Mayla meminta Raka menghentikan mobil di depan salah satu rumah mewah di kompleks perumahan elit itu.
"Ini rumah kamu?" Raka bertanya sekedarnya, sementara Mayla mengangguk antusias. “Kakak mau mampir dulu?” tawarnya. “Oh enggak, makasih. Aku lagi buru-buru, ada acara lain,” tolaknya halus. "Kalau gitu makasih ya sudah diantar pulang.” Tulus, gadis remaja itu berucap. “Sama-sama. Maaf juga tadi aku nggak sengaja nabrak kamu.” Mayla segera membuka pintu mobil usai mengangguk. Anehnya, dia tak segera beranjak dari duduknya hingga mendengar Raka berdehem kecil. "Ada apa?" Raka pun bertanya keheranan. "Eehm, maaf Kak. Boleh minta nomor HP-nya?" pintanya malu-malu. Raka sempat terbengong sejenak. Namun kemudian, segera melebarkan senyum setelah menyadari apa yang sedang terjadi. Sepertinya dirinya sedang memiliki penggemar baru. "Coba sini, mana ponselmu?" perintahnya. Dengan wajah riang, Mayla pun segera menyerahkan smartphone yang digenggamnya. "Ni udah," ujar Raka usai menuliskan nomor kontaknya di HP Mayla. Bibirnya mengulum senyum. Rasanya sangat lucu baginya mengetahui seorang anak gadis seusia itu menyukainya. * Mayla berlari kecil melintasi halaman rumah saat mobil Raka menghilang di tikungan. Ibunya yang menghadang di ruang tamu, membuat gadis remaja itu sempat terperanjat. "Diantar siapa, May? Keren banget mobilnya," selorohnya tanpa basa-basi. Mayla yang sudah sangat hafal watak ibunya, tak merasa heran dengan pertanyaan itu. "Teman kok, Mah," jawabnya enteng, seraya mencium punggung tangan sang ibu. "Cewek apa cowok? Nggak keliatan tuh tadi dari luar. Gelap banget kaca mobilnya," selidik Mayang. Mayla memutar bola mata ke atas dan bersiap untuk menjawab pertanyaan, tapi Mayang langsung menodongnya dengan pertanyaan lain. "Cowok kan?" "Bukan, Mah. Cewek kok," bantah Mayla. “Ah masa'. Bohong kamu ya? Memangnya teman kamu sudah ada yang bawa mobil ke sekolah? Kan belum boleh?" Mayang mencebik tak percaya. “Tadi itu kan sopirnya yang nyetir, Mah.” "Ooh, kirain itu tadi pacar kamu. Makanya May, kamu dengerin dong kata mama. Ubah tuh penampilan kamu yang kampungan, biar nanti dapat jodohnya yang tajir, yang mobilnya keren kayak tadi," cerocos sang ibu, sembari mengekor si anak yang mulai melangkah tanpa menghiraukannya. "Ah Mama nih. Masih kecil juga disuruh mikirin jodoh," gerutu Mayla. "Loh, ya harus dong. Memangnya kamu mau, nanti udah gede hidup susah? Enggak kan? Makanya, cari suami tuh yang kaya, mapan, dan pinter cari duit. Minim kayak papamu gitu tuh. Ngerti kan kalau mama ngomong?!"" Mayang mulai mendelik pada anaknya. Lagi-lagi, Mayla memutar bola mata mendengar celotehan ibunya. Seolah di dunia ini memang tak ada topik lain yang lebih menarik bagi wanita yang telah melahirkannya itu selain uang, uang, dan uang. "Dah ah, May mau ganti baju dulu. Mama sanaan, jangan ngikutin aku terus!" Mayla mendorong gemas tubuh ibunya ke luar kamar. "Eh, nih anak dibilangin ngeyel," gerutu Mayang kesal, mencebik sebentar sebelum akhirnya meninggalkan pintu kamar anak sulungnya dengan perasaan dongkol. * Raka yang baru saja sampai di ruko dikejutkan dengan mobil mewah warna merah terang di parkiran. Sepertinya, benda itu tak terlalu asing baginya. Sebuah suara lembut menyapa usai kakinya mendorong pintu kaca lantai dasar. "Oh, hei…." Raka tertegun sejenak, sebelum akhirnya tersenyum sumringah melihat siapa tamunya. Dia benar-benar tak menyangka Ayu mengunjunginya secepat itu. "Kok di sini?” "Ada acara meeting sebentar tadi sama klien di Hotel Ambassador. Jadi, aku mampir sekalian. Cukup dekat kan dari sini," jelas wanita itu, sedikit tersipu.. "Udah nunggu lama lho Bang temannya." Salah seorang karyawan yang sejak tadi terlihat menemani Ayu mengobrol tiba-tiba nyeletuk. "Oh ya? Maaf ya, ada insiden dikit tadi di jalan. Aku nyerempet orang.” Raka menepuk dahi sembari mendudukkan diri di sofa. Melihat sang tamu sudah bertemu dengan