Gendis segera berlari menuju pintu dan melihat ketiga temannya sudah hadir.
Mereka berpelukan dengan bahagia dan ceria. “Kamu tuh cantik banget, loh…” ucap Gina sambil menatap Gendis kagum. “Iya, sumpah! Lebih cantik daripada di video keseharian kamu di medsos,” sahut Putri penuh semangat. “Masa sih…” Gendis tersipu malu. “Beneran, loh… Kamu makin cantik, walaupun kelihatan... lebih kurus,” ucap Dian dengan nada penuh perhatian. Mereka saling tatap, lalu kemudian berpelukan erat, seolah sedang saling menguatkan dalam diam. “Sabar, ya…” bisik mereka hampir serempak. Gendis mengangguk pelan sambil mengusap air matanya yang mulai jatuh tanpa bisa ditahan. Mereka duduk di ruang TV, lalu mulai membicarakan apa yang sedang Gendis alami. “Jadi… dia nggak mau kamu hamil?” tanya Dian, ragu-ragu namun penasaran. “Iya… Aku nggak tahu kenapa. Dia paksa aku buat KB.” Gendis tertegun sebentar. “Tempo lalu juga aku nemu pil KB di meja. Dan aku gak pernah beli.” “Serius? Nggak bener deh!” seru Putri, geram. “Jadi kamu ikutin maunya Raka?” tanya Gina hati-hati. “Aku diam-diam lepas KB, dan dia nggak tahu. Tapi… anehnya aku belum juga hamil,” ucap Gendis dengan wajah penuh kesedihan. “Bisa jadi… dia sengaja nggak masukin spermanya ke kamu,” ucap Dian, mencoba berpikir logis. “Jahat banget kalau emang gitu!” ucap Putri dengan nada getir. “Tapi tenang… Kamu beneran mau hamil?” tanya Dian pelan, menatap lurus ke arah Gendis. “Iya… Aku malu sama keluarga suami. Belum lagi mertua aku…” jawab Gendis, suaranya nyaris pecah. “Tepat! Aku ada solusi. Tapi kamu harus rutin jalan nya,” kata Dian dengan semangat sambil bangkit berdiri dan mulai berjalan mengelilingi ruang TV. “Solusi apaan nih?” tanya mereka bertiga hampir bersamaan. “Aku punya kenalan. Namanya Rain,” ucap Dian misterius. “Terus? Hubungannya sama masalah Gendis?” tanya Putri dengan dahi mengernyit. “Maksudnya… Gendis selingkuh sama laki-laki itu?” tanya Gina, tertawa kecil setengah geli. “Hahaha! Bukan itu… Tapi dia itu ahli di bidang permasalahan rumah tangga,” jelas Dian sambil menahan tawa. “Maksudnya… dia itu gigolo?” tanya Gina lagi sambil menutup mulutnya, tak kuat menahan geli. “Eits, lihat dulu dong!” sahut Dian cepat, lalu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto seorang pria tampan kepada ketiga rekannya. “Gila… Ini sih rare item kalau gigolo!” komentar Gina dengan mata berbinar. “Eh, bukan gigolo! Tapi dia ini seorang Master of Psychology, spesialis Health Reproductive, lulusan Aussie!” jelas Dian dengan bangga. “Oh waw… Ganteng banget!” ucap Putri sambil mendekatkan wajah ke ponsel. “Gila. Kalau konsultasi sama yang beginian sih… bisa hamil terus…” celetuk Putri sambil tertawa geli. “Tapi…” Gendis tampak bimbang. “Kalau mau, sore ini ayo aku anterin ke kliniknya!” ucap Dian dengan nada meyakinkan, matanya menatap Gendis penuh harap. Dengan meyakinkan dirinya, Gendis pun menjawab, "Gapapa?" "Gapapa dong!" “Yes!” ucap Dian, disusul dua temannya yang ikut bahagia dengan keputusan Gendis. “Gue ikut!” “Tapi... aku harus minta izin dulu ke suami. Dan alasannya apa dong?” tanya Gendis. “Halah, gampang. Bilang aja ada acara di rumah aku!” ucap Putri. “Iya. Jangan kasih tahu soal kamu mau ketemu Rain,” ucap Gina. “Tapi nanti dia curiga?” “Gendis, ini waktunya kamu buktikan kalau kamu bisa hamil. Dan kita lihat, gimana reaksi suami kamu yang aneh itu pas tahu kamu bisa hamil!” ucap Dian. Ponsel Dian berbunyi, muncul nama Rain yang menghubungi dirinya. Mereka berbicang sekilas. Kemudian setelah Dian menutup ponselnya, ia berucap, “Dia mau. Dia bilang dia bisa bantuin kamu!” “Gendis, kamu tenang aja, kamu nggak salah ngelakuin ini, kok,” ucap Putri yang meyakinkan Gendis. “Iya, lagian suami kamu aneh, masa istri nggak boleh hamil?” ucap Gina dengan wajah cemberut. “Iya... aku izin dulu sama suami aku,” jawab Gendis dengan suara pelan. Sesaat Gendis tertegun sejenak, suara klakson terdengar dari depan rumah. Gendis membuka pintu dan melihat Gina sudah turun dari mobil. “Ayo!” seru Gina sambil mengetuk pintu