Angel mengakhiri panggilan teleponnya dengan wajah puas. Dia lantas menoleh ke pramuniaga toko perhiasan du Franc yang kini bersamanya, di sebuah ruangan khusus pelanggan VIP.
"Terima kasih karena sudah bersedia membantuku," ucapnya dengan ketulusan, mengamati pramuniaga yang sekarang sedang membersihkan kalung miliknya. "Tidak perlu dimasukkan ke kotak. Biar langsung aku pakai saja," imbuhnya.
"Baik, Nona."
Dengan cekatan pramuniaga itu lantas membantu memasangkan kalung ke leher Angel, sementara perempuan cantik itu menyibakkan rambutnya.
"Saya juga berterima kasih atas uang tip yang sudah Anda berikan," ucap pramuniaga itu lagi, tersenyum senang saat mengingat tambahan dana yang lumayan banyak di rekeningnya.
"Lupakan saja. Toh, itu karena kamu sudah bersedia membantuku untuk memakai kalungnya dan aku videokan seperti tadi. Jangan lupa." Angel memajukan tubuhnya dan menatap lekat-lekat ke mata pramuniaga tersebut. "Ini rahasia. Lagi pula, semisal terbongkar pun tidak akan menjadi masalah bagiku. Kekasihku paling-paling hanya menganggap bahwa ini semua hanya merupakan keisenganku belaka, tapi tentu saja hal tersebut tidak berlaku untuk dirimu."
Mengangkat sebelah alisnya, dengan nada penekanan yang halus, dia lantas menambahkan, "Kamu ... paham maksudku kan?"
Pramuniaga itu segera mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, Nona. Jangan khawatir. Lagi pula, apa sebenarnya yang sedang Anda bicarakan? Bukankah yang tadi mengenakan kalung lalu diambil rekamannya adalah Anda sendiri, bukan saya."
Angel tersenyum puas. Rupanya dia tidak salah memilih orang, sebab pramuniaga ini ternyata cukup cerdas.
Tadi dia memang meminta tolong agar pramuniaga itu memakai kalung safir Ceylon yang sudah dia beli, lalu Angel-lah yang mengambil rekaman video dengan menggunakan ponselnya. Angel juga meminta agar pramuniaga itu membuka satu persatu kancing kemeja kerjanya, bahkan menyelipkan tangan masuk ke dalam bra.
Tentu saja semua itu karena Angel ingin menggoda Raka, tapi tanpa mau repot menggunakan tubuhnya sendiri. Untuk itu, dia harus rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang lumayan banyak dari kantongnya.
"Tidak masalah," gumamnya. "Toh, setelah ini aku akan menemui Raka dan bisa meminta agar dia mengisi kembali rekeningku, sebagai ganti semua uang yang sudah aku keluarkan hari ini. Nanti aku juga akan meminta kartu kredit lain dengan limit yang lebih besar. Kalau hanya satu milyar, ya, buat apa? Untuk membeli kalung ini saja tadi masih kurang kok."
Entah berapa banyak uang Raka yang sudah dia hamburkan hanya dalam satu hari ini. Angel bahkan tidak ingin repot-repot menghitung, apalagi memikirkannya.
Dia lantas menghubungi supervisornya dan memberi tahu bahwa dia akan kembali sedikit terlambat karena harus melakukan kunjungan lapangan ke Sandira Enterprises.
Hal yang Angel katakan tidak sepenuhnya bohong. Sebab dia memang akan pergi ke gedung kantor Sandira, meski tentu saja tujuan utamanya adalah untuk menemui Raka.
Masalah kontrak atau kerja sama apa pun, perempuan itu yakin bahwa Raka tidak akan menolak.
"Malah yang ada, Raka akan sangat senang hati apabila bisa memiliki kerja sama dengan CC." Angel sedikit menggerutu. "Selain karena CC sudah merupakan perusahaan multinasional, dengan begitu dia juga bisa memiliki banyak alasan untuk bisa bertemu denganku."
Di dalam mobil yang mengantarkannya ke gedung kantor Raka, Angel menggunakan kesempatan tersebut untuk memeriksa kembali riasannya.
Bukan hal yang perlu sebenarnya. Sebab, meski tipis, tapi riasannya sempurna.