yang dicari, si karyawan bergegas kembali ke pekerjaannya. "Duuh …trus gimana? Semua baik-baik aja kan?" Ayu terlihat ikut cemas. “Nggak sih, cuma luka kecil. Sudah kuantar pulang juga kok anaknya.” “Anak kecil ya?” Mata Ayu membulat, membayangkan seorang anak tertabrak mobil yang dikendarai Raka. “Iya, anak SMP,” jawabnya cepat. “Tapi nggak apa-apa kok untungnya.” Raka seolah mengerti kengerian Ayu. "Syukurlah kalau gitu.” Wanita itu menarik nafas lega. “Ngomong-ngomong, aku lumayan kaget loh pas nyampe sini tadi. Kamu tuh ternyata pengusaha muda sukses ya, Raka. Nggak nyangka loh. Tadinya aku pikir, tempat ini tuh cuma ruko biasa aja. Ternyata kamu punya banyak karyawan juga di dalam," pujinya tulus. Matanya mengitari setiap sudut ruko dengan tatap takjub. “Ah nggak juga. Cuma bisnis kecil-kecilan kok. Masih baru berkembang juga.” "Jangan merendah gitu, Raka. Karyawan kamu udah cerita banyak tadi. Aku tuh suka banget loh sama anak muda yang kreatif dan pekerja keras. Apalagi, kamu masih dua puluh lima tahun kan?" tanya Ayu lugas, membuat Raka mendesis malu. Pasti ulah karyawannya yang sudah menceritakan hal-hal nggak penting seperti itu pada Ayu. Kenapa harus membocorkan umur sih? Raka sekarang jadi merasa kerdil di hadapan Ayu. "Mungkin suatu saat nanti kita bisa kerjasama, Raka. Aku dengar kamu digital marketer yang handal." Ayu tersenyum penuh arti. Kerjasama? Raka mengerutkan dahi. Tiba-tiba ada bola lampu menyala di kepalanya. Jalan di depannya benar-benar sangat mulus ternyata. "Kamu bekerja dimana memangnya, Ayu?" Raka bertanya, berpura-pura tidak tahu. “Aku di Adiatama Group. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Kamu pernah dengar tidak?” “Adiatama ya? Kayaknya mustahil deh ada orang nggak tau perusahaan sebesar itu,” puji Raka. “Kamu kerja di sana? Atau jangan-jangan kamu pemiliknya?” Lagi-lagi Raka bertanya, pura-pura. "Sebenarnya bukan sih. Aku hanya penerus usaha ayahku saja.” Ayu terkekeh kecil. Sejenak Raka tertegun. Rupanya Ayu lumayan rendah hati. "So, di depanku ini Ibu Direktur Adiatama ya? Kehormatan banget buat aku bisa kenal kamu, Bu Ayu," pujinya dengan senyum menawan, yang sontak membuat Ayu tersipu. Sementara jauh di lubuk hati, Ayu merasa ada sesuatu yang aneh. Gejolak tak biasa yang tiba-tiba muncul setelah beberapa tahun hatinya dingin oleh makhluk bernama laki-laki. Bersambung …Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanita yang terlihat begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya.Akhirnya, disinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiaannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa masih hidup.Mayla sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya.Pesta itu tidak begitu mewah karena hanya dihadiri oleh tamu-tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya sangat mengesankan betapa sang pengantin pria sudah mempersiapkan pesta itu dengan hati.Tak jauh beda dengan Mayla, Ibu Rani pun nampak sangat haru dengan pernikahan putra pertamanya. Kekhawatirannya akan dendam sang anak pada ayah kandungnya ternyata tidak terbukti benar. Raka membuktikannya dengan akhir yang membahagiak
"Dia di mana, Bik?" Bik Sani langsung menyambut saat Raka tiba di halaman rumah. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah."Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau ke luar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," jelas Bik Sani, mengikuti langkah Raka menuju ke dalam."Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik.""Baik, Pak."Sampai di depan kamar Mayla, Raka ragu untuk mengetuk. Hari itu sebenarnya dia belum punya rencana untuk menemuinya. Namun karena Bik Sani menelpon dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya dia berubah pikiran.Tak ada sahutan dari dalam saat akhirnya Raka mengetuk kamar itu. Hingga dia pun memutuskan untuk membukanya paksa.Raka menghela nafas lega saat dilihatnya Mayla sedang tidur meringkuk di atas ranjang."May!" Raka mendekat dengan buru-buru, memegang kepala gadis yang terlihat terbaring lemah di atas ranjang itu. Badannya sedikit panas. Raka mulai panik."Bik! Bibi!" Teriakannya membuat Bik Sani langsung berlari tergopoh menu
