Share

Bab 6

PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA

Bab 6

"Mas, aku pengen bicara sesuatu sama kamu." Aku duduk di sisi ranjang. Melihat Mas Bayu yang tengah berbaring di ranjang sembari bermain ponsel.

"Bicara apa, Rum? Bicara saja, aku mendengarkan kok!" jawab Mas Bayu, namun matanya masih fokus pada layar yang menyala. 

"Kalau boleh tahu, sebenarnya gajimu itu berapa? Setiap bulan Mas Bayu ngasih Arum cuma lima ratus ribu."

"Kamu nggak percaya sama Mas?" Kini pandangan Mas Bayu beralih kepadaku. Menatap kedua manik matanya yang terlihat tidak suka mendengar pertanyaanku.

"Bukannya nggak percaya, Mas. Hanya saja, lima ratus ribu itu tidak cukup."

"Tidak cukup? Bukannya selama ini aku berikan uang sebesar itu kamu tidak pernah marah, tidak pernah komplain apalagi meminta lebih. Terus kenapa sekarang bertanya? Apa kamu tidak ikhlas membantuku?"

"Bukannya tidak Ikhlas, Mas. Hanya saja sepertinya ada yang kamu tutup-tutupi dariku. Kamu pakai uang tabungan untuk membayar kontrakan Agus saja tidak bicara terlebih dahulu sama aku."

"Ow, jadi ini masih tentang uang lima juta itu? Kamu bener-bener pelit, Arum. Semenjak warung kamu itu laris, kamu berubah. Lebih perhitungan."

"Mas, kalau kamu lebih terbuka sama aku. Aku tidak akan mengungkit-ungkit itu terus. Kamu diam saja, tidak pernah bicara apapun. Tiba-tiba uang habis tidak tersisa, marah? Jelas, aku berhak marah. Kecewa? Jelas aku kecewa, bagaimana tidak. Jika kamu bekerja keras dan uang yang kamu pikir sudah terkumpul justru tidak ada, apa kamu cuma diam saja."

"Sudahlah, Rum. Sebenarnya apa yang ingin kamu tanyakan. Tidak usah bahas yang sudah-sudah, capek."

"Apa kamu selama ini selalu memberikan Ibu uang, setiap kamu gajian, Mas?" Kini terlihat Mas Bayu diam. Dia tidak menjawab maupun mengelak, memang benar jika memberikan sedikit rezeki kepada orang tua tidak ada salahnya. Justru malah menambah rezeki itu sendiri. Namun jika memberinya diam-diam tanpa sepengetahuan istri, itu justru terkesan tidak terbuka. Akan menjadi Boomerang bagi rumah tangganya sendiri suatu saat nanti. 

"Memangnya kenapa tho, Rum. Dia itu ibu kandungku, Ibu yang sudah merawat dan juga membesarkan ku. Jadi wajar kalau aku memberinya uang."

"Tapi, Mas. ibu selalu bilang kepadaku, di tidak pernah menerima uang darimu. Setiap Ibu berkeluh kesah tentang uang, aku selalu memberinya. Tapi kenapa sekarang justru dia sering menyebutku menantu pelit. Pelit yang seperti apa?"

"Ow, jadi kamu nggak ikhlas ngasih Ibu uang?"

"Bukannya nggak ikhlas, hanya-"

"Hanya apa? Sudahlah, Rum. Aku ini sudah tidak memiliki Bapak. Ibu juga seorang janda, sudah sebaiknya kita memberinya uang lebih. Kamu itu nggak usah lebay, membesar-besarkan masalah yang tidak seharusnya."

Aku menghela napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Berbicara dengan Mas Bayu, tidak akan menyelesaikan masalah justru semakin rumit dan juga melebar. Entah terbuat dari apa hati laki-laki itu. Yang pasti aku kecewa.

Aku merebahkan tubuhku di samping Mas Bayu, entah mengapa lelah hati dan juga lelah badan begitu terasa. Segera Ku Memejamkan mata karena besok pagi aku harus pergi ke warung lebih pagi. 

Jam menunjukan angka tiga, aku segera mem beringsut turun dari ranjang. Mengambil air wudhu berniat shalat dua rakaat. Sholat tahajud yang sering aku lakukan, menengadahkan tangan berharap Sang Pemilik hidup memberikan kemudahan dalam segala hal. Setelah selesai, aku segera ke dapur. Mempersiapkan bahan-bahan yang akan aku masak. Membuat adonan bakwan dan juga tempe goreng. Tidak lupa membuat bumbu soto. Setelah semua selesai, aku segera menata bahan tersebut kedalam keranjang.  

Aku berniat ke dapur, membuatkan Mas Bayu kopi dan juga menyiapkan makanan. Alangkah terkejutnya aku ketika kopi dan juga gula habis dalam bersamaan. Entah mengapa Ibu mertua tidak mau membelinya, padahal kemarin dia sempat ke warung. Ah, kalau seperti ini aku juga malas. Selalu membeli kebutuhan dapur saat habis. Namun sekalinya aku bersikap tidak menyenangkan pasti gelar pelit selalu disematkan untukku. 

