Moskow, Rusia,
Di sebuah apartemen di pusat Kota Moskow, hujan deras telah mengguyur jendela besar yang menghadap ke jalan-jalan yang mulai sepi. Kota besar tersebut tampak muram siang itu, seolah-olah ikut merasakan beratnya langkah Liliya yang baru saja pulang dari kampusnya. Jaket tebalnya terlihat basah kuyup, rambut panjangnya yang biasanya rapi kini menempel lepek di wajahnya. Dengan cepat, Liliya membuka pintu apartemennya yang hangat dan melemparkan tasnya ke sofa, merasa lelah setelah seharian berada di kampus. "Ah, dingin sekali," gumamnya pelan sambil bergegas menuju ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Dia pun lalu mengunci pintu kamar mandi dan segera membuka pakaiannya yang telah basah semuanya. Suara hujan yang deras dari luar jendela tetap terdengar, menciptakan suasana tenang namun penuh kesendirian. Air hangat dari kucuran shower segera menyentuh kulitnya, memberikan kelegaan yang sangat dibutuhkan setelah berjam-jam beraktivitas di luar rumah. Liliya menutup matanya, membiarkan air membasuh semua keletihan jiwa dan raganya. Setelah selesai, dia lalu melilitkan handuk di tubuhnya dan berjalan ke kamarnya, mulak mengeringkan rambutnya dengan lembut dan penuh kehati-hatian. Setelah mengenakan pakaian santai, gadis cantik itu lalu berjalan ke arah dapur. Ruangan itu kecil namun sangat nyaman, dipenuhi dengan aroma roti panggang yang sering dibuat olehnya sendiri. Liliya lalu menyiapkan secangkir coklat panas dan mulai menyalakan alat pemanggang roti. Bunyi lembut alat pemanggang roti yang menyala mengisi keheningan di apartemennya. “Setidaknya, coklat panas bisa sedikit menghangatkanku,” ucapnya sambil tersenyum tipis, meski matanya tampak sangat letih. Setelah coklat panas dan roti bakarnya siap, Liliya pun membawa semuanya ke ruang tamu. Dia lalu duduk di sofa yang lembut, meletakkan cangkir di atas meja kecil di depannya, dan meraih remote TV. Dengan santai, sang gadis mulai mencari saluran TV yang bisa menarik perhatiannya. Namun, tak ada yang benar-benar menyenangkan baginya siang itu. Liliya terus mengganti saluran demi saluran, hingga tiba-tiba satu siaran berita menangkap perhatiannya. Layar TV sedang menampilkan kobaran api besar, dan reporter sedang berbicara cepat tentang kebakaran di Kazan, kota kelahiran Liliya. Raut wajahnya langsung berubah, perhatian penuh pada apa yang ditampilkan di layar televisi. Api terlihat menghanguskan sebuah rumah yang sungguh akrab di matanya. “Tidak ... itu bukannya ....” gumam Liliya, mulutnya tiba-tiba terasa kering. Gambar yang lebih jelas dari kamera siaran menunjukkan bahwa rumah yang terbakar itu adalah rumahnya. Rumah tempat dirinya dibesarkan. Liliya sejenak terpaku, tak bisa berkata apa-apa. Dia lalu meraih remote TV dan segera menambah volumenya. “Insiden kebakaran di sebuah rumah di Kota Kazan hari ini mengakibatkan dua korban jiwa, Tuan Vadim dan Nyonya Disca, yang merupakan pemilik rumah tersebut,” suara seorang reporter mulai menjelaskan kronologis kejadian yang telah terjadi. “Keduanya ditemukan tewas di tempat,” ungkap sang reporter lagi. Gelas coklat panas yang dipegang oleh Liliya tiba-tiba terlepas dari tangannya, jatuh dan menumpahkan isinya ke atas karpet. Tangan Liliya mulai bergetar hebat. Matanya yang tadinya terpejam karena lelah kini