Home / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 418 - TEST DNA? SIAPA YANG BUKAN ANAK KANDUNG?

Share

418 - TEST DNA? SIAPA YANG BUKAN ANAK KANDUNG?

last update Last Updated: 2025-12-02 13:14:12

“Bukan berarti Mbak nggak bisa ambil bagian dari pengelolaan perusahaan, Mbak. Nggak masuk akal kalau semua Rain yang handle. Mungkin satu dua tahun masih bisa diatasi, tapi… makin ke sana pasti menguras tenaga dan pikiran,” ucap Rain pelan, napasnya terdengar berat. “Apalagi sekarang Rain udah punya anggota keluarga baru… Bima. Gendis nggak bakal bisa—dan nggak boleh—ngerjain semuanya sendirian.”

Wanda mengerjapkan mata pelan. “Jadi… maksud kamu, Mbak ambil bagian?” tanyanya, suaranya terdengar ragu dan agak goyah.

“Iya,” ucap Rain sambil mengangguk mantap. “Bumi Langit yang dulu pernah Mbak urus sama Ardi, sekarang udah jauh lebih baik. Semua tunggakan udah aman. Jadi… Mbak tinggal lanjutin aja.” Rain menatap Wanda lembut, seolah ingin memastikan bahwa kakaknya itu merasa didukung, bukan dipaksa.

“Ide kamu bagus, Rain. Tapi… apa Mama setuju kalau Mbak ambil bagian dalam mengelola perusahaan ini?” tanya Wanda, lalu ia duduk di atas sofa, berhadapan langsung dengan Rain.

“Apa
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG   488. EGA BERHASIL MENGHUBUNGI RAIN. ARI DIPANGGIL ERAWAN, ADA APA?

    “Tapi… lo percaya Pak Rain itu ngelakuin semuanya sendirian?” tanya Ega sambil terus mengunyah ubi goreng. Tangannya sesekali meraih gelas kopi dingin, lalu diseruput perlahan. Ari mengangguk pelan. Ia ikut menyeruput kopinya, wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya serius. “Gue percaya, Ega. Gue yakin dia bisa lakuin semua sendirian.” Ega berhenti mengunyah. Alisnya sedikit terangkat, menatap Ari penuh selidik. “Dan… lo minta bantuan apa ke gue?” Ari meletakkan gelas kopinya ke meja dengan gerakan pelan, lalu menatap Ega lurus-lurus. Suaranya menurun, terdengar lebih berat. “Malam ini gue harus ketemu Pak Rain. Tolong lo hubungi dia. Yakinin dia buat percaya sama kita berdua,” ucapnya serius, lalu menarik napas dalam. “Karena gue terancam, dan keluarga dia juga terancam, bro.” “Dengan cara?” tanya Ega, alisnya terangkat, kunyahan ubi gorengnya terhenti. “Bilang apa aja ke dia, terserah lo,” jawab Ari cepat. Nada suaranya terdengar mendesak. “Kalau perlu, datengin

  • PELAN PELAN SAYANG   487. ARI DAN EGA BERTEMU! RAIN TENANG.

    Mendekati dua jam berada di dalam kediaman Rain, para polisi akhirnya menyerah karena tak menemukan petunjuk tambahan apa pun. “Pak, kalau nanti menemukan sesuatu yang mencurigakan, mohon segera hubungi kami berdua,” ucap salah satu polisi sambil mengenakan kembali topinya, tepat sebelum melangkah menuju mobil. Nada suaranya terdengar lelah, namun tetap profesional. “Kami kesulitan melacak ke mana arah mereka pergi.” “Siap, Pak,” jawab Rain mantap. Ia mengangguk pelan. “Saya harap… mereka bisa segera ditemukan.” Ada harap yang samar dalam suaranya, meski wajahnya tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas waktunya siang ini, Pak Rain,” lanjut polisi itu. “Dan terima kasih juga atas minumannya.” “Iya, Pak,” sahut rekannya sambil tersenyum lebar, memeluk dua toples kue kering pemberian Gendis erat-erat di dadanya. “Makanannya enak banget. Makasih banyak, ya.” “Masih banyak kalau mau nambah lagi,” ujar Rain sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Wah, ngisini

