80Aku baru akan mengetik lagi balasan untuk Fera, saat suara Pak Alvin terdengar kemudian. “Sebutkan nama perusahaan atau nama pemiliknya! Mungkin aku mengenalnya!”Serta merta aku menoleh ke samping, di mana Pak Alvin duduk mengemudikan mobil. Ya, aku duduk di depan, di sampingnya. Padahal aku sudah ingin duduk di belakang, tetapi dia marah dengan mengatakan jika dirinya bukan sopir. “Maksud Bapak?” Aku bertanya heran. Sungguh tak mengerti maksud perkataannya. Dia mengamati benda pintar yang kugenggam, sebelum berkata lagi. “Hanya sekretaris perusahaan besar yang menggunakan ponsel seperti itu!”Mataku melebar seketika. Tangan ini refleks bergerak ke belakang. Menyembunyikan benda yang sejak tadi kugenggam. Aku lupa memakai benda ini di depannya. Tentu ia bisa dengan mudah mengetahui berapa harga benda ini. Benda yang kupakai saat bekerja dengan Tuan Sultan untuk mencatat hal-hal penting, mengatur jadwal atau apa pun yang berhubungan dengan pekerjaan. Aku membuang pandangan. M
81Bukannya bergerak mendekat seperti ajakan wanita paruh baya itu, aku malah mematung di tempat dengan kaki yang terasa kaku. Kalimat yang keluar dari mulut wanita itu bagai petir yang menyambar. Bagaimana bisa seseorang yang tidak kukenal tiba-tiba mengatakan jika aku ini calon menantunya? Apa aku sedang bermimpi? Atau pendengaranku yang terganggu? Aku ingin menampar diri sendiri untuk memastikan jika ini bukan mimpi, saat kembali terdengar suara wanita itu. “Kemarilah, Nak. Ayo, peluk Bunda! Sudah lama sekali Bunda menantikan momen ini. Bunda bahkan sudah khawatir, takut Alvin tidak menyukai wanita.”Apa? Mataku memicing, dahi berkerut. Aku melirik lelaki yang memerah wajahnya. Mungkin ia malu dikatakan begitu. Aku masih mematung bingung. Ingin kukatakan jika aku bukan calon menantu wanita itu. Kami hanya atasan dan bawahan. Kami bahkan baru bertemu beberapa kali. Namun, saat mengingat pesan Pak Alvin tadi yang mengatakan jika aku jangan membantah apa pun, akhirnya aku mengu
82“Apa yang harus kujelaskan? Aku sama sepertimu tidak tahu apa-apa, Viona!”“Viona lagi? Sudah berapa kali kukatakan jika namaku Viola, Pak. Vi-o-la! Huruf L bukan N!” Aku semakin berang. Sudah kesal karena difitnah keji, dia masih saja salah menyebut namaku. Aku bahkan mengeja dengan keras. Aarghhh! Ingin rasanya kucakar wajahnya yang tetap santai itu sampai berdarah-darah. Aku benar-benar kesal pada laki-laki ini. “Iya, maaf! Aku tidak akan mengulang lagi! Jika aku salah menyebut namamu lagi, akan kubayar gajimu dobel di hari itu!”“Tidak perlu! Aku tidak butuh gaji dobel! Aku hanya butuh penjelasan!” ujarku marah. Entah untuk ke berapa kali dia menarik napas panjang. Yang aku salut darinya, ia tak meladeni kekesalanku. Ia tetap saja bersikap santai seolah aku tidak sedang marah-marah. “Sudah sampai, kita makan dulu, ya! Aku lapar.”Ya Allah ya tuhanku....Aku menyurukkan wajah di atas dasbor mobil, saat menyadari kami sudah berada di depan sebuah restoran. Setelah semua kek
83Meskipun dengan raut wajah heran, akhirnya Pak Alvin melajukan mobilnya meninggalkan pelataran parkir. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Feli–saudara tiriku—karena terus merunduk di dasbor mobil. Padahal, sebenarnya Pak Alvin juga menutup kaca mobilnya. Entahlah, tetap saja aku merunduk. Aku baru mengangkat kepala setelah mobil cukup jauh meninggalkan tempat itu. Kutiupkan napas untuk membuang sesak yang barusan meraja, karena sekian lama menahan napas. “Ada apa?” tanya Pak Alvin setelah melihatku agak tenang. Aku menoleh sekilas, sebelum kembali membuang muka. Sungguh, aku masih kesal dengan orang ini karena ide konyolnya. Namun, aku berterima kasih karena dirinya aku bisa lolos dari saudara tiriku. Setidaknya untuk sekarang ini. Entah bagaimana untuk ke depannya, yang pasti Yuni akan terus memburuku. Terlebih sekarang Feli sudah melihat wujud baruku. Selama ini mungkin aku merasa aman, karena pasti Yuni mengira aku masih gendut. Dia akan fokus mencari perempuan gendut.
