Gubrak!
Kursi di ruang sidang Dewan Perang jatuh ke lantai ketika Li Feng berdiri mendadak. Matanya menatap lurus ke depan, namun dunia di sekelilingnya seolah memutar cepat dan memudar. "Jenderal Yu…?" gumamnya, nyaris tak terdengar. "Mustahil…" Tetapi tatapan kosong para perwira dan ekspresi getir Kaisar mengkonfirmasi satu hal: ini bukan kesalahan. Ini kenyataan. Pahit dan tajam. Jenderal Yu, lelaki tua yang selama ini dianggap sebagai pilar setia kekaisaran… ternyata bagian dari konspirasi yang selama ini menghancurkan negeri. "Aku... tak percaya...," desis Li Feng. "Feng'er, kendalikan dirimu," bisik Putri Ling’er di sampingnya. Ia menggenggam lengan pemuda itu erat-erat, seakan mencoba menahan tubuh Li Feng yang nyaris roboh oleh beban kabar itu. Namun hatinya bukan hanya remuk oleh pengkhianatan Jenderal Yu. Ada hal lain. Sebuah nama yang berputar-putar dalam pikirannya, tLangit memerah. Fajar menembus kabut tipis di lembah Wanshou. Di ujung tebing batu, tempat sunyi yang dahulu menjadi tanah pelatihan terakhir almarhum Guru Mo Jing, berdiri seorang pria dalam diam—Li Feng. Tubuhnya diam, tapi dadanya bergemuruh. “Kau mewarisi lebih dari sekadar jurus,” kata-kata terakhir sang guru terus menggema di benaknya. “Kau... mewarisi semangat.” Angin berembus pelan. Namun setiap tiupan seolah membawa bisikan masa lalu. Suara langkah kaki para murid yang telah tiada. Seruan tawa Mei Yue saat dulu mereka berlatih bersama. Tangisan senyap dari dirinya yang tak sanggup menyelamatkan mereka semua. “Maaf...” bisiknya lirih. “Aku terlalu lambat... terlalu lemah...” Tapi di balik suaranya yang pecah, ada bara yang tak padam. Dari balik kabut, suara langkah mendekat. Pelan. Tapi pasti. Seorang anak muda muncul. Bocah remaja berusia tak lebih dari lima belas tahun. Paka
Hening. Begitu heningnya ruang refleksi itu, hingga napas Li Feng sendiri terdengar seperti lolongan jiwa-jiwa terbuang. Di hadapannya, Mei Yue duduk lemah bersimpuh, dirantai oleh cahaya yang bukan berasal dari dunia ini. Rantai itu berkilauan bagai air, namun beratnya melebihi beban seribu kutukan. Cermin-cermin di sekeliling memantulkan bayangan luka—setiap dosa, setiap kegagalan, setiap keputusan yang pernah mereka sesali. “Li Feng…” suara itu lirih, retak, nyaris tak terdengar. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring dari guntur di langit. “Aku tak bisa keluar… kecuali kau membunuhku.” “Apa…?” Li Feng bergetar. Tangannya mencengkeram sarung pedangnya, lalu lepas lagi. Kakinya goyah. “Jangan… jangan katakan begitu.” Mei Yue tersenyum. Tipis. Pahit. “Kau tahu aku tak bohong. Ruang ini… ini bukan sekadar penjara. Ini adalah hukuman. Aku melihat semuanya, Li Feng. Setiap hari. Aku melihat kematianku berulang. Aku meliha
Pantulan yang Terlupakan Langkah kaki mereka bergema pelan di lorong batu yang lembab, membelah keheningan pekat di ruang bawah tanah Istana Giok Tua. Dinding di sekeliling ditumbuhi lumut, dan hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Tidak ada nyala obor, tidak ada cahaya bulan, namun entah mengapa Li Feng dapat melihat jalannya dengan jelas—seolah-olah kegelapan itu sendiri memberi ruang baginya untuk lewat. Ling’er mengekor di belakang, napasnya bergetar halus, penuh kekhawatiran. “Feng-ge… kau yakin ini tempatnya?” Li Feng tidak menjawab. Matanya tertumbuk pada sesuatu di ujung ruangan—sebuah cermin perak raksasa berdiri tegak, dikelilingi oleh kabut hitam yang terus berputar seperti asap dari api yang tak padam. Permukaannya tak memantulkan apa pun, hanya kekosongan. Begitu kakinya melangkah lebih dekat, kabut menyusut. Suasana berubah. Bukan hanya dingin yang menyentuh kulitnya—tetapi juga rasa sesak, seperti ada tangan
“Mei Yue…?” Suara itu nyaris tercekat di tenggorokan Li Feng saat ia menatap sosok di hadapannya. Matanya menyipit, mencoba mengusir keraguan yang menggumpal seperti kabut dingin di dalam hatinya. Di ujung arena Api dan Salju itu, berdiri seorang perempuan dengan gaun putih robek yang tampak melambai-lambai ditiup angin dingin. Rambut panjangnya basah dan kusut, menempel di wajah pucatnya. Tapi… mata itu… tatapan itu… Ah! “Itu kau… atau bukan?” gumam Li Feng, satu langkah maju. Tapi langkahnya goyah. Nafasnya terengah, tubuhnya masih bergetar karena suhu ekstrem arena yang telah ia lewati. Tapi bukan itu yang membuatnya ragu. Itu tatapan yang tidak wajar. Terlalu tenang. Terlalu… kosong. “Li Feng…” ucap sosok itu. Suaranya lembut, seperti bisikan di malam yang sunyi. “Kau datang juga…” Brak! Jantung Li Feng seperti dilempar keluar dari dadanya. “Tidak… Kau bukan dia!” serunya tiba-tiba. Ia mencabut Pedang Nag