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah terlihat datang.Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba-tiba seperti akan berhenti di depan rumah. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa.Dia juga selalu berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbang memanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba-tiba muncul mengagetkan dan membuatnya takut. Raka seperti menghilang di telan bumi.Beberapa kali ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; belanja bulan ini, gaji Bik Sani, uang sekolah, atau bersenang senanglah. Siapa lagi yang mengirimkan uang sebanyak itu selain Raka?Lalu beberapa kali terkadang ada pesan masuk ke aplikasi hijaunya."Sudah di
"Semalam mau tanya apa?" Tiba-tiba Raka bertanya di sela-sela sarapan.Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi itu untuk kedua momongannya."Eeehm, itu Kak ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran mendadak hilang seketika melihat wajah yang menatapnya dengan tak berkedip dan mendominasi seperti biasa."Itu apa?" desak Raka. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus sekarang. Kenapa malah diam?" cecar Raka.Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja jadi seperti orang bodoh saat sedang berhadapan dengan Raka."Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah.""Aku tau. Trus ngapain?""Kakak tau? Gimana kakak bisa tau?" Dahi Mayla berkerut."Apa sih memangnya yang nggak aku tau dari kamu?" ucap Raka bernada merendahkan. "Trus kenapa?" lanjutnya."Itu ... Ayah bilang sesuatu sama Mayla.""Bilang apa?" Raka beralih ke piring di depann
"Mayla!" Firman langsung berteriak saat melihat Mayla muncul dari pintu gerbang sekolah."Ayah!" Mata Mayla berbinar melihat sang Ayah yang sedang berdiri di dekat mobil MPV keluaran tahun lama itu."Ayah kok di sini?" tanyanya saat berhasil sampai di dekat Firman."Kebetulan tadi Ayah lewat, jadi sekalian mampir. Kamu sudah makan? Temenin Ayah makan siang yuk?" ajak Firman. Mayla pun mengangguk senang.Selain teman-temannya di sekolah dan keluarga Ibu Rani, Mayla sangat jarang berinteraksi dengan orang lain. Kehadiran Ayah hari itu sepertinya membawa suasana lain dalam hatinya.Mayla masuk ke dalam mobil Firman tepat pada saat mobil Raka berhenti di depan sekolahnya.Melihat Mayla dijemput sang Ayah, Raka pun langsung melaju meninggalkan tempat itu.Dia yakin hari itu Mayla akan mengetahui kartu merahnya. Ayahnya pasti akan mengatakan padanya tentang lamaran itu..*****"Apa? Ayah pasti bercanda kan?" Mayla membelalakkan mata tidak percaya di sela-sela makan siang di sebuah Restoran P
Berbeda dengan saat di rumah, sikap Raka di ruko ternyata lebih cuek. Saat sampai di sana, dia langsung meminta salah seorang karyawan wanitanya untuk membantu Mayla mengenal pekerjaan barunya. Sementara dia sendiri sibuk di ruang kerja bersama Radit.Kikuk dan minder. Itu yang dirasakan Mayla di kantor itu. Menjadi yang paling muda dan paling tidak mengerti apa-apa. Mayla jadi tersadar jika hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan ketidak-beruntungan."Setelah selesai, jangan lupa filenya disimpan ya. Buat nanti laporan mingguan ke Bang Raka," ucap karyawan wanita itu menyudahi penjelasan. Mayla hanya mengangguk, kurang yakin."Oke, kalau ada masalah nanti tanyain aja, nggak usah malu. Semuanya baik kok di sini," ujarnya lagi. Meski sudah diperlakukan ramah seperti itu, Mayla tetap saja merasa asing. Terlebih karena Raka juga tak memperlakukannya spesial di tempat itu.*****Jam sudah menunjuk pukul 5 sore saat sebagian besar karyawan sudah mulai meninggalkan ruangan. Hanya beberap