84Aku mencoba menelan omelet mie yang sebelumnya sudah dikunyah lama. Bahkan, meski sudah kukunyah sangat lembut, makanan itu sangat sulit untuk masuk kerongkongan. Padahal aku sengaja memesan makanan itu agar kenyang. Tetap tidak mau rugi, dong. Dia mengajakku keluar untuk menghadiri sebuah pertemuan katanya. Nyatanya malah ke klinik. Namun kini, bahkan selera makan entah terbang ke mana. Aku mendadak kenyang karena tawaran konyol Pak Alvin. Aku tidak ingin menjawab tawaran itu. Karenanya aku tak bicara sepatah kata pun setelah itu. Bahkan hingga menghabiskan sisa hari ini. Di kantor juga bicara seperlunya. Hanya urusan pekerjaan. Aku bahkan sebisa mungkin menghindari bertemu dengannya. Setelah jam kerja berakhir, aku pergi ke toilet. Mengganti baju dengan seragam OG lagi. Kemudian dilapis dengan hoodie. Masker tidak lupa kupakai lagi. Ada yang kurang, mulai besok aku akan memakai topi setiap berangkat dan pulang bekerja. Ingat Viola, Yuni pasti memburumu lagi! Geramku dalam h
85Aku menatap tajam Pak Sam setelah sebelumnya jantung terasa disetrum.Apa lagi ini? Nambah-nambah masalah saja. Apa dia tidak tahu hari ini kepalaku ingin meledak? “Calon suami?” Wajah Fera merengut heran. Gadis itu mundur beberapa langkah, hingga lebih jauh dari Pak Sam. Matanya menatapku dan Pak Sam bergantian. “Vio....” Fera kini menatapku. Aku tahu ia minta penjelasan. Gegas aku menggoyangkan tangan sebagai tanda jika berita yang ia dengar tidak benar. Namun, saat aku ingin menyangkal, tanpa diduga Pak Sam membekap mulut ini dan menahannya lama. “Ya, benar Mbak. Saya calon suami Viola. Makanya Mbak jangan pukul-pukul sembarangan. Nanti bisa saya laporkan atas kasus pencurian!” ujar Pak Sam lagi dengan tangannya masih membekap mulutku. Aku bahkan hampir kehabisan napas. “Apa hubungannya sama pencurian?” Fera menatap bingung Pak Sam. “Ya, pokoknya Mbak nanti diborgol polisi, itu intinya!”“Jadi, Bapak ini bukan penculik?” Fera malah terus bertanya, bukannya menolongku yang
86Pak Sam menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah kost. Aku turun dalam kebisuan. Sejak pengakuannya di restoran tadi, aku memang memutuskan tak banyak bicara. Terlalu shock. Aku bahkan menampar pipi sendiri untuk meyakinkan jika tidak sedang bermimpi. Dia mengaku menyukaiku sejak lama. Mungkin lebih dulu dari Tuan Sultan yang ternyata hanya pura-pura mencintaiku. Namun, bagiku itu tak mengubah apa pun. Selain kebencian padanya yang perlahan surut. Ya, dia tak terlibat, dia tidak bersekongkol. Namun, sekali lagi pernyataan cintanya tidak mengubah apa pun. Tidak mungkin aku dengan serta-merta menerimanya. Selain tidak ada rasa, aku tidak akan menerima begitu saja seseorang yang baru menyatakan cinta sekali. Karena masih diragukan keseriusannya. Tuan Sultan saja kutolak berkali-kali. Apalagi ini yang secara tiba-tiba menyatakan menyukaiku sejak lama. “Abang tidak akan memaksa kamu menerima saat ini juga, Vio. Karena perasaan tidak bisa dipaksakan. Bahkan Abang yakin jika
87Aku menarik napas panjang, sebelum berucap. “Maaf sebelumnya Ibu dokter, juga Ibunya Pak Alvin.” Aku melirik wanita dan mengangguk ke arah wanita yang menatapku heran. “Di sini saya ingin meluruskan sesuatu....” Pak Alvin terasa menyentuh tanganku. Mungkin ingin melarangku bicara, tetapi aku tidak peduli. Malah semakin lantang bicara. “Saya tidak tahu kenapa bisa ada berita seperti ini. Tidak ada yang hamil di sini. Jadi, kalau ada berita saya hamil oleh Pak Alvin sampai ke telinga Anda, itu hanya sebuah kebohongan. Tidak benar sama sekali!”Hening. Semua orang terdiam paska aku mengatakan itu dengan tegas. Wajah Pak Alvin bahkan memucat. Bu Yumi–ibunya Pak Alvin— mematung menatapku dengan mata melebar seraya memegangi dadanya. Pak Alvin berlari mendekati sang ibu. Sepertinya lelaki itu sangat mengkhawatirkannya. “Bunda....”Ketegangan menyelimuti. Pak Alvin memegangi tubuh ibunya dengan wajah semakin pucat. Sementara Aku menahan napas dengan tegang. Apa ibunya Pak Alvin ak