terbuka lebar, dipenuhi air mata yang mulai mengalir tanpa bisa dibendung. Dia masih tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. "Tidak mungkin ... ini tidak mungkin terjadi!" Liliya bergumam berulang kali, suaranya bergetar hebat. Masih belum percaya dengan apa yang telah terjadi. "Papa ... Mama ...." serunya mulai memanggil nama kedua orang tuanya. Tangisnya mulai pecah, tubuhnya yang gemetar membuatnya merosot di sofa. Hujan yang terus mengguyur jendela apartemennya seakan mempertegas perasaan sedih dan hancur yang kini menguasai hatinya. “Kenapa kebakaran itu bisa terjadi? Papa, Mama! Aku tidak percaya musibah ini menimpa kalian!” serunya lagi semakin tak percaya. Air mata semakin deras keluar dari kedua pelupuk matanya. Gadis itu benar-benar hancur mendengar kabar jika kedua orang tuanya telah meninggalkannya untuk selamanya. Sudah hampir enam bulan lamanya Liliya tidak pulang ke Kazan. Dia terlalu sibuk dengan studinya di Moskow, terlalu sibuk untuk menyempatkan waktu bertemu dengan kedua orang tuanya. Dan sekarang, tanpa peringatan, mereka telah tiada dan meninggalkannya sendirian. "Kenapa aku tidak pulang lebih cepat ke Kazan? Bahkan ku tidak sempat menelepon Papa dan Mama?" isaknya lirih. Rasa penyesalan yang dalam menyesakkan dadanya, menghancurkan setiap bagian dari ketenangan yang tadi masih tersisa di hidupnya. Liliya mencoba meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja, tangannya masih bergetar. Dia membuka daftar kontak dan mencari nomor ayahnya. Dengan panik, dia menekan tombol panggil, meski tahu di lubuk hatinya bahwa tidak akan ada jawaban dari sang ayah. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan." Suara otomatis dari operator hanya menambah kesedihan hatinya. Liliya pun segera mencoba menelepon ibunya, namun hasilnya sama saja. Kedua nomor itu kini tak lagi dapat dihubungi, seolah-olah menegaskan bahwa mereka benar-benar sudah pergi untuk selamanya meninggalkannya sendirian di dunia ini. "Papa ... Mama ...." Liliya menangis tanpa henti, tangannya memegang erat ponselnya. Gadis itu tiba-tiba teringat saat-saat bahagia bersama kedua orang tuanya, dimana mereka sedang tertawa bersama di rumah yang kini telah habis dilalap api. Liliya tiba-tiba teringat bagaimana ayahnya selalu memanggilnya putri kecilku dan ibunya yang selalu mengingatkan untuk menjaga diri selama menempuh pendidikannya di Moskow. Semua itu kini hanya tinggal kenangan yang sangat menyakitkan bagi Liliya. Tak ada lagi suara di dalam apartemen Liliya selain gemericik air hujan di luar yang mulai berganti gerimis dan suara isakannya yang perlahan mulai mereda. Dia merasa kosong, seolah-olah dunia di sekitarnya telah runtuh. Gadis itu pun duduk termenung, matanya memandangi layar televisi yang masih menayangkan berita kebakaran tersebut, seolah-olah ingin menyangkal kenyataan yang ada di depannya saat ini. “Seandainya aku bisa bertemu mereka lagi, hanya ingin sekali saja, melihat Papa dan Mama,” bisiknya lirih, menyesali semua waktu yang telah berlalu tanpa bisa diulang kembali. Hujan terus mengguyur kota Moskow siang itu, semakin deras seiring dengan jatuhnya air mata Liliya yang terus membasahi pipinya. Tekanan dan kesedihan semakin menghimpitnya dalam kesunyian di dalam apartemen itu, meninggalkannya terpuruk