  • PELAN PELAN SAYANG   486. POLISI DIBUAT BINGUNG OLEH RAIN

    “Jadi, mereka sempat masuk ke sini? Bahaya,” ucap salah satu polisi pada rekannya, nadanya mengeras. “Apa perlu panggil tim?” tanya yang lain, waspada. “Nggak usah dulu. Sekarang periksa jejak kaki mereka sampai ke mana,” perintahnya cepat. “Siap, Pak,” sahut rekannya, lalu kembali menelusuri tanah basah di pekarangan. Sementara itu, polisi yang memimpin menoleh ke arah rumah Rain. Tatapannya berhenti pada deretan kamera pengawas yang terpasang di berbagai sudut. “Aku mau ke Pak Rain dulu. Rumah dia ini banyak kamera pengawas—lebih mirip penjara kelas kakap. Kamera hampir ada di tiap titik. Mustahil mereka nggak terekam,” ucapnya pelan, namun sarat keyakinan. Di kejauhan, Rain masih berdiri tenang. Senyumnya tak pudar sedikit pun. “Pak Rain, mohon izin,” ucap salah satu polisi dengan nada sopan namun serius. “Apa boleh saya memeriksa rekaman CCTV? Maksud saya, rekamannya.” Ia menunjuk lantai teras yang tampak bersih. “Kami melihat ada jejak kaki terduga pelaku—dua orang—

  • PELAN PELAN SAYANG   485. JEJAK KAKI DIPEKARANGAN BELAKANG. RAIN KETAHUAN?

    “Wah, bapaknya lucu,” ujar salah satu polisi sambil terkekeh kecil. “Jadi ngene loh, Pak… ini mohon maaf sebelumnya kalau mengganggu ketenangan keluarga. Anu… ada laporan kalau di perumahan elite ini kecolongan dua orang perampok—masih diduga loh ya, Pak, masih dugaan—karena mereka masuk ke kompleks ini, tapi kok ya ndak balik lagi.”“Iya, Pak,” sambung rekannya cepat, seolah takut kalimat itu terpotong. “Jadinya kami, selaku petugas kepolisian, harus turun tangan untuk mencari dua orang yang diduga sebagai penjahat, untuk—”“Memeriksa penjahat di rumah saya?” potong Rain sambil tersenyum tipis, nadanya tenang namun menusuk.“Wah, pinter bapaknya,” celetuk polisi pertama refleks.“Lho, kok bapaknya? Dianya toh yang pinter. Bapaknya kan nggak kita tanyai,” sahut rekannya sambil melotot.“Oalah, maaf loh… maksudnya ya gitu,” balas polisi pertama, kikuk.Rain tertawa pelan mendengar lelucon spontan dua polisi muda itu. Di balik senyumnya yang ramah, matanya tetap tenang—terlalu tenang un

  • PELAN PELAN SAYANG   484. DUA POLISI DATANG. RAIN DIBUAT TERTAWA!

    “Kalian cari tahu! Cepat! Gue nggak mau nunggu lama! Bawa orang ini—hidup atau mati!” bentak Darmadi penuh amarah. Anak buahnya langsung berhamburan menuju ekspedisi, berusaha melacak siapa pengirim paket terkutuk itu. Di sisi lain, Ari memanfaatkan kekacauan tersebut untuk menemui Ega. Ia menyelip keluar gudang, membawa kabur ponsel milik salah satu rekannya demi menghubungi satu-satunya orang yang ia percaya. “Lo di mana?” tanyanya singkat, suaranya tertahan namun mendesak. “Gue lagi nganterin paket makanan. Kenapa, Lo?” tanya Ega sambil terus mengendarai motornya, menembus siang yang panas. “Gue butuh bantuan Lo. Temuin gue di Jalan Majapahit, deket penginapan Melati,” ucap Ari cepat, napasnya terdengar tidak stabil. “Lah, kok di sana? Kagak kejauhan?” Ega mengernyit, suaranya terdengar heran. “Ikutin aja, deh. Gue takut ada yang tahu. Gue sekarang lagi mau naik angkot!” balas Ari, nadanya menekan, seolah tak punya banyak waktu. “Oke. Gue anterin satu barang lagi, a

  • PELAN PELAN SAYANG   483. PANIK?

    “Ada apa ya, Pak?” tanya Gendis sambil tersenyum, tetap menggendong Bima. Bocah itu pun ikut tersenyum ramah ke arah petugas keamanan.“Ah… maaf ganggu, Bu,” ucap satpam itu hati-hati. “Saya mau tanya, apa kemarin ada kurir yang datang ke rumah sini?”“Kurir?” Gendis mengulang pelan, alisnya sedikit terangkat. “Kayaknya nggak ada, deh. Saya juga belum belanja online, sudah hampir seminggu ini.”“Oh… gitu ya,” gumam satpam itu. Ia terlihat ragu, tangannya terangkat sebentar lalu turun lagi. “Hmm…”Raut wajahnya jelas kebingungan, seolah ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi masih ditahan. “Emangnya ada apa ya, Pak?” tanya Gendis, senyumnya masih terjaga. “Mau duduk dulu?”“Ah, nggak usah, Mbak, eh Bu,” ucap petugas itu sambil tersenyum, melirik Bima. “Jadi ngerepotin adik kecil ini.”“Nggak repot, kok,” jawab Gendis lembut. “Kayaknya ini penting. Masuk aja, duduk di teras, Pak.”Akhirnya mereka duduk di teras rumah. Petugas keamanan itu menarik napas sejenak, raut wajahnya berubah l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status