Li Feng melangkah ke dalam arena yang dikenal sebagai "Api dan Salju", tempat ujian terakhir sebelum mencapai gerbang kultus Pedang Kegelapan. Di sekelilingnya, dinding-dinding es menjulang tinggi, memantulkan cahaya merah dari lava yang mengalir di bawah lantai kristal transparan. Setiap langkahnya terasa seperti menapaki batas antara kehidupan dan kematian. "Huh... tempat ini benar-benar menguji batas tubuh dan jiwa," gumam Li Feng sambil menahan rasa panas dan dingin yang menyerang bersamaan. Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara tawa yang familiar namun mengerikan. "Li Feng... akhirnya kau sampai juga," suara itu bergema, disertai kemunculan sosok Mei Yue dalam wujud iblis. Matanya menyala merah, dan aura kegelapan menyelimuti tubuhnya. "Mei Yue? Tidak... ini pasti ilusi!" teriak Li Feng, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Namun, sosok itu mendekat, mengulurkan tangan dengan lembut. "Datanglah padaku, Li F
Li Feng menatap ke dalam lembah yang diselimuti kabut kelabu. Udara di sekitarnya terasa berat, seolah dipenuhi oleh bisikan-bisikan yang tak kasat mata. Setiap langkah yang diambilnya menggema, menciptakan irama yang menyeramkan di antara keheningan. "Hati-hati, Li Feng," bisik Mei Yue yang berjalan di sampingnya. "Tempat ini bukanlah dunia yang kita kenal." Li Feng mengangguk, matanya tetap fokus menatap ke depan. Mereka telah melewati banyak rintangan untuk mencapai tempat ini, dan kini mereka berada di ambang kebenaran yang selama ini tersembunyi. Kabut yang Menyesatkan Kabut di lembah semakin tebal, menyelimuti segala sesuatu dalam bayangan abu-abu. Li Feng merasakan hawa dingin merayap di kulitnya, menusuk hingga ke tulang. Suara-suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan yang memanggil-manggil namanya. "Li Feng..." Ia berhenti sejenak, mencoba mencari sumber suara terse
Langit di atas Kota Perbatasan Luoying berwarna kelabu pekat, seperti pertanda duka yang belum usai. Angin utara membawa aroma besi dan darah, menggulung debu dan bisikan tak kasatmata. Li Feng berdiri di atas gerbang kayu kota, memandangi gulungan surat yang diikat dengan benang merah—warna darah. "Hah... ini bukan sekadar tantangan," gumamnya, suara serak seakan tertahan dalam kerongkongan. Di tangannya, cap hitam berbentuk naga berbalut duri menandai pengirimnya: Penerus Pedang Kegelapan. Mei Yue berdiri di sampingnya, gaun putihnya berkibar diterpa angin. “Kalau kau pergi... kau tahu konsekuensinya, kan?” bisiknya pelan. Li Feng tidak menjawab. Matanya memandangi jauh ke utara, ke arah Pegunungan Hitam yang diselimuti kabut keabadian. Di balik puncak-puncak beku itulah kultus baru Shen Lu bangkit. Dan dari sanalah undangan darah itu dikirim, bersamaan dengan ancaman yang membakar seluruh penjuru negeri. "Kita tak bisa m
Li Feng berdiri di atas reruntuhan sebuah kuil kuno yang hampir seluruhnya tertutup lumut, membiarkan angin dingin utara menyapu wajahnya. Pedang Naga Langit yang kini terasa berat di tangannya mengingatkan dia pada segala pengorbanan yang telah ia lakukan. Namun, di balik ketenangan di luar, ada kekhawatiran yang membakar dari dalam hatinya. Setiap langkah yang dia ambil semakin mendekatkan dirinya pada ancaman yang tak terelakkan. Musuh yang tak pernah ia bayangkan—anak dari Kaisar Shen Lu—kini telah tumbuh dan menyebut dirinya sebagai Penerus Pedang Kegelapan. "Sialan," Li Feng bergumam, menatap reruntuhan kuil yang menjadi saksi bisu dari kebangkitan musuh terbesarnya. Nama itu kembali berputar-putar dalam benaknya, tak bisa ia singkirkan: Penerus Pedang Kegelapan. Anak itu, yang dahulu disembunyikan dalam bayang-bayang perang, kini menguasai kekuatan yang jauh melampaui apa yang pernah dibayangkan. Pendidikan yang diterimanya di sekte sesat utara t
Li Feng berdiri tegak di depan istana Kekaisaran, angin dingin meniup wajahnya, namun hatinya terasa lebih dingin dari segala yang ada di dunia ini. Sesuatu yang buruk akan datang, dan ia bisa merasakannya dengan kuat, meski langit cerah tak ada tanda-tanda apapun. Tidak ada yang tahu, bahkan para jenderal di sekitarnya, bahwa bayangan yang jauh lebih gelap dari apa pun sedang merayap ke arah mereka. Shen Lu. Nama itu menggema dalam benak Li Feng seperti kenangan pahit yang tak akan pernah hilang. Pemimpin kultus yang telah lama jatuh, namun sisa-sisanya tetap ada. Bahkan sekarang, ia tahu bahwa sisa-sisa itu tumbuh menjadi ancaman yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Sekelompok pengikut yang setia—bayangan yang terus berkembang di tempat yang tak terjangkau oleh para penjaga Kekaisaran—telah membentuk sekte baru. Mereka menyembah seseorang yang konon adalah anak dari Kaisar lama, seorang bayi yang disembunyikan selama perang demi menjaga kelangsu