dengan rasa duka yang mendalam. Liliya sepertinya mulai sadar jika hidupnya tidak akan pernah sama lagi, dan kepergian kedua orang tuanya akan selalu meninggalkan luka yang pasti akan sulit disembuhkan olehnya. Gadis itu semakin beringsut duduk di atas sofa. Dia benar-benar bingung menghadapi kenyataan yang ada. Liliya tidak tahu hendak melakukan apa, dirinya telah terpuruk semakin dalam ke jurang kesedihan yang mungkin tidak ada ujungnya. “Papa, Mama, bagaimana aku melanjutkan hidup ini tanpa kalian di sampingku?” ucapnya di tengah isakan tangisnya yang semakin kuat di siang yang dingin itu.Sudah sebulan berlalu sejak Liliya memulai latihan intensifnya. Setiap hari, gadis cantik itu menguji batas fisiknya dengan latihan lari, lompat, dan melampaui rintangan-rintangan yang telah dipersiapkan oleh Igor, pelatihnya. Seorang pria berbadan tegak dan berkharisma.Tubuhnya semakin kuat, refleksnya semakin tajam, dan kepercayaan dirinya juga ikut meningkat. Semua karena latihan fisik yang keras yang telah dilakoni olehnya selama kurang lebih satu bulan penuh. Selain itu, Liliya juga mempelajari berbagai seni bela diri, yang berguna untuk mengasah tekniknya agar bisa bertahan dan menyerang dengan lebih efektif jika sedang menghadapi lawannya.Namun, di dalam hatinya, Liliya tahu bahwa dia masih belum sempurna. Ada banyak yang harus dipelajari olehnya, terutama saat menghadapi lawan sekuat Igor. Igor adalah salah satu prajurit terbaik di pasukan pelatihannya, dikenal memiliki kemampuan menyerang yang mematikan dan pertahanan yang tak mudah ditembus. Hari ini, Liliya akan bertaru
Malam itu, setelah selesai makan malam, Liliya dengan sukarela membantu Bibi Belka membersihkan meja makan. Piring-piring kotor disusun rapi, sementara Bibi Belka menyiapkan air sabun untuk mencuci. Liliya berdiri di samping wastafel, memegang piring pertama yang telah dilumuri busa. “Terima kasih sudah membantu Bibi, Liliya,” ujar Bibi Belka sambil tersenyum lembut.“Tidak masalah, Bibi. Lagipula, ini cara yang terbaik untuk menghabiskan waktu bersama,” jawab Liliya sambil menggosok piring dengan lembut. Setelah mencuci beberapa piring, mereka mulai membersihkan dapur. Setiap sudut diperhatikan oleh Bibi Belka, memastikan tidak ada yang tertinggal berantakan.“Wah, Bibi sangat telaten saat membersihkan dapur,” puji Liliya.Bibi Belka tertawa kecil seraya berkata,“Ha-ha-ha. Membersihkan dapur dengan baik dan benar sama halnya jika kamu sedang melakukan misi penting untuk melenyapkan seseorang. Kamu harus melakukannya dengan sangat teliti Liliya. Makanya Bibi dan Igor akan mengajark
Angin semilir Kuskovo berhembus lembut, seolah-olah turut mengiringi langkah Liliya yang semakin mantap untuk mempersiapkan diri untuk membalaskan dendamnya. Matanya tajam, penuh tekad ingin segera menyelesaikan semuanya. Di kejauhan, sinar mentari tampak megah dengan warna keemasannya, namun yang terpenting bagi Liliya saat ini adalah latihan yang harus dijalani olehnya. Sebuah latihan untuk membalaskan dendamnya atas kematian kedua orang tuanya, yang telah dibunuh oleh mafia terkuat di Moskow. Tidak ada ruang untuk kesalahan dia harus bisa agar tetap fokus.Di sampingnya, Igor, pria dengan tubuh kekar dan mata yang penuh disiplin, berdiri tegap. Siap untuk membantu Liliya untuk mewujudkan balas dendamnya. Pria itu adalah mantan tentara yang kini menjadi pelatih pribadi Liliya. Igor terlihat sedang membawa sebuah alat timer di tangannya, wajahnya pun tampak serius."Kita mulai dengan lari cepat. Ingat, Liliya, disiplin adalah kunci atas segalanya. Tidak ada tempat untuk lelah. Kam