Lipstik berwarna peach yang dia poleskan, membuat bibir seksinya semakin terlihat menggemaskan. Bagai buah persik yang segar dan ranum, sehingga bisa dipastikan kalau Raka nanti akan melumatnya habis-habisan.
Mendadak, Angel terdiam selama sesaat.
Dia bukannya tidak bisa menebak apa yang akan lelaki itu lakukan bersamanya. Bukan hal yang terlalu sulit untuk bisa mengerti bahwa 'makan siang bersama di dalam kantor' hanyalah sebuah alasan, sebab kenyataannya nanti pasti tidak akan seperti itu.
"Tidak apa-apa," bisiknya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Dia hanya akan menyentuhmu sedikit. Jadi, tidak apa-apa. Kamu pasti bisa, Angel. Kamu harus bisa."
Memikirkan bahwa Raka akan kembali menjamah tubuhnya memberi Angel perasaan tidak nyaman. Kalau bisa memilih, sungguh dia tidak akan sudi disentuh sedikit pun oleh lelaki itu.
Namun sayangnya, tidak ada banyak pilihan yang dia miliki.
"Aku akan menghancurkan mereka berdua." Lagi, perempuan cantik itu berbisik. "Setidaknya, kehancuran mereka nanti akan setara dengan semua usaha yang sudah aku lakukan."
Memejam, Angel lantas menarik napas dalam beberapa kali demi bisa menenangkan diri. Bagaimana pun dia tidak bisa lagi mundur sekarang. Tidak, sampai hal yang menjadi tujuannya tercapai.
Setelah itu dia mengambil botol parfum yang tadi baru saja dibeli, lalu menyemprotkannya ke area leher dan lengannya. Angel juga dengan sengaja melepaskan dua kancing atas kemejanya, agar kalung yang dia kenakan bisa lebih terekspos.
"Kita sudah sampai, Nona," ujar supir yang mengantarkannya.
Angel mengangguk, tapi dia tidak segera keluar dari mobil. Perempuan itu malah mengambil ponselnya dan menghubungi Raka.
Dia sudah sampai, maka sudah sepantasnya kan, kalau lelaki itu datang menyambutnya?
"Kamu sudah cukup hidup dengan enak dan bersenang-senang selama ini, Raka. Jadi, sekarang adalah waktu bagimu untuk merasakan yang sebaliknya."
Dari balik kaca mobilnya, Angel bisa melihat Raka yang keluar dari lift dan langsung berjalan ke arahnya dengan bersemangat. Mengulum senyum, dia masih sempat bergumam, "Sori, Lidia, tapi siang ini suamimu akan bersenang-senang denganku."
Pintu mobilnya dibuka oleh Raka. Lelaki itu bahkan tidak merasa keberatan untuk berbuat seperti itu sekali pun.
"Baby, aku sudah menunggumu sejak tadi."
Tersenyum, Angel sengaja menarik dasi Raka sehingga membuat lelaki itu menunduk. Mendekatkan bibirnya ke telinga Raka, dia masih sempat menggigit sekilas daun telinga lelaki itu sebelum kemudian membisikkan sesuatu.
Apa pun yang Angel bisikkan, entahlah. Hanya Raka yang tahu. Namun yang jelas, setelah terpaku selama beberapa detik, lelaki itu lantas menarik Angel keluar dari mobil.
Dia bahkan bisa dikata menyeret Angel melintasi lobi gedung dan mengabaikan sapaan dari para pegawai atau petugas keamanan berpapasan dengannya.
Saat ini, satu-satunya hal yang ada di dalam pikirannya adalah membawa Angel ke ruang kantornya secepat mungkin.
