62Aku melepaskan tangan dengan malu-malu. Sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Tuan Sultan. Namun, kami sudah menghabiskan waktu seharian ini berdua. Kini, kami sudah sampai di depan pintu kamarku. Bahkan, sudah lama kami di sini saling berpegangan kedua tangan, rasanya berat untuk berpisah. Rangkaian kencan–itu pun jika acara kami hari ini bisa disebut kencan—ditutup dengan Tuan Sultan memberikan sebuah bungkusan kecil. “Selamat malam, selamat istirahat. Mimpi indah malam ini, ya,” ucapnya sebagai penutup kebersamaan kami hari ini. Kami akhirnya melepas tangan yang sejak tadi saling bertaut, sebelum aku mengangguk malu dan membuka pintu kamar. Masuk, dan menutup lagi benda itu dengan pelan, seolah tidak rela bila kami harus berpisah. Aku menyandarkan punggung di belakang pintu seraya memeluk bungkusan kecil yang barusan diberikan lelaki itu. Hatiku berbunga-bunga. Duniaku berwarna. Aku bahkan yakin semua orang yang melihat wajah ini setuju jika aku teru
63Kujalani hari-hari selanjutnya dengan hati yang selalu berbunga dan jiwa semakin muda. Akhirnya, dalam hidup aku bisa merasakan apa itu jatuh cinta, apa itu bahagia. Sesuatu yang mungkin tidak akan aku dapatkan jika tidak pernah bertemu Tuan Sultan. Kini, tak ada lagi penderitaan. Tak ada lagi hari-hari suram. Tak ada lagi air mata. Yang ada hanya hidup penuh warna dan hati selalu berbunga. Tuan Sultan memperlakukanku sangat manis. Setia saat setiap waktu, ia selalu memberi kejutan-kejutan indah. Seperti jam tangan yang kini melingkar di pergerakan tangan kiriku, jam tangan yang ia berikan di hari ulang tahunku. Jam tangan yang saat aku googling harganya sangat wow untuk ukuran orang sepertiku. Saat aku tanya kenapa menghadiahi benda ini, ia menjawab agar aku selalu mengingat dirinya setiap detik, setiap menit, setiap waktu. Selain jam tangan mahal, masih ada banyak barang mewah yang ia hadiahkan untukku walaupun aku tidak meminta. Belum lagi kejutan-kejutan kecil semisal ada
64Kedua orang itu mematung di tempat masing-masing. Mungkin tidak menyangka jika aku ada di sana. Kami sama-sama terdiam. Aku menatap mereka bergantian dengan tatapan tidak mengerti, sebelum akhirnya Pak Sam yang berdiri lebih dekat, menarik napas panjang dan berlalu dengan langkah-langkah kasar. Tanpa bicara apa pun denganku. Tinggallah aku dengan Tuan Sultan. Dia seperti tengah berusaha menenangkan dirinya. “Tuan....” Akhirnya kata itu keluar di tengah kebingungan ini. Aku tidak tahu harus berkata apa. Mau langsung marah pun, takut telinga ini salah menangkap. Tuan Sultan mengembus napas panjang, entah untuk apa. Kemudian bersikap normal seperti biasa. Seolah barusan tidak terjadi apa-apa. “Ana, kau merindukanku?” tanyanya dengan senyum sangat manis. “Kemarilah, aku bawa oleh-oleh untukmu,” lanjutnya seraya memutar kursi rodanya mendekati meja, kemudian mengambil sesuatu dari sana. Aku masih mematung di ambang pintu. Tidak tahu harus mempercayai pendengarku tadi, atau mataku
65Aku menoleh ke arah Pak Sam untuk meminta pendapat. Namun, ia diam saja seolah tidak peduli. Tetap menatap lurus ke depan. “Bang, aku....”“Keluarlah, temui dia! Dan segera buatlah keputusan yang tepat. Aku tidak bisa membantu apa-apa.”“Bang....”“Mbak, maaf, Pak Sultan sudah menunggu!” Sekuriti yang berdiri di samping mobil kembali menegurku. Akhirnya aku keluar setelah sekali lagi menoleh ke arah Pak Sam yang tetap menatap lurus ke depan. Seperti ucapannya, ia tidak membantu. Akhirnya dengan pelan dan ragu, aku berjalan ke arah laki-laki berkursi roda yang menghujamkan tatapan tajam hingga aku tak berani sekadar melirik mobil Pak Sam yang terdengar meninggalkan tempat ini. Hanya derunya yang semakin menjauh yang menandakan dia sudah pergi. Sebagai penanda juga bahwa semua tidak akan sama lagi. Kini, aku sudah berdiri di hadapan lelaki yang tatapannya perlahan meredup. Amarah yang tadi berkobar di matanya, kini berubah menjadi tatapan lembut seperti kemarin-kemarin. “Aku kir
66 “Apa maksud Anda, Tuan? Dia kekasih Anda?” Aku menunjuk wanita cantik yang terus memamerkan senyum. Jangan tanya bagaimana kondisi hatiku saat ini. Kakiku bahkan sudah tak berasa menapak. “Ya, kami sudah lama menjalin hubungan. Sayang, ia harus kuliah keluar negeri, hingga hubungan kami sempat terjeda. Terlebih Papi yang kurang setuju, dan malah memaksaku menikah dengan Cindy. Tapi, sekarang semua sudah berlalu. Kemarin kami sudah menemui Papi.” Tuan Sultan tersenyum seraya menatap wanita bernama Michelle dengan tatapan ... penuh cinta. Michelle membalasnya dengan bangkit, kemudian berjalan mendekati lelaki berkursi roda. Kurasakan dadaku sesak. Paru-paru mendadak menolak oksigen yang masuk. Apa artinya semua ini? Apa aku sedang bermimpi? Bagaimana bisa Tuan Sultan begitu ringan menceritakan kisah cintanya padaku setelah semua harapan yang ia berikan selama ini? Aku mencoba memukulkan baki bekas membawa minuman ke lengan kiri, untuk memastikan jika aku tidak sedang bermimpi.
