5
“Iya, aku tidak akan menyentuhmu, Mbak Rindu. Aku tahu bagaimana cara kita menikah. Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku layaknya seorang istri yang menikah karena saling cinta. Kamu tidak perlu khawatir. Ayo, turun. Di rumah itu ada dua kamar. Kita tidur terpisah, biar kamu bisa tidur nyenyak.” Senyuman indah mengembang sempurna. Kepala Rindu mengangguk beberapa kali. Kecemasan yang melanda gadis itu perlahan memudar. Ucapan dari Uka cukup meyakinkannya. Ya, walau masih ada desiran-desiran rasa curiga, tetapi mencoba untuk ditiadakan. “Terima kasih karena telah memahami keinginanku dan mengerti bagaimana posisiku saat ini.” Rindu masih konsisten menunjukkan wajahnya yang sendu. Dari lubuk hati terdalam, gadis itu hanya ingin dimengerti dan jangan sampai ditipu oleh lelaki yang ada di dekatnya. “Iya, tidak masalah.” Uka menanggapi dengan santai. Memang seperti tidak mempermasalahkan keinginan yang dilontarkan oleh Rindu. *** Langkah yang diayunkan bergantian membawa Rindu ke hadapan rumah yang sederhana. “Maaf, ya, Mbak Rindu. Rumahnya tidak sebagus rumahmu dulu,” ujar Uka yang ikut melihat rumah seperti Rindu. Rindu cukup terkejut mengetahui kata maaf itu tiba-tiba meluncur dengan mudahnya dari lisan lelaki yang kini terjerat dalam masalahnya gara-gara perbuatan konyol ayah dan keluarganya. “Ini lebih dari cukup. Aku tidak tahu harus ke mana kalau seandainya aku hanya sendiri tanpamu setelah diusir sama Ayah.” Tanpa aba-aba, desiran lembut menerjang hati lelaki berpawakan tinggi itu. Ia mengulas senyuman tipis. Entah, rasanya senang ketika kalimat tadi keluar dari lisan Rindu. Kupu-kupu itu seakan beterbangan di dalam hati. “Terus, tolong panggil aku Rindu. Kurang enak didengar kalau aku masih dipanggil mbak sama kamu,” ujar Rindu lagi membuat Uka fokus padanya sambil mengangguk. “Baiklah ... Rindu. Ayo, masuk.” Agak canggung, tetapi Uka harus melakukannya. “He em, tapi maaf, kalau aku masih bingung untuk memanggilmu seperti apa. Pokoknya, aku minta maaf atas segala yang telah terjadi. Tentang aku yang menyeretmu dalam masalahku. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk ke depannya.” “Itu gampang dipikirkan nanti. Kamu harus melanjutkan tidurmu dulu untuk sekarang ini.” Rindu hanya mengangguk-angguk. Mereka melangkah masuk ke rumah itu. *** “Itu kamarmu, tidurlah dengan nyenyak. Barang-barang ini, kita bereskan besok saja,” ujar Uka sambil menunjuk salah satu kamar yang bersebelahan. “Iya, kamu pasti capek. Aku masuk dulu. Kamu juga, tidurlah yang nyenyak.” “Tentu.” Rindu berjalan ke arah kamar yang disediakan untuknya, meninggalkan Uka yang entah akan masuk kamarnya kapan. Rindu merebahkan diri di kasur setelah menutup pintu kamar. Udara berembus perlahan dari mulut seolah membawa beban yang menindih di dalam dada. Walau hanya untuk sesaat beban itu terasa enyah. “Ayah, aku ada di sini. Benar katamu dan Mama Dewi, aku di luar begini, setelah diusir oleh kalian, setidaknya ada teman yang menemani. Tapi, bagaimanapun, rasa kesalku belum seutuhnya hilang. Entah bisa menghilang atau semakin terpatri semakin dalam.” Wajah gadis itu kaku seperti patung marmer yang penuh luka. Raut di wajah itu bukan lagi sekadar cermin dari kepedihan, melainkan api yang menyala-nyala, membakar setiap kenangan yang tersisa. Benci. Kata itu berputar dalam kepalanya, seperti mantra yang tak pernah surut. Begitu lama ia menahannya, begitu rapat ia menggenggamnya, hingga kini kebencian itu terasa menyatu dengan darahnya—mengalir, meresap, mencengkeram jantungnya. Rindu menggerakkan