Keesokan harinya,Pagi yang dingin di Kuskovo, matahari masih belum sepenuhnya terbit ketika Liliya telah bangun dari tidurnya. Udara yang begitu sejuk menyelimuti rumah megah di pinggiran kota kecil itu. Liliya duduk di pinggir tempat tidurnya, merenung sejenak, mengusap wajahnya untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih menyerangnya. Kemudian, pandangannya jatuh pada lemari kayu besar di sudut kamarnya. Sudah beberapa kali sejak tadi malam dia memperhatikan ada pakaian-pakaian baru di sana, semuanya pas dengan ukurannya. Hal itu membuat Liliya semakin penasaran.Gadis belia itu pun masuk ke dalam toilet yang juga terhubung di dalam kamar tersebut. Sekedar untuk membasuh wajahnya dan menggosok giginya.Setelah berganti berpakaian, Liliya melangkah keluar kamar mulai mencari-cari Bibi Belka di pagi yang masih buta itu. Kakinya pun menuntunnya untuk berjalan menuju ke kebun sayur yang ada di belakang rumah.Dari kejauhan, Liliya dapat melihat Bibi Belka yang sedang memetik buah
Di sebuah ruang tamu megah yang dihiasi dengan perabotan antik, Igor dan Bibi Belka duduk berhadapan. Liliya telah diantar oleh Bibi Belka dan masuk ke kamarnya setelah seharian tampak bingung dengan semua perubahan mendadak dalam hidupnya. Kematian tragis kedua orang tuanya masih menghantui rumah itu, dan Bibi Belka tahu, saatnya telah tiba untuk mempersiapkan Liliya menghadapi kenyataan pahit di depan mata."Igor," seru Bibi Belka sambil menatap tajam ke arah pria di depannya."Mulai besok, kita harus berbicara serius dengan Liliya tentang semuanya. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," ujar Bibi Belka memulai pembicaraan mereka malam itu."Tentu saja, Belka. Liliya memang harus mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Vadim dan Disca," jawab Igor tanpa ragu, suaranya dalam dan tegas. Pria berusia empat puluh tahunan itu telah bekerja untuk keluarga Liliya sejak lama. Dia sudah bersumpah untuk melindungi Liliya, apapun yang terjadi.Bibi Belka menghela napas panj
Setelah selesai makan malam, Liliya lalu mengikuti langkah Bibi Belka yang akan mengarahkannya ke lorong panjang yang sepi. Dinding-dinding rumah itu terasa dingin, seolah-olah menyerap semua kehangatan yang pernah ada. Liliya berjalan pelan, merasakan beban berat yang tidak hanya di pundaknya akan tetapi juga di hatinya.Bayangan tentang kematian kedua orangtuanya, masih menjadi misteri baginya. Rasa sedih masih merasuki jiwa dan sanubarinya tapi demi untuk bertahan hidup, Liliya harus menjalani semuanya dengan ikhlas dan lapang dada.Lamunan gadis itu seketika menjadi buyar, mendengar ucapan dari Bibi Belka.“Liliya, mulai malam ini, kamar ini adalah tempat tinggalmu,” ucap Bibi Belka lembut, menghentikan langkah mereka di depan sebuah pintu kayu besar.Bibi Belka lalu mendorong pintu itu dengan perlahan, memperlihatkan sebuah kamar yang rapi dengan pencahayaan hangat. Ada ranjang besar di tengahnya, dengan seprai putih bersih yang terlipat sempurna. Di sudut ruangan, sebuah lemari