pagar. Di dalam mobil, Gendis duduk dengan gelisah. “Aku takut, Gin...” lirihnya. “Tenang, santai. Kita jalan dulu aja.” ujar Gina sambil menatap jalan. “Tapi... kalau nggak jadi, nggak masalah kan?” “Rugi dong. Kamu tuh butuh konsultasi sama laki-laki kayak gitu. Kapan lagi... Ngobrol dulu kan nggak dosa.” Sesampainya di klinik, isi pasiennya bisa dihitung jari. Membuat Gina menyenggolnya. “Santai aja ish.” “Aku takut, sumpah...” ucap Gendis, gugup sambil memandangi sekitar ruangan. “Santai aja kali, tenang… testimoninya banyak kok,” seloroh Putri sambil mengedipkan mata. “Rasanya pengen pulang,” bisik Gendis panik. “Eh, eh… tenang. Dengerin ya, ini cuma konsultasi awal. Enggak bakal ada yang aneh-aneh. Dia tuh Psykolog Reproduksi, bukan dukun pelet!” bisik Gina, sambil duduk di samping Gendis. Gendis mengangguk pelan, walau wajahnya tetap tegang. “Belum juga ya?” tanya Gendis sambil melirik ke arah pintu ruangan konsultasi. “Belum keliatan. Tapi resepsionisnya bilang, bentar lagi keluar,” jawab Dian, nyaris berbisik. Tak lama, suara pintu ruang dalam terdengar terbuka. Seorang pria dengan jas dokter biru navy melangkah keluar. Wajahnya teduh, maskulin, rambutnya sedikit berantakan, dan di tangannya ada tablet digital. Ia berbicara singkat dengan perawat sebelum mengarahkan pandangan ke ruang tunggu. “Mbak Dian?” sapa Rain ramah, suaranya berat tapi tenang. “Iya, Mas. Udah lama nggak ketemu nih,” ucap Dian. “Terakhir, sama temannya yang mau program IVF, kan?” ucap Rain. “Bener banget, Mas. Masih ingat aja nih. Ini teman saya. Gendis.” ucap Dian mengenalkan Gendis ke Rain. “Gendis, ya?” ucapnya, dengan suara bariton yang membuat bulu kuduk Gendis meremang. Gendis menoleh pelan, seperti anak sekolah yang tertangkap melamun. Matanya membesar. “Silakan ikut saya ke ruang konsultasi,” ucap Rain, sembari tersenyum ramah. Gendis berdiri, langkahnya ragu. Gina menyemangatinya dengan anggukan kecil. Begitu mereka mulai berjalan menuju ruang dalam, Rain sempat berbisik ringan di samping telinga Gendis. “Tenang aja, saya nggak gigit kok... kecuali diminta,” gumamnya rendah, lalu tertawa singkat.Dalam perjalanan, Rain berkendara sambil mendengarkan musik slow. Sesekali ia melirik jam tangannya, lalu menekan pedal gas lebih dalam dengan harapan cepat bertemu Gendis. Sementara itu, Gendis tengah merapikan ruang TV, membuang sampah, dan mencuci gelas serta piring. Rambutnya dikuncir asal, dan celemek lusuh melingkari pinggangnya. Tiba-tiba saja, pelukan hangat sekaligus nakal melingkari tubuhnya dari belakang. “Eh! Mas… aku kira siapa…” ucap Gendis kaget, namun tak mampu menyembunyikan senyum bahagia yang terbit di wajahnya. “Saya kangen…” bisik Rain dengan napas berat dan suara serak, bibirnya menelusuri leher Gendis, menciuminya lembut namun menuntut. “Sebentar lagi, Mas… aku kerjain tugas aku dulu di rumah,” ucap Gendis sambil tetap cekatan mencuci piring, meski setiap sentuhan tangan Rain di dadanya membuat tubuhnya bergetar. “Kamu nggak usah pulang lagi ke sini… sama saya saja, ya,” desis Rain, matanya tajam menatap leher Gendis yang memerah. “Mas, nggak mungk
“Kalian?” ucap ibu mertuanya, nyaris menjatuhkan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya. “Ma… maksudnya bukan itu, Ma. Mas?” ucap Gendis terbata, memohon agar Rain segera menarik ucapannya. “Panggilan sayang itu memang harus, Bu, Pak. Saya ini kan Psikolog Reproduksi, jadi sama pasien yang mengalami masalah, saya harus sayang sama mereka. Kalau nggak sayang, bagaimana saya bisa paham kondisi pasien? Kan begitu…” ucap Rain sambil tersenyum—senyum yang justru terasa seperti permainan berbahaya di hadapan orang tua Raka. “Oh, benar juga, Ma. Masa sama pasien nggak sayang, kan aneh juga, ya? Hahaha…” ucap ayah mertuanya sambil tertawa, meski matanya masih sedikit meneliti Rain. “Iya sih… aneh, tapi… ya masuk akal,” sahut ibu mertuanya, menahan senyum yang setengah ragu. Gendis berusaha ikut tertawa, tapi tatapannya justru terikat pada Rain. Lelaki itu duduk santai, menyandarkan tubuh, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Menjelang