67Tak ada yang kupedulikan lagi. Menyambar tas di atas meja kerja, kemudian berlari dari sana secepat yang aku bisa. Semua orang yang melihat atau tak sengaja berpapasan, menatap dengan heran karena aku berlari sambil menangis. Sekali lagi aku tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini menjauh. Menjauh dari siapa pun. Aku memanggil ojek yang kebetulan mangkal tak jauh dari kawasan gedung perkantoran itu. Aku ingin pulang dan menangis sejadi-jadinya. Aku bahkan lupa jika yang kutuju saat ini adalah rumah Tuan Sultan. Rumah laki-laki yang sudah menghancurkan segalanya. Bukan hanya hatiku, tetapi hidupku secara keseluruhan. Aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan setelah ini. Semua sudah hancur berkeping-keping. Masa depan yang awalnya sudah terbayang indah dan tertata rapi, semua hancur berantakan. Tak kusangka semua hanya fatamorgana semata. Semua hanya sandiwara laki-laki itu yang entah kenapa sampai setega ini melakukan semua. Aku hampir menabrak Marini yang keluar dari pintu
68“Aku ingin menyerahkan surat pengunduran diri, Tuan!” Aku memotong ucapannya yang tidak penting sama sekali. Dia menoleh cepat. Menatap dan memperhatikanku dengan saksama. Kemudian tersenyum miring. “Mengundurkan diri? Apa kau lupa dengan kontrak yang sudah ditandatangani?” Ia menatap tajam. “Kontrakmu tertera satu tahun, sedangkan kau baru bekerja berapa bulan padaku!”Kini, giliran aku yang tersenyum miring. “Untuk pekerjaan pelayan, mungkin aku memang menandatangani kontrak, tetapi untuk pekerjaan sekretaris, tidak ada perjanjian apa pun.” Aku menaruh map yang sejak tadi kutenteng di atas meja dekat kursi santai. “Kemudian untuk surat perjanjian pelayan sendiri, saat aku memeriksanya, ternyata tidak memiliki kekuatan hukum apa pun. Tidak ada materai atau apa pun yang menguatkan. Itu hanya surat yang Anda buat sendiri untuk mengingatku saat itu, bukan?” Aku bertanya dengan menatap lurus wajahnya yang sedikit terhenyak. Untung aku sudah memeriksa lagi surat kontrak itu. Aku ju
69Aku mendudukkan diri dengan kasar di tepi kasur. Kemudian menutup wajah dengan kedua tangan. Kembali menumpahkan tangis. Semua ucapan laki-laki itu tak ada yang tidak meninggalkan luka. Aku sakit diperlakukan seperti ini. Sungguh, sekeras apa pun bersikap kuat dan tegar di hadapannya, bila sedang sendiri seperti ini, jiwa rapuhku tetap keluar. Aku hancur. Tak tahu harus bagaimana lagi menjalani hidup. Bahkan harus pergi ke mana, aku belum tahu. Tak ada yang bisa kumintai tolong untuk saat ini. Aku tidak mengenal siapa pun di luar sana, selama ini. Akhirnya, mencari iklan penginapan atau rumah kost terdekat di sosial media atau google adalah hal yang kulakukan saat ini. Untunglah aku tidak terlalu gagap teknologi, mungkin karena sudah bekerja di kantor, otakku lebih berkembang. Setelah mencari beberapa lama, aku mendapatkan sebuah rumah kost terdekat yang harganya lumayan terjangkau. Aku memang memiliki cukup uang dari gaji dua pekerjaan sekaligus, tetapi tetap harus berhemat k