Kali ini aku tidak akan membeli kebutuhan dapur, jika Mas Bayu memiliki gaji. Biarlah dia yang membelinya. Aku sudah malas bersikap sok baik kepada keluarga ini.

Aku segera membawa semua bahan itu ke warung. Terdengar sayu-sayu suara adzan subuh berkumandang. Empat kompor menyala sekaligus, untuk memasak soto, air minum dan juga gorengan. Tidak lupa aku memasak nasi dalam magic com.  

"Assalamualaikum, Mbak Arum." Terdengar Siti mengucapkan salam lalu membuka pintu warung.

"Waalaikumsalam," jawabku sembari tangan terus menggoreng. 

"Di buka warungnya sekarang, Mbak?"

"Nanti saja! Kamu lanjutin goreng ini ya, Sit. Aku mau sholat subuh dulu."

"Ow, iya. Mbak." Tidak berapa lama saat aku menjalankan kewajiban umat Islam. Tini juga sudah datang, wanita berbadan gempal itu memasak oseng-oseng yang bahannya sudah disiapkan kemarin sore. 

"Arum." Terdengar suara yang tidak asing lagi memanggil namaku. Aku tahu, pasti wanita tua itu.

Ibu terlihat tergopoh-gopoh berjalan masuk ke dalam warung yang belum buka.

"Rum, kamu itu kok nggak nyiapin kopi dulu buat Bayu. Nggak masak, main pergi-pergi aja. Kerja boleh tapi jangan pernah melupakan kewajiban kamu sebagai seorang istri!" sungut Ibu di pagi buta. Entah mengapa wanita tua itu suka sekali mencari masalah.

Aku yang tengah meracik teh, masih diam tidak menjawab. Sesekali membuang napas dengan kasar lalu melirik ke arah Ibu mertua yang tengah berkacak pinggang.

"Maaf, Bu. Gula sama kopi habis, kalau Mas Bayu pengen minum kopi. Beli dulu di warung!"

"Kenapa kamu nggak beli? Biasanya kamu beli semua kebutuhan dapur, kenapa sekarang kamu nggak ngelakuin itu?" tanya Ibu mertua dengan wajah masam.

"Bu, nafkah dari Mas Bayu cuma lima ratus ribu per bulan. Dan itu sudah habis dari Minggu kemarin, aku sudah tidak punya uang lagi. Jadi maaf, Arum tidak bisa membeli kebutuhan dapur. Ow, ya Bu. Ini semua kebutuhan Ibu dan juga mas Bayu yang habis. Jadi mulai sekarang Ibu sendiri yang akan berbelanja kebutuhan dapur dan juga kebutuhan lainnya."

"Ya Allah, Rum. Uang dari mana Ibu ini? Kamu menghina Ibu? Kamu pikir Ibu punya uang banyak! Ha?"

"Sama, Bu. Arum pikir Ibu nggak punya uang, tapi sayangnya Ibu selalu bisa membeli perhiasan dan juga gamis baru, dari mana ibu bisa membeli gamis tersebut Bu?" 

"I-itu kan uang yang kamu berikan kepada Ibu. Masak kamu lupa?"

"Aku nggak lupa, aku pikir Ibu dikasih uang sama Mas Bayu setiap gajian. Hari ini Mas Bayu gajian lho, Bu. Jangan sampai anak Ibu lupa ngasih Ibu uang."

"Kalau begitu, Ibu minta soto sama gorengan ini saja, Rum. Buat sarapan Bayu, takutnya dia kelaparan lagi. Lagian kamu itu seharusnya nyiapin sarapan dulu buat suami seperti biasa. Jangan main pergi aja."

"Aku ini menantu pelit, Bu. Jadi mulai sekarang biar Ibu yang mengurus keperluan Ibu dan juga Mas Bayu."

"Kamu ini kenapa sih, Rum? Nggak mau dikatain pelit? Kalau nggak mau itu berubah, Rum. Bukan malah seperti ini, nggak mau belanja nggak mau nyiapin kebutuhan suami. Berarti memang kamu itu istri yang pelit, istri perhitungan. Pantas saja suamimu nggak pernah ngasih kamu uang lebih dari lima ratus ribu. Malah justru gajinya sebagian besar diberikan kepada Ibu. Karena memang Ibu pintar mengurus keuangan tidak sepertimu!"

Duar

Seperti disambar petir di pagi hari tanpa adanya hujan. Ucapan Ibu baru saja menyadarkanku bahwa benar adanya, Mas Bayu memberikan uang gajinya kepada Ibu. Dan aku hanya diberi uang lima ratus ribu?

Astagfirullahaladzim, Mas Bayu. Kamu benar-benar ya.

Sepertinya Ibu keceplosan bicara, karena terlihat dia gugup dan salah tingkah. Baiklah kalau begitu, urus saja kebutuhanmu sendiri, Mas. Dan tunggu pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.

Bersambung

Comments (2)
goodnovel comment avatar
for you
udah tau suami pembohong duit tabungan di habis kan ga jelas malah nanya soal gaji berapa bukanya cari tau jadi istri itu yg pinter dikin kenapa
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Koq diulang lagi kayak episod yg sebelumnya thor?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status