang bersama kursinya. Saat tubuhnya hendak terhempas ke lantai, matanya terpaku pada proyektil hijau yang melesat tepat melintasi mukanya. Sebuah biji pete sebesar bola tenis, berputar di udara sambil memuncratkan butiran-butiran liur yang nempel di permukaan.
Peluru pete itu menghantam dinding di belakangnya sampai bolong.
Punggung Dimas mendarat keras di lantai. Belum puas mengaduh, Dimas menyadari si monster sayur mengincarnya lagi, lalu menembak tiga kali.
PLOP! PLOP! PLOP!
Dimas berguling ke samping, menghindari rentetan tembakan yang menghantam lantai semen polos industrial, meninggalkan ceruk kawah-kawah kecil berbau busuk.
Berlindung! Berlindung!
Dimas merangkak panik, lalu menggulingkan meja kecil di depannya untuk dijadikan tameng. Tak sampai sedetik, sebuah peluru pete menghantam meja itu hingga hancur berkeping-keping.
"AKH!" Dimas terpental ke belakang, menabrak tumpukan kardus mug hingga menyebarkan pecahan keramik. Ruangan itu kini luluh lantak. Tubuhnya terhimpit reruntuhan, ia tidak bisa bergerak.
Monster itu mengarahkan moncongnya tapi tidak segera menembak. Mulut monyongnya ditarik ke belakang sambil bergetar-getar. Mulutnya mulai bersinar hijau pekat dikelilingi kilatan listrik liar, mengeluarkan suara desing bernada tinggi.
“Waduh, gawat! Jangan! Ampun, Paaaaak!” Tembakan pamungkas akan datang. Dimas tidak bisa menghindar.
“AAAAAAAAAAAAAAAA …!”
… Jeritan keras itu cuma terdengar di dalam kepalanya. Kenyataannya, Dimas masih duduk kaku di kursinya, menjawab pertanyaan demi pertanyaan dengan senyuman yang ditarik selebar mungkin. Wajahnya sedikit berkilau oleh cipratan-cipratan liur dari om HR. Ruangan itu masih utuh, gerah seperti biasa.
Si om tersenyum puas. “Jawaban yang bagus! Saya suka semangat Mas. Kelihatan dari cara Anda natap saya.”
Dimas mesam-mesem.
Si om merenung sejenak, tampak damai seperti pertapa. “Mas ini satu-satunya orang yang attitude-nya bagus, lho.” Lalu wajahnya berubah menegang. “Tak kasih tau ya, Mas? Selama saya wawancara … tiba-tiba orang tu suka kabur! Pergi gitu aja! Nggak ngomong, nggak apa, ngilang! Kenapa coba?!”
Hm … kenapa, ya, kira-kira?
“BENER kata orang-orang, Mas. Gen Z tu … WUAH! GAK SOPAN! GAK TAHAN BUANTING!” Siraman ludah sukses mendarat di wajah Dimas. Beberapa bahkan berhasil menyusup masuk ke matanya. Dengan kepasrahan tingkat tinggi, Dimas tidak berkedip.
Apa pun lah, Om.
Pewawancara itu tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangannya. “Feeling saya bagus sama Mas Dimas. Selamat. Mas saya terima kerja di sini.”
Tangan itu terulur. Tawaran pekerjaan. Akhirnya sebuah kemenangan. Mereka pun bersalaman. Jarak mereka sangat dekat.
“Jangan kuatir, saya pastikan Mas nanti seruangan sama saya.”
Crot. Crot. Crot. Mereka masih bersalaman. Jarak mereka sangat dekat.
“Suka ngobrol, kan? Waa … kalau ngobrol sama saya bisa lupa waktu, Mas.”
Crot. Crot. Crot. Mereka masih bersalaman. Jarak mereka sangat dekat.
“Bisa sampai jam dua, jam tiga pagi.”
Crot. Crot. Crot. Mereka masih bersalaman. Jarak mereka sangat dekat.
“Apalagi sambil makan pete! Walah, muanthaaap! Oegh!” Si om bersendawa, mengantarkan segumpal asap hijau ke muka Dimas.
Yak, cukup sekian.
Seketika, perut Dimas serasa diremas dari dalam. Keringat dingin membanjiri pelipisnya. Mulutnya tiba-tiba penuh oleh air liur. Ia mencoba menelannya kembali, tapi gagal. Dan ia pun …,
“HOEEEEEEEEEEK!”
