Xabier langsung menuju kamar, ia menemukan Batari telah siap untuk membawa Xaba ke rumah sakit."Ayo, Pak. Saya sudah siapkan pakaian Xaba." Batari berjalan lebih dul, sementara Xabier keheranan."Kamu seperti yakin kalau Xaba akan dirawat," ucapnya sambil mengikuti istrinya."Demam Xaba sudah mencapai 40 derajat, ini hanya persiapan saja, siapa tahu." Tas di tangan Batari diraih Xabier lalu ditaruh di bagasi mobil.Xabier melarikan kendaraannya dengan lebih cepat ke arah rumah sakit ibu dan anak di Surabaya. Sesekali Xabier menoleh memandang istri dan anaknya.Ia melihat Batari begitu tenang, tetapi tatapannya sendu kala melihat Xaba yang tertidur di pangkuannya.Putra mereka masih belum genap enam bulan, demam ini pasti menyakitkan baginya. Tentu saja setiap ibu yang mengasihi anaknya akan merasa seperti Batari.Xabier mengusap kepala Batari perlahan penuh kasih sembari tangan kanan di kemudi. Tidak terbendung lagi, air mata Batari jatuh lalu terdengar isakan kesedihan.Akhir-akhir
Batari keluar dengan wajah sendu dari ruangan dokter spesialis kandungan. Xabier tidak menemani sebab Batari meminta agar Xaba ditemani di ruang rawatnya.Batari berjalan menuju kamar Xaba dengan mata berkaca-kaca hampir menangis. Ia tidak menyangka kalau Xaba akan secepat ini memiliki adik, sementara umur putra pertamanya masih 5 bulan.Perasaan bersalah mengungkung Batari, ia takut kalau tidak mampu membagi perhatian untuk Xaba dan calon anak kedua.Pintu kamar rawat Xaba dibuka Batari, cepat-cepat ia menghapus air mata. Kejutan di dalam kamar membuat Batari melupakan sejenak kehamilannya.Sekuat hati ia mengulas senyum, ada tamu istimewa datang mengunjungi Xaba."Nyonya dan mbak Xinda... apa sudah lama datang?""Baru saja, Kak," jawab Xinda ramah. "Kak Xabi tadi yang beri tahu kalau Xaba dirawat."Batari mengangguk dengan senyum tulus lalu ia melirik ibu mertua yang melempar raut tanpa ekspresi."Pak Xabier ada di mana?" tanya Batari pada Xinda, ada rasa canggung memenuhi dirinya s
"Itu yang Pak Xabier mau, saya direndahkan Nyonya Andalaska!?" Tatapan Batari merah menyalakan amarah. Meskipun nada suaranya tertahan, tetapi pesan yang disampaikan mengandung emosi. "Mama tidak merendahkan kamu, Bu. Jangan salah paham." Xabier berusaha menenangkan gusar Batari. Akan tetapi, Batari terus menghindar saat Xabier akan menjamah lengannya."Jangan pegang!" hardik Batari.Kekesalan Batari memuncak, belum lagi siap memproses berita kehamilannya, Andalaska dinilai melontarkan kalimat yang menyudutkan dirinya.Batari menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia menumpahkan tangis di dalam toilet. Syukur saja, ruangan eksklusif yang digunakan oleh mereka."Mengapa saya begitu bodoh, mau Pak Xabier hamili," ujar Batari sambil menghentakkan kaki ke lantai seperti seorang anak kecil yang sedang kesal.Xabier keheranan, ia hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya sembari meringis kebingungan."Coba lihat, di mata Nyonya Andalaska saya yang salah," sembur Batari menunjuk dirinya, setel
Lima hari sudah Xaba dirawat di rumah sakit, selama itu Batari setia menemani putranya. Setiap pagi rasa mual menyerang, ia selalu mengafirmasi diri kalau keadaan seperti itu tidak akan lama dan harus diterima.Batari membersihkan bibirnya di wastafel dalam kamar kecil. Air mata berlinang di pipinya, bukan karena rasa sedih, melainkan pagi ini ia memuntahkan semua isi perutnya, sampai-sampai air mata keluar.Rasa lelah mendera, Batari lemas dan terduduk di lantai kamar kecil."Hei, kamu muntah lagi, Bu?" Xabier masuk begitu tidak melihat Batari berada bersama Xaba usai menerima panggilan. Selama lima hari Xabier tidak bekerja ke restoran, hanya memantau kondisi melalui ponsel.Hanya anggukan sebagai jawaban lantas Xabier membopongnya ke arah sofa lalu mendudukkannya di situ. "Kita periksakan ke dokter kandungan, ya," bujuk Xabier sembari mengusap kening dan rambut Batari yang menyender pada sofa.Gelengan kepala Batari membuat resah Xabier bertambah."Saya lapar lagi," ucap Batari tan