Gendis meremas ujung rok yang ia kenakan saat detik-detik ucapan Rain meluncur di hadapan orang tua Raka, siang menjelang sore itu. “Menantu Ibu dan Bapak mengalami sedikit kendala… terutama masalah hubungan seks, kesulitan untuk mendapatkan momongan, ragam kecemasan, dan juga beberapa masalah yang selama ini dia pendam sendiri,” ucap Rain dengan nada tenang, namun setiap katanya terasa seperti pukulan di dada Gendis. “Hah? Maksudnya dia dan suaminya ada masalah?” tanya ibu mertuanya, kening berkerut dan tatapan tajamnya langsung menghujam Gendis. “Seharusnya saya nggak boleh memberikan informasi mengenai kondisi psikis pasien saya… kecuali atas izin Gendis sendiri,” ucap Rain sambil menatap Gendis, seolah menantang wanita itu untuk menolak. “Gendis? Nggak masalah dong Mama sama Papa tahu kondisi kalian berdua?” ucap ayah mertuanya, nada suaranya setengah memaksa, setengah khawatir. “Um… iya, Pa. Biar Mas Rain yang menjelaskan semuanya,” ucap Gendis lirih, suaranya nyaris te
Ketegangan kini terjadi pada Rain dan Gendis. Saat tiba di depan pekarangan rumah Gendis dan Raka, Rain tidak serta-merta pergi dari sana. Tampak mobil milik mertuanya sudah terparkir di depan rumah Gendis dan Raka. “Mas, baiknya Mas langsung pulang. Aku nggak mungkin terang-terangan kasih lihat Mas sama mertua aku,” ucap Gendis dengan nada memohon, sorot matanya penuh cemas saat baru saja hendak keluar dari mobil Rain. “Kenapa? Kan bagus kalau mereka tahu,” balas Rain santai, seolah menganggap remeh kekhawatiran Gendis. “Nggak bisa gitu, Mas. Karir kamu gimana? Kamu psikolog, kamu juga dikenal banyak orang, dan kalau—” “Kamu bisa diem nggak?” potong Rain dengan suara pelan namun menusuk, membuat dada Gendis terasa sesak. “Saya bukain pintu buat kamu, dan saya anterin kamu sampai ke pintu rumah kamu. Saya nggak peduli,” ucap Rain tegas, tatapannya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ta-tapi, Mas...” suara Gendis bergetar, nyaris putus di ujung kalimat. Rain segera kelua
“Mas, kamu marah, ya?” ucap Gendis pelan saat Rain baru saja memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu tak membalas, hanya segera mengemudikan mobil keluar dari area parkir apartemen. Rain tetap diam, tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan. Gendis meliriknya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah jendela, memperhatikan keramaian kota siang itu. Namun, tanpa berkata apa-apa, tangan Rain bergerak mencari tangan Gendis. Ia menggenggamnya erat, hangat. “Um?” Gendis menoleh, menatap lelaki itu—dingin di wajah, tapi hangat di sentuhan. “Mas…” ucapnya lirih, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Rain memutar setir, lalu menepi di depan sebuah toko makanan. “Tunggu di sini,” ujarnya singkat setelah memarkirkan mobil, lalu mengecup kening Gendis dengan cepat—seolah ingin menghapus kerenggangan yang tadi tercipta—sebelum melangkah masuk ke toko. “Iya, Mas,” balas Gendis sambil mengangguk pelan, meski bibirnya tak mampu menahan seulas senyum
“Mas, apa ini nggak terlalu cepat? Status aku masih istrinya Raka,” ucap Gendis sambil menatap Rain yang memeluk dirinya dari belakang, ada ragu sekaligus hangat di matanya. “Kenalan dulu kan nggak papa, Sayang,” jawab Rain seolah tanpa beban, seakan masalah moral itu hanya angin lalu. “Mas, kamu gila. Masa aku yang statusnya istri orang, bawa kamu ke Mama sama Papa aku dan kenalin kamu?” ucap Gendis sambil menahan tawa dan menepuk pipi Rain, setengah gemas, setengah protes. “Saya kan memang gila, Sayang,” balas Rain sambil tersenyum tipis, lalu memeluk Gendis lebih erat. Bibir dan lidahnya menjelajah leher hingga pipi Gendis, sengaja meninggalkan jejak basah di kulitnya. “Mas… geli,” ucap Gendis sambil tersenyum, tubuhnya menggeliat kecil, mencoba menahan tawa namun wajahnya memerah oleh sensasi. Di tengah keintiman itu, ponsel yang khusus digunakan Rain untuk pasien dan urusan bisnis berbunyi nyaring, memecah momen. “Mas… telepon tuh.” “Nggak. Saya nggak mau terima tel