Gadis itu tampak tenggelam sepenuhnya dalam misi absurd menuntun seekor bekicot ke tempat aman. Seluruh dunianya seolah menyempit, hanya tersisa dia dan si hewan berlendir itu.Namun bagi Dimas, magnet sesungguhnya ada pada sosok bergamis hitam di depannya.Apalagi kalau dilihat dari samping seperti ini. Dimas bisa melihat dengan jelas bagaimana setiap kali kelopak mata gadis itu mengerjap pelan, barisan bulu matanya yang lentik ikut berayun lembut—seperti kipas sutra yang menyihir.Aku harus ngomong sesuatu nggak, ya? Tapi apa? Nanti kalau dia ilfeel gimana? Dalam keputusasaan itu, batinnya menjerit. Woy! Setya, di saat-saat penting gini kamu di mana?! Nama "Setya" yang terlintas di benaknya itu bekerja seperti saklar yang dinyalakan mendadak.Eh, tadi kan telponan sama dia?Dimas tiba-tiba teringat pada ponselnya. Ia menengok ke belakang. Beneran.Di sana, tergeletak pasrah di atas kerasnya trotoar, “setan gepeng” itu tampak mengenaskan. Layarnya menghadap ke atas, menampilkan ret
Otak Dimas langsung sibuk memproses semua file gosip yang pernah ia dengar. Katanya mereka itu punya “geng” sendiri. Kalau diajak salaman pasti nolak, ngobrol cuma sama yang sejenis, terus kalau ngeliatin orang tatapannya galak. Hidupnya kaku, isinya cuma pengajian sama aturan-aturan ketat. Mereka nggak nongkrong di kafe, nonton bioskop, maraton anime, dan tentu saja, nge-game semaleman.Dimas baru ingat, barusan ada bubaran acara di masjid yang ia lewati; gadis ini pasti salah satu dari mereka. Dimas nggak pernah sekalipun punya minat, apalagi rencana, untuk berinteraksi dengan kaum ini.Tapi sekarang, di sini, salah satunya sedang berdiri di depannya. Habis menyelamatkan nyawanya. Gara-ga
“GUOBLOOOK AS#XB%*^@!” Dimas berjalan lemas mendengarkan caci makian koleksi kebun binatang Setia dengan pasrah. Mungkin dia memang pantas mendapatkannya. Ya, kan? Nggak ada harapan lagi buat punya cewek, batinnya getir. Mereka semua wanginya kayak monster.Bagi Dimas, semua aroma berbahaya. Tapi musuh-musuhnya punya kasta.Bau sampah, keringat abang becak, atau pipis kucing? Itu cuma level kroco. Monster yang serangannya tumpul. Dimas masih bisa menahannya dengan bernapas pendek-pendek.Tapi parfum?Beda level. Mereka adalah penipu ulung. Di hidung orang normal, parfum adalah wewangian yang menyenangkan. Tapi di sensor hiperosmia Dimas, campuran zat kimia sintetis itu bermutasi menjadi makhluk yang jauh lebih mengerikan.Contohnya monster si cewek di taman tadi.Kepalanya mungkin berbentuk mawar raksasa yang cantik, tapi kelopaknya bukan lembaran bunga indah, melainkan mulut besar dengan ribuan gigi tajam. Batang-batangnya yang penuh duri bakal menusuk hidung dan memeras paru-paru
Dimas duduk lemas di trotoar. Dari sakunya, ia mengeluarkan botol kecil berisi pil andalan anti mual; latihan bertahun-tahun membuatnya fasih menelan obat-obatan itu tanpa air. Setelah beberapa detik, ia memakai tameng andalannya: sebuah masker respirator industrial setengah wajah. Masker biasa? Gak level. Masker ini di sisi kanan kirinya nempel dua kartrid yang isinya karbon aktif, arang sakti yang tugasnya nyedot semua bebauan. Mau asap knalpot, comberan, sampai aroma sate legendaris di ujung jalan—semua di-end dari realita.Hadirin sekalian, perkenalkan: Dimas. Seorang sarjana yang baru hunting kerjaan, dibekali ijazah dan sebuah kutukan bernama hiperosmia. Baginya, indra penciuman bukanlah anugerah, melainkan neraka personal di mana setiap bau menyengat bisa berevolusi. Di dalam otaknya, asap kendaraan bisa jadi raksasa bersenjata gada dan aroma pete menjadi monster tanaman yang siap menembakkan peluru penderitaan.Dengan satu tarikan tegas spidol hitam, Dimas mencoret satu nama
Kenapa aku sampe gemeteran sama toko parfum? Sebenernya udah lama aku musuhan sama semua bau. Nggak cuman parfum. Tapi trauma ini mendadak naik level gara-gara rentetan kerusuhan pagi tadi.Ingatan Dimas melayang mundur.Saat itu, di ruang HRD studio digital printing, Dimas berusaha duduk tegap. Di depannya ada om-om yang gayanya udah kayak yang paling punya kantor. Kakinya nangkring santai di atas meja, nunjukin sol sandalnya yang semulus pipi artis Korea. Di situ tertempel noda cokelat misterius. Mudah-mudahan bukan eek kucing.Si om HR membolak-balik CV Dimas dengan kecepatan siput, seolah sedang meneliti naskah kuno. Tatapan matanya kosong kayak isi dompet akhir bulan. Dimas melirik jam dinding di sebelah kirinya; sudah sepuluh menit lebih jarumnya bergeser dalam keheningan. Mumpung nganggur, ia pun mengamati sekitar. Ruangan ini ternyata multifungsi: ruang kerja, gudang, sekaligus sauna. Tumpukan kertas dan gulungan spanduk membentuk lanskap pegunungan di setiap sudutnya. Satu
“Waduh, ini mah K-Pop, Mas. Tampangnya sama semua,” keluh si abang ojol, semangatnya amblas.Mampus. Yang mana, nih?! Matanya melesat liar dari satu bus ke bus lainnya.Si abang ojol menunjuk ke depan, ke layar countdown timer lampu lalu lintas."Gawat, Mas," katanya sambil menelan ludah. "Itu bentar lagi ijo. Masalahnya, ini perempatan besar. Semua bus itu bakal mencar, Mas."Ia menoleh ke Dimas. "Mas cuma punya waktu 15 detik buat nentuin mau buntutin yang mana. Mas tadi sempet liat nomor jurusannya, nggak?"Dimas blank. Lupa memperhatikan detail seperti itu. Alhasil abang ojek langsung membuang muka sambil meluncurkan komentar-komentar tidak membangun.Dimas belum menyerah. “Bang, jalan pelan-pelan di samping bus,” nadanya tegas kayak komandan pasukan khusus. “Aku cek penumpangnya.”Rencana rempong itu pun dijalankan. Dimas bangkit berdiri di pijakan kaki belakang, berpegangan pada bahu si abang. Sesekali badannya goyang, berusaha menjaga keseimbangan. Motor mereka merayap pelan d