Xinda mengajak Andalaska untuk menikmati makan malam di sebuah restoran hotel. Dengan mengenakan gaun tanpa lengan berwarna biru muda dan dandanan layaknya seorang sosialita, Andalaska percaya diri berjalan bersama putrinya.Bila dilihat dengan seksama, tidak terlihat kalau usia Andalaska telah menginjak lima puluhan. Perawatan dan busana mahal kerap menunjang penampilannya. Andalaska terlihat seperti seorang kakak dibanding ibu."Mama senang kamu ajak mama makan malam, sudah lama tidak dinner berdua, ya," ucap Andalaska berseri sembari menunggu sajian pesanan mereka.Usai kejadian yang menyinggung Andalaska, Xinda memutuskan untuk meminta maaf dengan berbagai cara. Makan malam ini sebagai puncak kalau Xinda benar-benar tidak bermaksud menyakiti perasaan mamanya."Iya, Ma. Aku ajak mama juga untuk menyambut penelitian yang akan jalan dua minggu lagi.""Mama bangga sekali sama kamu. Semoga penelitian nanti lancar, ya. Mama yakin kalau tahun ini gelar sarjana kamu bakal disandang," duku
"Kakak, minta penjelasan dari kamu nanti." Xabier keluar kamar rawat Andalaska dengan paras tegang.Sebelumnya, beberapa warga mendapati seorang perempuan menjerit-jerit di jalanan pada malam hari sendirian. Saat ditanya ia hanya bisa menangis, sampai-sampai pingsan karena kelelahan.Warga berinisiatif membawa ke rumah sakit terdekat. Usai diperiksa dan diperoleh hasil fisik yang baik, tetapi Andalaska tidak bisa diajak bicara dengan baik.Dari tasnya warga mengecek ponsel Andalaska lalu menghubungi Xinda dan Xabier, nomor kontak teratas.Xinda berdiri gelisah selain karena keadaan mamanya kini, juga dugaan kalau Xabier akan mengamuk bila mengetahui kebenarannya.Ia memandangi Andalaska yang terlelap di ranjang pasien. Dokter mengatakan kalau Andalaska diduga mendapat guncangan psikologis. Pemeriksaan intensif masih terus dilakukan."Jelaskan pada kakak, mengapa mama bisa ditemukan di jalanan dan diantar oleh masyarakat setempat?"Telapak tangan Xinda mulai lembab, mereka kini berada
Plak!!Tamparan keras dilayangkan Xabier pada Xinda usai menceritakan apa yang terjadi hingga kejadian pertemuan papa dan mama mereka.Xinda sampai terduduk di sofa dan menangis ketakutan. Batari terkejut, panik, dan langsung memeluk Xinda yang berlinang air mata."Maafin Xinda, Kak," raungnya dalam tangis. Batari mengelus lengan Xinda yang menyender ke perutnya. Manik Batari sampai berkaca-kaca, ia tahu tamparan itu pasti sangat sakit.Tubuh Xinda yang jauh lebih kecil terpental merasakan kekerasan dari kakaknya. "Semua karena kecerobahan kamu! Laki-laki itu sudah tidak ada hubungan dengan kita!" teriak Xabier seraya melayangkan tangannya pada Xinda."Stop!! Jangan berani-berani mendekat!" jerit Batari menunjuk Xabier, ia tengah menahan tangis."Ini bukan urusan kamu! Jangan kamu bela dia!" tunjuk Xabier. Pria itu dilanda amarah begitu tahu penyebab Andalaska terguncang hebat. Tangan sebelah kirinya mengepal erat."Dia juga adik saya," ucap Batari. Nafasnya tersengal-sengal, tidak m
Groban terlihat gelisah di bangku kerja rumah mewahnya. Berkali-kali ia menghubungi putrinya, Xinda, sayangnya tidak tersambung.Hari mulai malam, Groban memutuskan untuk keluar dari kamar kerjanya ke ruang makan. Saat ponselnya telah ditaruh di meja, bunyi panggilan membuat Groban kembali.Senyum yang awalnya merekah, berubah datar, ia tetap menjawab panggilan."Ada apa lagi mencari saya?""Pertanyaan klasik, pasti tahulah maksud panggilan ini.""Saya tidak akan lagi mengirim uang untuk kamu," ucap Groban dingin.Dengkusan kasar terdengar dari seberang. "Yakin?"Groban sebenernya tidak begitu yakin, tetapi ia harus mengambil keputusan terbaik untuk masa depannya."Apa tidak sayang dengan nama baik?" tanya si penelepon."Tidak perlu menggertak, Wahyuni," ucap tegas Groban."Apakah saya harus bilang takut pada kamu, Groban?" Terdengar tawa remeh."Semenjak kamu menceraikan saya, kamu tidak pernah 'kan berani untuk mengungkap hal sebenarnya. Mengapa? karena kartu kamu ada di saya," lanju