***
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Lima menit pertama Angel mengedarkan pandangan. Dia masih berusaha untuk menangkap, apa sebenarnya yang sedang terjadi.Ada Ayahnya, yang berdiri di sebelah Erin. Angel juga bisa melihat teman-teman Ayahnya, yang sebagian besar dulunya merupakan orang-orang yang salah jalan. Lalu juga ada beberapa rekan kerjanya yang dulu seperti Yasmin, Aldi, dan bahkan Pak Dimas. Kemudian Keynan serta Keke.Tidak ada terlalu banyak orang di sana, kemungkinan tidak lebih dari seratus orang. Namun, suasanya begitu meriah.Dekorasi yang ada memang mewah, tapi tidak berlebihan. Ribuan bunga yang menghiasi seluruh penjuru ruangan luas ini dan bahkan sampai menjuntai dari langit-langit, membuat Angel seolah tiba-tiba saja masuk ke sebuah negeri dongeng.Kemudian, kerlip-kerlip apa itu? Terlihat seolah ada jutaan permata yang bersembunyi di balik hiasan bunga.Bahkan sampai ada banyak kupu-kupu yang berterbangan kian kemari. Seekor kupu-kupu berwarna hijau toska kemudian terbang mendekat dan hinggap di at
Terdengar suara desahan dari sepasang bibir Angel.Perempuan itu lebih dalam menyandarkan punggung ke kursi tempatnya duduk, sembari melemparkan pandangan ke arah jendela yang ada di sampingnya. Angel mengamati hamparan awan putih mendominasi. Seketika pikirannya pun kembali melayang ke segala hal yang telah terjadi. Tidak terasa, waktu tiga tahun pun sudah berlalu. "Padahal, rasanya seperti baru kemarin," gumamnya, mendesah. "Tapi syukurlah, setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan orang-orang itu."Raka sudah divonis penjara seumur hidup. Dari kabar terakhir yang Angel dengar, lelaki itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di dalam penjara sampai mengalami luka parah.Namun, ada kabar lain lagi yang lebih mengerikan. Angel mendengar bahwa Raka sampai harus kehilangan kejantanannya. Kejantanan milik lelaki itu rupanya mengalami luka dan infeksi yang didapat dari insiden kerusuhan, sehingga akhirnya terpaksa dipotong. "Ya, Tuhan." Angel berbisik. "Aku tidak bisa membayang
Raka berteriak marah. Sejak tadi dia terus menendang-nendang jeruji besi tempatnya ditahan dan baru berhenti ketika dibentak balik oleh petugas jaga. "Brengsek!" Dia mengumpat, segera setelah petugas jaga pergi. "Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kenapa?"Lelaki itu meremas-remas rambut dengan frustrasi. Dia teringat kembali dengan kejadian yang dialaminya tiga hari lalu.Waktu itu dia baru saja hendak pulang kerja, sewaktu dua orang lelaki yang tidak dikenal datang. Napasnya seketika tercekat, saat salah satu dari mereka menunjukkan surat penangkapan untuknya. Rasanya benar-benar memalukan ketika dia digelandang keluar dari gedung perusahaannya sendiri. Ditambah lagi dengan pandangan para karyawan yang ada, membuat Raka begitu ingin mengubur dirinya sendiri kala itu. "Sialan! Padahal tinggal sedikit lagi semua rencanaku bisa beres." Dia menggerutu. "Tapi kenapa malah jadi begini?"Sekarang Raka benar-benar tidak bisa berkutik. Dia tidak dapat mengelak sewaktu polisi menemukan boto
"Angel, tunggu!" Mobil yang Jalu kendarai masih belum sepenuhnya berhenti, tapi Angel sudah langsung membuka pintu dan meloncat keluar. Perempuan itu seolah tidak ingin membuang waktu dan segera menyeberangi pelataran parkir. "Angel! Tunggu, Nak!" Jalu berseru percuma. Putrinya itu sekarang berlari memasuki rumah sakit tanpa menoleh sedikit pun. Dengan menggerutu, Jalu berusaha mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya. Lelaki itu pun segera berlari, menyusul ke arah putrinya. "Pak Jalu! Terima kasih karena sudah datang secepatnya." Dokter Brian berseru, sambil berlari-lari menyongsong Jalu. "Ada keadaan mendesak yang—" "Saya paham, Dok," potong Jalu segera. "Sebenarnya, apa yang terjadi?" "Ah, itu—" "Ayah!" seru Angel. Dia menarik-narik tangan Ayahnya dengan panik. "Ayah! Ada apa dengan Kak Erin? Kenapa sekarang Kak Erin dipindahkan ke ruang ICU? Lalu, kenapa aku tidak boleh masuk dan melihatnya?" "Angel, tenang dulu. Tenang ya, Nak." "Tapi, Ayah—" "Maaf karena saya menye