tangannya dan memandangi gelang peninggalan ibunya. “Ibu, walau aku di sini begini, Ibu di sana harus bahagia. Maaf, kalau karenaku Ibu meninggalkan dunia ini, meninggalkan Ayah yang begitu mencintai Ibu ... hingga Ayah begitu benci padaku. Aku di sini baik-baik saja, Bu.” Seperti air yang merembes pelan dari celah retakan, air matanya mulai mengalir, tanpa aba-aba. Mereka jatuh perlahan, begitu lembut, seakan-akan lelah menanggung beban kesedihan yang terlalu lama terpendam. Ia bahkan tak menyadari ketika butiran pertama menyentuh pipinya, begitu sunyi, begitu tak terlihat, seolah menolak untuk diketahui. Rindu tersadar kembali ketika melihat gorden dari kain bergerak seolah tertiup angin. Udara lagi-lagi terembus pelan dari mulut. Rindu menghapus air mata yang tak sadar luruh kembali, lalu bangkit untuk melihat apakah jendela masih terbuka hingga angin malam merangkak masuk. “Pantas, agak dingin. Jendela belum ditutup,” gumam gadis itu setelah di dekat jendela dan menyibakkan gorden. Setelah menutup jendela dengan rapat, sebelum merapikan gorden, dari kaca jendela itu Rindu melihat Uka berjalan pergi dari rumah bersama lelaki yang tadi disebut sopir taksi online. “Uka mau ke mana? Terus, itu benar bapak-bapak pengemudi taksi online tadi, kan? Kenapa masih ada di sini?” Banyak tanda tanya berseliweran dalam kepala. Namun, Rindu tidak mungkin pergi membuntuti mereka. Rasa tidak enak hati itu masih besar. Ia hanya tak ingin membuat Uka makin terbebani olehnya kalau tiba-tiba mencari tahu tanpa sepengetahuan lelaki itu. “Mungkin aku lebih baik pura-pura tidak tahu saja. Aku harap, Uka bukan orang jahat.” Pada akhirnya, Rindu memutuskan untuk kembali ke ranjang dan melanjutkan tidurnya meski ada saja yang berisik di dalam kepala dan hatinya. *** Pintu kamar yang diketuk, membangunkan Rindu dari tidurnya. Dari luar rumah, lantunan merdu sholawat menggema dari toa masjid terdekat. Rindu bangun sambil mengucek mata, lalu melangkah ke arah pintu. “Maaf, Rindu. Aku ganggu tidurmu, tapi azan subuh sudah lewat. Aku mau ke masjid, kalau kamu mau dan tidak sedang halangan, aku mau ajak kamu ke masjid. Pagi-pagi udara masih segar dan bisa melihat pemandangan yang asri sambil jalan-jalan nanti setelah salat.” “Iya! Aku mau. Tunggu!” Yang dibayangkan Rindu adalah menikmati segarnya pemandangan yang masih asri, pemandangan yang selama ini jarang dilihat olehnya ketika masih hidup bersama Raden. “Cantiknya, mudah-mudahan istikamah,” gumam Uka ketika melihat penampilan Rindu yang mengenakan mukena. “Hem? Ngomong apa? Maaf, aku tidak dengar.” “Bukan apa-apa. Ayo, keburu ikamah.” Senyum mengembang di bibir. “Ayo,” jawab Rindu meski rasa penasaran masih menggelitik. Mereka berjalan beriringan menuju ke masjid terdekat. Kalau Uka jahat, masa mau salat? Subuh-subuh kan, paling malas untuk mengerjakan ibadah. Tapi, Uka .... Sulit untuk tidak menduga-duga dalam diam. Hendak bertanya, Rindu merasa bukan ranahnya terlalu ikut campur. Walau memang, dirinya sekarang sudah sah menjadi istri dari lelaki yang berjalan tak jauh darinya. *** Matahari mulai menampakkan diri dengan hadirnya semburat indah di langit bagian timur. Rindu dan Uka masih berjalan-jalan melihat pemandangan yang masih asri di desa tempat tinggalnya sekarang. Setiap bertemu orang, mereka menyapa. Setelah itu, berbisik. Bahkan, ada beberapa yang didengar oleh telinga Rindu, tetapi tidak oleh Uka. Maksud mereka apa, ya? Beberapa orang bicara, ‘Nyonya sangat cantik’. Siapa nyonya yang dimaksud mereka?32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka